Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

AkuCintaNaneaAvatar border
TS
AkuCintaNanea
Kenapa Jokowi Ditakuti spt HANTU oleh Kekuatan Politik Jelang Pilpres & Pemilu 2014
Kenapa Jokowi Ditakuti spt HANTU oleh Kekuatan Politik Jelang Pilpres & Pemilu 2014

Jokowi Bikin Lawan Politik "Sakit Kepala"
Jum'at, 06 September 2013 06:23 wib

JAKARTA- Nama Joko Widodo (Jokowi) yang kerap kali menduduki posisi teratas sebagai calon presiden, membuat 'sakit kepala' lawan politik PDI Perjuangan. "Banyak partai yang uring-uringan karena Jokowi selalu menduduki posisi teratas. Salah satunya Partai Gerindra," ujar Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahuddin kepada Okezone, Kamis (5/9/2013). Karena itu, Said menilai, ada dua cara untuk menghadang langkah Jokowi menuju RI-1. "Pertama tentunya dengan cara bekerja keras untuk dapat meningkatkan elektabilitas calon yang diusungnya. Dan ke dua, tentu dengan mengecilkan lawannya," terangnya.

Terkait langkah kedua, Said melihat hal itu mulai dilakukan oleh sejumlah partai, termasuk partai Gerindra. " Pertama, Gerindra mulai menyinggung kontrak politik Jokowi-Ahok dalam memimpin Jakarta, lalu survei terkini dari INES yang menempatkan Prabowo di atas Jokowi pun bisa dimanfaatkan mereka untuk menggiring opini publik bahwa ada capres lain yang layak menjadi presiden," kata Said. Terkait pernyataan yang terlontar dari Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan menyatakan Gerindra tidak ingin Jokowi maju, kata Said, hal itu menjadi isyarat tersendiri bahwa memang betul adanya mereka ingin menghadang langkah Jokowi. "Kalau sampai seorang Ahok yang hanya menjabat Wakil Gubernur berani menyatakan itu, berarti memang ada strategi yang dibangun di kalangan internal partai yang tidak ingin Jokowi maju sebagai capres," tandasnya.
http://news.okezone.com/read/2013/09...k-sakit-kepala

Fenomena Jokowi Ubah Kalkulasi Politik
Rabu, 28 Agustus 2013 | 08:35 WIB

Kenapa Jokowi Ditakuti spt HANTU oleh Kekuatan Politik Jelang Pilpres & Pemilu 2014

JAKARTA, KOMPAS.com — Kemunculan Joko Widodo dengan elektabilitas tertinggi dibandingkan dengan sosok lain diperkirakan makin menghidupkan persaingan dalam bursa calon presiden tahun 2014. Apalagi sejumlah partai politik tetap ingin mengajukan calon sendiri. Namun, fenomena Joko Widodo membuat kalkulasi politik berubah. Dalam survei Kompas, elektabilitas Joko Widodo (Jokowi) paling tinggi, di atas Prabowo Su- bianto, Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, dan Aburizal Bakrie. Jokowi pun diyakini paling berpeluang memenangi Pemilihan Umum Presiden 2014. Bursa calon presiden (capres) tampaknya makin dinamis, termasuk dengan saling mengawinkan pasangan untuk mencapai elektabilitas tinggi. Sampai saat ini, walaupun masih banyak yang menunggu hasil pemilu legislatif, sejumlah parpol bertekad tetap mengusung calon sendiri, seperti Prabowo (Gerindra), Aburizal Bakrie (Golkar), Hatta Rajasa (PAN), Wiranto-Hary Tanoesoedibjo (Hanura).

