Siapa yang tak kenal nama William
“Bill” Shankly. Bagi pecinta
sepakbola yang relatif baru, nama
Bill Shankly mungkin terdengar
asing. Tapi bagi pecinta Liverpool FC, Bill Shankly dipuji seperti malaikat. Dia dianggap sebagai pelatih terbesar. Selama membesut “The Reds” dari 1959 hingga 1974, Shankly telah menghadiahi pendukung
Liverpool 3 gelar Liga Inggris, 2 Piala FA, 3 Charity Shields, dan 1 Piala UEFA. Harap dicatat, bukan raihan gelar itu yang membuat pendukung Liverpool rela mendirikan monumen untuk mengenang Shankly. Pria yang
meninggal pada 1981 tersebut
dianggap sebagai peletak fondasi
kebesaran Liverpool.




Kebesaran Bill Shankly terbukti
hingga kini, betapa selain pola dasar permainan sepakbolanya - the five-a- side games atau passing game- yang sampai kini dianggap sebagai salah satu ilmu “wajib” bagi pesepakbola, namun juga karena filosofinya tentang sepakbola. Seringkali kata-
katanya dikutip dan dianggap
ucapan suci yang harus dianut.

Salah satu kutipan dari Bill Shankly
yang terkenal adalah “If you can’t
support us when we lose or draw ,
don’t support us when we win”. Bagi Bill, arti kata “mendukung” bukan hanya sekedar berteriak senang ketika timnya menang. Butuh keberanian yang sangat besar untuk mendukung tim yang sedang terpuruk. Seorang suporter harus memiliki kesabaran, menunggu dan
melihat perkembangan bakat-bakat baru, ide dan masa depan baru dari sebuah tim.

Sepakbola Indonesia seakan
diuji untuk membenarkan teorema
suporter dari Bill Shankly. Dalam
siaran langsung friendly match
Indonesia melawan Vietnam di
Gelora Bung Tomo Surabaya, ada
sebuah moment mengharukan yang tertangkap kamera televisi. Sosok pelatih Indonesia, Nil Maizar terlihat menitikkan airmata saat lagu Indonesia Raya dikumandangkan.





Dari berjuta pasang mata yang
menyaksikan siaran langsung
tersebut, tentulah ada juga berjuta
komentar tentang air mata Nil
Maizar. Wajar, karena siapa saja juga bisa terharu jika lagu Indonesia Raya dinyanyikan. Mengharukan, karena sangat jarang orang menyaksikan
pelatih sepakbola bisa meneteskan
airmata saat lagu kebangsaan
dinyanyikan. Atau mungkin acuh tak acuh, karena menganggap peristiwa itu bukanlah esensi dari sebuah pertandingan sepakbola.

Namun, bagi saya, air mata Nil
Maizar lebih dari sekedarmomen
haru dan patriotisme atas nyanyian
Indonesia Raya. Itu adalah
ungkapan hati sang pelatih. Disaat
tim yang dilatihnya sedang
menghadapi ujian dan beban berat, Nil masih bisa melihat sebuah asa, bahwa masih banyak suporter yang mengerti filosofi Bill Shankly diatas, “If you can’t support us when we lose or draw , don’t support us when we win”.

Timnas Indonesia sedang
terpuruk, itu tak dapat disangkal.
Ditambah perpecahan di tubuh
federasi sepakbolanya, seakan
lengkap sudah penderitaan tim yang dilatih Nil. Beban untuk
membalikkan cemoohan, bahwa
timnas saat ini tak lebih dari
sekedar tim ‘tarkam’ memberatkan
setiap pemain. Tuntutan untuk
meraih prestasi, sekaligus
memperbaiki harga diri timnas yang sedang terperosok. Dan sore itu, gemuruh suara suporter yang
menyanyikan lagu Indonesia Raya,
menyadarkan Nil bahwa mereka,
pemain dan segenap pelatih timnas Indonesia, tidak lagi sendirian saat mereka merangkak menjemput mimpi prestasi yang diinginkan.

Mungkin Nil belum mencapai tahap sufistis sepakbola sebagaimana Bill Shankly, yang menganggap sepakbola itu jauh lebih besar dari sekedar
persoalan hidup dan mati. Tapi bagi Nil, jabatan pelatih timnas yang diembankan di pundaknya tak
ubahnya seperti seorang prajurit
yang ditugaskan ke medan perang.
Yang ketika akan diberangkatkan,
dinyanyikanlah lagu kebangsaan
sebagai penyemangat juang. Maka,
jatuhlah air mata Nil Maizar, karena ia, dan juga mereka para pemain timnas, adalah seorang pejuang.