- Beranda
- The Lounge
(Renungan Gan!!!) Mereka (Yang Juga) Makhluk Tuhan…
...
TS
fadzlicious
(Renungan Gan!!!) Mereka (Yang Juga) Makhluk Tuhan…
Quote:
Bismillahirrohmanirrohiim...
Quote:
Welcome to My Thread
Quote:
Jika Thread ini berguna tolong comment atau ya gan
Quote:
Jarum jam tangan menunjukkan pukul 21.30 WIB. Malam itu sebuah mall di kota Solo sedang ramai-ramainya dan bersiap untuk mengakhiri hari yang sibuk dan melelahkan. Para pekerja mulai berbenah merapikan dagangan serta menutup tokonya.
Sementara dibagian depan, para satgas berbaju orange yang tak lain dan tak bukan adalah para tukang parkir sibuk memberi kerjaan pada peluitnya untuk menunaikan kewajibannya. Di sudut lain dari mall ini yang mana isinya adalah komplek pertokoan counter handphone saya mendapatkan pandangan yang sedikit berbeda. Pandangan yang menghentikan waktu saya untuk beberapa detik. Di tengah kesibukan orang-orang menutup hari, justru pandangan saya ini sedikit aneh menurut saya. Ya, aneh. Untuk itulah kenapa saya sebut menghentikan waktu saya dengan cepat. Mata saya pun terbenam ke objek yang aneh itu dan terbenam semakin dalam.
Bukan hal yang mudah melepaskan pandangan serta pikiran saya dari objek tersebut. Cukup menguras tenaga ketika saya perlahan mulai memalingkan pandangan, kembali ke arah lalu lalang orang yang bersiap mengakhiri hari.
Walaupun mata dan pandangan saya sudah berhasil pergi dari objek tersebut, namun tidak dengan pikiran saya. Jaringan sel otak saya tampaknya tidak mau meninggalkannya begitu saja, sensor perasaan pada lobus parietal dikepala saya mulai bereaksi. Saya mulai menemukan kehampaan yang luar biasa dalam. Pikiran saya mulai menyatu ke diri objek itu. Tidak, ini bukan perkara cinta.
Objek itu adalah seorang bapak tua renta berumur sekitar 60 tahunan. Sendirian, dengan memikul tongkat kayu yang mana kedua sisinya ada semacam wadah untuk menempatkan dagangannya. Ya, Objek itu adalah bapak penjual tape, sendirian dan tanpa ditemani siapapun, termasuk alas kaki sekalipun. Dalam hati sempat bergumam “Ya Tuhan… di jaman serba digital dan instan seperti sekarang ini apakah masih ada orang yang mau membeli dan membutuhkan dagangan bapak ini? Apakah bapak ini tidak pernah berpikir untuk mencari pekerjaan yang lain? Ya Allah lancarkan hidupnya dan mudahkanlah rejekinya,.. amin”.
Sekarang siapa sih yang mau membeli tape itu? saya perhatikan hanya ada orang lalu lalang dengan langkah angkuhnya. Ada yang bahkan pura-pura tidak melihat apa yang ada didekatnya, seseorang yang membutuhkan bantuan.
Hal yang seperti itu memang sepertinya bukan hal yang aneh di negeri ini. Sebenernya dalam Undang-Undang Dasar 1945 sudah diatur bahwasanya setiap orang berhak atas penghidupan yang layak. Ya mereka berhak untuk hidup layak. Tapi sayangnya para otoritas pemilik kewenangan di negeri ini terlanjur menutup mata dari hal-hal kecil seperti ini. Lantas ini salah siapa? Pemerintah? Oh bukan, pemerintah tidak salah atas kemiskinan mereka, tapi pemerintah bersalah atas penderitaan mereka karena kemiskinan mereka.
Sebenarnya tidak ada orang yang mau dilahirkan dalam keadaan miskin. Tapi sayangnya mereka tidak punya pilihan. Mereka tidak bisa meminta kepada Tuhan agar dilahirkan dalam keadaan yang berkecukupan atau bahkan kaya raya. Tidak, mereka tidak bisa meminta itu kepada Tuhan.
