Acehku Kini Bukanlah Daerah Yang Bisa Kubanggakan Lagi
TS
fiezz
Acehku Kini Bukanlah Daerah Yang Bisa Kubanggakan Lagi
Quote:
Kisah ini saya angkat bukanlah untuk membuat suatu cerita menjadi tetapi semoga apa yang saya dapat dari sebuah buku dan pengalaman singkat menjadi renungan tersendiri bagi kita.
Semoga Pula ini bukanlah suatu cerita yang saya anggap buat saya share ke agan2 dan sista sekalian.
Quote:
Saat saya memulai cerita singkat saya dari pengalamn yang telah saya baca dan saya rasakan sewaktu itu. kini sedikit ulasan tentang bagai mana aceh ku telah bangkit dari keterpurukan dan kini ia menjadi jaya. Sifat manusia tak pernah lepas dari hana nafsu apakah itu harta, tahta maupun wanita. Bukannya aku ingin menjelekkan daerah yang kucintai, tetapi apa yang kulihat bukanlah yang mereka janjikan.
Spoiler for Cerita Singkat:
PERANG tengah membuncah. Salak senapan silih berganti dari dua arah. “Itu Indonesia,” salah satu tentara ‘tanpa seragam’ berujar. Suaranya berburu dengan letusan senjata. “Bek beudoeh, bek beudoeh (jangan bangun, jangan bangun),” dia memberi perintah sambil merangsek terus maju.
Sesaat kemudian suasana kembali hening. Beberapa pasukan, menenteng senjata bersandar di batang pohon, sambil melepas lelah. Seorang pria bule tampak mencolok di tengah-tengah mereka.
Pria itu, William Arthur Nessen. Bagi para aktivis, juga aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang bertugas di Aceh saat konflik, namanya tak lagi asing. Ia berkali-kali lolos dan berhasil masuk ke markas GAM, tanpa sepengetahuan TNI. Saat diberlakukan Darurat Militrer di Aceh 2003 silam, Nessen berada di Nisam, salah satu basis kuat Gerakan Aceh Merdeka. Saat itu, TNI telah mengepung area perang tersebut.
***
Saya tidak berada di arena perang. Malam (27/9) itu, saya sedang di Villa Bukit Emas, Berastagi, Sumatera Utara. Hanya ada sebuah slide documenter upaya GAM merebut kemerdekaan, yang disorot ke dinding di hadapan duapuluhan wartawan mahasiswa. Tak ada riuh suara. Keheningan mengisi malam dingin itu. Seorang perempuan tersentak ketika melihat aparat berbaju loreng TNI menendang seorang sipil ke sebuah got. Ini adalah cerita perang versi Nessen.
“Saya selalu nangis setiap kali nonton film ini. Ini kedua kalinya saya nonton film itu,” ujar Riska, mahasiswa Universitas Sumatera Utara dengan nada sedih. Bulir bening mengembang di balik kacamatanya.
The Black Road, judul film itu. Di Jawa, beredar anekdot, di mana pun tempat yang telah dilewati aspal hitam, maka, jalanan itu telah menjadi wilayah Indonesia. “Basis antipemerintah ada di tempat yang tidak beraspal,” sebut Fahri Salam, seorang jurnalis freelance, Rabu (27/9) malam. “Aparat hanya berani melawati jalanan beraspal. Itu yang dikatakan kawan saya, Otto,” tambahnya seusai menyaksikan dokumenter tersebut.
The Black Road merupakan dokumenter yang dibuat William Nessen pada 2005. Ini adalah dokumenter yang menceritakan soal pertempuran antara gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka dengan pasukan pemerintah Indonesia: TNI dan Polri. Pemerintah Indonesia melarang peredaran film ini. Pada pekan Jiffest, The Black Road batal diputar, karena dianggap provokatif.
Para jurnalis di Banda Aceh juga sempat berurusan dengan polisi, setelah memutar film ini di halaman kantor Sekretariat Bersama di Jalan Sultan Alaidin Syah dua tahun lalu. Pemutaran dan diskusi film Nessen ini mampu menyedot perhatian –tak hanya jurnalis—tapi juga masyarakat yang lalu lalang di depan kantor Sekretariat Bersama itu.
