Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

  • Beranda
  • ...
  • The Lounge
  • kumpul kebo di gang flamboyan bebas gan, asal kalau main gak boleh ribut

ainalizaAvatar border
TS
ainaliza
kumpul kebo di gang flamboyan bebas gan, asal kalau main gak boleh ribut
Dulu tempat itu dinamakan Sarkem, singkatan Pasar Kembang. Tempat itu pernah menjadi persinggahan bagi orang-orang yang ingin merasakan kenikmatan sesaat. Banyak wanita, banyak pula pria. Itulah lokalisasi. Tapi kemudian tempat itu menjadi sepi. Mungkin karena imagenya sudah jelek. Kini namanya diubah: Gang Flamboyan. Seperti apakah kehidupan di sana. Berikut laporannya!

Gang itu sempit, sangat sempit. Seorang pengendara motor wajib turun. Bila ngeyel, bersiap-siaplah didamprat warga. Gang itu namanya Flamboyan. Saking sempitnya, setiap pengendara motor berpapasan, mereka harus ada yang mengalah. Jika tidak, salah satu tidak akan bisa berjalan. Mengalah pun juga harus berhati-hati, sebab ada got kecil di sebelahnya. Itu kalau tidak mau kecebur.

Entah bagaimana ceritanya Gang Flamboyan ini memiliki nama Flamboyan. Pastinya gang itu mempunyai sejarah yang panjang. Dulu, beberapa tahun sebelumnya, gang yang terletak di ujung Utara Jalan kondang Malioboro atau bersebelahan dengan Stasiun Tugu Yogyakarta ini, sangat tersohor.

Bila Surabaya punya Gang Dolly, Semarang punya Kawasan Sunan Kuning, Bandung punya Saritem, maka Yogjakarta punya Pasar Kembang atau yang lebih dikenal dengan sarkem yang merupakan bursa seks yang setara dengan kawasan-kawasan malam itu.

Sarkem telah menjadi sebuah kawasan malam yang sangat melegenda, mungkin hingga mancanegara. pramuriaan di kawasan ini bahkan telah berlangsung sejak jaman penjajahan Belanda.

Pasar Kembang sebenarnya adalah nama jalan yang berada tepat di bagian selatan Stasiun Kereta Api Tugu Yogyakarta. Secara administratif wilayah ini merupakan bagian dari Kecamatan Gedong Tengen, tepatnya berada di RW Sosrowijayan Kulon. Tetapi kemudian masyarakat lebih mengenal dan menyebut RW Sosrowijayan Kulon ini dengan Sarkem yang merupakan singkatan dari Pasar Kembang, ada juga yang menyebut wilayah ini dengan Gang 3, karena wilayah sarkem adalah gang ketiga dari arah Timur Jalan Pasar kembang.

Pada masa lalu daerah ini dikenal dengan Nama Balokan, karena pada saat pembangunan rel kereta api, daerah ini jadi tempat untuk menaruh semua matrial untuk pembangunan rel kereta dan Stasiun Tugu. Perubahan nama dari Balokan menjadi Pasar kembang terutama berkaitan dengan banyaknya penjual bunga yg membuka kios di sepanjang jalan ini di era 70-an.

Secara historis, Wilayah Sosrowijayan Kulon ini dikenal sebagai tempat praktek prostitusi kurang lebih sejak 125 tahun yang lalu, yaitu seiring dengan proses pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Cilacap dan Surabaya pada tahun 1884. Seiring dengan meningkatnya aktivitas pembangunan rel kereta api, berkembang juga fasilitas seperti tempat penginapan dan mulai bermunculan perempuan-perempuan yang bekerja untuk melayani pekerja bangunan di setiap wilayah yang dilalui kereta api, termasuk Yogyakarta, kompleks prostitusi ini didirikan di daerah Pasar Kembang.

Bagi lelaki-lelaki hidung belang pemuja malam tentulah Sarkem menjanjikan kenikmatan tersendiri. Di sana mereka dapat menjaring kupu-kupu malam mulai dari kelas ciblek (cilik-cilik betah melek) hingga kelas wanita paruh baya, dari kelas gopek hingga yang ratusan ribu. Di sana pula mereka dapat bermain di bilik-bilik sempit ataupun menyewa losmen atau hotel kelas melati yang bertebaran di sekitarnya.