Fenomena Jokowi juga menjungkalkan konstelasi politik lama yang persiapannya sudah dirintis sejak 2009. Direktur Riset Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan, tokoh-tokoh lama, seperti Prabowo dan Aburizal, harus berhitung ulang menghadapi fenomena itu. Semua pihak sedang menunggu tiga hal yang kemungkinan bisa terjadi. ”Pertama, berharap PDI-P tidak ajukan Jokowi agar kekuatan semua pihak kembali lagi pada titik nol,” katanya. Kedua, kompetitor Jokowi bisa berkoalisi dengan Jokowi, entah bagaimana negosiasinya. Skenario ketiga, pada titik ekstrem, kubu non-Jokowi bisa punya satu semangat untuk menjegal Jokowi secara bersama-sama agar kekuatan Jokowi bisa diimbangi. ”Mereka pasti akan berhitung dengan variabel Jokowi ini, entah melawan, menjatuhkan, atau bergabung,” kata Yunarto, Selasa (27/8). Siapa pun yang akan menjegal atau mengajak Jokowi tetap punya peluang mencapai titik kulminasi, tetapi bedanya saat ini momentum sedang berada di tangan Jokowi.

Namun, parpol lain juga terus bergerak. Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan bahwa partainya mengamati lima hingga delapan sosok sebagai calon wakil presiden. Dari nama-nama itu, umumnya bukan orang partai dan dua sampai tiga orang adalah perempuan. ”Kongres Luar Biasa Partai Gerindra pada Februari 2012 memutuskan Prabowo Subianto sebagai capres dan memberi amanat kepada Prabowo untuk mengambil keputusan tentang calon wakil presiden yang akan mendampingi. Meski punya kewenangan penuh, Prabowo biasanya selalu minta pertimbangan kami. Saat ini, kami dalam proses komunikasi dengan lima hingga delapan nama calon wakil presiden itu,” kata Muzani di Kompleks Parlemen, Jakarta.

Fungsionaris PAN, Teguh Juwarno, juga menegaskan, hasil survei Kompas menjadi lecutan bagi kader untuk memperoleh hasil terbaik dalam pemilu legislatif. PAN juga tetap akan mengusung Ketua Umum Hatta Rajasa sebagai capres meski tidak masuk lima besar. Namun, PAN terus berupaya mendorong peningkatan popularitas serta elektabilitas Hatta, antara lain menyosialisasikan keberhasilan Hatta sebagai Menteri Koordinator Perekonomian. Jadi, PDI-P pun sebaiknya memastikan Jokowi sebagai kandidat presiden menjelang pemilu legislatif sehingga elektabilitas PDI-P dapat ditingkatkan. Hasil survei itu harus dipertimbangkan betul-betul oleh PDI-P. Kalau salah menentukan, itu justru bisa menurunkan elektabilitas PDI-P,” kata pakar hukum tata negara Saldi Isra. Sekretaris Jenderal PDI-P Tjahjo Kumolo mengatakan, pihaknya akan memperhatikan momen yang tepat untuk mengumumkan capres, termasuk cawapres. ”Momentum menentukan capres menjadi strategi dan kebijakan partai,” katanya. Untuk itu, diperlukan telaah mendalam. Dinamika politik perlu diperhatikan. Perlu dipertimbangkan pula, yaitu cawapres yang akan dipilih.

Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyambut baik dan siap mendampingi Jokowi sebagai capres ataupun cawapres jika hal itu bisa membawa manfaat bagi rakyat dan negara. Namun, semua itu berpulang pada kehendak PDI-P yang akan mengusungnya, dan pilihan rakyat itu sendiri. ”Bagi saya, hanya satu, selama bisa bermanfaat bagi rakyat dan negara, saya siap melaksanakannya jika bersama Pak Jokowi,” ujarnya. Menurut Kalla, Jokowi adalah sosok yang didorongnya saat akan menjadi calon gubernur DKI Jakarta tahun lalu. ”Jokowi sosok yang memiliki kepribadian baik, punya kemampuan, bisa mengambil keputusan dan memenuhi aspirasi rakyat. Lebih penting lagi, jika saya bersama Jokowi, ada yang bilang, itu sebuah harmoni, antara perwakilan Jawa dan luar Jawa,” lanjutnya.

