Maaf gan, kalo mungkin dah banyak yang bahas masalah kebijakan mobil murah, ane cuma mau share yang ada dipikiran ane.
Spoiler for Baca gan:
Kebijakan Mobil Murah Justru untuk yang "Berkantong Tebal"
Penulis :
Sabrina Asril
Jumat, 13 September 2013 | 14:42 WIB
Saleh Husin | KOMPAS.com/SABRINA ASRIL
JAKARTA, KOMPAS.com — Anggota Komisi V, Saleh Husin, menilai, kebijakan mobil murah sama sekali tidak berpihak kepada rakyat kecil. Menurutnya, kebijakan ini justru akan membebani rakyat kecil akibat kemacetan yang akan ditimbulkan.
"Persoalan ini juga semakin menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada masyarakat yang berkantong tebal, dibandingkan masyarakat dengan keuangan pas-pasan," ujar Saleh saat dihubungi, Jumat (13/9/2013).
Menurut Saleh, kebijakan mobil murah ini tidak tepat dilakukan untuk kondisi kota seperti Jakarta yang sudah padat. Kemacetan Ibu Kota, kata Saleh, akan semakin parah dengan adanya kebijakan itu.
"Jadi, sebaiknya hal tersebut jangan dilakukan untuk Jakarta dan sekitarnya," kata politisi Partai Hanura ini.
Ia mengatakan, pemerintah sebaiknya fokus membenahi transportasi umum yang memadai, nyaman, dan dengan harga terjangkau untuk semua rute. Dengan kebijakan ini, Saleh yakin, masyarakat dapat beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum.
"Jadi, bukan malah sebaliknya. Kami melihat pemerintah bergerak sendiri dengan ego sektoralnya yang menonjol daripada suatu kerja sama lintas sektor untuk permasalahan bersama. Jadi, tentu kami sepakat dengan Pemprov DKI yang keberatan untuk masalah ini," kata Saleh.
Awal Juni 2013, pemerintah resmi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang insentif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) bagi produksi mobil ramah lingkungan. Dengan peraturan itu, mobil dengan kapasitas di bawah 1.200 cc dan konsumsi bahan bakar minyak paling sedikit 20 km per liter dapat dipasarkan tanpa PPnBM. Kebijakan ini membuat produsen mobil bisa menekan harga jual menjadi lebih murah.
Namun, kebijakan ini mendapat tentangan dari Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Jokowi menilai kebijakan ini hanya akan menambah kemacetan di Jakarta. Jokowi pun sudah siap mengeluarkan kebijakan daerah untuk mengantisipasi kemacetan, misalnya melalui pengadaan bus ukuran sedang, penerapan sistem jalan berbayar, dan penerapan pelat nomor ganjil dan genap.
Yang ada dipikiran ane,
1. Kok kayak bertolak belakang sama kebijakan mengurangi kemacetan, entah di Jakarta atau kota-kota lain di Indonesia.
2. Entah berapa lama pemerintah mikir untuk keluarin kebijakan ini, kenapa ga bikin kebijakan jangka panjang misal soal pupuk, peningkatan produksi pertanian (tanaman pangan, sayur buah dll) maupun peternakan (ternak maupun tambak hasil laut). Giliran sembako naek, enteng bener buka impor?
3. Itu kayaknya kebijakan buat nyenengin produsen yang memang asalnya dari luar negeri (walopun pabrik ada di indonesia), kenapa g bikin kebijakan strategi pembangunan manufaktur mandiri (mobnas, pesawat, kapal, kereta).
4. Malah kalo artikel di bawah ini bener, kacau negara kita gan.
Spoiler for Beda Parpol:
"Beda Kebijakan Pusat dan DKI karena SBY-Jokowi Beda Partai"
Penulis :
Fabian Januarius Kuwado
Selasa, 17 September 2013 | 08:13 WIB
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. | Robertus Belarminus
JAKARTA, KOMPAS.com — Pengamat komunikasi politik Universitas Indonesia (UI), Profesor Hamdi Moeloek, menilai lambannya koordinasi untuk mengantisipasi terbenturnya kebijakan pusat dan daerah sedikit banyak disebabkan perbedaan golongan, yakni partai politik.
"Saya curiga yang terjadi begini, kan pemerintah pusat Partai Demokrat, Jokowi itu PDI-P. Kalau dibantu, nanti seperti membesarkan anak macan. Entah itu benar atau tidak ya," ujar Hamdi saat dihubungi Kompas.com, Senin (16/9/2013) lalu.
Pernyataannya tersebut bukan tanpa dasar. Di Indonesia, perilaku sektarian atau lebih mementingkan kepentingan golongan ketimbang kepentingan publik oleh pejabat negara masih sangat kental terasa. Hal itu dapat dilihat pada DPR RI.
Hamdi menilai, munculnya sosok Jokowi dan wakilnya Basuki Tjahaja Purnama seharusnya menjadi contoh pejabat publik yang mementingkan kepentingan masyarakat ketimbang golongan. Oleh sebab itu, tak ada solusi untuk mengatasi tumpang tindih kebijakan tersebut dengan saling melaksanakan komunikasi antara pusat dan daerah. Terlebih lagi, keadaan serupa juga tidak dialami di DKI Jakarta saja, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo pun mengungkapkan hal serupa. Bahkan, bukan tak mungkin persoalan itu merupakan cermin buruknya komunikasi pusat dan daerah soal benturan itu.
"Demi kebaikan masyarakat, sudahlah. Jangan berpikir sempit. Bantu saja. Jika Jakarta berbenah, pasti jadi inspirasi bagi daerah lainnya," ujarnya.
"Sudah selayaknya pemerintah pusat berkolaborasi mengentaskan masalah bersama. Eranya kini bukan lagi kerja lamban, retorika, wacana, tapi layani publik, contoh Jokowi-Ahok," lanjutnya.
Setidaknya, ada dua kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang berbenturan dengan pemerintah pusat. Program gebrakan Jokowi-Ahok pun jadi lemah seketika. Di tengah-tengah upaya Jokowi-Ahok meminimalisasi kemacetan dengan memperbaiki transportasi umum di DKI, pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2013 tentang Regulasi Mobil Murah dan Ramah Lingkungan atau LCGC.
Soal lain, di tengah upaya Jokowi-Ahok mengatasi masalah banjir dengan normalisasi sungai dan waduk di DKI, di mana harus merelokasi warga bantaran terlebih dahulu, pemerintah pusat menerbitkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembebasan Lahan untuk Kepentingan Umum. Pembebasan lahan yang biasanya dilakukan Panitia Pembebasan Tanah di bawah gubernur pun menjadi dialihkan ke Badan Pertanahan Nasional, di bawah Kementerian Pekerjaan Umum (PU).