Bagi wisatawan mancanegara, kawasan ini mungkin merupakan tempat favorit selama berwisata ke Jogja. Citarasa eksotis wanita Asia dapat mereka kecap di sini. Jadilah lokasi ini juga punya andil yang cukup banyak bagi dunia pariwisata. Maka tak mengherankan, semenjak dulu hingga sekarang Sarkem selalu bertahan sebagai kawasan malam yang melegenda.

Gang Flamboyan

Sarkem secepat kilat telah merubah lokasinya menjadi tempat paling digemari, jika orang-orang mampir ke sana. Lokalisasi Sarkem memang sudah sepi, tidak seramai dulu. Tetapi sampai sekarang kawasan tersebut tetap menjadi jujugan banyak orang.

Selain itu lokasi Sarkem memang menjadi tempat strategis. Yakni berada di sebelah Stasiun Kereta Api Tugu. Itu tempatnya lalu-lintas orang dari berbagai tempat untuk berbagai kepentingan di Yogyakarta.

Warga yang tinggal di daerah ini kemudian mengandalkan sektor wisata domestik dan kegiatan prostitusi sebagai mata pencarian, misalnya dengan menyewakan kamar termasuk untuk short time. Selain itu mereka juga menyediakan tempat tinggal untuk Pekerja Seks. Sementara RW Sosrowijayan Wetan, merupakan kampung yang pada tahun 1970an, mulai bermunculan hotel, losmen, warung dan fasilitas pariwisata lainnya, tapi sangat sedikit yang digunakan untuk akbaikas prostitusi.

Sebenarnya sudah menjadi rahasia umum bahwa dunia pariwisata ujung-ujungnya akan berkaitan dengan dunia malam atau sejenisnya. Keberadaan para wanita penghibur di sarkem sebenarnya telah berusaha ditangani oleh pemerintah daerah sejak tahun 1976. antara lain dengan penunjukkan tanah pemerintah seluas 7200 meter persegi terletak di dusun Mrican, tepatnya sebelah barat Sungai Gadjah Uwong, sebagai tempat pelaksanaan Proyek Resosialisasi Wanita Tuna Susila Yogyakarta. Diikuti dengan pemindahan mucikari beserta anak buahnya selambat-lambatnya tanggal 2 Maret 1976, pukul 24.00WIB

Seiring bergantinya waktu, Sarkem pun mulai sepi. Bahkan sebagian tempat telah banyak yang tidak berfungsi. Sejak itulah kemudian sarkem jilid II muncul. Barangkali image sarkem sudah terlanjut buruk dan kuno, kemudian muncullah Gang Flamboyan.

Gang ini sebenarnya gang RW Sosrowijayan Kulon. Cuma namanya saja yang diubah. Dinamakan Flamboyan, mungkin karena mereka ingin menyesuaikan dengan jaman yang modern. Selain itu, kenapa gang itu dinamakan flamboyan, karena memang banyak perempuan nakal yang tak lagi menjajakan dirinya di jalanan. Mereka, kini lebih masuk ke dalam. Masuk ke gang tadi. Gang Flamboyan.

Bagi sebagian orang di Yogyakarta, kehidupan masyarakat di Gang Flamboyan tak ubahnya kehidupan di lokalisasi. Di sini semua bebas. Bahkan, para pasangan muda dapat hidup sebebas-bebasnya di sini tanpa ikatan perkimpoian.

Di gang Flamboyan, tak hanya pasangan muda yang mengontrak, tapi juga para wanita malam, bekas-bekas sarkem banyak menghuni di kawasan ini. Mereka tak lagi menawarkan diri ke jalanan, justru ‘pembeli’ yang datang langsung. Rata-rata kamar yang dipakai wanita-wanita itu biasa dijadikan tempat kencan para lelaki hidung belang. Mereka bisa datang sesukanya, dan kapanpun mereka mau. Bahkan si tuan rumah tidak melarang tempatnya dijadikan mesum. Selama honornya cocok, silahkan!

“Mampir, Mas!’ begitulah sapa wanita-wanita tersebut begitu melihat orang asing memasuki gang tersebut.

“Itu si Kanti. Dan yang tadi suaranya cemeng, itu Rosa, Mas. Dua-duanya sudah lama ngontrak di sini,” demikian canda si Surti, tak lain si pemilik rumah.

Yah, di sini pemilik rumah kadang nyambi sebagai ‘mami’ atau germo. Dia juga menawarkan jasa untuk seks bagi penyewa rumahnya.

