- Beranda
- The Lounge
KESALAHAN DI BULAN RAMADHAN (KEBANYAKAN MUSLIM TAK TAHU)
...
TS
alteizen_Riesse
KESALAHAN DI BULAN RAMADHAN (KEBANYAKAN MUSLIM TAK TAHU)
Bismillahirrahman nirrahim
berpegang pada surat Al-Ashr untuk selalu saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran
bahwa dalam menjalani perintah agama, yang Afdal adalah yang berdasarkan AlQuran dan hadits dan sunnah dan Bukan dari "Kata bapak saya" atau Bukan dari "Dari dulu juga begini"
Doa Berbuka Puasa yang Terkenal di Tengah Masyarakat
Lafazh pertama:
اَللهُم لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْت
”Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka.”
Doa ini merupakan bagian dari hadits dengan redaksi lengkap sebagai berikut:
عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ، أَنهُ بَلَغَهُ أَن النبِي صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: اَللهُم لَكَ صُمْتُ، وَ عَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Dari Mu’adz bin Zuhrah, sesungguhnya telah sampai riwayat kepadanya bahwa sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau membaca (doa), ‘Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthortu-ed’ (ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka).”[1]
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud, dan dinilai dhaif oleh Syekh al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud.
Penulis kitab Tahdzirul Khalan min Riwayatil Hadits hawla Ramadhan menuturkan, “(Hadits ini) diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunannya (2/316, no. 358). Abu Daud berkata, ‘Musaddad telah menyebutkan kepada kami, Hasyim telah menyebutkan kepada kami dari Hushain, dari Mu’adz bin Zuhrah, bahwasanya dia menyampaikan, ‘Sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau mengucapkan, ‘Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu.’”[2]
Mua’dz ini tidaklah dianggap sebagai perawi yang tsiqah, kecuali oleh Ibnu Hibban yang telah menyebutkan tentangnya di dalam Ats-Tsiqat dan dalam At-Tabi’in min Ar-Rawah, sebagaimana al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Tahdzib at-Tahdzib (8/224).[2]
Dan seperti kita tahu bersama bahwa Ibnu Hibban dikenal oleh para ulama sebagai orang yang mutasahil, yaitu bermudah-mudahan dalam menshohihkan hadits-ed.
Keterangan lainnya menyebutkan bahwa Mu’adz adalah seorang tabi’in. Sehingga hadits ini mursal (di atas tabi’in terputus). Hadits mursal merupakan hadits dho’if karena sebab sanad yang terputus. Syaikh Al Albani pun berpendapat bahwasanya hadits ini dho’if.[3]
Hadits semacam ini juga dikeluarkan oleh Ath Thobroni dari Anas bin Malik. Namun sanadnya terdapat perowi dho’if yaitu Daud bin Az Zibriqon, di adalah seorang perowi matruk (yang dituduh berdusta). Berarti dari riwayat ini juga dho’if. Syaikh Al Albani pun mengatakan riwayat ini dho’if.[4]
Di antara ulama yang mendho’ifkan hadits semacam ini adalah Ibnu Qoyyim Al Jauziyah.[5]
Lafazh kedua:
اللّهُم لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْت
“Allahumma laka shumtu wa bika aamantu wa ‘ala rizqika afthortu” (Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku beriman, dan dengan rizki-Mu aku berbuka).”
Mulla ‘Ali Al Qori mengatakan, “Tambahan ‘wa bika aamantu‘ adalah tambahan yang tidak diketahui sanadnya, walaupun makna do’a tersebut shahih.”[6]
Artinya do’a dengan lafazh kedua ini pun adalah do’a yang dho’if sehingga amalan tidak bisa dibangun dengan do’a tersebut.
YANG BENAR
Berbuka Puasalah dengan Doa-doa Berikut Ini
Do’a pertama:
Terdapat sebuah hadits shahih tentang doa berbuka puasa, yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ذَهَبَ الظمَأُ، وابْتَلتِ الْعُرُوقُ، وثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَاللهُ
“Dzahabazh zhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah-ed.”
[Telah hilanglah dahaga, telah basahlah kerongkongan, semoga ada pahala yang ditetapkan, jika Allah menghendaki](Hadits shahih, Riwayat Abu Daud [2/306, no. 2357] dan selainnya; lihat Shahih al-Jami’: 4/209, no. 4678) [7]
Periwayat hadits adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma. Pada awal hadits terdapat redaksi, “Abdullah bin Umar berkata, ‘Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau mengucapkan ….‘”
Yang dimaksud dengan إذا أفطر adalah setelah makan atau minum yang menandakan bahwa orang yang berpuasa tersebut telah “membatalkan” puasanya (berbuka puasa, pen) pada waktunya (waktu berbuka, pen). Oleh karena itu doa ini tidak dibaca sebelum makan atau minum saat berbuka. Sebelum makan tetap membaca basmalah, ucapan “bismillah” sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِىَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللهِ تَعَالَى فِى أَولِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللهِ أَولَهُ وَآخِرَهُ
“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah Ta’ala. Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah Ta’ala di awal, hendaklah ia mengucapkan: “Bismillaahi awwalahu wa aakhirohu (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya)”. (HR. Abu Daud no. 3767 dan At Tirmidzi no. 1858. At Tirmidzi mengatakan hadits tersebut hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih)
Adapun ucapan وثبت الأجر maksudnya “telah hilanglah kelelahan dan telah diperolehlah pahala”, ini merupakan bentuk motivasi untuk beribadah. Maka, kelelahan menjadi hilang dan pergi, dan pahala berjumlah banyak telah ditetapkan bagi orang yang telah berpuasa tersebut.