Pandangan para jurnalis mahasiswa tentang konflik Aceh beragam. Malah, Fahri beranggapan, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah sebuah mitos. “NKRI ini adalah proyek negara, mitos itu. Yang mendapatkan keuntungan besar dari adanya NKRI ya kaum elite,” sebutnya.
Ia memberi gambaran, para pelaku kejahatan tidak ada yang pernah dihukum sejak zaman Suharto. “Negara apa ini? Indonesia baru akan berhasil, kalau berani menindak para pelaku pelanggaran HAM,” kata Fahri Salam.
Mukhlas, seorang anggota pers mahasiswa dari Universitas Islam Negeri (UIN) Malang malah tidak percaya sama yang namanya negara. “Sejak dulu aku nggak percaya negara. Aku nggak dapat apa-apa dari negara itu sendiri. Bapakku setiap tahunnya bayar pajak, tapi kami dapat apa dari negara? Aku ini orang independen.”
Syahnaz, mahasiswa USU berpendapat, dokumenter sejarah tersebut tidaklah berimbang, dan justru memihak. “Saya sudah banyak dengar cerita tentang konflik Aceh. Mulai dari sudut pandang sipil, baik orang Aceh, maupun oleh orang yang bukan dari Aceh. Konflik di Aceh ini sudah menjadi ajang saling bunuh-bunuhan, saling ngebalas, dan keterusan. Kalau misalnya film itu, memang sudah menunjukkan keberpihakan,” ujar Anas, menuding karya itu memihak GAM.
“Keberpihakan memang jelas. Karena prinsip jurnalistik memang harus memihak. Tapi, kita lihat, sejauh mana William Nessen bergerak. Dia juga melakukan banyak verifikasi, walaupun mengikuti GAM. Pada dasarnya, dia menjelaskan peperangan di Aceh, ya seperti itu. Dia sudah melihat dengan jelas peperangan di Aceh. Bahkan dia percaya, selama keadilan di Aceh tidak ditegakkan, kita tidak akan mencapai kedamaian,” Jelas Fahri Salam, mengutip kata Nessen dalam narasinya di film itu.
Tapi, masalahnya bukanlah letak kesalahan TNI maupun GAM. Yang menjadi korban dari perang durjana itu adalah warga sipil, yang tak tahu apa kesalahan mereka. “Saya mau keadilan,” seorang ibu berucap sambil terisak di hadapan jasad anaknya yang tewas tertembak.
***
Masyarakat Aceh, telah hidup puluhan tahun ditengah konflik. Anthony Reid, seorang ahli sejarah dari Australian National University dalam bukunya, Asal Mula Konflik Aceh, menuliskan, Aceh sudah bergejolak sebelum bergabung bersama Indonesia. Tahun 1870-an, orang Aceh pernah menjadi korban agresi Belanda dan realpolitik Inggris. Selanjutnya Aceh juga menjadi korban tak berdosa dari negara yang merangkulnya menjadi sebuah wilayah kesatuan republik.
Kendati mengalami gejolak percobaan panjang dan berliku, konflik di Aceh, tidak pernah menjadi pemberitaan utama dunia. Hingga pada akhirnya, Muhammad Hasan Ditiro, bersama pejuang Aceh lainnya, yang merupakan ‘alumni’ Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII), mendirikan GAM, untuk menyuarakan kemerdekaan di Puncak Halimun, Pidie, 24 Mei 1977. Tiro, ditunjuk sebagai wali Negara.
Sejak saat itu, konflik terus bergejolak, hingga berakhir saat tsunami meluluhlantakkan Aceh. 15 Agustus, diteken MoU, di Helsinki, Finlandia. Tapi apakah tsunami membawa kedamaian bagi Aceh? “Ah, tsunami membawa kedamaian itu adalah mitos,” ujar Fahri Salam, menyangsikan.
