Bukan tanpa alasan jika sebuah album dedikasi dibuat serius dengan jajaran artis internasional untuk sebuah band rock Jepang.

Maklum, band rock Jepang yang dimaksud bukanlah sembarang band rock Jepang melainkan L’Arc-en-Ciel. Band rock Jepang sudah mampu bertahan selama 20 tahun bermusik. Dan, dalam perjalanan karier mereka selama itu, 15 juta keping CD sukses terjual dari total sekitar 12 album studio dan 13 album kompilasi. Ini tentunya belum termasuk penjualan single album atau DVD.

Dalam rangka meramaikan perjalanan karir grup selama 20 tahun inilah, akhirnya album dedikasi dibuat. Di album ini, artis internasional dan lebih terkenal menerjemahkan lagu-lagu L’Arc-en-Ciel ke dalam versi mereka sendiri. Marti Frederiksen bertindak sebagai produser.

Hasilnya bagaimana? Lagu-lagu L’Arc-en-Ciel — terutama 10 lagu pertama — memang terdengar jadi berbeda dengan versi Hyde dan kawan-kawan. L’Arc-en-Ciel Tribute pun menjadi album gado-gado berbagai genre musik. Ini mungkin untuk memberi tendangan mengejutkan di telinga saat menikmati keempatbelas lagu.

Dari aransemen, “Vivid Colors” yang dinyanyikan Maxi Priest terasa paling berubah dari aransemen awal. Suasana sendu pun terasa dari perubahan aransemen “Flower” yang dinyanyikan dalam bahasa Perancis oleh Clementine.

TLC (“Rainbow”) dan Boyz II Men (“snow drop”) bisa dibilang jadi juaranya dalam perubahan aransemen tanpa menghilangkan emosi lagu. Yang cukup mengagumkan adalah nyawa alias karakter grup TLC dan Boyz II Men lengkap dengan desah, aksen, dan suara berat vokal secara mengagumkan begitu lekat di lagu.

Dan, ditambah dengan perubahan lirik bahasa Inggris, kedua lagu ini pun menjelma menjadi dua lagu barat pop yang dijamin akan bisa dengan mudah menembus daftar lagu radio Top 40 atau genre lain diluar J-rock. Misi “crossover” pun sukses.

Namun, apakah pendengar di luar penggemar L’Arc-en-Ciel akan menikmati album gado-gado ini?

Penggemar Boyz II Men atau TLC pasti akan terkejut-kejut jika membeli album ini saat mendengar ingar-bingar musik terjemahan Vince Neil (“Blurry Eyes”), Michael Monroe (“Heaven’s Drive”), atau Zebrahead (“Ready Steady Go”). Belum lagi, empat lagu bonus di penghujung yang masih berlirik bahasa Jepang (“SEVENTH HEAVEN”, “Shout at the Devil”, “Caress of Venus”, “Driver’s High”). Misi “crossover” pun gagal.

Jadi, visi produser, tim manajemen dan band saat meluncurkan produk album dedikasi ini adalah untuk para penggemar L’Arc-en-Ciel. Apalagi, jika dilihat dari empat lagu bonus yang merupakan lagu interpresi empat grup J-rock yang menerjermahkannya tidak terlalu berbeda jauh dengan versi asli. Visi band dan timnya adalah membuka mata penikmat musik grup akan kemungkinan sampai sejauh mana musik L’Arc-en-Ciel bisa tereksploitasi. Tereksploitasi hingga menjelma menjadi satu karya musik yang sangat berbeda dari grup favorit mereka.

Satu hal, jika dinikmati dari kacamata penggemar, perbandingan tidak bisa dielakkan. Dan, jika dibandingkan ditambah dengan bias sebagai penggemar — seperti saya — sejenius atau secanggih apapun interpretasi musik L’Arc-en-Ciel, sebeken apa pun yang menyanyikan, tetap versi yang aslinya tidak ada tandingannya.