lamberianto.Avatar border
TS
lamberianto.
Musuh Kaum Entrepreneur Itu Bernama Perizinan
Spoiler for entrepreneur:


Perizinan—atau biasa dilafalkan pula sebagai perijinan—ternyata masih menjadi ancaman laten bagi kaum pengusaha di negeri ini. Tidak hanya di saat-saat sekarang, jauh sebelum ini pun masalah perizinan selalu menghantui dunia usaha. Sejarah seakan berulang.

Kala Orde Baru berkuasa, keluhan yang paling mengemuka adalah soal perizinan usaha, kendati arus investasi juga cukup deras mengalir ke bumi Indonesia. Baik investor asing maupun domestik menganggap beleid perizinan yang ada ketika itu amatlah menghambat kondusivitas para pelaku usaha.

Kini, sekitar 20 tahun kemudian, di masa yang konon dianggap sebagai era keterbukaan, abad informasi, persoalan perizinan ternyata masih saja menelikung kebebasan kaum entrepreneur untuk dapat leluasa bergerak.

Hal yang membedakan dengan suasana dua dekade silam hanyalah kemasannya. Sedangkan substansinya sama, yakni perizinan tetap saja sebagai alat ampuh untuk memperkaya diri para pemilik kekuasaan alias yang berwenang memberikan izin tersebut.

Meski demikian, kaum entrepreneur juga tidak pernah menyerah untuk selalu meneriakkan rasa galau mereka terhadap politik perizinan tadi dari masa ke masa. Dan bila sudah demikian, maka pemerintah pun sibuk—atau pura-pura sibuk—untuk mengubah kebijakan di sana sini.

Karenanya, kita tempo hari sering mendengar berbagai istilah yang dimaksudkan untuk memudahkan perizinan usaha seperti One-Stop-Service, Layanan Satu Atap, Layanan Terpadu, Layanan Berbasis Transparansi, dan berbagai istilah mbelgedhes lainnya. Nyatanya, dunia usaha tetap saja mengeluhkan betapa untuk memulai usaha ataupun mengembangkan usaha di negeri ini memang tidak (pernah) mudah.

Dalam seminar Prospek Bisnis Properti 2013 di Tengah Langkah Pembenahan Birokrasi yang digelar harian ini Rabu kemarin, suasana di atas stage tempat ‘bersemayamnya’ para panelis maupun di floor seakan berubah menjadi mimbar bebas. Sejumlah panelis dan peserta seminar—yang beberapa di antara mereka merupakan entrepreneur beneran, sama-sama meluapkan kegalauan mereka terhadap politik perizinan yang berlangsung saat ini.

“Salah satu faktor yang menjadikan harga rumah sederhana tidak lagi sederhana adalah beban biaya perizinan yang berlapis-lapis. Sudah begitu, proses keluarnya perizinan itu lama pula,” ujar Setyo Maharso, ketua umum Realestat Indonesia, mengilustrasikan bagaimana faktor perizinan tersebut memberikan kontribusi signifikan dalam pembentukan harga hunian.

Tentu saja bila mendengar kalimat tersebut, siapapun akan mampu menangkap kesan bahwa di balik proses perizinan yang berbelit itu dapat dipastikan ada sejumlah angka rupiah yang harus dilibatkan untuk memperoleh beberapa carik kertas yang bernama izin tadi.


Eddy Ganefo, Ketua Aspersi atawa Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia, tak kalah vokal dalam menyikapi politik perizinan tersebut. Menurut dia, yang juga menjadi panelis dalam seminar itu, berbagai dana siluman harus disertakan di seluruh level birokrasi perizinan, dari tingkat terendah hingga tertinggi.

Pungutan haram yang dikenakan bagi para entrepreneur itu di setiap daerah berbeda kisarannya. Namun, lanjutnya, “Jakarta lah juaranya, bisa beberapa puluh kali lipat dari daerah lain.”

Dia pun mengusulkan agar pemerintah menerapkan sistem perizinan online, jadi masyarakat dapat ikut mengawasi, sehingga lebih transparan, dan dari situ diharapkan dapat meminimalkan berseliwerannya dana-dana siluman tersebut.