Darsono (52) ataupun Tata (61) juga tak kalah serunya. Melihat ada tamu asing, kedua germo ini langsung pasang badan. Mereka langsung keluar rumah, dan berharap rumahnya disinggahi. Di gang Flamboyan ini Darsono maupun Tata, seakan tak ada batasan waktu. Tamu-tamu boleh datang sejak terbit fajar hingga larut malam. Sama sekali tidak ada aturan yang mengikat kebebasan para tamu. Kecuali hanya selembar plakat usang yang mengingatkan tamu untuk tidak bikin keributan, serta keharusan menjaga ketertiban.

Karena itu, meski nama sarkem telah mulai surut, namun kegiatan orang-orangnya di sana tetap tidak berubah. Banyak wanita, banyak pria. Itulah Gang Flamboyan. Nyaris setiap malam di gang itu banyak orang yang hilir mudik. Mereka datang karena ingin melepas penat.

Setidaknya Sarkem tetap dengan dunianya, melepaskan syair-syair malam diantara masyarakat Jogja yang sedang berubah. Suasana semakin atraktif manakala alunan lagu Kla Project…NIKMATI BERSAMA SUASANA JOGJA memberikan nuansa khas Yogjakarta.

Mahasiswa Beranak Pinak

Gang Flamboyan semakin kental dengan bumbu-bumbu percintaan tanpa ikatan pernikahan. Dari mulai mahasiswa hingga bule-bule, semua larinya ke Gang Flamboyan. Di sini, mereka bebas beranak pinak.

Roda bisnis esek-esek yang dikelola Tata maupun Darsono di gang Flamboyan memang tak pernah berhenti berputar. Mereka sepertinya tak mengenal istilah “mandeg barang setapak”. Dalam benak mereka hanyalah duit dan duit.

“Kalau prei, bini dan anak saya lantas mau dikasih makan apa coba,” ujar Darsono bersungut-sungut.

Sekadar gambaran awal saja, begitu memasuki pukul 14.00 siang, misalnya, beberapa anak buah Tata sudah pasti mulai berbenah diri, ngeceng, dan pasang aksi di beranda depan sembari celingukan mencari mangsa.

Mendekati maghrib, kursi-kursi yang tersedia sebagian sudah terduduki tamu dan wanita-wanita penghibur. Selepas jam 7 malam, jangan tanya. Lenguhan demi lenguhan sudah pasti bakal merobek keheningan malam.

“Mari Mas, kalau mau istirahat atau tidur-tiduran di kamar,” ujar seorang pria bertampang Indo, yang tiba-tiba nongol dari ruang belakang losmen LES itu menyapa ramah.

Sementara matanya terus mengawasi seorang wanita sedang asyik mengotak-atik kemungkinan nomor togel (toto gelap) dengan ditemani dua pria muda, broker yang belakangan disebut-sebut sebagai “bojo”nya Tata langsung menyambar kursi malas dan mendudukinya sejenak.

Sesaat kemudian ia bangun dan berjalan bersijingkat ke arah seorang pemuda yang sedang duduk bagai menanti sesuatu.

“Kalau mau istirahat dan butuh ditemani, itu masih ada dua yang kosong,” ujarnya seraya menunjuk ke arah wanita yang sedang meramal nasib dengan kartu dan seorang lagi yang sendirian duduk di pintu losmen sebelah barat menghadap Gang IV.

“Di sini cuma ada enam wanita. Yang empat sedang melayani tamu di kamar. Satunya lagi sedang duduk di kursi panjang, sedang siap-siap ke kamar juga. Atau kalau cari di luar, lalu dibawa kemari juga boleh. Pokoknya terserahlah, mau yang mana,” ujar pria bertampang Indo yang masih coba memunculkan kesan keramahannya.

Sebenarnya anak buah Tata yang dipekerjakan di losmen LES itu lebih dari 13 wanita penghibur. Semuanya datang dari luar Jogja, yakni Jawa Timur. Kebanyakan mereka tidak datang sendirian tapi sengaja diambil dari beberapa lokasi pramuriaan di sana. Gampangnya, antar sesama mucikari saling “tukar guling” (anak buah) guna menyegarkan suasana.

“Misalnya, saya memberikan beberapa anak buah, lantas dari sana saya akan mengambil beberapa anak pula. Anak-anak yang baru datang dari lokalisasi di Jawa Timur itu, di sini kan jadi orang baru. Nah, biasanya kalau “orang baru”, kan tamunya pasti banyak,” ungkap Tata.

