Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

mahfudmdinfoAvatar border
TS
mahfudmdinfo
Zakat dan Korupsi
Karena zakat dianggap sebagai sarana penyucian harta, bukan berarti zakat bisa memutihkan harta hasil korupsi.

Berapa pun banyaknya zakat atau sedekah yang dikeluarkan, harta hasil korupsi tidak akan pernah jadi harta yang bersih. Apalagi jika zakat itu dimaksudkan untuk “menyamarkan” apa yang jelas-jelas haram atau “memutihkan” apa yang sudah dipastikan hitam.

Bagi para koruptor, zakat itu pada praktiknya mirip seperti “uang untuk memuluskan perkara”. Mereka memang mahir menyebar uang sedemikian rupa, menanamkan jasa, ke sebanyak mungkin orang. Dengan harapan, sebaran uang itu kelak akan berguna jika satu waktu mereka ternyata dibutuhkan: baik untuk memuluskan proyek atau mengamankan perkara hukum yang sedang membelitnya.

Mahfud MD banyak menghadapi momen-momen macam itu. Saat jadi Menteri Pertahanan, banyak sekali orang yang menawarkan pemberian, baik uang atau properti. Salah satunya ternyata kelak mencuat kasusnya yaitu kasus Asabri.

Saat masih bekerja di Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud juga sering berurusan dengan upaya “menyebar uang untuk menanamkan piutang jasa” itu. Gratifikasi itu godaan paling umum. Sebelum kasus Nazaruddin mencuat, Mahfud bahkan sudah langsung melaporkan pada Presiden SBY soal kelakuan mantan bendahara Partai Demokrat yang coba memberi uang Sekjen MK, Janedjri M. Gaffar.

Untung Mahfud tak pernah mau menerima uang atau pemberian macam itu. Upaya-upaya para koruptor yang mencoba “menggoda” Mahfud itu bisa dibaca di biografi Mahfud MD berjudul “Terus Mengalir” karya Rita Triana Budiarti (penerbit Konpres, 2013).

Bedanya, zakat dan sedekah bukan diberikan pada para pejabat-pejabat, melainkan pada rakyat miskin, mereka yang masuk klasifikasi kaum mustadafin [kaun yang tertindas, kaum lemah dan dilemahkan]. Kendati demikian, situasinya tetap sama: uang haram korupsi tetap saja uang haram, walau coba dicuci dengan paket-paket sembako berlabel zakat atau sedekah. Para penerima zakat tentu tak bisa disalahkan, berbeda dengan para pejabat yang menerima “saweran uang”.

Jika zakat itu adalah syariat yang secara simbolik menunjukkan simpati dan keberpihakan Islam pada rakyat yang lemah dan tertindas, korupsi justru adalah perilaku yang secara intrinsik bertentangan dengan filosofi zakat itu tadi.

Jika zakat pada hakikatnya untuk mendorong upaya membangun pemerataan dan keadilan ekonomi, korupsi justru menghancurkan keadilan ekonomi itu. Jika zakat itu memberi, korupsi itu mengambil atau bahkan mencuri. Jika zakat itu memberi harta kita karena ada hak orang miskin di dalamnya, korupsi justru mengambil haknya orang miskin untuk memperkaya diri sendiri. Korupsi adalah tindak kejahatan yang secara sistematis justru merugikan rakyat.

Dengan wataknya yang jahat, mengambil apa yang bukan haknya, mengurangi apa yang sebenarnya adalah hak rakyat, maka korupsi sudah jelas adalah pengingkaran terhadap hakikat zakat itu sendiri. Itulah kenapa korupsi pantas disebut sebagai “kejahatan kemanusiaan” karena efek merusaknya yang luar biasa.

Dan agama bukanlah alat yang bisa digunakan untuk “memutihkan” uang jarahan hasil korupsi. Ibadah zakat bukanlah sarana untuk menyamarkan prilaku jahat macam itu.

Boleh jadi hal itulah yang menyebabkan banyak elit politik dan pejabat-pejabat kita tak begitu banyak berubah kendati sudah menggelontorkan hartanya untuk zakat fitrah atau pun zakat mal. Ibadah zakat akhirnya hanya terasa sebagai kelaziman yang hampa: sama sekali tak mengubah prilaku apa pun terkait upaya membangun keadilan sosial dan ekonomi.

Pada aspek yang lain, pemberian harta dari para pejabat, pengusaha atau orang-orang kaya seringkali justru digunakan juga untuk memantapkan posisi dan nama baik mereka di mata rakyat. Pada aspek ini, yang terjadi bukan salah kaprah “pencucian harta tidak halal”, tapi sebentuk pamrih untuk investasi politik atau motif-motif ekonomi lainnya.

Ini hal yang sedihnya sudah jadi hal lumrah di Indonesia. Banyak elit-elit yang dengan bangga membuat –misalnya- mudik bareng bersama pejabat Anu, buka bersama pejabat Anu atau bahkan pembagian zakat yang dilakukan secara besar-besaran di rumah pejabat atau orang kaya tersebut.

Beberapa tahun lalu kita mendengar acara pembagian zakat yang berakhir dengan tragedi kematian para fakir yang harus antri dan berdesak-desakan “memperebutkan” zakat. Di situ, tampak bagaimana orang yang memberi zakat justru ingin dilihat, dikenal dan dihormati. Padahal, sebaik-baiknya zakat adalah yang diserahkan langsung oleh kita kepada para penerimanya.

Praktik ini menunjukkan kondisi politik di Indonesia yang tidak sehat. Dikatakan tidak sehat karena ini menunjukkan bagaimana politik dipahami sebagai dunia transaksional. Yang dikedepankan bukan lagi visi, program atau kredibilitas yang terbangun secara konsisten dan lama, tapi popularitas yang dikatrol dengan tindakan-tindakan pseudo-populis pemberian uang, zakat, sedekah, infak, dll. Kita biasa menyebut prilaku macam itu sebagai “money politics”.

Maka penting untuk mengatakan bahwa zakat adalah ibadah yang kita tak patut berharap imbalan apa pun terhadapnya. Karena zakat adalah simbol keberpihakan Islam terhadap mereka yang lemah dan dilemahkan secara ekonomi.

Zakat bukan sarana pencucian uang atau money laundring. Zakat juga bukan alat money politics.

Sumber: mahfudmd.info
0
954
7
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.8KThread41.4KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.