Sumber : www.AcehKita.com
Quote:
Pernahkah kalian diluar sana merasakan hal yang yang dirasakan saudara kita di daerah Aceh? saat mereka orang-orang yang tak bersalah menjadi koraban
Quote:
Pernahkah kita merasakan hal yang mereka rasakan?
Spoiler for :
Singakat cerita, pada saat terjadi konflik yang melanda Aceh, saat itu warga aceh yang tak bersalahpun iut menjadi kekejaman yang yang ditimbulkan oleh pihak2 aparat yang sering mereka sebut adalah "pelindung dan pengaman" bagi setiap warga, tanpa harus memandang dari mana mereka berasal. apakah kekejaman ini menjadi hal yang baik dikemudian hari bagi anak cucu kita nantinya?
Quote:
Atau inikah yang harus mereka alami?
Spoiler for :
Inikah kebencian mereka bagi rakyat yang ingin hak dari daerahnya di akui, dihargai ? apakah ini yang disebut negara yang mengacungkan kata2 dari "bhineka tunggal ika"? pantaskah mereka mendapatkan ini semua!
Quote:
Pantaskah mereka yang seharusnya mendapatkan hak yang sama, ketidak salahan mereka mengakibatkan mereka begini?
Quote:
akan kah ini yang mereka inginkan agar terbentuk wanita yang gagah seperti ini?
Spoiler for :
mereka bukanlah wanita yang hanya memegang senjata dan numpang foto untuk bisa dipamerkan, tetapi mereka memamerkan jiwa, keberanian mereka untuk melindungi, meminta hak, menganggap mereka menjadi warga negara yang bisa dihormati.
Quote:
Kemerdekaan kini yang mereka dapatkan bukanlah kemerdekaan yang mereka harapkan. mereka berjuang,mereka berani maju untuk bisa memerdekakan daerah yang mereka cintai.
Quote:
Spoiler for :
mereka dilatih bukan untuk
Spoiler for menakuti:
tetapi mereka lah yang seharusnya membuat:
Spoiler for mereka tertawa:
Kini aceh telah lahir disanubari NKRI bergabung bersama membangun indonesia menjadi lebih baik dan dikenal di negara luar.
Quote:
tetapi apakah aceh sendiri sudah dikatakan makmur? sudahkah dikatakan daerah yang tidak mengenal akan kemeskinan? tidak mengenal korupsi?
Quote:
Haruskah seorang pemimpin daerah sebagai wali! yang mereka sebut begitu. hidup dalam kemewahan yang bergelimang harta? sedangkan rakyat nya kini terabaikan?
Quote:
Spoiler for Rumah WAli Nanggroe:
inikah yang iya nikmati, sedangkan rakyatnya masih ada yang ...
Spoiler for :
apakah ini!
Quote:
Pantaskah seorang wali nanggroe mendapatkan harta yang begitu mewah ini?
Spoiler for :
atau pantaskah iya menduduki rumah istana ini?
Mungkin sekian kutipan singkat saya tentang daerah yang saya cintai kini tak seperti mengenal keluarga nya lagi. kini harta dan tahta membutakan perjuangan yang dulu pernah mereka juangkan. bukannya saat ini menikmati hasil juang mereka, karena perjuangan mereka bukanlah sampai disini.
Semoga apa yang saya share buat agan2 sekalian menjadi renungan bagi kita semua akan pentingnya suatu saling menghormati, menjaga kehormatan, dan bukan karena harta dan tahta pula kita melupakan apa yang telah kita perjuangnkan.
Maafkan saya bila ada unsur
dan bukan lah apa yang saya tulis menjadi berita yang mengandung
bagi semua kalangan.
saya memohon bila ini menjdai berita postingan yang menarik, jangan lupa untuk di RATE BINTANGNYA
Dan gak lupa juga paling berkenang kalau ada yang maungasih
Paling anti dan takut kalau dikasih
semoga sih jangan di kasih BATA ya gan..
THANKS.......
0
4.7K
Kutip
26
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!