Do’a kedua:
Adapun doa yang lain yang merupakan atsar dari perkataan Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma adalah,
اَللهُم إني أَسْألُكَ بِرَحْمَتِكَ التِي وَسِعَتْ كُل شَيْءٍ، أنْ تَغْفِرَ لِيْ
“Allahumma inni as-aluka bi rohmatikal latii wasi’at kulla syain an taghfirolii-ed”
[Ya Allah, aku memohon rahmatmu yang meliputi segala sesuatu, yang dengannya engkau mengampuni aku](HR. Ibnu Majah: 1/557, no. 1753; dinilai hasan oleh al-Hafizh dalam takhrij beliau untuk kitab al-Adzkar; lihat Syarah al-Adzkar: 4/342) [8]
Takbir dilakukan DENGAN SUARA KERAS, tapi secara SENDIRI-SENDIRI (meskipun masing-masing menjaharkan takbir-nya)
Hal ini sebagaimana yang disebutkan IMAM SYAFI’IY dalam musnad-nya, keika beliau MERIWAYATKAN dari Anas bin Malik, bahwa ia menceritakan bahwa para sahabat ketika bersama nabi pada saat bertakbir, ada yang sedang membaca Allahu akbar, ada yang sedang membaca laa ilaaha illa Allah, dan satu sama lain tidak saling menyalahkan…
(Lihat Musnad Imam Syafi’i 909; kutip dari muslim.or.id)
Lihat para shahabat diatas TIDAK SATU SUARA, tidak pula DENGAN SISTEM KOMANDO!
Berkata Syaikh ibn Baz rahimahullaah:
“Dan sifat takbir yang masyru (yang disyari’atkan/sesuai syari’at), ialah setiap muslim bertakbir dan mengeraskan suaranya sehingga orang-orang mendengarkan takbirnya, lalu merekapun mencontohnya dan ia mengingatkan mereka dengan takbir.”
2. Wanita pun disyari’atkan untuk bertakbir, akan tetapi dengan SUARA YANG LIRIH
Ummu Athiyah mengatakan,
“Kami, para wanita, diperintahkan oleh berangkat shalat Ied sampai sampai kami mengajak para gadis bahkan wanita yang sedang dalam kondisi haid. Mereka berada di belakang banyak orang lalu mereka pun bertakbir dengan takbir jamaah laki laki”
[HR Bukhari no 971 dan Muslim no 890; dan dalam salah satu redaksi Muslim, “Para wanita bertakbir bersama banyak orang”]
An Nawawi dalam Syarh Muslim 6/429 setelah membawakan hadits di atas mengatakan,
“Hadits ini adalah dalil bahwa bertakbir itu dianjurkan bagi semua orang ketika Iedul Fitri atau pun Iedul Adha dan ini adalah hukum yang disepakati”.
(kutip dari ustadzaris)
Ibnu Rajab al Hanbali dalam Fathul Bari 6/130 mengatakan,
“Tidak ada perselisihan pendapat diantara ulama bahwa jamaah wanita itu bertakbir bersama jamaah laki laki jika mereka shalat berjamaah dengan jamaah laki laki. Akan tetapi ketika bertakbir jamaah wanita sedikit melirihkan suaranya”.
(kutip dari ustadzaris)
3. Kekeliruan: apabila bertakbir dengan SATU SUARA, atau dengan SISTEM KOMANDO
Hal ini menyelisihi amalan nabi shallallaahu ‘alayhi wa sallam dan juga para shahabatnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh IMAM SYAAFI’IY diatas.
Telah ada fatwa dari Lajnah Daa-imah akan hal ini:
Tapi takbir bersama dengan satu suara tidak disyariatkan. Bahkan cara itu merupakan bid’ah. Karena telah sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang mengada-ada pada urusan agama kami ini tanpa ada landasannnya, maka hal itu tertolak”.
Amalan itu tidak pernah dilakukan oleh generasi As-Salaf Ash-Shalih, baik dari kalangan sahabat Nabi, tabi’in maupun tabi’i-tabi’in. Padahal mereka itu sebagai teladan. Yang wajib ialah ittiba (menuruti dalil) serta tidak ibtida (mengada-ada) terhadap agama ini.
Dan kepada Allah-lah kita mengharapkan taufiq. Semoga Allah memberikan shalawat dan salam kepad nabi kita Muhammad, para keluarganya serta para sahabatnya.
[Fatawa Lajnah Da’imah 8/311-312 No. 9887; dikutip dari almanhaj]
Berkata Syaikh ibn Baz rahimahullah:
“Adapun takbir jama’i yang mubtada’ (yang bid’ah), ialah adanya sekelompok jama’ah –dua orang atau lebih banyak- mengangkat suara semuanya. Mereka memulai bersama-sama dan berakhir bersama-sama dengan satu suara serta dengan cara khusus.
