Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

aliymuminAvatar border
TS
aliymumin
Ketika Dahlan dan Paloh Berdebat, Gimana ya gan Jadinya!!!!

Dahlan Iskan, salah satu taipan media di Indonesia. Gayanya yang sahaja dan spontan menjadi ciri khasnya. Hari itu ia kembali membuat kejutan. Menurutnya, pemilik media boleh memanfaatkan medianya untuk kepentingan dirinya. Bisa untuk kepentingan apa saja. Tentu umumnya bisnis, politik, ataupun untuk mendukung kegiatan sosialnya. Dahlan rutin menulis artikel tentang visinya sebagai menteri BUMN di jaringan media miliknya. Hanya saja pemilik Grup Jawa Pos itu mengingatkan, jika digunakan untuk kepentingan politik maka media itu tak laku. Ia juga membuat batasan, hal itu hanya berlaku untuk media cetak. Sedangkan untuk televisi ia berpendapat pemilik media tak boleh menggunakan untuk kepentingan dirinya. Ini karena frekuensi saluran televisi terbatas dan menjadi milik publik.

Surya Paloh, juga salah satu taipan media, meradang dengan pendapat Dahlan. Forum diskusi dalam pertemuan puncak pemimpin redaksi di Nusa Dua, Bali, itupun menjadi panas. Pemilik Grup Media Indonesia yang tampil menjadi pembicara setelah Dahlan segera membalasnya. Dengan suaranya yang menggelegar, dan kemampuannya beretorika, ia menolak pendapat Dahlan. Paloh juga merasa dirinya terkena sindiran Dahlan. Karena ia sering tampil khusus di Metro TV, stasiun televisi miliknya. Pidatonya di acara Partai Nasdem mendapat slot khusus. Baginya, apa yang ia lakukan demi bangsa dan negara. Bukan semata untuk penampilan dirinya. Menurutnya lebih baik tak memiliki stasiun televisi asal dirinya bisa tampil di televisi. Ia membandingkan dengan saluran televisi lain yang hanya menayangkan sinetron tak bermutu. Bahkan ia menyebut “28 jam” hanya untuk sinetron.

Reaksi keras Paloh itu segera mengusik Dahlan. Ia yang duduk di deretan kursi pembicara di panggung segera bangkit berdiri. Ia menghampiri Paloh di podium. Dengan ringan ia segera menyalaminya. Setelah itu Dahlan turun dari panggung dan duduk di kursi barisan depan. Susana menjadi riuh dan cair kembali.

Agung Adi Prasetyo, CEO grup Kompas, yang tampil sesudah keduanya membuat pernyataan singkat menimbrung silang pendapat Dahlan dan Paloh. Menurutnya, pers hanya punya dua kepentingan: idealisme dan bisnis. Di luar dua hal itu adalah “omong kosong”. Dalam konteks itu, secara tegas Agung menolak dua pendapat sebelumnya.

Pers di zaman kini benar-benar telah memasuki era industri. Bukan saja harus mengejar keuntungan untuk bertahan dan maju, tapi juga untuk mendirikan pers butuh modal yang besar. Kita tak bisa lagi membayangkan seorang Rosihan Anwar hanya membutuhkan Rp 45 untuk mendirikan Pedoman. Walau modal itu hasil pinjam emas, tapi secara pribadi ia mampu untuk mengembalikannya. Di era kini memang ada satu-dua yang berhasil merintis bisnis pers dengan modal kecil, terutama di awal kehadiran media online. Namun setelah semuanya mapan, tak bisa lagi membangun media online dengan modal pas-pasan. Butuh modal besar, bukan sekadar pinjam emas seperlunya ke kawan.

Era industri di jagat pers menjadi tak terelakkan. Ada warna yang berbeda. Secara sinis Paloh menyebut ada orang yang tak jelas ujung pangkalnya dengan dunia media kini tiba-tiba menjadi raja media. Hanya karena ia punya uang. Sebetulnya kita tak perlu sinis atau khawatir. Semua itu bagian dari perkembangan zaman. Kita tak bisa menolak laju sejarah, yang terus bergerak meninggalkan orang-orang yang tak adaptif dan tak berjiwa. Adaptasi membutuhkan kelenturan, namun ia bisa menjadi oportunis dan pragmatis. Gerak yang hanya dipandu moralitas semacam itu sama saja sedang menggali kuburnya sendiri. Karena itu perlu “jiwa” agar gerak itu membawa kemajuan. Dan peradaban manusia selalu mengikuti bangsa-bangsa yang berjiwa.

Kehadiran para pemilik modal di dunia pers bukan monopoli Indonesia. Bahkan itu sudah terjadi lebih dulu di Barat. Yang penting adalah bagaimana membangun independensi pers dari segala campur tangan, terutama di ruang redaksi. Karena itu dalam deklarasinya tepat setahun lalu, Forum Pemred mengingatkan tentang pentingnya independensi ini. Memang hal itu bukan sesuatu yang mudah. Apalagi, seperti disimpulkan Bagir Manan, ketua Dewan Pers, bahwa pers dan wartawan di Indonesia lebih sibuk mempolitisasi dirinya. Kebiasaan office politics di internal kantor maupun di sesama media dan organisasi wartawan membuat pers di Indonesia kurang optimal dalam memberikan sumbangan pada masyarakat.

Pada akhirnya memang akan diukur dari kemampuan pers dalam menjalankan fungsinya bagi kepentingan publik, masyarakat. Sedangkan kotak hitam ruang redaksi merupakan sesuatu yang gelap bagi publik. Publik tak pernah tahu apa yang terjadi di dalamnya: ada kemerdekaan atau ada pemasungan. Dalam konteks hubungan industrial, sesuatunya menjadi tak mudah, tak sederhana, dan tak linier. Pasti ada tarik menarik. Namun sesuatu yang anomali akhirnya akan tampak.

Godaan politik dan godaan ekonomi memang menggiurkan. Apalagi di negeri seperti Indonesia yang sedang memasuki gelombang perubahan besar. Ketidakmapanan masyarakat yang sedang berubah mudah dikail oleh para pemangku kuasa. Kuasa apapun. Mari kita saling mengawasi agar transisi Indonesia memiliki jiwa. Bukan karena pragmatisme dan oportunisme. Terlalu banyak buih di sekitar kita.

Spoiler for ini videonya tpi kayanya mendukung dikit gan:
0
1.3K
9
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.4KThread84.5KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.