30 Perizinan

Semakin besar dan kompleks sebuah proyek properti ternyata makin rumit pula kebijakan perizinan yang berlaku atasnya. Simak, misalnya, pengungkapan soal itu yang disampaikan Handaka Santosa, Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Perbelanjaan Indonesia, bahwa untuk mendirikan pusat perbelanjaan kelas mall, “kami harus memperoleh setidaknya 30 perizinan.

“Berarti, uang yang harus disediakan juga sekitar 30-an paket dong,” saya iseng bertanya kepadanya. Handaka tidak menjawab langsung, tapi memilih mengembangkan senyum lebar yang bermakna bahwa saya harus mengerti sendiri, memakluminya.

“Termasuk perizinan bagi orang asing untuk memiliki produk properti di Indonesia, bukan main sulitnya, dan sampai sekarang tidak kunjung diizinkan. Padahal, di berbagai negara seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Jepang, Inggris, hingga Amerika Serikat, orang asing bebas dan boleh memilikinya. Bahkan ada beberapa negara yang mengizinkan orang asing untuk memperoleh freehold [hak milik] atas produk hunian itu lho,” tutur Handaka sembari menunjukkan setumpuk iklan penjualan properti di sejumlah negara di berbagai surat kabar.

Dia menyatakan keheranannya mengapa pemerintah Indonesia begitu takut atas kesempatan bagi orang asing untuk dapat memiliki produk properti dalam negeri itu. Padahal, lanjutnya, pemerintah dapat menerapkan mekanisme kendali bagi asing untuk memiliki produk properti domestik kalau khawatir kebijakan itu dapat menimbulkan dampak tidak menguntungkan bagi warga negara Indonesia.


Caranya, menurut Handaka, dengan membatasi harga jual minimal Rp3 miliar per unit ditambah biaya pajak lebih tinggi. “Toh, produk porpertinya masih tetap di negeri ini kan, tidak akan dibawa ke mana-mana.”

Kita semua tahu bahwa para tokoh yang berbicara dan objek tentang jeratan beleid perizinan tersebut tentu saja bukan entrepreneur kemarin sore. Tidak sedikit di antara mereka yang merupakan pengusaha kawakan. Sebegitunya pu, mereka masih merasa merasa keki terhadap masalah perizinan ini, apatah lagi bagi entreprenur bau kencur.

Kenalan saya, calon entrepreneur di bidang makanan kemasan, misalnya, terpaksa mengurungkan niatnya untuk memulai berbisnis karena belum-belum sudah dipusingkan dengan urusan perizinan, dari usaha, izin kehalalan produk, izin merek/brand, izin lingkungan, dan sebagainya. Belum lagi izin tidak resmi seperti dari Pak RT ataupun Pak RW hingga Pak Lurah.

Konyolnya lagi, sebagian besar setoran untuk mengurus perizinan tadi tidak disertai dengan tanda terima yang sah, karena tujuan pengenaan pungutan terhadap para wirausahawan itu memang dimaksudkan sebagai PADS, menurut istilah Zulfi Syarif Koto, yang juga panelis seminar tersebut, bukan semata-mata sebagai PAD.

Apa bedanya? Kita semua tahu bahwa PAD merupakan kependekan dari Pendapatan Asli Daerah, sedangkan PADS, menurut Zulfi, adalah Pendapatan Asli Diri Sendiri alias dikorupsi. Klop sudah bila demikian halnya, bahwa politik perizinan bermuara kepada praktik korupsi.

Untuk menutupi kegetiran soal perizinan ini, Setyo Maharso punya joke tersendiri mengenai perizinan yanmg disebutnya sebagai ‘perijinan’ itu. “Dari namanya saja sudah terlihat bahwa perijinan itu terdiri dari peri dan jin. Mereka ini tidak terlihat tapi sama-sama suka mengganggu.” Nah!
0
10.5K
171
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Entrepreneur Corner
Entrepreneur CornerKASKUS Official
22KThread4.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.