200shAvatar border
TS
200sh
LOKASI EKSPLORASI MINYAK PERTAMA DI INDONESIA

MAJA, MAJALENGKA LOKASI EKSPLORASI MINYAK PERTAMA DI INDONESIA


Jan Reerink (1871) dan Tantangan Eksplorasi Jawa

Awang Harun dari BPMIGAS lagi-lagi bercerita tentang eksplorasi migas di Indonesia. Ternyata sumur tertua yang dibor di Indonesia adalah sumur bernama Waja-1 [Maja-1—Pngtp], yang dibor pada tahun 1871 oleh Jan Reerink. Berikut ulasan Pak Awang:

Jan Reerink adalah seorang anak laki-laki saudagar penggilingan beras pada zaman Belanda di Indonesia pada paruh kedua abad ke-19. Reerink ditugaskan ayahnya menjaga sebuah toko kelontong di Cirebon. Tetapi, Reerink selalu melamunkan penemuan minyak seperti yang dilakukan Kolonel Drake di Pennsylvania pada tahun 1857. Akhirnya, sebuah berita ia terima bahwa ada rembesan minyak keluar dari lereng barat Gunung Ciremai di kawasan Desa Cibodas, [Maja], Majalengka. Reerink berketetapan hati akan membor rembesan minyak itu.

Sebagai seorang dari keluarga pedagang, Jan Reerink tak menemui kesulitan dalam melobi Nederlandsche Handel Maatschappij (perusahaan dagang Belanda) untuk menyokong usahanya mencari minyak. Setelah sokongan diperoleh, Reerink pergi ke Amerika Serikat dan Kanada mengumpulkan peralatan bor dan tenaga kerjanya.

Reerink kemudian kembali ke Cirebon dan segera pergi ke lereng barat Ciremai di mana rembesan minyak dilaporkan. Di sana, menggunakan menara bor bergaya Pennsylvania, seperti yang digunakan Kolonel Drake mengebor sumur minyak pertamanya di dunia di Titusville, Reerink mengebor sebuah sumur mencari minyak. Saat itu bulan Desember 1871 dan tercatat dalam sejarah perminyakan Indonesia sebagai tahun sumur eksplorasi minyak pertama dibor di Indonesia.

Sumur pertama itu dinamai Maja-1 atau Cibodas Tangat-1. Tali, bukan pipa, digunakan untuk menggerakkan mata bor. Tidak ada pipa selubung atau casing. Kedalaman sumur pertama itu hanya 125 kaki. Tenaga penggerak berasal dari generator yang dihela beberapa ekor kerbau. Sumur pertama ini menemukan minyak walaupun sedikit. Reerink kemudian membor tiga sumur lagi di Cibodas dan dua di antaranya menemukan sedikit minyak.

Merasa penasaran belum menemukan minyak dalam jumlah besar, Reerink berpikir bahwa peralatan bornya kurang tenaga, sumur-sumur harus dibor lebih dalam. Maka Reerink pun kembali ke Amerika. Di sana ia membeli peralatan bertenaga uap, sebagai pengganti tenaga kerbau. Tahun 1874, Reerink memulai periode kedua kegiatan pemborannya. Dengan dua mesin bertenaga uap, Reerink mengebor beberapa sumur di Panais (Paniis—Pngtp], Maja, dan Cipinang, semuanya berlokasi di lereng barat Gunung Ciremai. Sayang semuanya gagal.

Sampai tahun 1876, Reerink terus berusaha mengebor di wilayah ini. Nederlandsche Handel Maatschappij (terakhir kemudian menjadi Royal Dutch Shell) telah mengeluarkan 225.000 gulden dan Reerink sendiri mempertaruhkan uang pribadinya sebanyak 100.000 gulden. Sebenarnya Reerink masih ingin berusaha setelah sebanyak 19 sumur eksplorasi dibornya di lereng Ciremai, tetapi perusahaan dagang Belanda itu tak mau lagi menyokong dananya.

Pada akhir Juli 1876, Reerink kembali ke tokonya dan mengubur mimpinya menemukan dan menjadi saudagar minyak. Meskipun demikian, Jan Reerink patut dikenang sebagai eksplorasionis pertama di Indonesia yang serius mencari minyak. Reerink hidup sampai tahun 1923.

Tahun 1939, penemuan komersial pertama ditemukan di wilayah ini, lebih ke utara dari wilayah di mana Reerink mengebor sumur-sumur eksplorasinya. BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) menemukan minyak komersial pertama di Jawa Barat di Lapangan Randegan. Berturut-turut kemudian penemuan lapangan-lapangan penting terjadi di wilayah ke utara dan barat dari Randegan, bukan ke selatan menuju Ciremai.
Meskipun demikian, minyak-minyak dari sumur-sumur Reerink masih mengalir dan sampai sekarang dimanfaatkan penduduk setempat. Apakah Ciremai, Kuningan, Majenang, dan Banyumas tak perlu dilihat lagi kemungkinannya sebagai wilayah minyak? Salah. Justru wilayah tinggian struktur dari Majalengka-Banyumas ini merupakan salah satu wilayah terkaya akan rembesan minyak di Pulau Jawa. Dan rembesan minyak selalu lebih positif daripada negatif dalam membimbing eksplorasi.

Sebuah keunikan geologi, tektonik,volkanisme, dan petroleum system terjadi di wilayah dari Majalengka-Banyumas. Jan Reerink tidak salah mempertaruhkan uang pribadinya di lereng Ciremai. Ia belum beruntung saja. Keuntungan barangkali akan berpihak kepada para eksplorasionis masa mendatang yang berani keluar dari wilayah-wilayah klasik perminyakan. Sains dan keberanian diperlukan dalam hal ini.

Perburuan telah dimulai dengan meneliti kembali minyak sumur-sumur Jan Reerink, diteliti karakteristik geokimianya. Ini titik ikat sebelah baratlaut (Majalengka). Hal yang sama dilakukan atas rembesan-rembesan minyak di Banyumas, ini adalah titik ikat selatan (Banyumas). Setelah kedua titik ikat ditentukan, mulailah para eksplorasionis berkutat dengan data dan sains, dst., dst.

Jawa masih menyimpan banyak misteri. Minyak tak hanya ada di cekungan-cekungan produktif saat ini.

Catatan lain:

Eroïca: The Quest for Oil in Indonesia (1850-1898) (Kindle Edition)

A tribute to the pioneers of oil exploration in Indonesia (1850–1898).

Using authentic reports, diaries, relevant texts, personal notes and pictures, Poley brings to life the heroic efforts of Reerink (Cheribon, W. Java), Zijlker and Kessler (Deli, NE Sumatra), Stoop (Surabaya and Rembang, E Java), Menten (Kutei, E Kalimantan), Kessler and I.J. Zerman (Palembang, SE Sumatra), and their crews. They faced almost insurmountable odds in many locations: an impenetrable, cruel jungle, an inclement climate, tropical diseases, technical mishaps, financial restrictions, and, last but not least, government and legal constraints. There was no geological science to guide them, and drilling technology was still in its infancy. Yet it was their vision and perseverance which finally put Indonesia on the world map of oil-producing nations, and which contributed materially to the development of today’s life of luxury. Much of the present text and several of the pictures are here presented for the first time to the general public.

Pak Rovicky,

Sumber tulisan saya, sebagaimana biasanya, banyak dan campur2. Tentang Jan Reerink ini salah satunya saya ambil dari website CCOP bab Indonesia tentang sejarah eksplorasi di Indonesia, dikonfirmasi oleh beberapa buku seperti van Bemmelen (1949) vol. IB dan beberapa buku serta laporan lain. Sumber seperti yang disebutkan Pak Koesoema (Poley, 2000) saya pikir akan sangat baik; kapan-kapan barangkali saya boleh fotokopi bukunya bila diizinkan.

Akan halnya Telaga Tunggal, tokoh yang terkenal adalah Jan Zijlker (nama Jan adalah nama “pasaran” orang Belanda). Tahun 1880, ia ditugaskan atasannya mengunjungi sebuah perkebunan tembakau di Sumatra Utara. Jan Zijlker adalah manager of the East Sumatra Tobacco Company. Di sana, ia melihat penduduk setempat (Langkat) menggunakan obor dengan suatu zat untuk membuatnya tahan lama menyala. Zijlker mengenal zat itu sebagai minyak tanah. Selidik punya selidik, ia mengetahui bahwa minyak yang digunakan penduduk berasal dari sebuah rembesan minyak yang keluar dari kebun tembakau. Tak berpikir lama lagi, instink bisnisnya berjalan, ia segera mendapatkan konsesi sebuah wilayah bernama Telaga Said di wilayah Langkat di mana rembesan minyak itu berada. Konsesi itu ia dapatkan dari Sultan Langkat. Dengan eksplorasi sederhana dimulailah pekerjaan berburu minyak. Usahanya ini mendapatkan dukungan Pemerintah Belanda.

September 1884 (perhatikan bukan 1885 – tahun 1885 adalah tahun yang selama ini digunakan sebagai angka tahun mulainya sejarah perminyakan di Indonesia) sebuah sumur pertama di Sumatra bernama Telaga Tunggal-1 di Sumatra Timurlaut sukses menemukan minyak. Sesuai aturan pemerintah saat itu, konsesi Telaga Said beralih ke Royal Dutch (sebuah perusahaan milik Kerajaan Belanda untuk mengeksploitasi minyak di Indonesia) pada September 1890. Tiga bulan kemudian, Zijlker meninggal dunia (Desember 1890). Apakah ia meninggal karena kecewa melihat sukses beralih dari tangannya, bisa diselidiki lebih jauh. Maka jelas, bahwa Maja-1 (Cibodas Tangat-1) lebih dulu dibor (1871) daripada Telaga Tunggal-1 (1884).

Seorang sahabat pena saya, generasi ke-3 dari orang-orang Amerika dan Belanda yang mengembangkan Telaga Said pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, baru-baru ini mengirimkan foto-foto lama tentang suasana Telaga Said saat itu, foto-foto itu warisan dari kakek buyutnya yang dulu bekerja di Telaga Said. Foto2 ini tak pernah dipublikasikan sebelumnya tentu.

Sejarah perminyakan di Indonesia dimulai oleh para independen yang berani seperti Jan Reerink (1871) dan Jan Zijlker (1880). Mungkin kita perlu melihat lagi bahwa sejarah perminyakan Indonesia dimulai bukan dari 1885, tetapi lebih awal lagi.






sumber::: http://tatangmanguny.wordpress.com/
0
4.7K
31
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923KThread83KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.