Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

bamsaidjempolAvatar border
TS
bamsaidjempol
Menyoal Wajah Surabaya 13 Tahun yang lalu
Menyoal Wajah Surabaya 13 Tahun yang laluSurabaya tidak sertamerta menjadi kota metropolis yang seindah dan setertata saat ini. Banyak proses yang dijalani sehingga segala permasalahan yang komplek teratasi. Pengatasan masalah tersebut justru terjadi pada tahun 2002, di saat Bambang DH menerima mandat sebagai walikota Surabaya.
Masalah-maslah tersebut hampir menjangkiti semua bidang. Yang pertama, di bidang infrastruktur. Dalam periode itu nyaris tak ada satupun pembangunan infrastruktur. Kalaupun dianggapmasih ada, pengembangan infrastruktur itu lebih bersifat tambal sulam dan dengan kualitas pengerjaan yang memprihatinkan. Jangan heran bila banjir besar mulai melanda Surabaya pada 2001.
Untuk masalah fiskal, Surabaya pada masa itu juga melempem. Padahal, papan-papan reklame tekah diobral habis-habisan. Bukannya memberi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang signifikan, usaha itu malah membuat wajah kota kian semrawut.
Dan yang ketiga, Surabaya saat itu menjadi kota sampah. Pemerintahan Kota (Pemkot) gagal melakukan negosiasi dengan warga Keputih, Kecamatan Sukolilo, kawasan yang semula menjadi Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Akibatnya, sampah tertahan di tempatnya masing-masing, sehingga gundukan sampah menjadi pemandangan yang lazim di depan rumah-rumah warga. Saat itu, penduduk Surabaya menghasilkan sampah rata-rata tujuh ribu meter kubik atau tujuh ton per hari.
Yang keempat, krisis politik. Krisis yang terjadi di Surabaya benar-benar bersifat multidimensi. Paska reformasi 1998, pemerintah mendapat cap begitu buruk dari masyarakat. Tak heran, performa pemerintah daerah seperti Pemkot Surabaya yang saat itu memang tak begitu bagus gampang sekali menjadi sasaran distrust (rasa tak percaya) masyarakat.
Dalam pekayanan publik apa pun Pemkot Surabaya mendapatkan rapor merah. Dalam urusan KTP, boleh dibilang hanya Tuhan yang tahu apa saja yang dibutuhkan untuk mengurus KTP, dan kapan selesainya.begitu juga dengan akta kelahiran, hanya orang yang memiliki kekuatan financial yang dapat memiliki akta kelahiran dan orang yang memiliki akses birokrasi di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil).
Stigma warga bahwa “ngurus dokumen apa pun di Pemkot Surabaya akan ruwet dan mahal kalau tidak punya kenalan” memang tak sepenuhnya benar. Namun, birokrasi Pemkot tak menjawab stigma tersebut dengan kinerja yang baik. Meraka malah menyuburkan stigma negatif itu dengan meneruskan penyakit birokrat: “bila bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?”
Singkat kata, ada sebuah akronim yang berkembang di kalangan masyarakat, yang seharusnya menjadi tamparan keras untuk para birokrat Surabaya. Akronim itu memelesetkan KMS (Kota Madya Surabaya) menjadi “kumpulan maling Suroboyo”. Pelesetan itu merujuk pada ulah para oknum pemerintahan yang suka meminta hal-hal yang bukan haknya.
Hukum alam menyebutkan, Ketika sebuah entitas berada pada titik nadir, ia akan selalu mencari jalan keluar dari krisis dan membaik. Begitu pula dengan Surabaya. Meski membaiknya Surabaya tentu bukan karena jasa satu orang saja, tapi mana Bambang Dwi Hartono jelas tak bisa dilewatkan begitu saja. Boleh dibilang mantan pengajar Matematika di IKIP Semarang (sekarang Universitas Negeri Semarang) itu merupakan tokoh kunci di balik kembalinya Surabaya ke rel yang benar. (mhb)
Bersambung ….
0
2.5K
30
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672KThread41.7KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.