TS
pantara
Pantara: This land is your land (Borobudur - Ranakumbolo - Madakaripura - Sempu)
akhirnya gw bisa sejenak berpisah dari jenuhnya rutinitas dan pekerjaan, menjauh dari hiruk pikuk Jakarta, bangun lebih awal untuk melihat indahnya matahari pagi, bukan diburu waktu supaya ga telat ke kantor
“akhirnya gw bisa jalan-jalan lagi…”
ane mau ngeshare nih gan tentang perjalanan kita, mulai dari mengejar sunrise Borobudur, magisnya kabut Danau Ranu Kumbolo, sampai berlumpur ria di Pulau Sempu, semoga bisa bikin agan semangat buat jalan-jalan lagi, buat ngerasain indahnya tanah kelahiran agan-agan ini, karena "this land is your land"
Enjoy..
Spoiler for DAY 1-2:
22 juni 2013 - MALIOBORO & PASAR BERINGHARJO, Yogyakarta
“Kapan ke Jogja lagi dab”slogan yang paling gw inget setiap dateng ke Jogja, ya hari ini tanggal 22 juni 2013 gw akhirnya balik lagi kesini, kota yang terkenal dengan budaya, kreatifitas, lapen dan shaggy dog-nya, “Yeah…Jogjakarta!”.
Hari itu sekitar jam 3 siang kita tiba di jogja dengan menumpang kereta fajar utama jogja, jogja memang tempat pertama dari beberapa spot liburan kita. Gw langsung menghubungi rental motor yang udah dihubungin sebelumnya buat nyewa motor, gw nyewa motor di resmile motorbike rent seharga 60rb/hari. Akhirnya gw janjian jam 4 sore di stasiun tugu, dengan meninggalkan 3 identitas asli, motor langsung gw bawa menuju WHW hotel di sosrokusuman buat check in plus naro barang bawaan.
Selesai check in, gw jalan-jalan di sekitar malioboro, menikmati sore-nya kota dan orang orang beraksen dan berbahasa jawa yang kental, becak yang berseliweran juga masih menyemarakan sore itu di malioboro. Satu satunya jalan yang punya radio sendiri ya cuma disini, dan ini tempat yang harus lo kunjungi kalo mau bawa buah tangan buat yg di rumah.
Sampai akhirnya perut udah ngerasa laper, kami akhirnya mampir ke depan pasar beringharjo buat makan nasi pecel plus lumpia goring sambil ditemani musisi jalanan yang hadir tiap 15 menit sekali. Sudah puas mengisi perut kami akhirnya kembali ke penginapan sambil kembali melewati keriuhan penghuni malioboro.
22-23 juni 2013 - CANDI BOROBUDUR, Magelang
Masih di hari yang sama, jam 7 malam kita berencana buat naik motor menuju Borobudur di magelang, menginap disana supaya besok bisa sunrise-an di Borobudur, beberapa barang yang ga perlu dibawa sengaja kita tinggal disini.
Belum jauh dari Yogyakarta, kami berhenti sebentar untuk mengisi perut dengan semangkuk mie ongklok sebagai bekal menembus dinginnya malam, ada yang menarik dari salah satu menu disini, kopi japuto. Japuto berasal dari bahasa mandarin yang berarti lumayan, kira-kira begitulah jawaban sang pemilik warung ketika kami tanyakan arti dari japuto.
Berbekal GPS dari blackberry sekitar 2 jam kita menyusuri aspal berdebu, dari sleman lurus terus menuju magelang, dan sampailah kita di pos satpam hotel manohara buat nanya tiket buat sunrise-an di Borobudur yang katanya seharga 250.000/orang, dan ternyata bener, “sh*t .. why it's so expensive!”.
Setelah diantar oleh tukang ojek sampai lah kita ke homestay rivalia, ga jauh dari areal Borobudur. Homestay yang dijaga seorang ibu tua dan suaminya sang purnawirawan berpangkat kapten. Disitu kami di tarif 200rb/malam, dengan kamar yang terbilang nyaman dan besar, malam itu ga bisa tidur terlalu malam, besok harus bangun pagi buat sunrise-an di bukit punthuk setumbu.
Tepat jam 4 pagi, kami berangkat dengan nyawa yang masih setengah menuju punthuk setumbu, butuh waktu sekitar setengah jam untuk sampai ke parkiran bukit dan dilanjutkan trekking sekitar 20 menit untuk sampai ke punthuk setumbu. Ditemani suara-suara binatang malam dan hanya bergantung pada headlamp yang terpasang di kepala untuk menerangi jalan yang kami lalui akhirnya kami sampai ke viewing point punthuk setumbu, ternyata sudah lumayan banyak orang disana dengan niat yang sama dengan kami, menunggu sang raja pagi muncul menghangatkan Borobudur.
