Quote:
[QUOTE]
Pertama: Berdiri didepan pintu. Sebagaimana dalam hadits Sa’ad bin Ubadah ra, ia berkata, “Seorang lelaki datang berkunjung kepada Nabi SAW , lalu ia berdiri didepan pintu beliau sambil meminta izin, lantas Nabi SAW bersabda: “Beginilah kamu seharusnya, sebab permintaan izin itu diperintahkan untuk menjaga pandangan mata.” (HR. Abu Daud)
Hikmah perintah tersebut tentunya sudah sangat jelas. Bahwa tidak berdiri menghadap pintu, agar disaat pintu tersebut dibuka, pandangan mata tidak melihat hal-hal yang tidak disukai oleh penghuni rumah jika terlihat oleh orang lain.
Kedua: Ucapan permintaan izin. Dari salah seorang lelaki dari Bani ‘Amir, bahwasanya ia meminta izin kepada Nabi SAW yang pada saat itu beliau sedang di dalam rumah. Lelaki itu berkata, “Boleh aku masuk?” lalu beliau bersabda kepada pembantunya, “Pergilah keluar dan ajarkanlah orang ini bagaimana cara meminta izin, lalu katakanlah kepadanya, “Ucapkanlah assalaamu’alikum, apakah aku boleh masuk.” (HR. Abu Daud)
Boleh menggunakan kalimat permintaan izin yang lain menurut kebiasaan setempat, dengan dua syarat: Pertama: diucapkan seperlunya, selama tidak bertentangan dengan syari’at dan tidak menyerupai orang-orang kafir. Kedua: tamu tidak mampu berbahasa arab. Dalam kondisi seperti ini ia boleh menggunakan bahasa lain sesuai dengan kebiasaan setempat. Namun jika ia mampu mengungkapkan kalimat “assalaamu’alikum”, maka ia wajib melakukannya, karena sebagai bentuk pengagungan terhadap bahasa al-Qur’an.
Ketiga: Jawaban tamu jika ditanya oleh pemilik rumah.Perlu diketahui, jangan menggunakan jawaban kata “saya!” jika pemilik rumah mengatakan “Siapa?”. Dari Jabir ra ia berkata, “Aku mendatangi Nabi SAW untuk membayar hutang yang ada pada ayahku. Lalu aku mengetuk pintu beliau dan beliau bertanya, “Siapa?” aku menjawab, “Saya”. Beliau berkata, “Saya..saya..” seakan-akan beliau tidak suka dengan jawaban tersebut. Ibnu Jauzy mengomentari, “bahwa dibencinya jawaban panggilan dengan ucapan kata “Saya”, sebab jawaban tersebut mengandung sikap sombong.”
Keempat: Aturan mengetuk pintu. Dianjurkan mengetuk pintu dengan perlahan dan beradab. Kita memiliki suri tauladan yang baik dari generasi pertama dari kalangan sahabat, dimana mereka meiliki adab yang tinggi ketika mengetuk pintu yang ia ingin temui. Para sahabat mengetuk pintu saja dengan menggunakan kuku mereka, sebagaimana Anas ra berkata, “Pintu-pintu rumah Rasulullah SAW diketuk dengan kuku.” Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Ini menunjukkan bagaimana ketinggian adab, dan tindakan seperti ini bagus bila si pemilik rumah berada dekat dari pintu. Adapun jika pemilik rumah berada jauh dari pintu, yang mana jika pintu tersebut dengan kuku dikhawatirkan tidak akan terdengar oleh pemiliknya, maka dianjurkan mengetuknya dengan cara lain menurut kebutuhan. Lantas bagaimana dengan zaman sekarang yang menggunakan peralatan canggih, seperti bell, apakah dengan itu gugurlah kewajiban meminta izin?. Maka pertanyaan ini harus diajukan dan dipelajari menurut nash-nash syari’at. Kebanyakan orang mengira bahwa dengan adanya peralatan-peralatan ini, meminta izin tidak lagi diperlukan. Sesungguhnya syari’at tidak melarang menggunakan semua peralatan ini selama tetap menjaga adab secara Islamiyah yang tinggi.
Kelima : Larangan meminta izin lebih dari tiga kali. Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini. Tetapi yang diambil pendapat yang kuat adalah bahwa batas meminta izin hanya tiga kali saja, sebagaimana Ibnu Hajar dan mayoritas ulama berkata bahwa, “Tidak boleh meminta izin lebih dari tiga kali.”
Berdasarkan dalil yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Ketika aku bertemu Abu Musa, Umar bertanya, “Apa yang mengahalangimu untuk masuk rumahku?”, aku katakan, “Aku sudah minta izin kepadamu tiga kali, namun aku belum juga diberi izin, kemudian aku pun pergi. Rasulullah SAW pernah bersabda: “Apabila salah seorang kalian meminta izin tiga kali dan belum juga diberi izin, maka hendaklah ia kembali pulang.” (HR. Bukhari dan Muslim)