Jika disahkan, Muhammadiyah ancam gugat UU Ormas ke MK
Slamet Riadi
Kamis, 28 Maret 2013 − 15:18 WIB
Quote:
Sindonews.com- Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengaku tak akan tinggal diam apabila DPR tetap mengesahkan RUU Ormas menjadi Undang-Undang. Jika RUU itu tetap disahkan maka PP Muhammadiyah akan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsudin menegaskan pihaknya bersama dengan
ormas-ormas lainnya akan mengajukan uji materi (jurdicial review) ke MK.
"Kalau pemerintah, DPR, tidak mendengarkan aspirasi ini, maka Muhamddiyah akan memprakarsai untuk melakukan uji materi ke MK," ]tegas Din Syamsuddin saat konferensi pers di kantornya, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (28/3/2013).
Menurut Din, dalam RUU ormas, banyak pasal yang menghambat Ormas, sehingga RUU ini pantas untuk dihentikan.
Din merasa beberapa pasal seperti yang mengharuskan setiap Ormas mendaftarkan diri setiap tahun dinilai terlalu menghambat organisasi.
"Masa Muhammadiyah harus tiap tahun mendaftar. Kita bayangkan kalau Muhammadiyah mendaftarkan secara nasional. Ini tidak ada sebelumnya, ini akan menghambat Ormas," ujarnya.
Pihaknya meminta agar pembahasan RUU Ormas sebaiknya dihentikan, pasalnya banyak RUU lain yang jauh lebih penting untuk segera diselesaikan.
"Muhammadiyah mendesak kepada DPR untuk menghentikan seluruh pembuatan undang-undang ormas," pungkasnya.
(lns)
Sumber:
Sindonews.com
____________________________________________________________
Ini Alasan PP Muhammadiyah Tolak RUU Ormas
Quote:
Metrotvnews.com, Jakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah memiliki alasan untuk secara tegas menolak seluruh proses pembuatan RUU Ormas.
Penolakan itu seperti diungkapkan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin di Jakarta, Kamis (28/3), terkait sejumlah pasal yang menurutnya berpotensi membatasi kebebasan berserikat dan merugikan Ormas.
Pasal itu antara lain Pasal 61 ayat 3, yang mengatur sumbangan yang masuk ke Ormas. Adapun dalam Pasal 61 ayat 3 tertulis Ormas dilarang menerima sumbangan berupa uang, barang dan jasa dari pihak manapun tanpa mencantumkan identitas yang jelas.
"Konsep ini menyulitkan kita sebagai Ormas yang sifatnya keagamaan. Sebab, memang banyak donatur yang enggan disebutkan namanya saat memberi sumbagan atau wakaf dengan alasan menjaga keikhlasan," tandasnya.
Lebih lanjut Din memaparkan mayoritas pasal-pasal dalam RUU Ormas seperti Pasal 8 dan Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 hanya meliputi Ormas nasional, provinsi dan kabupaten/kota."Ini juga menyulitkan bagi Muhammadiyah dan NU yang sudah melebarkan sayap ke luar negeri," imbuhnya. (Astri Novaria)
Editor: Agus Tri Wibowo
Sumber:
Metrotvnews.com
------------------------------------------------------------------------------------------
DPR dan Pemerintah Diminta tidak Ngotot Sahkan RUU Ormas
Quote:
Metrotvnews.com, Semarang: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mempertanyakan sensitivitas politik DPR RI dan pemerintah terkait dengan rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) pada 9 April.
"Meski sejumlah elemen masyarakat di seantero Nusantara menyatakan menolak keberadaan RUU Ormas versi revisi atas UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Ormas, DPR RI dan Pemerintah berencana mengesahkan RUU itu menjadi undang-undang,"kata Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan PSHK Ronald Rofiandri melalui pesan elektronik di Semarang, Minggu (31/3).
Dengan demikian, kata Ronald, keliru besar inisiatif penolakan RUU Ormas dimotori LSM dan semarak di Jakarta saja. Fakta menunjukkan keberatan dan mempertanyakan urgensi RUU Ormas muncul meluas sejak Maret 2012 dan bergelombang dari berbagai kalangan.
Menurut dia, tidak hanya Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, penolakan juga dilontarkan oleh sejumlah ulama, tokoh, atau pimpinan ormas, baik yang bersifat keagamaan maupun tidak.
Bukan hanya pernyataan, lanjut dia, sebagian sikap tersebut bahkan diikuti dengan serangkaian aksi, baik di daerah maupun Jakarta, yang berlangsung sepanjang Februari hingga Maret 2013.
Ia lantas mencontohkan reaksi dari kelompok buruh, misalnya, Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) yang bersurat kepada Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) pada 18 Maret 2013. Kemudian, kalangan mahasiswa/pelajar, salah satunya Persatuan Pelajar Islam (PPI) yang dahulu pernah dibubarkan oleh rezim Orde Baru pada 1987.
Bahkan, lanjut dia, United Nations Special Rapporteur on Freedoms of Association, Expression, and Religion sempat mengingatkan akan bahaya RUU Ormas. "Berbagai tanggapan dan penyikapan terhadap RUU Ormas telah disuarakan oleh berbagai pihak dari segala penjuru, hingga kemudian berujung pada penolakan," katanya menandaskan.
Argumentasi yang tersaji, menurut dia, tidak menyisakan lagi ruang kegentingan akan kehadiran RUU Ormas, seperti yang dipersepsikan selama ini oleh DPR dan Pemerintah.
"Pilihan membatalkan rencana pengesahan RUU Ormas pada 9 April 2013 atau malah melanjutkannya, akan menjadi bukti apakah keduanya cukup peka atau justru menerabas aspirasi publik," kata Ronald.
Dalam pasal RUU yang rencananya disahkan pada 9 April, terdapat ketentuan yang membuka peluang bagi pemerintah untuk membubarkan atau membekukan ormas. Padahal, praktik seperti itu merupakan gaya khas Orde Baru yang sudah ditinggalkan dan tanggalkan.
Mengingat Indonesia berlandaskan hukum dan HAM, mestinya mekanisme pembekuan atau pembubaran ormas diserahkan kepada lembaga independen, misalnya pengadilan. Instrumen hukum seperti undang-undang ormas mestinya didesain untuk menjaga kebebasan berserikat sebagaimana dijamin konstitusi.
Selain itu, dalam pertimbangan RUU Ormas disebutkan bahwa aturan itu dihadirkan untuk mengganti UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Ormas. Namun, dalam turunan pasalnya tidak terdapat perubahan mendasar.
Misalnya, RUU Ormas hanya menghilangkan asas tunggal dan pembubaran ormas diatur secara bertahap sampai dilimpahkan ke pengadilan.
Juga terdapat larangan yang masih amat luas untuk ditafsirkan, misalnya larangan melanggar norma kesusilaan, menggunakan lambang gerakan separatis, dan menerima serta memberi sumbangan dana dari atau kepada pihak asing yang hak penafsirannya di tangan menteri dan pemerintah daerah. (Antara)
Editor: Henri Salomo Siagian
Sumber:
Metrotvnews.com
________________________________________________________
ada yang sudah baca dan memahami
UU Nomor 8 Tahun 1985?
ada warga kaskus BP yang hidup diera eyang Suharto apa tidak?
silahkan dishare di sini
sekali lagi, ini mengembalikan ke masa ordebaru yang menggunakan pancasila sebagai kepentingan politik dengan memaksakan tafsir pancasila sesuai Pemerintah.