Gambaran buram di gang rumah Tata juga tak jauh berbeda dengan rumah-rumah lain yang memang banyak bertebaran di Gang Flamboyan.

Di rumah, sebut saja AP, meski di hari sore itu dari luar terlihat sepi, toh tetap ada kesibukan menarik di dalamnya.

Kursi-kursi yang tersedia sudah dipenuhi tamu dan wanita-wanita penghibur. Itu belum termasuk di kursi panjang paling timur (pojok), di mana seorang lelaki setengah tua tengah rebahan sembari tubuhnya dipijit-pijit wanita yang duduk di sebelahnya.

Malah di atas kursi tua dengan busanya yang menjulur keluar, tampak juga seorang wanita asyik merangkul pundak tamunya, tingkahnya persis layaknya sepasang remaja yang sedang kasmaran.

Sesaat kemudian, dua anak muda tiba-biba saja muncul dari tikungan yang membelok ke barat. Begitu memasuki mulut gang III, salah seorang di antara wanita yang sedari tadi bersandar di tembok spontan menghadang di tengah jalan gang.

Sudah bisa ditebak, wanita yang mengenakan celana jeans berwarna balel itu sedang pasang aksi merentang jala. Siapa tahu, salah satu di antara keduanya akan masuk perangkap rayuannya.

Tapi siapa nyana. Meski sempat terjadi dialog sejenak, ternyata kedua anak muda itu hanya saling pandang dan ketawa ngakak. Bahkan saat sang wanita sudah menggelayuti pundak salah seorang di antaranya, benteng pertahanan si anak muda itu masih terlihat kukuh. “Maaf mbak, lain kali saja ya,” kilahnya sembari coba melangkah pergi.

Tawa pun berderai di antara wanita-wanita yang sedari tadi memang ikut turut mengawasi secara telanjang terhadap prosesi tersebut. Sebaliknya si anak muda itu, dia terlihat cuek. Secuil pun tak tampak merasa tersinggung meski ledekan konyol yang tergelar di depannya sudah cukup telak.

“Uhhh! Mahasiswa-mahasiswa bokek saja masuk sini,” gerutu seorang wanita yang baru keluar dari kamar dengan rambut acak-acakan.

Ini merupakan satu kejadian yang sudah biasa di Gang Flamboyan. Seperti diungkap di atas, Gang Flamboyan tak hanya diperuntukkan bagi wanita-wanita nakal. Para pasangan ABG, mahasiswa-mahasiswi yang ingin hidup bebas, banyak ditemui di sini. Bahkan di antara mereka ada yang sudah menetap bertahun-tahun dan beranak pinak. Rata-rata mereka begitu karena hubungannya tidak direstui orangtua.

Namun ada pula pasangan yang menginap hanya sebentar, kemudian cabut lagi, menghilang entah kemana. Karena itu, sulit bagi orang asing untuk bisa mendapatkan kontrakan atau indekos di Gang Flamboyan. Sebab semua kos dan kontrakan sudah penuh, apalagi kalau hari Sabtu dan Minggu.

Untuk kos pun, kadang seseorang harus pesan dulu selama beberapa hari. Setelah itu mereka baru bisa mendapatkannya.

Jangankan orang lokal, orang bule pun juga ada yang tinggal di sini selama hampir 10 tahun. Kalau Anda masuk ke Gang Flamboyan, maka jangan heran jika melihat banyak bule-bule yang hilir mudik di sana. Karena memang mereka tinggal di sana. Pikir mereka, daripada tinggal di losmen, mending mengontrak rumah saja.

Sebut saja Goerge, demikian nama bule tengik itu. Dia sudah lama menetap di Gang Flamboyan bersama pasangan tidak resminya. Mereka hidup layaknya pasangan suami istri. Bahkan mereka juga telah dikaruniai anak.

Bahkan bule asal Amerika ini tidak mau beranjak dari tempat itu. Alasannya klise, dia sudah menyukai Jogja.

“Saya suka sekali tinggal di sini. Di sini orang-orangnya baik. Saya ingin selamanya berada di sini, mati pun di sini boleh,” kata George yang ngebet ingin menjadi WNI.

“Saya Sudah Tinggal di Sini Selama 30 Tahun”

Jeremy (45) mengaku sudah lama menetap di Yogyakarta. Warga negara Jerman ini sudah terlanjur menyukai budaya Kota Gudeg tersebut. Bahkan, dia sudah tidak mau pindah dari tempat tersebut. Baginya, Yogyakarta sudah menjadi tanah airnya.