Di beberapa tempat di Indonesia ini, orang-orang seperti bapak penjual tape ini adalah komoditi bagi para politikus. Mereka menggunakan orang-orang seperti bapak ini seperti layaknya mainan. Mereka pakai senang-senang hingga terbawa angin surga (padahal hanya dengan uang 15-20 ribu saat kampanye) kemudian mereka hempaskan kembali ke bumi ketika sudah tidak berguna lagi. Yang jual tape tetap jadi penjual tape. Yang kerja siang malam demi kehidupan keluarga tetap saja tidak ada perubahan dalam hidupnya. Who cares? Toh mereka sudah dapat beberapa rupiah dari kampanye mereka adakan? Begitu mungkin jawab seorang wakil rakyat tersebut. Setidaknya mereka sudah beramal.
Ah sudahlah… sudah banyak yang lupa sebenarnya mereka yang kurang beruntung itu siapa. Mungkin mereka (para birokrat) atau kita sudah lupa kalau sebenarnya mereka itu juga makhluk Tuhan, yang hanya kurang beruntung. Mereka dan kita sama di mata Tuhan. Kita atau para otoritas pengelola negeri ini yang mana mungkin lebih beruntung daripada mereka sebenarnya tidak lebih tinggi derajatnya di mata Tuhan.
Apa kita masih akan tetap acuh akan mereka? Ah aku mungkin hanya akan bisa berucap “ya Allah, ampunilah dosaku…”
Setelah menghela nafas panjang, kumantapkan langkahku untuk mendekati bapak itu dan membeli tape yang ada di bakulnya. “Pak beli satu bungkus berapa?” tanyaku. “Dua ribu lima ratus, mas.” Jawab bapak itu dengan suara rentanya sambil tersenyum. Oh Tuhan, harga sebungkus tape itu hanya Dua Ribu Lima ratus rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup untuk membeli 1 gelas teh hangat dan 2 potong gorengan di kantin tempat saya kuliah.
Uang Duaribu lima ratus rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi bapak tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha menahan air mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. “Saya beli ya pak, dua bungkus”, kata saya.
Beliau memasukkan dua bungkus plastik berisi tape. Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan bungkusan tape kedalam kantong keresek. Karena penasaran saya pun bertanya, “Pak rumahnya di mana?” bapak itupun menjawab “Simo mas” FYI Simo adalah daerah di boyolali, sekitar 1 jam perjalanan dari kota Solo dengan motor. “Lah, bapak pulangnya gimana pak? Kan udah malam? Apa masih ada bus kesana pak?” Sambil tersenyum bapak itu jawab, “Saya pulang besok kalau dagangan tape saya ini udah habis mas…”. “Lha trus bapak bermalamnya dimana?” tanyaku sekali lagi. “Nanti gampang mas sambil jalan kalau capek ya istirahat..” Saya pun terdiam. Nikmat Tuhan yang selama ini kurang saya syukuri pun segera terasa di seluruh tubuh. Sejenak tangan kanan dan kiri saya seakan berbicara "Kamu cuma perlu kuliah tanpa harus memikul bakul dan tape-tape itu, apalagi yang kamu keluhkan?" Hati saya pun bergetar.. Nurani ini terpekik. Ya Tuhan… berikanlah hambaMu yang luar biasa ini rezeki serta nikmat surgaMu kelak.
Kalau saya perhatikan betapa berat kehidupan bapak bapak kita ini. Terkadang kita sebagai anak tak pernah mengucap terima kasih atas hasil kerja keras nya selama ini,siang malam dia membanting tulang buat keluarga,istri dan anak-anak nya.
Setelah itu bapak itupun beranjak dari lantai depan mall dan pergi meninggalkan keangkuhan gedung-gedung serta orang-orang yang seakan menyerah pada alur kehidupan. Bapak itu sendiri, hanya seorang diri menantang kehidupan dan tak mau menyerah pada alur cerita sekalipun usia sudah senja.
Memang, kehidupan ini penuh dengan ironi. Kehidupan menyajikan dua sisi kehidupan yang berbeda. Manusia menyadari ironi itu. Ada yang melakukan sesuatu untuk mengurangi ironi itu. Ada yang tidak peduli. Ada yang sok peduli seperti saya.