Bagi Tjahjo, PDI-P sangat memperhitungkan hasil-hasil survei yang dilakukan secara independen. PDI-P juga perlu mendengarkan aspirasi masyarakat. ”Saya tidak bisa men-declare ya atau tidak. Perlu dilihat dinamika politik,” kata Tjahjo ketika ditanya apakah PDI-P mengumumkan Jokowi sebagai capres menjelang pemilu legislatif. Peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, R Siti Zuhro, mengatakan, PDI-P perlu mempertimbangkan Jokowi, tetapi perlu dikalkulasi serius karena PDI-P juga harus menghitung keberlanjutan politik dinasti yang selama ini melekat pada sosok Megawati. ”Lampu belum hijau, tetapi sudah mulai kuning. Ada kalkulasi politik yang harus dipertimbangkan PDI-P. Tak tertutup kemungkinan, pada akhirnya partai ini akan mengajukan Jokowi sebagai capres,” katanya.
http://nasional.kompas.com/read/2013...kulasi.Politik

Kenapa Jokowi Ditakuti spt HANTU oleh Kekuatan Politik Jelang Pilpres & Pemilu 2014

Menafsirkan Ramalan Jayabaya ‘Notonegoro’:
Betulkah nama JOKO WIDODO (jokowi) Termasuk Simbol Nama yang Dimaksud?
16 March 2013 | 15:21 wib

Salah satu peninggalan sejarah di Kediri yang terkenal adalah Patilasan atau tempat Raja Jayabaya moksa. Sedangkan yang paling tersohor dari Jayabaya adalah sebuah ramalan atau orang sering menyebut Jangka Jayabaya. Salah satu ramalan yang tersohor adalah NOTONEGORO yaitu sebuah ramalan tentang nama seseorang yang akan memerintah negeri ini. Buah dari akibat ramalan ini adalah nama "TO" dan "NO" atau konsonan "O" di akhir nama orang jawa.

Para orangtua (lebih ke pihak bapak) memberi nama anaknya dengan akhiran TO atau NO atau O, seperti Suprapto,Supeno, Tarno, Parno dan lain-lain, tidak lain tujuannya adalah supaya anak tersebut menjadi raja atau presiden. Dalam ramalan NOTONEGORO di yakini oleh sebagian besar masyarakat jawa sudah terbukti 2 orang yakni Soekarno dan Soharto yang memiliki karakteristik dan khas masing-masing. Apabila nama ini di penggal akhirannya sudah terbentuk kata NOTO atau (me)NATA.

Pada era ‘90-an saat Soeharto masih berkuasa, ramalan presiden ke tiga sudah terlihat sangat transparan. Seolah memang sudah di persiapkan, semua orang sudah meyakini bahwa orang ke tiga adalah sang wakil sendiri, yaitu Tri Sutrisno. Begitu melihat nama, penafsiran orang-orang menunjuk angka tiga (try) dan NO (Ramalan dalam NOTONEGORO). Namun kenyataan berbicara lain. Sang Presiden tidak mau memberikan kekuasaan justru menendang dan menggandeng B,j Habibie sebagai wakil.

Penafsiran orang-orang tidaklah sepenuhnya meleset, jika menggunakan ilmu asal gathuk yang penting cocok. Presiden ke tiga adalah B,j Habibie yang merupakan wakilnya.Walau tidak berakhiran TO atau NO penafsiran ini terus berlangsung dengan mengatakan bahwa NE (NOTONEGORO) menyatakan presiden bukan dari orang jawa. Disini orang-orang berpendapat bahwa nama orang jawa itu identik dengan akhiran huruf O.

Berlanjutnya penafsiran ini hingga presiden ke empat dan ke lima. Untuk Gus Dur dan Megawati ini tidak lagi mengangkat nama atau asal suku seseorang, melainkan dari kejadian yaitu GORO yang artinya gara(-gara) atau Sengketa. Sedangkan untuk presiden ke enam yaitu Susilo Bambang Yudhoyono dengan nama berakhiran NO sehingga penafsirannya berputar kembali dari NO kemudian TO dan Ne, maka dalam penafsiran ini presiden selanjutnya (setelah SBY) adalah seseorang berakhiran TO.