Amalan ini tidak mempunyai dasar serta tidak ada dalilnya. Hal seperti itu merupakan bid’ah dalam cara bertakbir. Allah tidak menurunkan dalil keterangan untuknya. Maka, barangsiapa yang mengingkari cara takbir yang seperti ini, berarti dia berpihak kepada yang haq, karena sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
من عمل عملا ليس عليه أمر نا فهو رد
“Barangsiapa yang mengamalkan amalan yang tidak berlandaskan perintah kami, maka amalan itu ditolak”.
Maksudnya : Tertolak dan tidak masyru
Dan karena sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
وأيا كم ومحدشات ا لأمور فاءن كل محد شة بد عة وكل بدعة ضلا لة
“Waspadalah terhadap segala urusan yang diada-adakan, karena semua yang diada-adakan adalah bid’ah dan semua bid’ah sesat”.
Dan takbir jama’i diada-adakan, maka amalan ini bid’ah. Amalan manusia jika menyalahi syari’at, maka wajib diingkari. Karena ibadah bersifat tauqifiyyah. Yaitu ibadah itu tidak disyariatkan, kecuali yang tercakup dalam dalil Al-Kitab dan As-Sunnah. Adapun (berhujjah dengan) perkataan dan pendapat manusia, maka tidak ada nilai hujjahnya jika menyalahi dalil-dalil syar’i. Begitu juga al-mashlahah al-mursalah, ibadah tidak bisa ada dengan berpatokan padanya. Karena ibadah hanya ditetapkan dengan nash dari Al-Kitab dan As-Sunnah serta ijma’ yang qath’i.
Yang disyariatkan ialah setiap muslin bertakbir sesuai dengan cara yang masyru, yang sah berdasarkan dalil-dalil syar’i. Yaitu dengan cara sendiri-sendiri (masing-masing).”
Berkata Syaikh al Albaaniy:
“…mengeraskan takbir disini tidak disyari’atkan berkumpul atas satu suara sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Demikian pula setiap dzikir yang disyariatkan untuk mengeraskan suara ketika membacanya atau tidak disyariatkan mengeraskan suara, maka tidak dibenarkan berkumpul atas satu suara seperti yang telah disebutkan. Hendaknya kita hati-hati dari perbuatan tersebut!”
[Silsilah Al Hadits As-Shahihah 91/121; kutip dari almanhaj]
Berkata Syaikh ibnul ‘Utsaimiin:
Yang nampak (benar), bahwa takbir bersama-sama pada hari-hari Ied tidaklah masyru. Ajaran sunnah dalam takbir ini, ialah setiap orang bertakbir dengan suara yang keras. Masing-masing bertakbir sendiri.
[Al-Kalimaat An-Nafi’aat Haula Ba’dli Al Bida’i wa Al-Munkarat Al-Waq’ah hal.26; kutip dari almanhaj]
4. Kekeliruan: apabila bertakbir dengan MENGGUNAKAN MIKROFON
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Di sebagian tempat, pad hari ied sebelum shalat, imam takbir dengan microphone dan orang-orang yang hadir pun mengikutinya. Bagaimana hukum akan ini ?
Beliau menjawab:
Cara takbir yang disebutkan oleh penanya tidak ada contohnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Adapun menurut sunnah (ajaran) Nabi setiap orang bertakbir sendiri.
[Fatawa Arkanul Isam, hal 399]
Sesungguhnya mereka yang menggunakan mikrofon ini, ada beberapa kelompok; diantara mereka ada yang memang sudah TERBIASA dengan dzikir jama’iy, sehingga tidak heran, mereka pun melakukan hal ini. Namun diantara mereka justru ada orang yang MENGINGKARI penggunaan mikrofon pada dzikir setelah shalat.
Maka kita tanyakan: “Mengapa engkau membedakan antara ini (takbiran dengan mikrofon) dan itu (dzikir setelah shalat dengan mikrofon)? Sebagaimana kita TIDAK SETUJU dengan orang-orang yang berdzikir setelah shalat MENGGUNAKAN MIKROFON. Maka, kita pun TIDAK SETUJU dengan orang-orang yang TAKBIRAN dengan menggunakan MIKROFON.”
Berikut beberapa alasan, yang semoga dengan ini hatimu lapang dengannya:
1. Dzikir setelah shalat, seperti halnya takbiran, adalah amalan INDIVIDU, bukan Jama’iy. Dengan digunakannya mikrofon, maka akan menggiring jama’ah menjadikan dzikir tersebut menjadi dzikir berjama’ah. Dan ini MENYELISIHI SUNNAH
2. Dengan menggunakannya pula, maka akan terjadi sistem “komando”, si pemegang mikrofon berdzikir/takbir, kemudian diikuti jama’ah. Dan INI MENYELISIHI SUNNAH. Maka bagaimana lagi jika penggunaan ini SENGAJA DIMAKSUDKAN agar orang2 berdzikir/takbiran secara berjama’ah/satu suara atau secara komando!?
3. Dengan menggunakannya pula, maka ini AKAN MENGGANGGU kaum muslimin yang sedang bertakbir dengna takbirnya!
4. Jika dikatakan, “Kita tidak memaksudkan agar menjadi ‘sistem komando’ atau jadi ‘satu suara’…” atau dikatakan “dan kita menutup peluang agar tidak menjadi sistem komando”
Maka kita jawab: “Itu hanya perkataan secara TEORITIS-nya saja, secara RIIL? Lihatlah bagaimana ketika orang yang takbiran dengan mikrofon memulai takbir, maka TIBA-TIBA jama’ah menjadi SATU SUARA. Jama’ah yang sedang dipertengahan takbir, tiba-tiba mengulangnya dari awwal untuk “menyelaraskan/menyeragamkan” suara takbiran yang ada di mikrofon. Dan ini NYATA!”
