Terdapat satu sungai besar yang melintas di tengah-tengah hutan Tumbang Koling. Dulu masyarakat menggunakannya sebagai jalur transportasi air menuju daerah atau desa lainnya, sehingga hanya sungai ini dulunya menjadi penyambung satu tempat ke tempat lainnya. Ini memudahkan alur perdagangan antar desa dan kehidupan lain pada jamannya.

Sebagaimana layaknya orang Dayak pada umumnya di Kalimantan yang kebanyakan membangun rumah di tepian sungai, masyarakat Koling pun demikian. Rumah-rumah mereka pun di bangun di bantaran sungai. Hal ini bukan tidak beralasan. Lihat saja mulai dari air untuk masak, mandi bahkan toilet mereka bangun di atas sungai. Kebiasaan masyarakat lokal yang mencari ikan dan membuat keramba ikan di sungai juga menjadi faktor penting adanya sungai ini.

Selain sungai, hutan Koling menyimpan berbagai jenis tanaman obat-obatan dari berbagai jenis daun dan kulit pohon. Tanaman ini senantiasa digunakan oleh masyarakat pada masanya untuk mengobati berbagai jenis penyakit.

Hutan Koling memberi banyak peluang kehidupan bagi banyak mahluk hidup, seperti beruang, rusa, macan dahan, orangutan, trenggiling dan masih banyak satwa lainnya yang bergantung pada hutan ini. Masyarakat Koling pun menggantungkan kehidupannya pada hutan ini untuk mengolah kayu menjadi bahan rumah mereka, membuat ladang padi, kebun sayur, kebun getah karet dan masih banyak lagi. Kebiasaan masyarakat berburu untuk mendapatkan lauk-pauk bagi keluarganya juga bergantung pada hutan Koling yang menyimpan berbagai jenis satwa di dalamnya.

Saat ini hutan Koling mulai berkurang sedikit demi sedikit karena terus menerus dialihkan fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit. Hutan ini mungkin menjadi satu-satunya hutan terakhir yang tersisa di daerah kecamatan Cempaka Hulu. Hutan Koling terus mengecil layaknya sebuah pulau yang dikelilingi lautan sawit. Betapa tidak, 3 raksasa penghancurkan hutan yaitu PT.TASK, PT.NKU, PT.WNA terus menggunduli hutan-hutan yang tersisa. Bahkan PT.NKU saat ini menurunkan 11 monster barunya untuk mempercepat kehancuran hutan Koling. Jutaan pepohonan diratakan dengan tanah disertai hilangnya ribuan hektar hutan yang hidup berabad-abad lamanya bersama masyarakat Koling.

Ketika hutan tempat tinggal mereka hancur maka tiada tempat lagi bagi mahluk hidup di dalamnya untuk lari kecuali lautan sawit. Namun saat itu terjadilah para pekerja sawit layaknya penjagal dengan pisau besar mereka menunggu untuk membantai apa saja yang keluar dari hutan itu.

Ketika hutan Koling hancur maka masyarakat Koling akan merasakan dampaknya secara langsung. Sungai yang menjadi sumber air bagi mereka tercemar, berlumpur, keruh dan apabila musim kemarau tiba tidak ada lagi air sungai yang mengalir karena sumber mata air di hulu sungai yang dulunya terletak di hutan Koling sudah tidak ada lagi.

Dahulu apa pun yang di butuhkan bisa didapatkan di hutan atau setidaknya bisa bercocok tanam sendiri. Kini saat perusahaan sawit meratakan hutan dan mengambil tanah mereka tak ada lagi tempat untuk meletakan sebiji benih padi gunung atau di sawah sekali pun. Masyarakat harus membeli apapun untuk mencukupi kebutuhan mereka mulai dari air, beras, sayur, lauk lauk bahkan bahan bangunan rumah yang sebelumnya semua itu bisa mereka dapatkan dengan mudah andai saja hutan Koling masih ada.



sumber