Kelemahan penafsiran ini tidak adanya konsisten dari nama kemudian suku dan menjadi suatu peistiwa. Sehingga lebih kepada asal gathuk (cocok) atau mencocok-cocokkan dengan ramalan.

Penafsiran Versi Kedua, ini dari kata NOTONOGORO. Kata Ne tidak ada yang ada NO. Jika melihat pada penafsiran ini maka ke tiga presiden seperti BJ. Habibie, Gus Dur, dan Megawati tidaklah masuk hitungan atau tidak di akui sebagai raja. Apa karena ini Megawati masih berambisi menjadi presiden, karena belum merasa menjadi presiden yang sesungguhnya.

Dalam ramalan ini berawal dari Soekarno, Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono. Sedangkan pemimpin ke empat adalah seseorang yang berawalan GO yang tentu bukanlah sosok Anggodo atau Anggoro, bisa hancur mina negeri ini.

Kelemahan penafsiran ini adalah tidak di akuinya ke tiga presiden dan tetap bersikukuh ramalanlah yang benar kendati negeri ini telah di pimpin 3 orang yang berbeda ang tidak ada dalam ramalan..

Penafsiran versi ke tiga adalah berdasarkan sosok tokoh yang terkenal. Semisal RO ini ditafsirlkan Amien ROis. ada juga GO di tafsirkan GOs Dur. MeGOwati kata GO ada dalam penafsiran Mega.

Kelemahan penafsiran ini adalah mencocok-cocokkan dengan ramalan dengan memaksa seseorang sesuai ramalan, kalau bahasa kasarnya maksa walau terlihat jauh.

Dalam pemilihan 2014, ramalan ini sudah di pastikan akan muncul ke permukaan kembali. Tim sukses pun akan secara getol menggelontorkan sesuatu berbau mistik seperti ramalan ini untuk calonnya. Terbukti di era PDIP menang 1999 salah satunya adalah sebuah ramalan Ratu Adil, sedangkan di era Susilo Bambang Yudhoyono menang dalam pemilihan presiden salah satunya adalah Ramalan akan Satrio Piningit.

Lalu, bagaimana dengan anda di tahun 2014?
Nama JOKO WIDODO (yang akrab dipanggil Jokowi itu), juga memenuhi ktreteria syarat ramalan eyang Jayabaya itu, karena Joko Widodo berakhiran konsonan "O". Nah, tinggal anda percaya atau tidak, itu urusan lain. Tapi harap di ingat, 60% pemilih dalam Pilpres dan Pemilu itu adalah orang jawa (etnis jawa), yang suka pada klenik dan ilmu 'gatuk' seperti itu. Bisa saja, timses Jokowi di pedesaan jawa akan 'bekerja keras' untuk mensosialisasikan ramalan NOTOGERO dari eyang Jayabaya itu, bukan? Namanya juga politik, gan!
http://politik.kompasiana.com/2013/0...ro-537616.html

Kenapa Jokowi Ditakuti spt HANTU oleh Kekuatan Politik Jelang Pilpres & Pemilu 2014


Fenomena Jokowi mirip SBY di Pilpres 2004
Sabtu, 14 September 2013 18:28:31

Para politikus partai satu suara menilai Jokowi sebagai cerminan SBY sewaktu mencalonkan diri pada pemilu 2004 lalu. Publik pun diingatkan untuk tidak terlena, sebab rakyat akhirnya akan kecewa belakangan. "Fenomena Jokowi mirip SBY 2004, kalau dibandingkan Jokowi beda tipis. Dia Jenderal. Ke depan dalam waktu 6 bulan akan masih populer tergantung dari masalah," ujar Wakil Bendahara Partai Golkar Bambang Soesatyo di diskusi politik bertajuk 'Memilih Capres Secara Rasional' Cheese Cake Factory, Jakarta, Sabtu (14/9). Menurut dia, popularitas Jokowi bisa hancur seketika jika dalam 6 bulan ke depan terlibat masalah. Terutama soal pengelolaan Jakarta. "Bukan tidak mungkin, ada pemicu yang memukul balik Jokowi apa yang sudah dirapikan, lalu diberantakin, seperti Tanah Abang berontak," tukasnya. Sementara itu, Pengamat Politik Boni Hargens memiliki pandangan berbeda dengan para politikus partai itu. Dia justru melihat Jokowi berbeda dari SBY. Sebab kualitas Jokowi sudah terjamin. "Dimana besarnya Jokowi yang kita lihat potensi dari Jokowi. Dia akan terus berkembang dan membesar itu menjadi antitesis dari realitas kalau di zaman SBY itu cuma fatamorgana," ujar Boni.
http://www.merdeka.com/politik/bamba...pres-2004.html

Jokowi Populer karena "Media Darling"
Selasa, 27 Agustus 2013 | 10:42 WIB

Kenapa Jokowi Ditakuti spt HANTU oleh Kekuatan Politik Jelang Pilpres & Pemilu 2014
Bukan media nasional saja yang 'darling' dengan Jokowi, bahkan media kelas dunia seperti New York Times pun, suka memberitakannya
source pic: http://query.nytimes.com/search/site.../#/joko+widodo

JAKARTA, KOMPAS.com — Melesatnya Joko Widodo dalam setiap survei karena ada yang mendongkrak. Menurut Ketua Fraksi Gerindra DPRD DKI Mohamad Sanusi, pendongkraknya adalah media. "Sekarang mana ada sih media yang kasih topik 'Gebrakan Presiden' atau yang lainnya? Yang ada itu 'Gebrakan Jokowi-Basuki' terus pemerintahan Jokowi di hari ke berapa. Bagaimana popularitasnya tidak nomor satu terus?" kata Sanusi kepada Kompas.com di Gedung DPRD DKI Jakarta, Senin (26/8/2013). Sanusi melihat hingga saat ini Jokowi masih menjadi "media darling". Dengan itu, popularitas Jokowi akan terus melesat sehingga ia mengharapkan Jokowi tak lupa mengerjakan tugasnya sebagai gubernur dan membenahi Jakarta. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo juga enggan menanggapi hasil survei capres. Dia masih konsentrasi untuk bekerja di Jakarta. Bahkan Jokowi menegaskan apabila urusan-urusan yang berkaitan dengan pemilihan Presiden 2014, ia meminta wartawan menanyakannya kepada Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
http://megapolitan.kompas.com/read/2...Media.Darling.

Media Asing dan Lembaga Survei Dorong Jokowi Jadi RI-1?
Minggu, 21 Juli 2013 | 18:54 WIB

Kenapa Jokowi Ditakuti spt HANTU oleh Kekuatan Politik Jelang Pilpres & Pemilu 2014
Paparan figur Jokowi di media kelas dunia, The Wall Street Journal
source: http://realtime.wsj.com/indonesia/tag/jokowi/


Popularitas Joko Widodo (Jokowi) sebagai figur yang dianggap pantas menjadi RI-1 melalui Pemilu Presiden 2014, sepertinya belum akan habis. Bahkan bukan hal mustahil yang bakal terjadi , makin dekat momen penentuan capres dan cawapres, nama Jokowi akan terus menjadi sosok terpopuler. Padahal makna paling terpopuler bukanlah dalam konotasi terbaik. Sayangya, di tengah hiruk pikuk dan maraknya pencitraan positif tentang Jokowi, tak ada lagi yang bisa membedakan antara terpopuler dan terbaik. Atau seolah-olah kalau sudah terpopuler sudah sama maknanya dengan terbaik. Masyarakat kita dibuat rancu. Yang patut dicermati, kalaupun Jokowi masuk dalam kategori terbaik, namun seharusnya masih perlu ada embel-embelnya. Yaitu Jokowi merupakan figur terbaik di antara yang terburuk (the best amongst the worst). Popularitas Jokowi terus melejit antara lain dipicu hasil berbagai lembaga survei. Lembaga survei mengaku independen dan seakan melakukan survei tanpa hitung-hitungan bisnis.