5. Jika dikatakan, “Tapi kalau demikian, maka tidak ada yang berdzikir!” atau dikatakan “Tapi ini dilakukan agar kaum muslimin berdzikir, bukannya diam saja”
Dijawab: Bukankah seperti itu pula alasan mereka yang dzikir setelah shalat dengan menggunakan mikrofon? Sebagaimana kita tidak setuju hal demikian dilakukan pada dzikir setelah shalat; maka kita pun tidak setuju pada hal takbiran atau talbiyah! Mengapa engkau menerapkan STANDAR GANDA dalam dua hal ini?!
6. Jika dikatakan: “kan untuk pengajaran”
Pengajaran kok berulang-ulang? Lagian kaum muslimin mana yang tidak tahu lafazh takbir ‘ied?
7. Jika ada yang meng-qiyas-kan dengan “adzan”.
Hal ini dijawab:
Perlu dipahami bahwa cara melakukan takbir hari raya tidak sama dengan cara melaksanakan adzan. Dalam syariat adzan, seseorang dianjurkan untuk melantangkan suaranya sekeras mungkin. Oleh karena itu, para juru adzan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Bilal, dan Abdullah bin Umi Maktum ketika hendak adzan mereka naik, mencari tempat yang tinggi. Tujuannya adalah agar adzan didengar oleh banyak orang.
Namun ketika melakukan takbir hari raya, tidak terdapat satupun riwayat bahwa Bilal naik mencari tempat yang tinggi dalam rangka melakukan takbiran. Akan tetapi, beliau melakukan takbiran di bawah dengan suara keras yang hanya disengar oleh beberapa orang di sekelilingnya saja.
Oleh karena itu, melakukan takbir hari raya tidaklah seperti melakukan adzan. Karena dua syariat ini adalah syariat yang berbeda.
(Dari artikel Takbiran Hari Raya — Muslim.Or.Id)
Maka qiyas yang digunakan mereka, adalah QIYAS MA’AL FAARIQ (melakukan analogi dengan perbandingan yang tidak sepadan atau yang berbeda jenis)
5. Kekeliruan: apabila pria TIDAK MENGERASKAN takbirnya dan/atau wanita yang MENGERASKAN takbirnya
Hal ini dikarenakan telah menyelisihi sunnah yang telah dicontohkan Rasuulullaah dan para shahabatnya, sebagaimana telah dipaparkan diatas.
periwayatan doa tahniah ied yang dijelaskan oleh Jubair bin Nufair
"Adalah para sahabat Rasulullah saw apabila saling bertemu satu sama lain pada hari raya ied, erkata yang satu pada yang lainnya, Taqabbalallahu minna wa mnkum. (semoga Allah menerima amal ibadah kami dan engkau)." Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan,
"Kami telah meriwayatkannya dalam al-mahamiliyat dengan sanad hasan," (lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bari, II:446)
Keterangan:
Al-Mahamiliyat atau disebut juga al-ajzaa al-mahamiliyat dan Amali al-Mahamili, berisi riwayat orang-orang Baghdad dan Asbahan, karya Abu Abdullah al-Husein bin Ismail in Muhammad al-Baghdadi al-Mahamiil
Dalam riwayat Abul Qasim al-Mustamli dengan redaksi
"Semoga Allah menerima ibadah kami dan kalian" (Lihat, Hasyiah at Thahawi 'ala al-Maraqi, II:527)
Dalam riwayat lain ditreangkan dari Shafwan bin Amr as Saksaky berkata:
"Aku mendengar Abdulah bin Bisr, Abdurahman bin 'Aidz, Jubair bin Nufair dan Khalid bin Ma'dan bahwa pada hari-hari ied dikatakan kepada mereka Taqabbalallahu minna waminkum, dan mereka pun mengucapkan seperti itu kepada yang lainnya."
Demikian pula diterangkan oleh Muhammad bin Ziyad, ia berkata:
"Aku beserta Abu Umamah al-Bahili dan yang lainnya dari kalangan para sahabat Nabi Saw. mereka itu apabila pulang dari shalat Ied saling mengucapkan "Taqabbalallahu minna waminka" (HR. Ibnu Aqil, al-Fathurrabbani, VI:157)
Dari berbagai keterangan diatas dapat diambil kesimpulan:
pengamalan doa tahniah, baik iedul Fitri maupun iedul Adha, berdasarkan amal sahabat.
Pengamalan doa ini tidak hanya berlaku hari ied saja (hari itu saja)
Redaksi doa Tahniah adalah Taqabbalallahu minna wa minka atau Taqabbalallahu minna wa minkum. Sedangkan tambahan shiyaman wa shiyamakum tidak ditemukan periwayatannya (karena tidak perlu ada tambahan lagi.)
kalau pake shiyamana wa shiyamakum, berarti anda mengkhususkan hanya ibadah shaum saja yang diterima sedangkan ibadah sholat, zakat, dll di bulan ramadhan tidak didoakan.
doa tahniah ini saling diucapkan antara satu dengan yang lain ketika bertemu, bukan sebagai jawaban. Sedangkan membalas doa ini dengan ucapan "aammien" tidak ditemukan riwayatnya
bersambung...
berpegang pada surat Al-Ashr untuk selalu saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran
bahwa dalam menjalani perintah agama, yang Afdal adalah yang berdasarkan AlQuran dan hadits dan sunnah dan Bukan dari "Kata bapak saya" atau Bukan dari "Dari dulu juga begini"
Spoiler for Doa_Berbuka:
Quote:
Doa Berbuka Puasa yang Terkenal di Tengah Masyarakat
Lafazh pertama:
اَللهُم لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْت
”Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka.”