Sementara dibagian depan, para satgas berbaju orange yang tak lain dan tak bukan adalah para tukang parkir sibuk memberi kerjaan pada peluitnya untuk menunaikan kewajibannya. Di sudut lain dari mall ini yang mana isinya adalah komplek pertokoan counter handphone saya mendapatkan pandangan yang sedikit berbeda. Pandangan yang menghentikan waktu saya untuk beberapa detik. Di tengah kesibukan orang-orang menutup hari, justru pandangan saya ini sedikit aneh menurut saya. Ya, aneh. Untuk itulah kenapa saya sebut menghentikan waktu saya dengan cepat. Mata saya pun terbenam ke objek yang aneh itu dan terbenam semakin dalam.
Bukan hal yang mudah melepaskan pandangan serta pikiran saya dari objek tersebut. Cukup menguras tenaga ketika saya perlahan mulai memalingkan pandangan, kembali ke arah lalu lalang orang yang bersiap mengakhiri hari.
Walaupun mata dan pandangan saya sudah berhasil pergi dari objek tersebut, namun tidak dengan pikiran saya. Jaringan sel otak saya tampaknya tidak mau meninggalkannya begitu saja, sensor perasaan pada lobus parietal dikepala saya mulai bereaksi. Saya mulai menemukan kehampaan yang luar biasa dalam. Pikiran saya mulai menyatu ke diri objek itu. Tidak, ini bukan perkara cinta.
Objek itu adalah seorang bapak tua renta berumur sekitar 60 tahunan. Sendirian, dengan memikul tongkat kayu yang mana kedua sisinya ada semacam wadah untuk menempatkan dagangannya. Ya, Objek itu adalah bapak penjual tape, sendirian dan tanpa ditemani siapapun, termasuk alas kaki sekalipun. Dalam hati sempat bergumam “Ya Tuhan… di jaman serba digital dan instan seperti sekarang ini apakah masih ada orang yang mau membeli dan membutuhkan dagangan bapak ini? Apakah bapak ini tidak pernah berpikir untuk mencari pekerjaan yang lain? Ya Allah lancarkan hidupnya dan mudahkanlah rejekinya,.. amin”.
Sekarang siapa sih yang mau membeli tape itu? saya perhatikan hanya ada orang lalu lalang dengan langkah angkuhnya. Ada yang bahkan pura-pura tidak melihat apa yang ada didekatnya, seseorang yang membutuhkan bantuan.
Hal yang seperti itu memang sepertinya bukan hal yang aneh di negeri ini. Sebenernya dalam Undang-Undang Dasar 1945 sudah diatur bahwasanya setiap orang berhak atas penghidupan yang layak. Ya mereka berhak untuk hidup layak. Tapi sayangnya para otoritas pemilik kewenangan di negeri ini terlanjur menutup mata dari hal-hal kecil seperti ini. Lantas ini salah siapa? Pemerintah? Oh bukan, pemerintah tidak salah atas kemiskinan mereka, tapi pemerintah bersalah atas penderitaan mereka karena kemiskinan mereka.
Sebenarnya tidak ada orang yang mau dilahirkan dalam keadaan miskin. Tapi sayangnya mereka tidak punya pilihan. Mereka tidak bisa meminta kepada Tuhan agar dilahirkan dalam keadaan yang berkecukupan atau bahkan kaya raya. Tidak, mereka tidak bisa meminta itu kepada Tuhan.
Di beberapa tempat di Indonesia ini, orang-orang seperti bapak penjual tape ini adalah komoditi bagi para politikus. Mereka menggunakan orang-orang seperti bapak ini seperti layaknya mainan. Mereka pakai senang-senang hingga terbawa angin surga (padahal hanya dengan uang 15-20 ribu saat kampanye) kemudian mereka hempaskan kembali ke bumi ketika sudah tidak berguna lagi. Yang jual tape tetap jadi penjual tape. Yang kerja siang malam demi kehidupan keluarga tetap saja tidak ada perubahan dalam hidupnya. Who cares? Toh mereka sudah dapat beberapa rupiah dari kampanye mereka adakan? Begitu mungkin jawab seorang wakil rakyat tersebut. Setidaknya mereka sudah beramal.