Matahari pun menunjukan sinarnya, sekejap membuat mata kami yang terkantuk mulai terbuka sepenuhnya. Di ketinggian 400 mdpl, candi Borobudur yang megah mulai tampak ditemani kabut pagi, sebuah lanskap yang maha luar biasa.
Setelah puas memandangi kebesaran yang maha kuasa, kami pun turun menuju area candi, menyentuh tiap lekuk relief dan mencoba memahami tiap maknanya. Dengan membayar mahar 30.000 per orang, kami menjelajahi tiap tingkat candi borobudur. Setiap anak tangga yang kami lewati, setiap lorong yang kami lalui, tak ada satupun benda yang tidak membuat mata kami terpana. Sebuah cerita warisan dunia abad yang tersimpan dalam 1460 relief dan 504 stupa, tersusun rapi dengan pola punden berundak.
Berbagai versi cerita terkuak tentang asal muasal sang candi yang dibangun 3 abad sebelum Angkor Wat ini, tetapi cuma satu yang gw yakini, kita harus menjaga dan mencintai budaya ini. Mulai dari Kamadhatu sampai Arupa yang selalu akan terus menghadirkan cerita dan rahasia-nya.
“Sebuah mahakarya….”
Akhirnya kami harus kembali memacu kuda besi sewaan kami menuju Jogjakarta, sebuah tempat bekas pemandian raja dan ratu menjadi pilihan terakhir kami sebelum bergerak menuju malang.
23 juni 2013 - TAMAN SARI, Jogjakarta
Sebenernya ini bukan kali pertama gw ke taman sari, tapi sisi magis dan romantisme kolam buatan Sultan Hamengku Buwono I ini emang ga pernah bosen buat dikunjungin. Letaknya yang ga jauh dari pusat kota juga mempermudah buat mengakses ke lokasi ini, cuma beberapa menit dari alun-alun yogyakarta.
Sore itu cuaca lumayan teduh, sebelum masuk ke area taman sari kita makan baso dulu deket parkiran, puas menyantap baso dan beberapa batang rokokakhirnya kita masuk ke areal taman sari. Sayangnya hari itu area kolam sudah tutup, akhirnya kita langsung mengunjungi Sumur Gumuling atau masjid bawah tanah tempat peribadatan raja dan keluarga. Bangunan masjid dua tingkat yang memiliki sisi akustik yang baik, Jadi, ketika imam mempimpin shalat, suara imam dapat terdengar dengan baik ke segala penjuru masjid. Sekarang pun, hal itu masih dapat dirasakan, suara percakapan dari orang-orang yang jauh dari kita terasa seperti mereka ada di samping kita. Namun sayang masjid ini sekarang udah ga dipake buat tempat ibadah.
Untuk masuk ke area masjid kita bakal menyusuri lorong, yang kalau sore hari akan dipercantik oleh lampu dindingnya, untuk masuk kesini kita akan diminta sumbangan seikhlasnya, ya anggap aja berbagi rejeki buat orang yang mau ngejagain aset budaya. Sesampainya di tengah sumur gumuling yang berupa tempat berbentuk persegi dengan 5 anak tangga di sekelilingnya, coba tengadahkan kepala keatas dan “waw” langit biru dengan frame bulat dari sumur gumuling terlihat sunguh, “…awesome”.
Setelah itu kita ke bangunan tua yang bernama gedung kenongo, gedung yg konon digunakan sebagai tempat raja bersantap ini merupakan gedung tertinggi di komplek Taman Sari, tempatnya mirip kota tua gabungan gaya cina, eropa dan jawa. Disini kita bisa nikmatin sunset yang lumayan cihuy, dengan view pemandangan taman sari dan rumah-rumah disekitar.
Matahari perlahan ditelan malam, kami kembali ke penginapan WHW buat packing dan mengejar kereta malioboro express menuju malang. Sesampainya di stasiun kita sudah janjian dengan pemilik rental motor untuk mengembalikan motor sewaan. Oke, 8 jam menuju malang!.
Spoiler for DAY 3-4:
24 juni 2013 – RANU KUMBOLO, Gunung Semeru
“Bang, mandi di rakum kan?”
”Ya, mandi gw..”
”Berarti abang bakalan balik lagi kesana..”
Ingatan beberapa tahun silam tersebut, memecah lamunan saya pada malam itu, ditemani secangkir kopi panas yang tidak bosan - bosannya saya nikmati. Tepat di bibir Ranu Kumbolo yang masih tetap sama, magis.
Udara pagi Malang yang dingin menyambut kami di peron stasiun yang masih cukup sepi waktu itu. Segera kami mencari warung terdekat untuk sekedar memesan kopi atau teh cap naga guna menghangatkan badan kami yang mulai kedinginan lagi. Segelas kopi dan teh hangat yang kami daulat sebagai welcome greetings di stasiun kota malang.
Setelah melalukan tawar–menawar singkat dengan kami, Pak Haryadi, salah satu pengemudi angkutan jurusan Arjosari – Gadang yang biasa mangkal di depan stasiun, setuju untuk mengantarkan kami ke Tumpang. Diapun berbaik hati untuk mengantarkan kami lagi ke salah satu tempat tujuan kami lainnya sepulang dari TNBTS nanti, tentunya dengan harga yang cukup bersahabat. “..Lucky us”
Wilayah Tumpang merupakan titik penting untuk siapa saja yang ingin memasuki wailayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) dari Malang. Selain untuk mengganti kendaraan umum / biasa ke kendaraan yang memiliki tenaga lebih besar, Tumpang biasanya dijadikan transit untuk melengkapi perbekalan bagi pendaki – pendaki yang akan menuju kawasan Semeru. Di Tumpang ini juga kita dapat mengurus surat kesehatan dan kelangkapan berkas lainnya sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk mendaki Gunung Semeru.
Satu jam perjalanan kami akhirnya sampai di Homestay Rani. Homestay milik Pak Sarmin yang dikelola anaknya, rani, selain menyediakan penginapan juga menyediakan akomodasi perjalanan ke Bromo Semeru. Di sana mata kami tertuju ke mobil patroli TNBTS yang terparkir dengan kokoh di garasi. Usut punya usut, ternyata pak Sarmin merupakan salah satu orang yang cukup berpengaruh di kawasan TNBTS, “Bapak baru saja promosi jadi kepala resort di Bromo, setelah beberapa lama sebelumnya incharge di Ranu Pani” jawab dari salah satu anak buah Pak Sarmin.
Jeep terbuka sudah siap menunggu kami di depan, lengkap dengan carrier kami yang sudah terikat kuat diatasnya.“Hayo mas kalau sudah siap, kita berangkat” ajakan dari seorang pria asli tengger dengan garis wajah yang cukup keras, berkumis tebal, plus bekas luka jahitan di pipi, serta anting di salah satu telinganya. Adi Kuncoro, dia mengenalkan dirinya kepada kami.
“Wind in my hair.. I feel part of everywhere..”
Guaranteed milik Eddie Vedder mengalir pelan menemani kami menyusuri jalan dengan jurang – jurang yang dalam dan rimbunnya hutan, menanjak curam dengan tikungan tajamnya. Suara mesin yang menderu semakin membuat kami tambah bersemangat menikmati perjalanan ini. Beberapa kali Mas Kuncoro memainkan persneling agar jeep dapat beradaptasi dengan medan.
Setelah melalui perjalanan kurang lebih 1.5 jam akhirnya kami sampai di desa Ranu Pani. Kami pun segera menuju ke homestay Pak Tasryip, salah satu homestay yang cukup terkenal di kalangan pendaki, terutama pendaki mancanegara. Kami menitipkan beberapa barang yang tidak perlu dibawa. Setelah berpamitan dengan pemilik homestay, kami pun menuju pos pendaftaran untuk memastikan nama kami tercatat di buku daftar pengunjung Gunung Semeru.
Administrasi pendaftaran sudah dilengkapi, kami pun segera mencari warung untuk mengisi perut yang sejak malam belum terisi lagi. Nasi rawon dengan sambalnya yang menggemaskan menjadi pilihan sebelum kami memulai pendakian.
Setelah perut terisi, yang kami lakukan selanjutnya adalah mengecek perbekalan dan peralatan kami. Setelah semua siap, kami semua memanjatkan doa untuk keselamatan kami selama pendakian. Ritual lain yang tidak kalah penting adalah melakukan gambreng hore untuk membakar semangat muda kami. “Err..”
Kami semua berpandangan, mendaki gunung itu hampir sama dengan hidup, memerlukan sebuah persiapan yang matang, usaha dan tekat yang kuat, kesabaran serta kemauan yang tinggi. Ada perjuangan disana, rasa syukur atas sebuah pencapaian, sekecil apapun pencapaian itu. Selain itu yang pasti ada cinta, kebersaman dan keindahan disana.
Keindahan yang dimaksud adalah persis seperti yang ada di depan mata kami sekarang. Setelah berjalan kaki selama kurang lebih 5 jam, melintas dari satu bukit ke bukit lainnya dengan sesekali ditemani oleh hembusan kabut tipis yang seolah-olah membelai wajah lelah kami, Ranu Kumbolo pun terlihat seperti secuil surga yang jatuh ke bumi di depan kami.
Tenda sudah berdiri, dan tak lama lagi hidangan makan malam pun matang. Sangat sederhana memang menu makanan kami, tapi di gunung tidak ada makanan yang tidak enak kawan.
Cuaca cukup cerah pada malam itu, bulan purnama bersama ratusan bintang memayungi kami semua yang ada di sini. Kira–kira ada belasan tenda yang berdiri di Ranu Kumbolo saat itu. Suara riuh rendah dari masing–masing tenda terasa menghangatkan ditengah suhu dingin khas bulan Juni.
Sementara teman–teman yang lain sudah berlindung dibalik sleeping bag masing–masing, saya masih terlibat obrolan hangat dengan beberapa kawan pendaki dari Malang. Banyak yang kami bahas malam itu, mulai dari pengalaman mendaki, suka – duka dalam perjalanan, medan, cuaca, sampai dengan hal-hal ringan seperti bagaimana penggunaan kata “woles” mulai hits di kalangan arek-arek Malang.
Setelah beberapa lama mengobrol, saya pun pamit untuk kembali ke tenda. Persis beberapa langkah di depan tenda, sekali lagi saya tertegun melihat kemegahan ranu kumbolo. Masih sama, sama seperti dulu, rakum masih tersenyum kepada kami, kepada semua yang mau mengunjunginya.
Cerminan bulan purnama di atas danau dengan sedikit kabut yang menyisir diatas permukaannya membuat saya semakin bersyukur karena dapat kembali kesini lagi. Akhirnya lamunan malam saya di rakumpun pecah ketika kembali teringat ucapan kawan saya dulu. Senyum kecilpun tersimpul di bibir ini, “Yes, I’m back..”
“I'm looking to the sky to save me
Looking for a sign of life
Looking for something to help me burn out bright”
Learn To Fly – Dave Grohl
24 juni 2013 – ORO ORO OMBO, Gunung Semeru
Selamat pagi dingin, the magical Rakum siap memperlihatkan kemagisannya lagi. Bias cahaya matahari yang terbit di sela – sela cekungan bukit masih dengan kabut tipis yang menyisir diatas permukaan airnya menjadi sambutan manis untuk kami dalam memulai hari. Hari ini kami akan melihat surga lain yang jatuh tidak jauh dari Ranu Kumbolo.
Comes the morning
When I can feel
That there's nothing left to be concealed
Moving on a scene surreal
No, my heart will never
Will never be far from here
No Ceiling – Eddie Vedder
Untuk sampai kesana kami harus melewati satu tanjakan yang cukup melegenda di Gunumg Semeru, tanjakan yang penuh dengan cinta. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah, sepuluh, dua puluh langkah, fix kamipun mengalami gagal dengkul diujung tanjakan cinta tersebut.
Setelah cukup mengistirahatkan dengkul di atas bukit sambil menikmati keindahan Ranu Kumbolo dari atas, kami melanjutkan perjalanan kembali. Hanya membutuhkan beberapa langkah saja dan tujuan kami pun sudah terlihat. Sebuah savana dan padang lavender* yang cukup luas, lengkap dengan bukit hijau di sekelilingnya, ya.. oro-oro ombo adalah nama surga lain tersebut.
Dalam hitungan menit kami pun sudah berada di tengah – tengah savana yang cantik tersebut, membelah ilalang dan rimbunnya lavender yang sedang berwarna ungu di bulan Juni ini, berlari – lari kecil dengan senyum bahagia di temani 4 menit terakhir Festival dari Sigur Ros.
Di temani barisan pohon cemara dan semilir angin, kami membuka perbekalan kami yang sudah sengaja kami siapkan. Menjelang tengah hari kami memtutuskan untuk kembali ke tenda di rakum dan melanjutkan merajut langkah pulang ke Ranu Pani.
Menjelang malam, kami pun sudah sampai kembali di Homestay Pak Tasryip di Desa Ranu Pani. Pak Thomas, generasi kedua pemilik homestay menyambut kami dengan ramah dan hangat. Pembawaan beliau yang tenang mengingatkan saya pada sosok Alfred dalam film Batman.
Setelah berlama – lama mandi air hangat kami mencoba beristirahat. Kami harus menghemat tenaga, karena perjalanan belum akan berhenti disini.
(tumbuhan yang kami kira lavender, ternyata adalah Verbena brasiliensis )
Diubah oleh pantara 04-08-2013 08:00
0
9.4K
Kutip
72
Balasan
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Domestik
10.2KThread•3.6KAnggota
Urutkan
Terlama
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru