Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

mimin.modolAvatar border
TS
mimin.modol
[WASPADA ] Asing dan Lembaga Survei Dorong Jokowi Jadi RI-1 !!!
Popularitas Joko Widodo (Jokowi) sebagai figur yang dianggap pantas menjadi RI-1 melalui Pemilu Presiden 2014, sepertinya belum akan habis. Bahkan bukan hal mustahil yang bakal terjadi , makin dekat momen penentuan capres dan cawapres, nama Jokowi akan terus menjadi sosok terpopuler.

Padahal makna paling terpopuler bukanlah dalam konotasi terbaik. Sayangya, di tengah hiruk pikuk dan maraknya pencitraan positif tentang Jokowi, tak ada lagi yang bisa membedakan antara terpopuler dan terbaik. Atau seolah-olah kalau sudah terpopuler sudah sama maknanya dengan terbaik. Masyarakat kita dibuat rancu.

Yang patut dicermati, kalaupun Jokowi masuk dalam kategori terbaik, namun seharusnya masih perlu ada embel-embelnya. Yaitu Jokowi merupakan figur terbaik di antara yang terburuk (the best amongst the worst).

Popularitas Jokowi terus melejit antara lain dipicu hasil berbagai lembaga survei. Lembaga survei mengaku independen dan seakan melakukan survei tanpa hitung-hitungan bisnis.

Mereka terus merilis hasil yang menyebutkan elektabilitas Jokowi paling tinggi.

Rilis itu disebar melalui pertemuan pers dan pada kesempatan yang bersamaan, penyelenggara survei memberi pembobotan secara verbal di sana sini. Bahwa Jokowi memiliki keunggulan yang tidak dimiliki para figur politik lainnya yang juga berpotensi menjadi RI-1.

Masyarakat dibius untuk percaya. Sebab para penyelenggara survei dan yang berbicara sebagai pengamat, diberi embel-embel pakar dalam bidang politik, dsb.

Atribut kepakaran itu digunakan awak media untuk memberi pembobotan pada penyiaran berita hasil survei tersebut. Dalam waktu singkat serta secara serempak sosok Jokowi menjadi figur paling populer di panggung politik.

Popularitas Jokowi kemudian diperkuat dengan berbagai analisa tambahan dari para pakar melalui talk show. Perbincangan di media itu pun seakan orisional, tanpa pesanan dan rekayasa.

Hampir semuanya menyebut popularitas gubernur Ibukota itu merupakan sebuah fenomena baru dalam dunia politik di Indonesia.

Pemilihan kata 'fenomena' pun melalui pemikiran yang dalam. Hasilnya para awak media tidak berpikir lain lagi kecuali semakin bersemangat mengutip pernyataan tentang 'fenomena' tersebut.

Dampak dari pemberitaan secara terus menerus tentang Jokowi merembet kemana-mana. Pemberitaan dan pencitraan itu mempengaruhi sistem pengambilan keputusan di berbagai lembaga termasuk lembaga politik.

Sejumlah partai politik, terutama yang bukan 'pemilik' Jokowi, terpengaruh oleh pemberitaan media massa. Mereka ikut-ikutan merebut simpatinya. Mereka ingin merekut Jokowi sebagai kader sekaligus pemimpin masa depan. Maka fenomena baru dalam perekrutan calon pemimpin nasional pun mengalami perubahan secara instan.

Perekrutan melalui mekanisme yang menghormati azas-azas kepatutan dan kapabilitalas, terpinggirkan. Perekrutan secara instan, mengalahkan hal-hal fundamental.

Alhasil dalam waktu singkat, Jokowi tidak hanya menjadi "media darling" tetapi sekaligus menjadi pejabat publik paling populer - dalam konotasi bersih dan kapabel.

Namun yang menimbulkan pertanyaan, sebegitu akuratkah hasil survei tentang Jokowi tersebut?

Pertanyaan lain, benarkah para pengelola lembaga survei itu bekerja secara independen? Betulkah mereka tidak disponsori oleh kekuatan lain - khususnya yang berkepentingan menokohkan Jokowi?

Tidak gampang menjawab sejumlah pertanyaan di atas. Demikian pula, terlalu prematur menuding bahwa para pengelola lembaga survei di Indonesia saat ini, tidak lagi bekerja atas azas profesionalisme dan bobot intelektual kuat.

Namun jika 'fenomena' yang menggunakan metode instan seperti sekarang tidak dikritisi bahayanya sangat besar. Jika 'fenomena' ini dibiarkan, ke depan atau dalam jangka panjang, 'fenomena' ini mampu menghancurkan demokrasi di Indonesia.