Ah sudahlah… sudah banyak yang lupa sebenarnya mereka yang kurang beruntung itu siapa. Mungkin mereka (para birokrat) atau kita sudah lupa kalau sebenarnya mereka itu juga makhluk Tuhan, yang hanya kurang beruntung. Mereka dan kita sama di mata Tuhan. Kita atau para otoritas pengelola negeri ini yang mana mungkin lebih beruntung daripada mereka sebenarnya tidak lebih tinggi derajatnya di mata Tuhan.
Apa kita masih akan tetap acuh akan mereka? Ah aku mungkin hanya akan bisa berucap “ya Allah, ampunilah dosaku…”
Setelah menghela nafas panjang, kumantapkan langkahku untuk mendekati bapak itu dan membeli tape yang ada di bakulnya. “Pak beli satu bungkus berapa?” tanyaku. “Dua ribu lima ratus, mas.” Jawab bapak itu dengan suara rentanya sambil tersenyum. Oh Tuhan, harga sebungkus tape itu hanya Dua Ribu Lima ratus rupiah? Uang sebesar itu hanya cukup untuk membeli 1 gelas teh hangat dan 2 potong gorengan di kantin tempat saya kuliah.
Uang Duaribu lima ratus rupiah yang tidak terlalu berarti bagi kita, tetapi bagi bapak tua itu sangatlah berarti. Saya tercekat dan berusaha menahan air mata keharuan mendengar harga yang sangat murah itu. “Saya beli ya pak, dua bungkus”, kata saya.
Beliau memasukkan dua bungkus plastik berisi tape. Tangannya terlihat bergetar ketika memasukkan bungkusan tape kedalam kantong keresek. Karena penasaran saya pun bertanya, “Pak rumahnya di mana?” bapak itupun menjawab “Simo mas” FYI Simo adalah daerah di boyolali, sekitar 1 jam perjalanan dari kota Solo dengan motor. “Lah, bapak pulangnya gimana pak? Kan udah malam? Apa masih ada bus kesana pak?” Sambil tersenyum bapak itu jawab, “Saya pulang besok kalau dagangan tape saya ini udah habis mas…”. “Lha trus bapak bermalamnya dimana?” tanyaku sekali lagi. “Nanti gampang mas sambil jalan kalau capek ya istirahat..” Saya pun terdiam. Nikmat Tuhan yang selama ini kurang saya syukuri pun segera terasa di seluruh tubuh. Sejenak tangan kanan dan kiri saya seakan berbicara "Kamu cuma perlu kuliah tanpa harus memikul bakul dan tape-tape itu, apalagi yang kamu keluhkan?" Hati saya pun bergetar.. Nurani ini terpekik. Ya Tuhan… berikanlah hambaMu yang luar biasa ini rezeki serta nikmat surgaMu kelak.
Kalau saya perhatikan betapa berat kehidupan bapak bapak kita ini. Terkadang kita sebagai anak tak pernah mengucap terima kasih atas hasil kerja keras nya selama ini,siang malam dia membanting tulang buat keluarga,istri dan anak-anak nya.
Setelah itu bapak itupun beranjak dari lantai depan mall dan pergi meninggalkan keangkuhan gedung-gedung serta orang-orang yang seakan menyerah pada alur kehidupan. Bapak itu sendiri, hanya seorang diri menantang kehidupan dan tak mau menyerah pada alur cerita sekalipun usia sudah senja.
Memang, kehidupan ini penuh dengan ironi. Kehidupan menyajikan dua sisi kehidupan yang berbeda. Manusia menyadari ironi itu. Ada yang melakukan sesuatu untuk mengurangi ironi itu. Ada yang tidak peduli. Ada yang sok peduli seperti saya.
Quote:
Maaf jika tulisan ini sedikit mengusik anda. Sudahkah anda menganggap mereka sebagai makhluk Tuhan?
Spoiler for him:
Penulis adalah saya sendiri dan biasa berkicau di @fadliisfadli
Quote:
Terimakasih sudah mapir dimarih gan
Diubah oleh fadzlicious 25-06-2013 15:17
0
2K
Kutip
18
Balasan
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
923.3KThread•83.9KAnggota
Urutkan
Terlama
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru