Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dragonroarAvatar border
TS
dragonroar
Kaum LGBT di Indonesia rentan alami kekerasan dan diskriminasi
Kaum LGBT di Indonesia rentan alami kekerasan dan diskriminasi
Rully, seorang waria di Maguwo, Yogyakarta sedang mengamen di jalanan (ourvoice.or.id)

17 Mei lalu diperingati sebagai Hari Homophobia Internasional atau Homophobia Day. Peringatan terhadap gerakan melawan Homophobia tersebut diperingati secara internasional sejak 1992, lalu. Meski sudah 21 tahun dirayakan oleh dunia, hingga kini rasa takut dan risih yang berlebihan terhadap kaum Homo masih terjadi di tengah masyarakat. Tak jarang pula diskriminasi dan intimidasi dialami oleh kaum minoritas itu.

Manajer Yayasan Inter Medika, Sumedi Ryan Hutagalung menjelaskan, kasus diskriminasi yang dialami oleh kaum LGBTIQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transeksual, Intersex, dan Questioning) di dunia Internasional, seperti Amerika, New Zealand saat ini menurun, namun tidak di Indonesia.

“Kalau di Indonesia, belum ada perubahan soal itu. Tapi, jika di Eropa sudah ada even-even yang dilaksanakan oleh LGBTIQ di sana, dan tanpa ada gangguan. Sementara di Indonesia, banyak even yang diselenggarakan oleh LGBTIQ di beberapa daerah, penyerangan masih kerap terjadi ,” ucap Ryan.

Penyebab kekerasan dan penolakan itu, tutur Ryan, hingga kini masih juga belum dapat ia ketahui secara pasti. Ia mencontohkan, sebuah even ajang pemilihan Miss waria, yang beberapa kali dilakukan masih mendapat serangan dari orang tak bertanggung jawab.

“Kita tidak pernah mengganggu. Kita sendiri juga blank apa penyebab penolakan dan penyerangan itu. Di mana letak ancamannya acara pemilihan miss waria, itu? Pernah juga kita melakukan sebuah pelatihan untuk edukasi, dan itu pun juga diserang. Saya rasa ini karena budaya patriarki yang masih kuat di Indonesia. Di mana laki-laki dinomorsatukan. Namun, ketika ada laki-laki yang feminine, dan menyukai sesama jenis, hal itu dianggap menyimpang. Mungkin itu yang menjadi akar masalah,” terang Ryan, dalam acara Reformasi Hukum dan HAM di studio KBR68H, (27/13).

Untuk perayaan Hari Homophobia pada tahun ini, ia dan komunitasnya melakukan aksi damai di Bundaran Hotel Indonesia, pada 19 Mei, lalu.

“Kita membuat flash mob, dan mengajak masyarakat untuk bergabung, dan menunjukkan kepada mereka bahwa kami itu ada dan tidak berbahaya. Kami tidak menuntut apa-apa, hanya kesetaraan. Jangan anggap kami sebagai marginal. Kami hanya ingin pengakuan dan dianggap sama, “ pintanya.

Namun, untuk mewujudkan pengakuan itu, kata Ryan, hingga kini masih dirasa sulit. Karena masih derasnya penolakan, baik dari masyarakat, maupun keluarga.

“Sulit bagi kita untuk menjadi terbuka secara umum, mengingat penolakan yang sering terjadi. Terutama di lingkungan terdekat, yakni keluarga. Mereka takut akan dibullying lagi jika membuka identitas mereka. Meski ada sebagian yang nekat dan kemudian diterima, ada juga yang ditolak. Tapi, jika ada keterbukaan pemahaman tentang keragaman gender pada keluarga misalnya, hal itu akan menjadi mudah. Tapi, jika masih ada penyerangan, dan diskriminasi, hal itu kadang kembali menciutkan niat mereka membuka diri,” beber Ryan.

Bentuk diskriminasi yang sering dialami, jelasnya kembali, hingga kini masih banyak terjadi, terutama di kalangan waria. Misal, sulitnya akses pekerjaan bagi waria. Karena mereka diharuskan berpakaian seperti laki-laki, dan itu bertentangan dengan nurani mereka.

