Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

sasisuseoAvatar border
TS
sasisuseo
Cerita Yang Tidak Diketahui Siapapun

Hanya karena Allah, ketika aku mengagumi kepribadian
dan kefahamanmu, ketika aku selalu mendoakanmu
tanpa engkau tahu. (Anpyta)


Semoga Allah mengampuniku atas suatu perasaanku pada seseorang yang kupendam dan belum mampu kusampaikan. Seseorang yang tak pernah kutemui lagi tapi kenangan tentangnya selalu tersimpan dalam hati. Sebagai rasa syukurku atas pertemuanku dengannya, untuk semangat yang dialirkannya dan demi senyum indah yang selalu menyertainya, aku menceritakan kisah ini;

Spoiler for Mesjid Ponpes Al Barokah Cokroyasan:


Pagi itu di Pondok Al Barokah yang terletak di kelurahan Cokroyasan, Purwerejo, Jawa Tengah aku duduk mematung menatap kubah Mesjid yang sebiru langit. Aku tahu bahwa aku tak bisa melihatnya lagi dalam waktu dekat. Aku telah diijinkan pulang dari pendidikanku nyantri di pondok ini meskipun belum sepenuhnya beres.

Jika bukan karena tidak bisa kuliah, aku tidak akan terdampar disini saat itu. Ya, terdampar. Setelah lulus SMA aku hanya diberi dua pilihan, bekerja jadi tukang bangunan seperti ayahku atau nyantri gratis di pondok pesantren kenalan ayahku, dan tentu saja aku memilih jadi santri daripada kuli.

Pilihanku adalah pilihan yang tepat, setelah hampir setahun aku mondok harapan untuk kuliah muncul. Ada tawaran dari Boss ayahku untuk kuliah di STT Migas dengan syarat harus bekerja dulu di perusahaan tambang miliknya.

Meski aku tidak tertarik pada bidang pertambangan, aku menerima tawarannya karena selain menerima gaji, kuliahku juga akan dibiayai perusahaannya. Aku bersyukur kepada Allah, Dia menjawab doaku. Bukankah Allah Maha Mendengar?

Pagi itu adalah jadwal kepulanganku, rencananya aku akan naik kereta api dari stasiun Kutoarjo menuju stasiun Kiaracondong Bandung pukul 09.00 WIB. Aku akan ditemani Zaed temanku sesama orang Bandung yang ijin berlibur dulu katanya, dan seorang gadis yang dititipkan Ustadz Affan.

Aku menunggu gadis itu di bangku halaman mesjid bersama Zaed. Jam di tangan Zaed sudah menunjukkan pukul 07.30 sedangkan jika kami tak ingin terlambat seharusnya kami berangkat ke stasiun saat ini.

Akhirnya setelah setengah jam menunggu gadis itu muncul juga. Aku agak sedikit kesal tapi setelah melihatnya rasa kesalku hilang, sungguh hilang. Gadis itu bernama Ana, selain bahwa aku tahu dia juga berasal dari Bandung aku tak begitu mengenalnya. Aku agak terkejut juga bahwa gadis yang dititipkan Ustadz Affan ternyata adalah Ana.

Ana adalah salah seorang santriwati yang selama ini menjadi pusat perhatian para santri satu pondok, termasuk para Ustadz bujang. Aku sering mendengar tentangnya dari teman-temanku tapi tak pernah memperdulikannya. Menurut mereka Ana adalah tipikal wanita cantik dan baik yang ideal untuk dijadikan istri.

(Terdengar terlalu utopia, bukan? tapi mari kita doakan, semoga Allah selalu menyertainya, menyayanginya dan menjaganya, Aamiin)

“Hey bung, bila kau mempersunting Ana, tak akan pernah kau menyesalinya.” Kata seorang santri melayu.

Aku mengiyakan saja pendapat mereka meski aku sebenarnya tak pernah memperhatikan Ana, saat itu aku sedang rajin-rajinnya mengaji dan menghapal beberapa hadist, juga karena ada kebijakan yang membatasi pergaulan antara santri dan santriwati dan aku tak berani melanggarnya.

(Bukankah Allah melarang kita untuk mendekati perbuatan zina? mendekatinya saja sudah dilarang, apalagi berzina. Wa laa taqrobuz zinna innahu kana fahisyatan wa sya'a sabilan)

Tapi, ketika aku melihatnya muncul dihadapanku, aku terpesona oleh keanggunannya, mataku terbuai kesejukan yang dibawanya. Aku segera menundukkan pandanganku. Aku tak sempat menatap wajahnya karena merasa ragu dan terburu buru juga.

“ Oke deh langsung aja, kayaknya kita juga sudah telat,, “ kataku cepat.

“ Emh,, iya mas maaf tadi Ana sempat kehilangan hape,, “ katanya.

“ Hah,, hilang,,” timpal Zaed panik.

“ Iya,, tapi udah ketemu kok.” sergah Ana.

“ Ya sudah, tunggu apalagi, ayo berangkat!” kataku. Aku mugkin sedikit kasar, tapi itu karena aku gugup. Gugup karena takut terlambat kereta dan gugup karena Ana.

Kami pun berangkat, menumpangi sebuah minibus menuju ke stasiun Kutoarjo yang lumayan agak jauh. Aku pernah mengukur waktu perjalanan dari pesantren ke stasiun, lamanya kurang lebih satu jam. Aku berharap kami masih bisa tiba di stasiun sebelum terlambat. Aku sedikit cemas karena kami bahkan belum membeli tiketnya, dan aku juga tahu Zaed dan Ana merasakan kecemasan yang sama.

Kami tak mengobrol di dalam minibus, Zaed yang duduk di sampingku didekat jendela sibuk melihat jam tangannya dan sesekali melongok keluar. Ana yang duduk di seberang bangkuku menundukkan kepalanya sambil menggetar-getarkan kakinya sedangkan aku berusaha menenangkan diri dengan mencoba mencuri curi pandang ke wajahnya. (hah dasar lelaki!!!)

Sebenarnya aku merasa penasaran pada Ana, aku ingin melihat wajahnya. Membuktikan keshahihan cerita para santri yang sering membicarakannya. Bagiku ini adalah kesempatan yang bagus tapi aku belum berhasil sejauh ini. Aku juga agak sedikit tegang, ini adalah pertamakalinya aku bisa berinteraksi dengan kaum Hawa setelah lama vakum ketika berada di pondok.

Ketika aku hampir melihat wajahnya, minibus berhenti. Kami sampai di stasiun. Kami pun buru-buru turun dan berlari ke arah loket.

“ Cepet- cepet udah jam sembilan nih !” teriak Zaed.

Aku berlari dengan cepat sehingga meninggalkan mereka di belakang. Saat itu adalah tugasku untuk membeli tiket untuk kami, maka aku harus tiba lebih dulu.

“ Mba tiket ke kiaracondong tiga,, “ kataku sambil terengah engah.

“ Untuk kapan mas ?” tanya penjaga loket.

“ Yang sekarang mba,,sekarang,, “ kataku buru buru.

“Adanya yang pukul 12.35 mas,, kalau yang sekarang sudah tutup. Keretanya tuh, sudah berangkat. “ kata penjaga loket ramah sambil menunjuk ke arah rel kereta api yang tampak lenggang.

Tak ada kereta api disana. Aku kecewa, menghela nafasku lalu menghembuskannya. Aku mencoba menenangkan diri.

“Gimana gi ?” tanya Zaed yang tiba tiba datang.

“ Telat euy,,” jawabku.

Lalu Ana menghampiri kami, dia nampak kelelahan. Sekarang aku dapat melihat wajahnya dengan jelas. Keringat mengucur tipis di pelipisnya. Matanya tampak berkaca kaca seakan mau menangis.

“Telat yah ?” tanyanya ngos-ngosan.

“Iya An,, kayaknya kita harus nunggu sampai dzuhur.” Kataku.

“Maaf ya, gara gara Ana kita jadi telat,, “ kata Ana penuh penyesalan.

“Gak apa apa An, kita kan masih bisa pulang, lagi pula bukan sepenuhnya salahmu kok “ kataku mencoba menenangkannya.

“ Iya An, salah supir bisnya juga, jalannya lambat. “ kata Zaed menimpali.

Aku tersenyum mendengar perkataan Zaed. Yang lambat itukan laju bisnya, bukan supirnya yang bahkan tidak sedang berjalan, pikirku.

“ Iya An, salah keneknya juga, kerjanya cuma malakin doang.” Kataku menambahi.

Ana sedikit tersenyum tapi tidak bisa menyembunyikan rasa bersalah yang tampak di matanya.

“ Trus kumaha atuh? balik lagi ke Pondok.” Kata Zaed.

“Gimana An?” tanyaku meminta pertimbangan.

“Gak usah yah, Ana takut telat lagi.” Katanya masih merasa bersalah.

“Oke deh,, kita nunggu aja, gak apa apa kan Zaed ?” kataku.

“Ikut ajalah,, “ kata Zaed santai.

Aku berpaling dari mereka untuk menghadap ke loket. Aku segera membeli tiga tiket untuk kami dengan jam keberangkatan setelah dzuhur. Lalu aku menghadap ke arah mereka lagi. Zaed terlihat sangat santai sedangkan Ana masih ngos-ngosan. Oh kasihan gadis itu, pikirku.

“ Gimana An,, kalau kita nunggu di mushola aja sambil istirahat.” Kataku.

Ana mengangguk, tak berani menatap mataku. Sekarang aku sadar Ana memang seperti apa yang sering kudengar tentangnya. Aku melihatnya mengelap keringat di pelipisnya dengan tissue. Kulit tangan dan wajahnya tampak seputih tissue yang digenggamnya itu. Ah,, matanya juga indah, pikirku.

“Ya udah, Ayo !” kata Zaed.

Kami pun berjalan beriringan menuju mushola di dalam stasiun. Ana tampak tenang sekarang, meski aku masih melihat penyesalannya dia mulai bersemangat lagi.

“ Ana, dari Bandung mana sih ?” tanyaku.

“ Emh, gak jauh kok dari kircon, kalau mas Sugi dari mana ? “ katanya lembut.

“ Lembang dekat Tangkubanparahu,, tahu ngga ? “ kataku.

“ Ih yaa tahu atuh,, “ katanya.

“ Iya kali aja belum tahu,, soalnya si Zaed juga gak tahu,, “ kataku.

“ Iya gitu Zaed ? “ tanya Ana pada Zaed tak percaya.

“ Masa atuh orang cimahi gak tahu,, “ bantahnya.

“Tapi kan kau belum pernah kesana “ timpalku.

“ Iya tahu aja atuh dari koran,” kata Zaed tak mau kalah.

Aku menatap Ana, ada sedikit keceriaan di wajahnya sekarang. Matanya mulai berbinar binar. (Pernahkah kau melihat mata seorang gadis yang berbinar-binar? cahaya seperti itu kadang meluluhkanmu, percayalah!)

Kami masih mengobrol sampai tiba di mushola. Perbincangan terdengar sangat kaku, membosankan dan malu malu. Aku sendiri merasa menyesal sudah mengajaknya mengobrol, aku tampak bodoh dengan semua ucapanku. Ana sendiri mungkin berusaha tersenyum untuk sekedar menghargaiku, hanya Zaed saja yang merasa sangat santai. Entahlah, aku gugup.

Di Mushola tampak lebih membosankan lagi. Karpet karpetnya yang mulai lusuh membuat kami gerah melihatnya. Sedangkan di luar sana cuaca begitu cerah dan kami semua merasa lelah. Aku sendiri mulai mengantuk dan sering menguap. Zaed masih terlihat santai dan Ana sibuk dengan Hpnya. Sesekali aku keluar untuk cuci muka dan membasahi rambutku agar aku tak tertidur. Aku merasa harus tetap terbangun untuk menjaga kedua temanku ini.

Setelah sholat dzuhur, sebuah kereta api tiba. Kereta api itulah yang kami tunggu. Kami bertiga pun segera memasukinya. Suasana tampak pengap dan bau, banyak debu dan abu rokok bertebaran dilantainya.

Aku melihat ke kanan dan kiri, mencari tempat duduk yang kosong. Sudah banyak penumpang di dalam gerbong namun untungnya kami masih bisa duduk. Aku mengrahkan Ana untuk duduk bersama seorang wanita dan Zaed duduk di bangku di hadapannya. Aku sendiri duduk di seberang bangku mereka. Tak selang beberapa lama, kereta pun melaju.

Sepanjang perjalanan aku sesekali menatap Ana. Aku lihat Ana begitu asyik mengobrol dengan Zaed, kadang kadang kulihat mereka tertawa bersama. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi tapi melihat Ana, aku merasa ada yang berbeda. Ada sesuatu yang muncul tiba tiba, aku merasakannya tapi tak tahu apa itu. Ana kemudian memalingkan wajahnya padaku, menatapku. Aku bisa melihat matanya yang jernih lalu pandangan kami pun saling bertemu. Ana tersenyum padaku, tipis tapi manis.


***


Ketika itu tak hanya gerbong kereta api saja yang bergetar tapi juga hatiku. Senyuman itu, tatapan itu, telah merubah keadaan. Kepengapan jadi kesegaran, keributan jadi kesunyian, kelelahan jadi kenyamanan dan kebanyakan orang terasa hilang, yang ada hanya aku dan senyuman itu.

Namun sejujurnya aku pun merasa malu, bukan hanya karena keringatku yang mulai menguap jadi debu tapi karena senyuman itu yang tertuju padaku meski mungkin bukan untukku, entah bagaimana aku membalas senyum setulus itu aku tak memilikinya, tapi aku tersenyum juga dan mungkin hanya itu yang tersisa.

Senyumnya terasa indah memancar di wajahnya. Aku tidak bisa mengatakan apakah wajahnya cantik atau tidak, bukan karena aku tidak bisa menilai wanita tapi karena bukan itu yang membuatku tertarik. Ya, aku merasa tertarik padanya.

Spoiler for Foto Ana Yang Dicuri Dari Facebook nya:


Aku sering tertarik pada banyak wanita, beberapa diantaranya karena kecantikan wajahnya sedangkan sebagian lainnya karena penampilan mereka yang aduhai, tubuhnya yang seksi, pakaiannya yang anggun, sikapnya yang ramah dan beberapa alasan klasik lainnya. Tapi untuk Ana, ketertarikanku berbeda. Berbeda.

Semua gambaranku tentang wanita menarik itu sirna ketika aku melihat Ana untuk pertama kalinya tersenyum kepadaku. Ada perasaan berbeda yang menyinari hati gelapku.

Ada banyak kegembiraan dan rasa bersalah merasuk bersamaan kedalam jiwaku. Seperti bunga yang mekar karena siraman air dan api, itu tidak mungkin tapi aku merasakannya, bunga itu benar benar mekar. Aku bahagia melihatnya tersenyum tapi juga merasa bersalah.

Aku tak dapat mengerti darimana kebahagiaan itu tapi rasa bersalah yang kurasakan, aku mulai mengetahuinya. Sebuah syair terngiang di hatiku menyadarkanku akan rasa bersalah itu.

Entah cinta atau nafsu ?
Senyummu terasa indah bagiku,
seperti bunga yang mekar di dalam surga.
Tapi apakah aku bisa kesana?
kau tentu bidadarinya
tapi aku seorang pendosa.


Aku merasa Ana adalah wanita yang baik, bukan sekedar baik. Aku merasa siapa pun yang akan menjadi suaminya kelak sungguh beruntung mendapatkan wanita seperti Ana di zaman edan seperti ini.

Aku sebenarnya merasa ingin menjadi lelaki beruntung itu tapi aku juga merasa tak pantas, kupikir aku tak cukup baik untuknya. Bila boleh diibaratkan, aku bukanlah seorang Muhammad yang pantas bersanding bersama Aisyah tapi gambaranku mungkin adalah seperti Shafwan Ibn Al Mu’attal yang menyebabkan fitnah bagi Aisyah. (Maaf, gambaranku mungkin terlalu tinggi)

Aku jadi teringat tentang kisah fitnah itu yang diceritakan oleh Ustadz Affan di pondok. Ketika itu Aisyah Ummul Mu’minin tertinggal di belakang rombongan Nabi dalam suatu ekspedisi.

Aisyah kehilangan kalungnya yang berharga sehingga Ia mencarinya sendiri. Tanpa ada yang sadar rombongan Nabi telah meninggalkan Aisyah begitu jauh. Setelah Aisyah menemukan kalungnya, Ia sadar bahwa Ia tertinggal sendirian dan merasa tidak bisa menyusul mereka.

Aisyah berpikir bahwa rombongan Nabi akan merasa kehilangan dirinya dan mereka akan mencarinya, karena itu Ia memutuskan untuk menunggu mereka dan hari pun semakin malam. Aisyah duduk hingga tertidur. Ketika pagi Shafwan yang jauh tertinggal di belakang rombongan Nabi dan Aisyah, melewati Aisyah. Saat itu Shafwan melihat wajah Aisyah yang sedang tertidur dan segera mengenalinya.

Aisyah bangun dan melihat Shafwan, lalu tersadar bahwa wajahnya tak terhijab, Ia kemudian segera memasang purdah ke wajahnya. Shafwan yang melihat Aisyah tertinggal dari rombongan Nabi menawarinya untuk naik ke Untanya dan mengawalnya hingga menemui rombongan Nabi yang jauh di depan mereka. Aisyah menumpangi unta Shafwan sedangkan Shafwan sendiri berjalan kaki, mereka hanya berdua saja dalam perjalanan itu.

Kisah itu hampir mirip dengan keadaanku bersama Ana dalam perjalanan ini, kecuali bahwa aku tak bisa mengibaratkan unta itu sebagai Zaed temanku yang menemani kami. Aku telah melihat Ana tersenyum seperti Shafwan yang melihat Aisyah tanpa hijab di wajahnya. Aku pun merasa seperti Shafwan yang sedang mengawal Aisyah, karena Ustadz Affan menitipkan Ana padaku. Tapi aku juga merasa berdosa karena aku bukanlah orang yang pantas bagi Ana dan aku takut bila fitnah terjadi diantara kami.

Ketika Aisyah terlihat sedang bersama Shafwan berjalan beriringan menyusul rombongan Nabi, tersebar sebuah fitnah. Fitnah itu telah merusak nama baik Aisyah dan mengacaukan hubungannya dengan Nabi (meski kemudian semua menjadi baik lagi setelah Allah menurunkan ayat tentang kejadian ini dan membenarkan Aisyah yang tak bersalah).

Aku tidak ingin ada fitnah seperti itu, ataupun fitnah lainnya yang menimpakan keburukan pada Ana. Aku ingin Ana baik-baik saja. Aku mungkin tertarik padanya, tapi aku benar benar merasa tak pantas untuknya dan kerena itulah aku merasa bersalah.

Gambaran Aisyah mungkin terlalu tinggi untuknya, tapi bagiku Ana telah menjadi gambaran wanita yang baik dalam beragama. Gambaran itulah yang menjadikan perbedaan ketertarikanku pada Ana berbeda dengan ketertarikanku pada wanita lainnya. Gambaran yang tersirat di senyumnya yang indah dan dari senyuman itu pula Ana telah memberikanku banyak kenangan, banyak perasaan.

Mungkin kau akan bertanya, bagaimana mungkin senyuman seseorang akan memperlihatkan kebaikan agamanya, ketaqwaannya atau bahkan bagaimana aku bisa menilai Ana sebagai wanita yang baik dalam agamanya padahal aku tak begitu mengenalnya? kuberitahu padamu kawan, aku tidak tahu.

Insting, Naluri, atau Indra ke enam mungkin. Aku tidak tahu, aku hanya merasakannya. Merasakannya. Seperti Api mengenali Air yang memadamkannya, seperti itu pula tiba-tiba aku merasa mengenal Ana. Senyumnya telah memadamkan kobaran nafsu dalam jiwaku. Dan dari sanalah juga, Aku merasa bersalah.

Sepuluh jam perjalanan bersama Ana sungguh tak terasa. Aku tidak ingat apa yang terjadi setelah aku melihat Ana tersenyum, aku bahkan tidak ingat pada Zaed, tiba tiba saja aku sudah berada di rumah, mencatat kenangan tentangnya. Sampai disinilah kisahku dengan Ana berakhir, aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Hanya saja,, sesekali aku menuliskan puisi kerinduanku padanya.

Spoiler for NB:


Spoiler for sumber:


anasabila
anasabila memberi reputasi
1
1.8K
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.