Doa ini merupakan bagian dari hadits dengan redaksi lengkap sebagai berikut:
عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ، أَنهُ بَلَغَهُ أَن النبِي صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: اَللهُم لَكَ صُمْتُ، وَ عَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Dari Mu’adz bin Zuhrah, sesungguhnya telah sampai riwayat kepadanya bahwa sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau membaca (doa), ‘Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthortu-ed’ (ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka).”[1]
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud, dan dinilai dhaif oleh Syekh al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud.
Penulis kitab Tahdzirul Khalan min Riwayatil Hadits hawla Ramadhan menuturkan, “(Hadits ini) diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunannya (2/316, no. 358). Abu Daud berkata, ‘Musaddad telah menyebutkan kepada kami, Hasyim telah menyebutkan kepada kami dari Hushain, dari Mu’adz bin Zuhrah, bahwasanya dia menyampaikan, ‘Sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau mengucapkan, ‘Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu.’”[2]
Mua’dz ini tidaklah dianggap sebagai perawi yang tsiqah, kecuali oleh Ibnu Hibban yang telah menyebutkan tentangnya di dalam Ats-Tsiqat dan dalam At-Tabi’in min Ar-Rawah, sebagaimana al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Tahdzib at-Tahdzib (8/224).[2]
Dan seperti kita tahu bersama bahwa Ibnu Hibban dikenal oleh para ulama sebagai orang yang mutasahil, yaitu bermudah-mudahan dalam menshohihkan hadits-ed.
Keterangan lainnya menyebutkan bahwa Mu’adz adalah seorang tabi’in. Sehingga hadits ini mursal (di atas tabi’in terputus). Hadits mursal merupakan hadits dho’if karena sebab sanad yang terputus. Syaikh Al Albani pun berpendapat bahwasanya hadits ini dho’if.[3]
Hadits semacam ini juga dikeluarkan oleh Ath Thobroni dari Anas bin Malik. Namun sanadnya terdapat perowi dho’if yaitu Daud bin Az Zibriqon, di adalah seorang perowi matruk (yang dituduh berdusta). Berarti dari riwayat ini juga dho’if. Syaikh Al Albani pun mengatakan riwayat ini dho’if.[4]
Di antara ulama yang mendho’ifkan hadits semacam ini adalah Ibnu Qoyyim Al Jauziyah.[5]
Lafazh kedua:
اللّهُم لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْت
“Allahumma laka shumtu wa bika aamantu wa ‘ala rizqika afthortu” (Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku beriman, dan dengan rizki-Mu aku berbuka).”
Mulla ‘Ali Al Qori mengatakan, “Tambahan ‘wa bika aamantu‘ adalah tambahan yang tidak diketahui sanadnya, walaupun makna do’a tersebut shahih.”[6]
Artinya do’a dengan lafazh kedua ini pun adalah do’a yang dho’if sehingga amalan tidak bisa dibangun dengan do’a tersebut.
YANG BENAR
Berbuka Puasalah dengan Doa-doa Berikut Ini
Do’a pertama:
Terdapat sebuah hadits shahih tentang doa berbuka puasa, yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ذَهَبَ الظمَأُ، وابْتَلتِ الْعُرُوقُ، وثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَاللهُ
“Dzahabazh zhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah-ed.”
[Telah hilanglah dahaga, telah basahlah kerongkongan, semoga ada pahala yang ditetapkan, jika Allah menghendaki](Hadits shahih, Riwayat Abu Daud [2/306, no. 2357] dan selainnya; lihat Shahih al-Jami’: 4/209, no. 4678) [7]
Periwayat hadits adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma. Pada awal hadits terdapat redaksi, “Abdullah bin Umar berkata, ‘Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau mengucapkan ….‘”
Yang dimaksud dengan إذا أفطر adalah setelah makan atau minum yang menandakan bahwa orang yang berpuasa tersebut telah “membatalkan” puasanya (berbuka puasa, pen) pada waktunya (waktu berbuka, pen). Oleh karena itu doa ini tidak dibaca sebelum makan atau minum saat berbuka. Sebelum makan tetap membaca basmalah, ucapan “bismillah” sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِىَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللهِ تَعَالَى فِى أَولِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللهِ أَولَهُ وَآخِرَهُ
“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah Ta’ala. Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah Ta’ala di awal, hendaklah ia mengucapkan: “Bismillaahi awwalahu wa aakhirohu (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya)”. (HR. Abu Daud no. 3767 dan At Tirmidzi no. 1858. At Tirmidzi mengatakan hadits tersebut hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih)
Adapun ucapan وثبت الأجر maksudnya “telah hilanglah kelelahan dan telah diperolehlah pahala”, ini merupakan bentuk motivasi untuk beribadah. Maka, kelelahan menjadi hilang dan pergi, dan pahala berjumlah banyak telah ditetapkan bagi orang yang telah berpuasa tersebut.