Kepada lembaga survei dan media sering berpartner, rasa percaya itu harus tetap kita tancapkan. Tetapi seperti pepatah tua, percaya wajib, tetapi curiga wajar jalan terus.

Kita perlu curiga sebab baru dalam Fenomena Jokowi saat ini, sejumlah lembaga survei seakan menafikan unsur komersil dan transasksional. Padahal pekerjaan melakukan survei kepada ratusan atau ribuan responden itu memerlukan biaya tidak kecil.

Kecurigaan perlu diangkat kembali

Pilkada DKI Jaya tahun lalu, merupakan salah satu contoh yang bisa dikaitkan dengan kecurigaan itu.

Fauzi Bowo sebagai gubernur incumbent, jauh-jauh hari sudah merekrut sejumlah tim sukses. Bowo, juga menyewa dua lembaga survei (independen).

Namun apa yang terjadi, hasil survei menyebutkan Fauzi Bowo dan pasangannya akan memenangi Pilkada DKI Jaya dalam satu putaran, sangat melenceng.

Ketika lembaga survei yang disewa Fauzi Bowo menjadi sasaran kritik, para pakar di bidang pencitraan tersebut berusaha membela diri. Tidak hanya sampai di situ, kepada Fauzi Bowo mereka menjanjikan, jika putaran kedua digelar, putera Betawi itu dipastikan akan memenangi Pilkada ibukota.

Namun kembali terjadi hasil seperti sebelumnya. Hasil survei itu tidak sesuai kenyataan. Ketidakakuratan tersebut telah membuat akuntabilitas dari sejumlah lembaga survei tercoreng.

Sorotan terhadap Jokowi dan hasil survei ini sekadar mengingatkan bangsa Indonesia atau penduduk ibukota, termasuk para awak media, sepatutnya jangan melupakan peristiwa yang terjadi tahun lalu tersebut.

Setelah jeda selama beberapa waktu, para pebisnis hasil survei itu kembali beroperasi dengan modus sama. Kali ini yang menjadi sasaran perebutan kursi presiden dan wakil presiden RI.

Kita perlu mewaspadai kegiatan survei politik seperti ini. Sebab pada hakekatnya kegiatan ini cukup mengganggu. Sudah begitu, kegiatan dan prediksi lembaga survei itu, seakan bisa menghapus semua pekerjaan besar oleh bangsa Indonesia yang berkaitan dengan pemilihan presiden.

Jangan-jangan para pebisnis di survei ini melakukan pekerjaan mereka atas dasar pesanan pihak lain. Sebutlah pihak asing.Sebab setiap negara (asing) yang menjadi mitra, sahabat, pesaing dan pengganggu Indonesia, pasti memiliki kepentingan tentang siapa yang akan memimpin Indonesia mulai 2014.

Pihak asing yang berkepentingan atas naiknya Jokowi menjadi pengganti Presiden SBY, bisa saja bekerja di belakang layar, termasuk menyiapkan infrastruktur dan pendanaannya.

Mengapa tidak?


[URL="http://web.inilah..com/read/detail/2012584/asing-dan-lembaga-survei-dorong-jokowi-jadi-ri-1#.UeyeFNL0ERk"]ini lah[/URL]
sekedar mengingat kan para fans dan panastak emoticon-Big Grin
ane pribadi lebih setuju kalau jokowi beresin dulu jakarta...soalnya ahok gak bakalan sanggup ngurus jakarta tanpa jokowi...liat aja ahok cuma bisa pencitraan kepada media melalui video yang disebar sendiri emoticon-Big Grin berbeda dengan Jokowi yang populer dengan kepribadiannya yang sederhana dan banyak ide cemerlang yang langsung terealisasi tidak seperti ahok yang cenderung banyak bacot

emoticon-Ngacir emoticon-Ngacir emoticon-Ngacir emoticon-Ngacir emoticon-Ngacir emoticon-Ngacir emoticon-Ngacir emoticon-Ngacir emoticon-Ngacir emoticon-Ngacir emoticon-Ngacir emoticon-Ngacir emoticon-Ngacir emoticon-Ngacir emoticon-Ngacir emoticon-Ngacir emoticon-Ngacir emoticon-Ngacir emoticon-Ngacir emoticon-Ngacir emoticon-Ngacir emoticon-Ngacir
Diubah oleh mimin.modol 22-07-2013 03:15
0
2.4K
22
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672KThread41.8KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.