“Tapi, kalau di Indonesia itu yang diutamakan adalah penampilan. Beda dengan di Bangkok, Thailand. Waria di sana diperbolehkan bekerja dengan menggunakan pakaian senyaman mungkin menurut mereka, yang penting otaknya. Jika di sini, laki-laki yang berpakaian perempuan, maka akan sulit mendapat pekerjaan. Baik, ketika mereka berada di jalan, dan kemudian dikejar-kejar oleh satpol pp, bahkan dipukul, itu kan diskriminasi juga,” imbuhnya.

Perlakuan diskriminasi terhadap gay dibenarkan oleh Davy. Seorang Gay yang kini menetap di Jakarta mengaku, diskriminasi hingga kini masih ia alami. Bentuk diskriminasi yang ia alami mulai dari sekolah, pekerjaan bahkan saat ia kos di Jakarta. Ia harus diusir dari tempat kos-nya, karena pemilik kos mengetahui bahwa ia gay.

“Saya menghimbau kepada masyarakat, bahwa seorang homoseksual itu sama kok dengan kalian. Kita tidak pantas mendapat kekerasan dari siapapun, tidak pantas mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Kita itu sama! Yang berbeda hanya orientasi seksual saja. Jika menurut kalian salah, Karena mengacu pada aturan agama, dan aturan heteronormatif, bahwasannya laki-laki harus macho, dan menikah dengan perempuan, padahal kan ngga,” keluh Davy.

Ia menambahkan, Pancasila sudah menjelaskan, bahwa kita ini Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi satu jua. Tapi, kenapa hanya karena perbedaan orientasi seksual, menyebabkan adanya perbedaan yang sangat jauh.

“Paradigma masyarakat yang menyalahkan kaum minoritas, dan orientasi seksual berbeda adalah salah, itu menjadi pemisah, dan bersifat subyektif, dan ngga harus seperti itu, kita ini sama!,” tegasnya.

Namun, Davy mengaku, ia sudah berani membuka diri kepada lingkungan di sekitarnya mengenai orientasi seksual yang menjadi pilihannya.

“Saya melakukannya dengan memberikan edukasi terlebih dulu, bahwa homoseksual itu sama, dan tidak layak mendapat kekerasan. Jadi, sebelum saya mengungkapkan identitas saya, saya menjelaskan apa itu homoseksual,” ujar Davy.

Manajer Yayasan Inter Medika, Ryan Hutagalung berpendapat, hingga kini pihak kepolisian masih belum berpihak jika ada penyerangan terhadap LGBTIQ. Penanganan terhadap kasus kekerasan yang dialami pun masih kurang.

“Polisi bisa dikatakan belum berpihak kepada kami secara utuh. Contohnya saat konferensi tingkat dunia yang dilaksanakan di Surabaya beberapa waktu lalu, polisi bahkan ikut menyerang, dan membantu terjadinya penyerangan itu. Saya kira itu terjadi juga di Jakarta. Dan ketika kita diserang, kemana polisi?,” tegas Ryan.

Ryan pun juga menolak rencana pemberian penghargaan dari sebuah lembaga di Amerika kepada SBY, dalam waktu dekat ini. Ia menilai, SBY masih belum pantas menerimanya.

“Saya tidak setuju! Selama masih ada bentuk diskriminasi terhadap satu komunitas saja, saya tidak setuju. Jika LGBTIQ sudah tidak mendapat cemoohan di mana saja, saya akan setuju, “ imbuh Ryan.

Ia mengusulkan, agar pemerintah merevisi Undang-undang atau aturan yang sangat tidak mendukung komunitas LGBTIQ. Semisal, UU Pornografi, dan Qanun di Aceh.

“Kami meminta pemerintah untuk mereview, semua aturan yang mengancam kami. Bila perlu dihapus saja. Karena semua aturan itu dapat merugikan komunitas kami, dan itu dijadikan alasan untuk mneyerang kami, karena ada aturan yang mengaturnya. Saya sarankan untuk kembali ke UUD 1945 dan Pancasila, agar tidak kembali terjadi diskriminasi pada semua kelompok, terutama LGBTIQ,” pungkasnya.

sumber
Diubah oleh dragonroar 28-07-2013 11:31
0
7.7K
68
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672KThread41.7KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.