Do’a kedua:
Adapun doa yang lain yang merupakan atsar dari perkataan Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma adalah,
اَللهُم إني أَسْألُكَ بِرَحْمَتِكَ التِي وَسِعَتْ كُل شَيْءٍ، أنْ تَغْفِرَ لِيْ
“Allahumma inni as-aluka bi rohmatikal latii wasi’at kulla syain an taghfirolii-ed”
[Ya Allah, aku memohon rahmatmu yang meliputi segala sesuatu, yang dengannya engkau mengampuni aku](HR. Ibnu Majah: 1/557, no. 1753; dinilai hasan oleh al-Hafizh dalam takhrij beliau untuk kitab al-Adzkar; lihat Syarah al-Adzkar: 4/342) [8]
Spoiler for gema_takbir:
Quote:
Takbir dilakukan DENGAN SUARA KERAS, tapi secara SENDIRI-SENDIRI (meskipun masing-masing menjaharkan takbir-nya)
Hal ini sebagaimana yang disebutkan IMAM SYAFI’IY dalam musnad-nya, keika beliau MERIWAYATKAN dari Anas bin Malik, bahwa ia menceritakan bahwa para sahabat ketika bersama nabi pada saat bertakbir, ada yang sedang membaca Allahu akbar, ada yang sedang membaca laa ilaaha illa Allah, dan satu sama lain tidak saling menyalahkan…
(Lihat Musnad Imam Syafi’i 909; kutip dari muslim.or.id)
Lihat para shahabat diatas TIDAK SATU SUARA, tidak pula DENGAN SISTEM KOMANDO!
Berkata Syaikh ibn Baz rahimahullaah:
“Dan sifat takbir yang masyru (yang disyari’atkan/sesuai syari’at), ialah setiap muslim bertakbir dan mengeraskan suaranya sehingga orang-orang mendengarkan takbirnya, lalu merekapun mencontohnya dan ia mengingatkan mereka dengan takbir.”
2. Wanita pun disyari’atkan untuk bertakbir, akan tetapi dengan SUARA YANG LIRIH
Ummu Athiyah mengatakan,
“Kami, para wanita, diperintahkan oleh berangkat shalat Ied sampai sampai kami mengajak para gadis bahkan wanita yang sedang dalam kondisi haid. Mereka berada di belakang banyak orang lalu mereka pun bertakbir dengan takbir jamaah laki laki”
[HR Bukhari no 971 dan Muslim no 890; dan dalam salah satu redaksi Muslim, “Para wanita bertakbir bersama banyak orang”]
An Nawawi dalam Syarh Muslim 6/429 setelah membawakan hadits di atas mengatakan,
“Hadits ini adalah dalil bahwa bertakbir itu dianjurkan bagi semua orang ketika Iedul Fitri atau pun Iedul Adha dan ini adalah hukum yang disepakati”.
(kutip dari ustadzaris)
Ibnu Rajab al Hanbali dalam Fathul Bari 6/130 mengatakan,
“Tidak ada perselisihan pendapat diantara ulama bahwa jamaah wanita itu bertakbir bersama jamaah laki laki jika mereka shalat berjamaah dengan jamaah laki laki. Akan tetapi ketika bertakbir jamaah wanita sedikit melirihkan suaranya”.
(kutip dari ustadzaris)
3. Kekeliruan: apabila bertakbir dengan SATU SUARA, atau dengan SISTEM KOMANDO
Hal ini menyelisihi amalan nabi shallallaahu ‘alayhi wa sallam dan juga para shahabatnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh IMAM SYAAFI’IY diatas.
Telah ada fatwa dari Lajnah Daa-imah akan hal ini:
Tapi takbir bersama dengan satu suara tidak disyariatkan. Bahkan cara itu merupakan bid’ah. Karena telah sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang mengada-ada pada urusan agama kami ini tanpa ada landasannnya, maka hal itu tertolak”.
Amalan itu tidak pernah dilakukan oleh generasi As-Salaf Ash-Shalih, baik dari kalangan sahabat Nabi, tabi’in maupun tabi’i-tabi’in. Padahal mereka itu sebagai teladan. Yang wajib ialah ittiba (menuruti dalil) serta tidak ibtida (mengada-ada) terhadap agama ini.
Dan kepada Allah-lah kita mengharapkan taufiq. Semoga Allah memberikan shalawat dan salam kepad nabi kita Muhammad, para keluarganya serta para sahabatnya.
[Fatawa Lajnah Da’imah 8/311-312 No. 9887; dikutip dari almanhaj]
Berkata Syaikh ibn Baz rahimahullah:
“Adapun takbir jama’i yang mubtada’ (yang bid’ah), ialah adanya sekelompok jama’ah –dua orang atau lebih banyak- mengangkat suara semuanya. Mereka memulai bersama-sama dan berakhir bersama-sama dengan satu suara serta dengan cara khusus.
Amalan ini tidak mempunyai dasar serta tidak ada dalilnya. Hal seperti itu merupakan bid’ah dalam cara bertakbir. Allah tidak menurunkan dalil keterangan untuknya. Maka, barangsiapa yang mengingkari cara takbir yang seperti ini, berarti dia berpihak kepada yang haq, karena sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
من عمل عملا ليس عليه أمر نا فهو رد
“Barangsiapa yang mengamalkan amalan yang tidak berlandaskan perintah kami, maka amalan itu ditolak”.
