Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

PemujaTuhanAvatar border
TS
PemujaTuhan
1 Juta untuk Membeli 1 Jam
Senin sampai jumat, ayahku pasti tak ada di rumah. Aku pun tak kesal apalagi marah, karena aku tahu ayahku sedang bekerja dengan dalih mencari uang untuk keluarga; mulai dari dana untuk sehari-hari, membayar listrik, membayar tagihan telpon, TV berlangganan, bayar tagihan kartu kredit, sampai dana untuk masa depanku.

Saking sibuknya aku pun hanya bertemu ayah di pagi hari sedangkan di malam harinya aku pasti sudah tidur di saat ayahku pulang. Pikirku, apakah memang ini harus aku alami setiap harinya?. Tapi aku selalu berusaha untuk dekat dengan ayah meski sepulangnya ayah dari kantornya, ia terlihat lelah, dan paginya terlihat tergesa membereskan semua keperluannya.

Waktu aku dan ayah hanya dua hari saja untuk bertemu, weekend. Itupun terkadang aku harus lagi-lagi mengalah, jika hari spesial weekend itu harus diisi ayah untuk bisnis lainnya bersama temannya.

Rinduku pada ayah untuk masa-masa lalu saat bersama mengalahkan kemarahanku, tapi kharisma ayahku membuatku ragu untuk meminta sedikit waktu dan bertanya padanya.

Suatu hari selepas ayah pulang bekerja, aku membenamkan semua keraguanku untuk meminta waktu ngobrol bersama ayah meski ayah terlihat mumet, mungkin saja ayah sedang lelah dan atau mungkin ada sedikit masalah di kantornya. Padahal itu memang setiap harinya yang aku lihat.

“Ayah, boleh aku bertanya sedikti saja pada ayah,” tanyaku sedikit menundukkan kepala karena takut ia marah.

Jawabnya, “Tentu anakku, mau tanya apa?”.

“Sebenarnya, dalam hanya waktu satu jam saja ayah sudah bisa menghasilkan uang berapa sih?,” kembali sahutku

“Itu bukan urusan kamu. Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu dan mempertanyakannya pada ayah?”, ayahku menjawab.

Aku sedikit takut, saat ayah melontarkan jawaban yang begitu padat dan muka yang terlihat sedikti emosi berselimut penasaran. “Gak kok yah, aku hanya mau tahu saja. Jangan marah ya, beritahu saja berapa ayah menghasilkan uang dalam satu jam,” aku memberanikan diri mengajukan pertanyaan yang serupa.

“Oke, kalau kamu memang tahu, ayah bisa menghasilkan uang hingga satu juta rupiah”. Akhirnya, ayahku mau menjawabnya.

Sejenak aku berpikir, betapa ayah orang yang termasuk super sibuk karena setiap waktunya bisa menghasilkan uang saat bekerja, sampai-sampai di rumah pun handphonenya sering berdering, entah dari bawahannya sampai teman bisinisnya. “Pantas saja ayah sibuk banget, satu jam saja bisa dapat uang satu juta, bagaimana dalam satu hari ya…”

Aku kembali mengadahkan pandanganku pada ayah yang sedang terlihat asyik dengan handphonenya dan kacamatanya yang sedikit bergeser ke bawah, karena ayah tak lagi dapat melihat dengan jelas jika tanpa kacamata minusnya. Minus atau plus atau silinder aku tak paham.

Kembali aku bertanya padanya yang tak sedang melihatku, “Ayah, bolehkah aku pinjam uang setengah dari penghasilan ayah dalam satu jam itu?”. Dengan lidah yang sedikit kaku dan bergetar, akhirnya pertanyaan itu tersampaikan juga.

Tapi, tak pernah ku sangka pertanyaan itu membuat ayah meletakkan handphone dengan segera ke meja dan membuka kacamatanya. Menghela napas, ayahku mengambil kopinya, lalu meminumnya. Lalu, matanya terlihat tajam menyorot ke aku yang sedari tadi bergetar. Maklum saja, dari kecil ayahku sangat aku segani karena rasa hormat.

Tak pernah aku lihat begitu marahnya padaku sampai ia berkata, “Jika hanya itu alasannya kamu miminta waktu dan bertanya pada ayah, mungkin untuk membeli mainan atau sesuatu yang tidak berguna, sebaiknya kamu pergi ke kamar dan tidur sekarang,” ucapnya sambil mengangkat tangan dan mengacungkan hari tengahnya ke arah pintu kamarku yang tak jauh dari tempat kami berbicara.

“Pikirkan sama kamu kenapa kamu bisa sampai egois seperti itu. Aku bekerja keras sedari kecil,” lanjut ayahku memarahi aku.

Langkah gontai, pandangan menunduk menuju pintu kamarku perlahan. Ku tarik handle pintu membukanya dan ku biarkan ia tertutup dengan sendirinya hingga terbanting, aku menyungkurkan badanku ke kasur hingga sedikit bersuara.

Ku renggut bantal dan mulai merenungkan “apa yang salah dalam pertanyaanku, dan kenapa ayah begitu berubah sejak ditinggalkan ibu karena wafat beberapa tahun silam”. Ibu tak ada lagi sejak aku masih sangat kecil, ayahkulah yang mengurus aku hingga aku sekarang berusia 10 tahun. Masih sangat belia dan muda, tapi aku sedih ditinggalkan sosok ibu yang kucintai, sementara ayah berangsur tenggelam dalam kesibukkannya.

Di luar, ayah kembali meraih handphonenya. Sesekali ia mendekatkan handphonenya ke arah kupingnya untuk berbicara dengan kawannya. Dan sesekali ia tertawa, lalu tersenyum, lalu berbicara nominal uang dan keuntungan. Tapi sesekali ayah menelpon dengan orang lain lagi dengan nada marah dan sesekali mengumpat dan samar terdengar kata rugi.

Ayah kembali duduk dan meminum kopi, kali ini ia sedikit rileks. Dua jam berlalu, ayah terlihat semakin tenang dan sesekali ia mengusap dahi sampai pangkal rambutnya. Ada dengan ayah, padahal ia sudah tak lagi memegang handphonenya sejak beberapa saat.

Bergerak dari duduknya, berdiri dan berjalan perlahan dan mendekati pintu kamarku. Tanpa mengetuk pintu, ayah membuka pintu kamarku dan mendekati aku. “Kamu sudah tidur, nak” tanyanya sambil mengelus rambutku.

“Belum yah,” jawabku. Aku terbangun dan duduk di sampingnya.

“Nak, ayah sudah berpikir, ayah terlalu keras dan terlalu cepat memarahi kamu. Mungkin karena ayah terlalu lelah dan banyak pikiran soal bisnis ayah. Ini uang setengah juta yang kamu ingin pinjam,” kata ayahku.

Aku terperangah dengan perubahan sikap ayah yang begitu beda. Aku tersenyum dan berkata “Terimakasih ayah”.

Ku ambil uang itu dari ayahku, lalu aku beranjak ke meja belajarku dan membuka laci mejaku. Ku ambil simpanan uang jajanku yang ada di dalamnya, tak seberapa nilanya sama dengan yang ayah beri kepadaku, setengah juta. “Kenapa kamu pinjam uang kepada ayah setengah juta, padahal kamu sudah uang itu,” tanya ayahku heran.

“Ya, ayah…tapi uang simpananku tak lagi cukup,” jawabku.

Lalu, aku berikan yang simpananku itu ditambah dengan uang pinjaman dari ayah menjadi satu juta rupiah. Ayaku semakin heran.

“Ayah ini uangku satu juta rupiah. Bolehkan aku membeli waktu ayah satu jam yang ayah miliki besok?. Kalau boleh ayah pulang lebih awal besok dan jangan larut malam. Aku ingin makan malam bersama seperti dulu waktu masih ada ibu,” kataku.

Meneteskan air mata, ayah terlihat memar dan menangis, tak kuat aku dan ayah saling memeluk. Ayahku memang sibuk, tapi ayahku tetap menjadi yang terbaik sepanjang hidupku. Ia hanya terlalu sibuk untuk mencari uang untuk membiayai hidupku.

Sekadar berbagi n sharing tulisan.Tulisan dalam bentuk narasi, semoga bermanfaat dan santai membacanya..Artikel ini juga bisa diliat di www.mahasehat.com..
0
3.5K
31
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671KThread40.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.