Mereka terus merilis hasil yang menyebutkan elektabilitas Jokowi paling tinggi. Rilis itu disebar melalui pertemuan pers dan pada kesempatan yang bersamaan, penyelenggara survei memberi pembobotan secara verbal di sana sini. Bahwa Jokowi memiliki keunggulan yang tidak dimiliki para figur politik lainnya yang juga berpotensi menjadi RI-1. Masyarakat dibius untuk percaya. Dalam waktu singkat serta secara serempak sosok Jokowi menjadi figur paling populer di panggung politik. Popularitas Jokowi kemudian diperkuat dengan berbagai analisa tambahan dari para pakar melalui talk show. Perbincangan di media itu pun seakan orisional, tanpa pesanan dan rekayasa.

Hampir semuanya menyebut popularitas gubernur Ibukota itu merupakan sebuah fenomena baru dalam dunia politik di Indonesia. Pemilihan kata 'fenomena' pun melalui pemikiran yang dalam. Hasilnya para awak media tidak berpikir lain lagi kecuali semakin bersemangat mengutip pernyataan tentang 'fenomena' tersebut. Dampak dari pemberitaan secara terus menerus tentang Jokowi merembet kemana-mana. Pemberitaan dan pencitraan itu mempengaruhi sistem pengambilan keputusan di berbagai lembaga termasuk lembaga politik. Sejumlah partai politik, terutama yang bukan 'pemilik' Jokowi, terpengaruh oleh pemberitaan media massa. Mereka ikut-ikutan merebut simpatinya. Mereka ingin merekut Jokowi sebagai kader sekaligus pemimpin masa depan. Maka fenomena baru dalam perekrutan calon pemimpin nasional pun mengalami perubahan secara instan. Perekrutan melalui mekanisme yang menghormati azas-azas kepatutan dan kapabilitalas, terpinggirkan. Perekrutan secara instan, mengalahkan hal-hal fundamental. Alhasil dalam waktu singkat, Jokowi tidak hanya menjadi "media darling" tetapi sekaligus menjadi pejabat publik paling populer - dalam konotasi bersih dan kapabel. Namun yang menimbulkan pertanyaan, sebegitu akuratkah hasil survei tentang Jokowi tersebut?

Pertanyaan lain, benarkah para pengelola lembaga survei itu bekerja secara independen? Betulkah mereka tidak disponsori oleh kekuatan lain - khususnya yang berkepentingan menokohkan Jokowi? Tidak gampang menjawab sejumlah pertanyaan di atas. Demikian pula, terlalu prematur menuding bahwa para pengelola lembaga survei di Indonesia saat ini, tidak lagi bekerja atas azas profesionalisme dan bobot intelektual kuat. Namun jika 'fenomena' yang menggunakan metode instan seperti sekarang tidak dikritisi bahayanya sangat besar. Jika 'fenomena' ini dibiarkan, ke depan atau dalam jangka panjang, 'fenomena' ini mampu menghancurkan demokrasi di Indonesia. Kepada lembaga survei dan media sering berpartner, rasa percaya itu harus tetap kita tancapkan. Tetapi seperti pepatah tua, percaya wajib, tetapi curiga wajar jalan terus. Kita perlu curiga sebab baru dalam Fenomena Jokowi saat ini, sejumlah lembaga survei seakan menafikan unsur komersil dan transasksional. Padahal pekerjaan melakukan survei kepada ratusan atau ribuan responden itu memerlukan biaya tidak kecil.
[url]http://web.inilah..com/read/detail/2...1#.UjogDNLfC0k[/url]

------------------------------

Saya sendiri berencana tobat dari seorang golputer, bila Jokowi yang maju Pilpres tahun depak kok!

emoticon-Ngakak
Diubah oleh AkuCintaNanea 05-10-2013 23:10
0
4.3K
24
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.8KThread41.5KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.