Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

mo130311Avatar border
TS
mo130311
Pengabdian Perawat di Mata Dokter
Pengabdian Perawat di Mata Dokter

Jarang terdengar di telinga kita, bagaimana seorang perawat yang merupakan partner dokter dalam bekerja. Tidak mudah, mereka juga memiliki peran yang tidak mudah ketika di kondisikan untuk bekerja di layanan primer, seperti puskesmas. Bagaimana peran mereka dalam kondisi sulit, dalam keadaan emergency.

Seperti perawat di puskesmas tempat saya bekerja saat ini, usia mereka sebagian besar masih muda sekitar 20-23 tahun, dan beberapa ada juga perawat senior. Dengan usia semuda itu untuk di kecamatan (desa) mereka tinggal (dimana warga rata-rata dengan pendidikan rendah) mereka memiliki niat yang besar untuk bekerja. Mereka rela mengasingkan diri dari teman-teman mereka, yang rata-rata pada usia tersebut setelah lulus SMA lebih banyak berhura-hura. Mereka asingkan diri mereka dari kegiatan ‘nongkrong’ di pinggir jalan, balap-balapan di tengah malam. Tidak pernah sedikitpun terlintas di pikiran mereka untuk seperti itu, mereka sebaliknya lebih tertarik dengan mencari pendapatan sendiri untuk membantu keluarga dan tabungan masa depan kelak. Menikah di usia muda? Seperti yang biasanya terjadi di daerah desa seperti ini, juga belum menjadi prioritas utama mereka. Karir untuk usia semuda mereka merupakan hal wajib bagi mereka, untuk mereka cari terlebih dahulu.

Bagaimana dengan gaji mereka? Gaji yang mereka dapatkan hanya 1/3 dari gaji buruh saat ini (gaji buruh sekitar Rp 1.700.000,00 per bulan). Bahkan itupun baru mereka dapatkan di bulan ke-3 dengan pembayaran rapel, atau bisa lebih lama, tergantung kapan anggaran dari dinas kesehatan setempat turun untuk puskesmas tersebut. Uang mereka per bulan hanya bersumber dari jasa pelayanan pasien umum yang datang untuk berobat (dalam hal ini kartu jamkesmas tidak kena jasa pelayanan) dan asuhan keperawatan ( pasien rawat inap). Itu juga harus mereka bagi untuk berdelapan orang, sehingga satunya mereka hanya dapat uang Rp. 150.000,00 – Rp. 200.000,00/bulan. Ingin berharap gaji bisa naik? Tidak bisa, karena ketika awal masuk mereka sudah menanda tangani perjanjian untuk tidak meminta gaji naik.

Bagaimana beban kerja? Beban kerja jauh dari “santai” jika kita bandingkan dengan gaji kecil yang mereka peroleh. Satu shift jaga harus bekerja selama 7 jam non-stop. Belum lagi jika mereka mendapatkan shift malam, mereka tentu harus menambah jam kerja menjadi 12 jam. Lingkungan tempat kerja juga jauh dari sisi kesehatan dan keselamatan kerja (K3), hal tersebut bisa dibuktikan dengan perlindungan terhadap petugas kesehatan sangat minim, alat pelindung diri seperti sandal dan handskun terbatas dan kadang tidak tersedia, pembersih tangan antiseptik juga tidak disediakan. Mereka hanya menggunakan sabun-sabun pewangi saja. Padahal ada begitu begitu banyak darah yang bertumpahan, yang tentunya sangat mengancam kesehatan mereka.

Pasien yang datang ke IGD pada malam hari, juga rata-rata anak muda seusia mereka. Anak-anak muda tersebut ke IGD karena kecelakaan lalu lintas, mungkin karena membawa motor secara ugal-ugalan. Tidak jarang tercium bau alkohol dari mulut mereka yang mungkin menyebabkan kecelakaan terjadi. Dan akhirnya, perawat ini pun yang membersihkan luka anak-anak tersebut di tengah malam, handskun bekaspun hanya mereka celupkan menggunakan alcohol untuk dapat digunakan lagi. Pasien yang dirawat pun lagi-lagi merupakan pasien jamkesmas, dimana pelayanan jasa untuk berobat gratis.

Belum lagi pasien-pasien jamkesmas yang datang dengan kendaraan, dan mungkin penghasilan secara ekonomi keluarganya lebih tinggi dibanding perawat-perawat ini. Tuntutan pasien jamkesmas yang seolah-olah menjadi raja pun juga harus di layani. Pasien sering juga mengeluh diperlakukan tidak sama, sehingga memicu konflik, dan merekalah (perawat) yang harus menanggungnya. Namun, bagaimana bisa memperlakukan setiap pasien dengan optimal jika pasien yang perlu ditangani bisa mencapai 80 per harinya dan hanya tersedia 5 kasur di ruang IGD?

Keluarga pasien yang sering komplain atas kerja perawat tersebut lagi-lagi juga semakin menjadi beban mereka, yang harus mereka pikul sendiri. Sebelum di adakannya program dokter internship di puskesmas tersebut, merekalah yang dipaksakan menjadi dokter, seolah-olah ilmu mereka dimanfaatkan sebagai tenaga ahli. Tentu kompetensi antara dokter dan perawat tidak bisa disamakan, bukan berarti perawat tidak mengerti soal penyakit dan terapi, namun mereka memang dikondisikan untuk bekerja sesuai dengan ilmu yang mereka dapatkan dan wewenang yang bisa mereka lakukan berdasarkan ilmu tersebut. Oleh karena itu, jelas sekali, bahwa mereka tidak bisa dibebankan untuk mengganti peran seorang dokter.

Seperti inilah dampaknya pemanfaatan dan aplikasi program pemerintah yang tidak sesuai dengan prosedurnya. Hanya melihat dari satu sisi tanpa memperhatikan sisi lainnya. Apakah program jaminan kesehatan ini hanya merupakan unsur politik? Agar dapat menarik simpati rakyat miskin? Biarkan pemimpin tidak bermoral yang bertanggung jawab kelak. Obat-obatan dan tenaga medis tidak sesuai dengan tuntutan pasien berkunjung yang beragam. Pendapatan pekerja, keselamatan, dan kesehatan juga jauh dari batas yang layak dengan risiko-risiko dari berbagai macam penyakit.

“Hanya pengabdian ke masyarakat dan pengalaman” Ya, kata-kata itu tidak pernah berubah ketika sering saya tanyakan apa alasan mereka untuk bekerja disini. (@mfachrezaa)

Sumber: disini
0
5.1K
10
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.4KThread84.4KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.