zhijianAvatar border
TS
zhijian
Paus Fransiskus: Gak Masalah Kalau Anda Atheis
Paus Fransiskus: Gak Masalah Kalau Anda Atheis
07 August 2013 | 09:36

Di era kebebasan untuk menganut sebuah agama sebagai sebuah hak dasariah yang dimiliki oleh manusia sejak ia dilahirkan, suka atau tidak suka, kita pasti akan berinteraksi, bertetangga, bahkan mungkin terlibat kerja sama dengan orang-orang beriman/mengakui adanya Tuhan (Theis) maupun yang tidak beriman (Atheis). Mungkin untuk orang Eropa yang menganggap agama sebagai urusan privat dan tidak perlu dibawa-bawa ke dalam urusan yang bersifat publik, tegangan soal theis dan atheis di antara sesamanya tidak terlalu terasa. Namun, di tengah masyarakat Timur yang identitas agama/iman harus tercantum dalam KTP atau biografi (urusan publik), tegangan soal theis dan atheis memang akan lebih terasa.

Uniknya, bagi Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik yang berkedudukan di Roma, theis atau tidak itu urusan pribadi setiap orang. Dalam sebuah kesempatan ketika sedang memimpian perayaan Ekaristi/Missa harian (Ibadah khas umat Katolik) Paus Fransiskus mengatakan dalam homilinya bahwa tidak masalah buatnya jika ada yang atheis, asal hidupnya baik dan benar. Paus menyebutkan bahwa orang-orang atheis harus dilihat sebagai orang baik bila memang berlaku baik. Jangan karena dia tidak beragama atau tidak beriman yang sama seperti kita yang mengakui beriman, amal baiknya pun dinafikan sehingga tersingkir dalam pergaulan bersama.

Menurut Paus, “Cukup lakukan hal-hal baik dan kita akan bertemu pada titik yang sama.” Artinya, jika seorang atheis, meski dia tidak secara terbuka mengakui adanya Tuhan jika ia berbuat baik, adil, dan benar terhadap sesama dan alam semesta mereka pun akan mencapai titik yang sama juga yakni kepada Tuhan yang memang sumber segala kebaikan, keindahan, kebenaran, dan keluhuran.

Apa yang disampaikan Paus ini memang dalam konteks ajaran Gereja Konsili Vatikan II yang lebih memberikan ruang inklusif kepada umat yang tidak beragama. Di dalam salah satu ajaran tersebut dikatakan bahwa umat Katolik tidak perlu terkungkung dalam kesempitan pola pikir dan menjadi eksklusif melainkan harus terbuka untuk bekerja sama dengan “siapa pun yang berkendak baik” dalam membangun tantanan dunia/situasi sosial yang lebih baik, adil, dan benar. Jangan karena perbedaan keyakinan membuat umat Katolik menutup diri terhadap relasi dengan sesama yang berbeda keyakinan dengannya termasuk dengan mereka yang memang karena berbagai faktor dan alasan tidak memiliki keyakinan agama tertentu.

Dalam garis pemikiran yang demikianlah hendaknya pernyataan Paus Fransiskus semestinya dipahami. Bahwa tidak masalah jika memang orang memilih menjadi atheis dan tidak perlu dipersoalkan keatheisannya, jika cara hidupnya baik dan mungkin saja lebih baik dari kita yang mendaku diri beragama/bertuhan. Apalagi jika ada orang-orang atheis yang memang lebih terlibat/tergerak hatinya dalam persoalan-persoalan kemanusiaan. Apakah mereka tidak akan sampai pada titik yang sama?

Hal inilah yang sekiranya menjadi muara pemikiran filosofis saat ini yang mengatakan bahwa “agama masa depan adalah kasih,” seperti yang dikatakan oleh Filsuf Postmodernisme, Jhon D.Caputo. Apa yang dikatakan oleh pemikir filsafat postmodern ini bukan bermaksud merujuk pada agama tertentu, melainkan sebuah kritik terhadap konflik-konflik berbasis agama yang marak terjadi sejak dahulu kala hingga saat ini, sehingga seolah-olah telah menjadi persoalan perenial (persoalan abadi). Menurut sang pemikir tersebut: agama akan diminati ketika para pengikutnya sungguh-sungguh mengedepankan kasih terhadap sesama manusia dan alam semesta tanpa terpasung oleh fanatisme berlebihan (mengkafirkan yang lain), atau malah melahirkan kekerasan kepada sesamanya.

Hal ini bisa mengindikasikan bahwa yang namanya hati yang penuh kasih bisa saja dimiliki juga oleh orang-orang tidak beragama tetapi sangat concern dengan persoalan-persoalan kemanusiaan (humanis atheis). Bagi mereka, daripada beragama kemudian malah memasung kebebasan mereka dalam mengekspresikan kasih kepada setiap makhluk tanpa dibatasi sekat-sekat agama, lebih baik mengaku atheis tetapi bisa berbuat kasih kepada semakin banyak orang tanpa harus terkungkung dalam sekat-sekat agama atau tidak beragama.

Wajah agama yang disampaikan oleh filsuf postmodern ini menjadi sebuah autokritik bagi agama dan umat beragama: “sejauh mana oleh kenyakinan dan ajaran agamaku, dunia ini menjadi semakin lebih baik, kemanusiaan semakin dihargai, alam semesta semakin dipulihkan dari kerusakannya?”

Karena itu, apa yang disampaikan oleh Paus Fransiskus dalam kesempatan tersebut menjadi autokritik juga bagi umat beragama Katolik: “apakah dengan keyakinanku, hatiku menjadi lebih terbuka untuk berbuat baik kepada siapa pun tanpa memandang keyakinan atau ketidakyakinannya akan Tuhan?” Sebab kita diundang untuk menjadi sempurna sebagaimana Allah itu sempurna yang menerbitkan matahari dan menurunkan hujan yang sama kepada setiap makhluknya tanpa memandang seperti apakah setiap makhluk-Nya itu.

Oleh karena itu, musuh utama yang mesti diperangi oleh umat beragama bukanlah atheisme atau orang-orang yang berkeyakinan lain tetapi ketidakadilan, ketidakbenaran, korupsi, ketiadaan cinta, perusakkan alam semesta yang kian masif, dll. Kehadiran kaum humanis atheis justru bisa menjadi kritik sosial bagi keseriusan umat beragama untuk mewujudkan kasih bagi segenap makhluk ciptaan Tuhan tanpa kecuali demi membangun tatanan dunia yang lebih baik, harmonis, dan menjadi surga di bumi bagi segenap makhluk.

Sumber:
independent.co.uk
Dokumen Konsili Vatikan II
Jhon D. Caputo, Agama Cinta, Agama Masa Depan, ter.Mizan, Bandung: 2003


SUMBER

Komentar TS:
Semoga semua agama memiliki pemimpin yang bersikap inklusif seperti itu, sehingga semua agama akan dipandang dengan nama baik dan dapat menjadi promotor bagi perdamaian dunia yang sudah plural ini.

Gw bukanlah merupakan seorang umat Katholik, tetapi gw salut dengan pemikiran Paus Fransiskus yang sudah mencapai tahap "pencerahan". Selama ini, gw punya banyak teman beragama Katholik, dan gw melihat perubahan besar dalam perkembangan teologi Katholik dalam usahanya beradaptasi dengan perubahan-perubahan zaman di abad ke-21 ini.

Seandainya pemimpin umat Islam, Kristen, Buddha, dan Hindu di Indonesia juga berpikiran sama seperti Paus Fransiskus, makanya bisa dipastikan alangkah damainya Indonesia kita.

Bukankah kita selalu menginginkan perdamaian di negeri ini?

Sekedar info, KTP gw Buddha, ayah dan ibu gw Konghucu, paman dan bibi gw muslim, dan istri gw Kristen. Jadi gw bukan mempromosikan agama apapun di thread ini. Sekedar hanya berbagi dan menginspirasi sebuah kebaikan.
0
5.6K
49
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita Luar Negeri
Berita Luar NegeriKASKUS Official
79KThread10.8KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.