Rokok Sebagai Teman
Teman….. ya, ak mengatakannya demikian kepada gulungan kertas putih yang terdapat cengkeh di dalamnya dan spon putih berbentuk tabung dengan berbagai rasa dan aroma untuk menyaring kepulan asap yang di hirup, lalu di keluarkan seperti chord nada yang hidup di jiwa dan di lampiaskan menjadi sebuah lagu karya seni rock classic dengan tempo yang pas.
Aku mengenalmu sejak kecil, namun tidak begitu dekat. Hingga sekolah menengah atas kita bertemu kembali dan menjadi akrab, di kenalkan oleh seorang temanku cacing, ketika itu menuju tempat pemberhentian angkot pada terik matahari yang membahana panas, kening yang berkeringat mengalir ke pipi membasahi muka lalu menetes dari dagu. Hidup akrab hingga kini semakin dekat, sahabat yang sangat baik, sebaik pepohonan yang memberikan kehidupan untuk makhluk hidup yang tidak abadi.
“Aku melihatmu teman”… Sebuah kalimat sapaan untuk temanku yang ku anggap sebagai sosok yang setia, pendiam dan jujur. Kau selalu menyebar kan katamu, ak meresapi apa yang kau katakan, melalui tenggorokanku, menyatu dengan paru-paruku, meresapi setiap curahanmu yang menjadi heroinku untuk tidak bisa melepaskanmu, kau sejati, kau tetap dengan pendirianmu, kau jujur dan apa adanya, kaulah susah senangku, kau sahabatku. Curahanmu selalu kutunggu bagai bait-bait kosong di tenggorokan merindukan suara pelan santai dalam kepulan asap. Setiap perut terisi penuh bak gizi yang tercukupi kau pun bergurau dengan hebohnya kau punya rasa humor yang tinggi setelah makan, membuatku santai saat kekenyangan dengan lauk pedas dan minum teh hangat, ingin terbaring berbagi cerita bersama, ketawa bodoh membahas perempuan nakal yang kau ceritakan ketika kau bersamanya, aku pun keheranan, dengan senyum mengejek ak berkata, “perempuan mana yang ingin bersamamu?. Aku tau kau lebih sering bercanda dengan bapak-bapak dan anak sekolahan hahaha”. Dengan spontan kau membentak nada keras setengah marah tapi tersenyum malu, “Oi, aku nggak homo”. Memang benar, hanya saja kau tidak laku di kalangan para cewek manis nan imut.
Aku pernah meninggalkanmu, menghiraukan ajakanmu minum kopi di warkop tempat biasa yang sepi penuh risauan pelepas penat bersama, dengan hanya lampu kuning malam yang menyala menerangi jalan, melupakanmu hanya untuk bersama seorang wanita cantik yang aku sayangi, kau menungguku disana dan seperti biasa kau bersama tukang becak dan penjaga warung, kadang pergi bermain bola sodok kegemaranmu sembari melihat wanita penjaga memakai celana ketat mini. Aku pun menjauhimu untuk beberapa bulan, bodoh dan tidak berpikir, dia hanya pelara hati yang akan terjadi ketika aku di tinggalkan, menjadi seuntai pikiran kebencian yang meluap menghantui setiap malam memikirkan kekecewaan dan kebatinan yang sesak… Dan aku ingin bercerita kepadamu.
“dengarlah ini”, kau memberiku sebuah lagu instrument nada 7 memainkan melodi dan rhytme 2 gitar yang padu membentuk lagu tenang indah nan harmonis, Depapepe.
Aku mendengarnya sambil terpejam, kepalaku terisi suara merdu gitar mengalun lembut dalam otak kanan, terpikir diriku untuk selalu melangkah ke depan, dengan semangat ukuran orang pemalas santai yang hanya terbayang akan harum aroma empuk tempat merebahkan badan yang melemas lalu terbawa angan-angan mimpi. Namun… Aku akan melangkah untuk ambisi dan cita-citaku, aku punya jalan, yang harus aku tempuh. Aku mudah untuk rapuh, saat itulah aku berbagi suka duka bersamamu.
Aku terbangun dari angan sesaatku, lalu melihat ke atas, langit malam tenang dengan benderang bulan yang terang, beberapa bintang yang menghiasi, kaupun mendekat ingin mengatakan sesuatu.
Kau membisik-kan asa padaku, “Semua makhluk hidup akan mati pada akhirnya, jangan kau pernah untuk takut akan hal itu”.
Akupun menjawab dengan santai, “Ya aku tau, karena itu… aku tetap bersamamu”.
by : blackchevalier