Maksudnya : Tertolak dan tidak masyru
Dan karena sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
وأيا كم ومحدشات ا لأمور فاءن كل محد شة بد عة وكل بدعة ضلا لة
“Waspadalah terhadap segala urusan yang diada-adakan, karena semua yang diada-adakan adalah bid’ah dan semua bid’ah sesat”.
Dan takbir jama’i diada-adakan, maka amalan ini bid’ah. Amalan manusia jika menyalahi syari’at, maka wajib diingkari. Karena ibadah bersifat tauqifiyyah. Yaitu ibadah itu tidak disyariatkan, kecuali yang tercakup dalam dalil Al-Kitab dan As-Sunnah. Adapun (berhujjah dengan) perkataan dan pendapat manusia, maka tidak ada nilai hujjahnya jika menyalahi dalil-dalil syar’i. Begitu juga al-mashlahah al-mursalah, ibadah tidak bisa ada dengan berpatokan padanya. Karena ibadah hanya ditetapkan dengan nash dari Al-Kitab dan As-Sunnah serta ijma’ yang qath’i.
Yang disyariatkan ialah setiap muslin bertakbir sesuai dengan cara yang masyru, yang sah berdasarkan dalil-dalil syar’i. Yaitu dengan cara sendiri-sendiri (masing-masing).”
Berkata Syaikh al Albaaniy:
“…mengeraskan takbir disini tidak disyari’atkan berkumpul atas satu suara sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang. Demikian pula setiap dzikir yang disyariatkan untuk mengeraskan suara ketika membacanya atau tidak disyariatkan mengeraskan suara, maka tidak dibenarkan berkumpul atas satu suara seperti yang telah disebutkan. Hendaknya kita hati-hati dari perbuatan tersebut!”
[Silsilah Al Hadits As-Shahihah 91/121; kutip dari almanhaj]
Berkata Syaikh ibnul ‘Utsaimiin:
Yang nampak (benar), bahwa takbir bersama-sama pada hari-hari Ied tidaklah masyru. Ajaran sunnah dalam takbir ini, ialah setiap orang bertakbir dengan suara yang keras. Masing-masing bertakbir sendiri.
[Al-Kalimaat An-Nafi’aat Haula Ba’dli Al Bida’i wa Al-Munkarat Al-Waq’ah hal.26; kutip dari almanhaj]
4. Kekeliruan: apabila bertakbir dengan MENGGUNAKAN MIKROFON
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya:
Di sebagian tempat, pad hari ied sebelum shalat, imam takbir dengan microphone dan orang-orang yang hadir pun mengikutinya. Bagaimana hukum akan ini ?
Beliau menjawab:
Cara takbir yang disebutkan oleh penanya tidak ada contohnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Adapun menurut sunnah (ajaran) Nabi setiap orang bertakbir sendiri.
[Fatawa Arkanul Isam, hal 399]
Sesungguhnya mereka yang menggunakan mikrofon ini, ada beberapa kelompok; diantara mereka ada yang memang sudah TERBIASA dengan dzikir jama’iy, sehingga tidak heran, mereka pun melakukan hal ini. Namun diantara mereka justru ada orang yang MENGINGKARI penggunaan mikrofon pada dzikir setelah shalat.
Maka kita tanyakan: “Mengapa engkau membedakan antara ini (takbiran dengan mikrofon) dan itu (dzikir setelah shalat dengan mikrofon)? Sebagaimana kita TIDAK SETUJU dengan orang-orang yang berdzikir setelah shalat MENGGUNAKAN MIKROFON. Maka, kita pun TIDAK SETUJU dengan orang-orang yang TAKBIRAN dengan menggunakan MIKROFON.”
Berikut beberapa alasan, yang semoga dengan ini hatimu lapang dengannya:
1. Dzikir setelah shalat, seperti halnya takbiran, adalah amalan INDIVIDU, bukan Jama’iy. Dengan digunakannya mikrofon, maka akan menggiring jama’ah menjadikan dzikir tersebut menjadi dzikir berjama’ah. Dan ini MENYELISIHI SUNNAH
2. Dengan menggunakannya pula, maka akan terjadi sistem “komando”, si pemegang mikrofon berdzikir/takbir, kemudian diikuti jama’ah. Dan INI MENYELISIHI SUNNAH. Maka bagaimana lagi jika penggunaan ini SENGAJA DIMAKSUDKAN agar orang2 berdzikir/takbiran secara berjama’ah/satu suara atau secara komando!?
3. Dengan menggunakannya pula, maka ini AKAN MENGGANGGU kaum muslimin yang sedang bertakbir dengna takbirnya!
4. Jika dikatakan, “Kita tidak memaksudkan agar menjadi ‘sistem komando’ atau jadi ‘satu suara’…” atau dikatakan “dan kita menutup peluang agar tidak menjadi sistem komando”
Maka kita jawab: “Itu hanya perkataan secara TEORITIS-nya saja, secara RIIL? Lihatlah bagaimana ketika orang yang takbiran dengan mikrofon memulai takbir, maka TIBA-TIBA jama’ah menjadi SATU SUARA. Jama’ah yang sedang dipertengahan takbir, tiba-tiba mengulangnya dari awwal untuk “menyelaraskan/menyeragamkan” suara takbiran yang ada di mikrofon. Dan ini NYATA!”