Di Gang Flamboyan itu Jeremy tinggal. Dia, istri dan anaknya menetap di sana selama 30 tahun. Selama di sana, Jeremy dan istrinya tidak menikah sah (secara negara). Mereka hanya hidup kumpul kebo.

Meski sudah lama menetap di Gang Flamboyan, tetapi Jeremy dan istrinya masih mengontrak. “Saya dan keluarga sudah lama menetap di sini. Kami hanya indekos saja. Soalnya di sini biayanya murah,” ujar Jeremy.

Awal mula Jeremy menetap di Gang Flamboyan, lantaran dulu dia pernah berkunjung ke Indonesia. Selama berkunjung di Indonesia, Jeremy kemudian tertarik untuk menetap lama di Yogyakarta. Awalnya dia tinggal di hotel, tapi kemudian biaya di hotel sangat mahal. Kemudian dia memutuskan pindah ke motel yang agak murah.

Tetapi lama kelamaan hidup di hotel dan motel menghabiskan biaya banyak. Akhirnya atas usulan temannya, Jeremy memutuskan untuk kos. Rupanya kehidupan kos di sana membuat Jeremy betah.

“Saya putuskan untuk kos di Gang Flamboyan. Ternyata harganya murah. Saya bisa hemat banyak. Dan saya pun memutuskan untuk menetap,” kenang Jeremy yang sudah fasih berbahasa Indonesia.

Selain itu, indekos di Gang Flamboyan suasananya cukup mengasikkan. Jeremy mengaku betah indekos di lokasi tersebut karena kehidupannya sangat bebas. Bahkan, dari tempat itu Jeremy mengenal sosok wanita yang sekarang menjadi istrinya.

“Saya kenal istri saya di sini. Kami tidak menikah, tapi itu tidak masalah bagi kami. Yang jelas kami saling menyayangi satu sama lain,” tutur Jeremy.

“Setiap Malam Minggu Semua Kamar Full”

Bagi Wiwid (32), warga Gang Flamboyan, kehidupan di Sarkem tak beda jauh dengan tempat-tempat lokalisasi pada umumnya. Hanya saja suasana di Sarkem tidak seperti dulu lagi. Di sini mayoritas pendatang atau pengunjung hanya bermalam saja untuk melepas lelah.

“Dulu, di sini transaksi seks sangat ramai. Setiap orang bicara Sarkem, pasti larinya ke sini. Sekarang tidak lagi. Malam hari atau siang, suasananya biasa-biasa saja,” kata Wiwid.

Namun sepinya aktivitas Sarkem, tak membuat tempat tersebut ditinggalkan orang. Di Gang Flamboyan contohnya, di sini mulai banyak dikunjungi orang-orang setiap malam minggu. Mereka rata-rata yang datang ingin melepas penat saja.

“Ada wisatawan lokal yang berkunjung ke Yogyakarta, mereka memilih untuk kos di sini daripada di hotel. Tapi biasanya mereka harus pesan dulu jauh hari sebelumnya. Sebab, kalau sudah memasuki malam minggu, biasanya tidak ada kamar yang dikoskan karena sudah penuh,” ujar Wiwid.

Bagi pengunjung yang sekedar datang untuk menginap, mereka umumnya memesan kamar untuk tiga hari setelah itu mereka pulang. Tapi ada juga pengunjung yang menginap sekedar untuk bersenang-senang.

Wiwid menceritakan, rata-rata rumah di Gang Flamboyan memang dikontrakkan. Pengunjung pun bisa dengan bebas menempatinya, bisa dengan pasangan atau kekasihnya, atau justru dengan pasangan di sekitarnya.

Wiwid tidak menampik jika di sekitar lingkungannya banyak rumah-rumah yang menyediakan layanan kamar dan plus-plus. Tapi bedanya, transaksi di sini tidak seperti transaksi pada umumnya.

“Di sini tidak seperti Dolly yang ada wisma dan wanita-wanita yang dijejer seperti etalase. Di sini wanitanya seperti orang-orang biasa yang indekos. Kadang mereka sesekali menawarkan diri, selanjutnya ya terserah mereka dengan pelanggan,” terang wanita asal Bantul yang rumahnya juga dikontrakkan.

Sumber: http://www.siaga.co/news/2013/08/31/...k-boleh-ribut/
0
59.9K
103
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.2KThread83.7KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.