5. Jika dikatakan, “Tapi kalau demikian, maka tidak ada yang berdzikir!” atau dikatakan “Tapi ini dilakukan agar kaum muslimin berdzikir, bukannya diam saja”
Dijawab: Bukankah seperti itu pula alasan mereka yang dzikir setelah shalat dengan menggunakan mikrofon? Sebagaimana kita tidak setuju hal demikian dilakukan pada dzikir setelah shalat; maka kita pun tidak setuju pada hal takbiran atau talbiyah! Mengapa engkau menerapkan STANDAR GANDA dalam dua hal ini?!
6. Jika dikatakan: “kan untuk pengajaran”
Pengajaran kok berulang-ulang? Lagian kaum muslimin mana yang tidak tahu lafazh takbir ‘ied?
7. Jika ada yang meng-qiyas-kan dengan “adzan”.
Hal ini dijawab:
Perlu dipahami bahwa cara melakukan takbir hari raya tidak sama dengan cara melaksanakan adzan. Dalam syariat adzan, seseorang dianjurkan untuk melantangkan suaranya sekeras mungkin. Oleh karena itu, para juru adzan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Bilal, dan Abdullah bin Umi Maktum ketika hendak adzan mereka naik, mencari tempat yang tinggi. Tujuannya adalah agar adzan didengar oleh banyak orang.
Namun ketika melakukan takbir hari raya, tidak terdapat satupun riwayat bahwa Bilal naik mencari tempat yang tinggi dalam rangka melakukan takbiran. Akan tetapi, beliau melakukan takbiran di bawah dengan suara keras yang hanya disengar oleh beberapa orang di sekelilingnya saja.
Oleh karena itu, melakukan takbir hari raya tidaklah seperti melakukan adzan. Karena dua syariat ini adalah syariat yang berbeda.
(Dari artikel Takbiran Hari Raya — Muslim.Or.Id)
Maka qiyas yang digunakan mereka, adalah QIYAS MA’AL FAARIQ (melakukan analogi dengan perbandingan yang tidak sepadan atau yang berbeda jenis)
5. Kekeliruan: apabila pria TIDAK MENGERASKAN takbirnya dan/atau wanita yang MENGERASKAN takbirnya
Hal ini dikarenakan telah menyelisihi sunnah yang telah dicontohkan Rasuulullaah dan para shahabatnya, sebagaimana telah dipaparkan diatas.
Spoiler for ucapan_tahniah:
Quote:
periwayatan doa tahniah ied yang dijelaskan oleh Jubair bin Nufair
"Adalah para sahabat Rasulullah saw apabila saling bertemu satu sama lain pada hari raya ied, erkata yang satu pada yang lainnya, Taqabbalallahu minna wa mnkum. (semoga Allah menerima amal ibadah kami dan engkau)." Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan,
"Kami telah meriwayatkannya dalam al-mahamiliyat dengan sanad hasan," (lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bari, II:446)
Keterangan:
Al-Mahamiliyat atau disebut juga al-ajzaa al-mahamiliyat dan Amali al-Mahamili, berisi riwayat orang-orang Baghdad dan Asbahan, karya Abu Abdullah al-Husein bin Ismail in Muhammad al-Baghdadi al-Mahamiil
Dalam riwayat Abul Qasim al-Mustamli dengan redaksi
"Semoga Allah menerima ibadah kami dan kalian" (Lihat, Hasyiah at Thahawi 'ala al-Maraqi, II:527)
Dalam riwayat lain ditreangkan dari Shafwan bin Amr as Saksaky berkata:
"Aku mendengar Abdulah bin Bisr, Abdurahman bin 'Aidz, Jubair bin Nufair dan Khalid bin Ma'dan bahwa pada hari-hari ied dikatakan kepada mereka Taqabbalallahu minna waminkum, dan mereka pun mengucapkan seperti itu kepada yang lainnya."
Demikian pula diterangkan oleh Muhammad bin Ziyad, ia berkata:
"Aku beserta Abu Umamah al-Bahili dan yang lainnya dari kalangan para sahabat Nabi Saw. mereka itu apabila pulang dari shalat Ied saling mengucapkan "Taqabbalallahu minna waminka" (HR. Ibnu Aqil, al-Fathurrabbani, VI:157)
Dari berbagai keterangan diatas dapat diambil kesimpulan:
pengamalan doa tahniah, baik iedul Fitri maupun iedul Adha, berdasarkan amal sahabat.
Pengamalan doa ini tidak hanya berlaku hari ied saja (hari itu saja)
Redaksi doa Tahniah adalah Taqabbalallahu minna wa minka atau Taqabbalallahu minna wa minkum. Sedangkan tambahan shiyaman wa shiyamakum tidak ditemukan periwayatannya (karena tidak perlu ada tambahan lagi.)
kalau pake shiyamana wa shiyamakum, berarti anda mengkhususkan hanya ibadah shaum saja yang diterima sedangkan ibadah sholat, zakat, dll di bulan ramadhan tidak didoakan.
doa tahniah ini saling diucapkan antara satu dengan yang lain ketika bertemu, bukan sebagai jawaban. Sedangkan membalas doa ini dengan ucapan "aammien" tidak ditemukan riwayatnya
bersambung...
0
3.8K
Kutip
25
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
923KThread•83KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru