Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

rendroprayogoAvatar border
TS
rendroprayogo
Manusia Pramoedya
Sumber: http://www.perspektifnews.com/1077/m...sia-pramoedya/


Jum'at, 22 Maret 2013

Oleh: Armand Dhani Bustomi

PerspektifNews
- Saya membayangkan, dengan rokok Djarum yang terus mengepul, Pram mengetik dengan tergesa-gesa jawaban atas surat terbuka yang dilayangkan padanya oleh Goenawan Mohamad. Wajahnya tertekuk hebat, mengejan dan otot mukanya keluar dengan sengaja. Luka yang sempat dilupakan, ternyata masih menyakitkan.

Goenawan Mohamad mengatakan "Bung telah bersuara parau ketidak-adilan" sebuah hantaman yang cukup keras. Esais dan penyair asal Batang itu merasa gerah dengan sikap Pram yang menolak permintaan maaf Abdurahman Wahid, presiden Indonesia saat itu. Ia juga menambahkan bahwa Pram adalah pribadi pendendam, yang disebutnya sebagai "Seorang yang merasa lebih ‘tinggi’ derajat ke-korban-annya akan mudah merasa berhak jadi maha hakim terakhir".

Siapapun yang menerima surat semacam itu saya kira akan bergetar marah. Dalam kata-kata yang indah dan halus itu ada sebuah cemoohan, vonis, sindiran dan juga tuntutan. Pram tak perlu lama menuliskan jawaban surat itu kepada Goenawan Moehamad.

Ia mengawali suratnya dengan sangat ketus "Saya bukan Nelson Mandela. Dan Goenawan Mohamad keliru, Indonesia bukan Afrika Selatan." Sebuah kakhi dasi yang memilukan. Ia menjawab surat GM, begitu mantan Pemred Tempo itu disapa, dengan padu padan kata yang pelan namun menusuk. Siapapun yang membaca surat itu akan menyepakati bahwa Pram sedang bertahan dari luka yang teramat perih.

Pram dengan garang, namun cukup santun, mengkritik balik Goenawan. Ia menganggap petinggi penulis Caping itu sebagai orang yang naif. Karena menganggap maaf bisa dengan mudah menyelesaikan masalah. Pram sudah lelah untuk percaya. Termasuk pada Gus Dur dan Goenawan Mohamad, yang disebutnya "adalah bagian dari Orde Baru. Ikut mendirikan rezim."

Pram dengan bahasa yang tertatih dan kelelahan menuliskan "Saya tidak percaya dengan semua elite politik Indonesia. Tak terkecuali para intelektualnya; mereka selama ini memilih diam dan menerima fasisme." Saya kira manusia yang tak sanggup lagi percaya sesamanya adalah orang yang telah lama kalah. Seseorang yang sudah memberikan apapun yang dimiliki untuk kemudian dikhianati.

Saya setuju dengan Pram. Gampang amat memaafkan. Goenawan tidak pernah dipenjara untuk sesuatu yang ia sendiri tak tahu kenapa. Goenawan tak perlu merutuk setiap malam karena karyanya dibakar dengan kejam setelah riset bertahun tahun. Dan yang paling penting, Goenawan tidak pernah merasakan perih saat keluarganya harus mengalami diskriminasi atas tuduhan komunis.

Dalam surat yang sama, Pram bercerita panjang tentang pengorbanan yang terlalu banyak. Mengenai "Betapa sakitnya ketika pada 1965 saya dikeroyok habis-habisan," ia harus disudutkan dan menjadi kalah "sementara pemerintah yang berkewajiban melindungi justru menangkap saya." Pram kemudian menginsyafi bahwa dirinya memang harus sendiri dalam menghadapi segala penindasan Orde Baru.

Memaafkan adalah perkara karakter. Dan sebuah karakter paling pemaaf pun saya ragu akan tetap bertahan melewati 3.001 malam, atau delapan dari 12 tahun penyekapan tanpa sebab di Buru, untuk bisa menjadi waras. Tidak. Saya akan mendendam. Mengeras dan membatu. Goenawan tak perlu mengalami itu semua. Karena ia toh masih tetap bisa menulis tanpa mengalami rumah dan kebebasanya dirampas paksa.

Mereka yang mengkritik Pram, seperti Mochtar Loebis dan Taufiq (dengan q bukan k) Ismail, boleh menyebutnya sebagai antek Lekra. Tapi Pram mengakui itu. Ia dengan gagah mengakui bahwa ia memang bagian dari padanya, tidak lari bersembunyi, juga bermanis-manis dengan Soeharto. Ia juga tak perlu menangis di atas mimbar, seperti salah seorang penyair, untuk memperoleh ampunan. Pram merdeka dan berjuang dengan kemampuannya sendiri.

Meski ia harus kalah. Toh seperti penuturannya pada Koesalah Soebagyo Toer dan André Vltchek. "Saya merasa terasing dengan bangsa ini," terasing karena melihat generasi mudanya hanya bisa mengkonsumsi dan berternak. Juga merutuki bagaimana Liliek, panggilan terhadap Koesalah Soebagyo Toer, membiarkan anak, cucu, dan keponakannya sebagai pribadi peminta-minta. "Saya merasa jijik dan malu,"

Pram juga menolak Doa. Menolak segala yang mirip dengan mengemis. Ia hanya percaya dirinya sendiri. Tuhan dan Pram adalah dua pihak yang sama keras kepala. Pram merajuk karena selama di Buru tak sekalipun tuhan menolongnya. Lalu dibalas Pram dengan tak pernah tunduk dan berdoa kepada Nya. Dalam salah satu fragmen cerpen Sunyi Senyap Di Siang Hidup Pram memuat doa yang begitu profetik "Moga-moga anakku tak akan mengalami segala yang aku alami dalam hidup,"

Mereka yang menyebut diri Pramis, seperti saya tentunya, paham benar harapannya terhadap generasi muda. Untuk memulai Revolusi dan memperbaiki kondisi. Generasi tua yang ia anggap korup sudah tak bisa terselamatkan. Hingga akhir hayatnya, ia masih memimpikan generasi muda untuk memulai perubahan. Sayangnya, seperti juga saya, karya Pram hanya sekedar bacaan. Tak pernah menjadi sebuah percik revolusi subuh.

Kebencian dan dendam Pram bukan kepada republik ini, tapi kepada penguasa. Pram yang baru saja keluar dari Buru dengan gagah mengecam tindakan Soeharto kepada Timor Timur juga kepada Bangsa Atjeh (ia selalu mengatakan Jawa berhutang pada Atjeh). Terakhir beberapa hari sebelum meninggal, ia bahkan masih sempat mengkliping pemberitaan mengenai Papua dan freeport. Totalitas. Sesuatu yang bahkan saya ragu bisa dilakukan seorang combatan paling gigih sekalipun.

Tapi tak banyak yang mau mencari tahu siapa Pram dibalik kemarahan dan dendamnya. Di balik kemegahan Tetralogi Pulau Buru. Pram adalah seorang Ayah dan Suami yang luar biasa. Coba tengok surat-surat untuk anaknya di Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Juga beberapa fragmen penggambaran betapa ia mencintai Maemunah, istri kedua Pram, dengan cara yang sederhana. Tidak perlu kata aku cinta kau atau puisi yang lagi-lagi dibacakan dengan air mata.

Tentu Pram bukan seorang Santo yang lepas dari kesalahan-kesalahan. Ia dengan galak menyerang HAMKA dengan menyediakan ruang penistaan sastrawan tua itu atas "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk". Juga pada saat menyetujui bila orang-orang yang tak sepaham dengan Revolusi (Soekarno) disingkirkan. Namun karena ia memilih itulah Pram menjadi manusiawi. Menjadi pribadi yang bertanggung jawab atas pilihannya sendiri.

Juga seperti dukungannya terhadap Soekarno secara taklid buta. Pram menganggap Bung Karno, yang menista Syahrir dan mengeksekusi Kartosuwiryo, sebagai pemimpin "yang tak ada banding". Menuturkan dengan banyak penekanan yang hiperbolis. Dalam dua buku berbeda satu dalam Saya Terbakar Amarah Sendirian dan Pramoedya Ananta Toer Dari Dekat Sekali. Sukarno, sebut Pram, adalah pemimpin sejati bangsa ini.

Ini yang membuat Pram menjadi pribadi yang paradoks. Di satu sisi ia menentang dan membenci sesuatu yang disebutnya sebagai fasisme jawa, yaitu taklid buta dan tunduk pada perintah atasan. Namun di sisi lain memuja dan memuji Soekarno tanpa hendak melakukan kritik yang adil terhadapnya. Saya rasa Pram telah menjadi pikun karena terlalu lama memilih untuk menulis sebagai pribadi yang menolak otoritas macam apapun.

Juga pada musuh-musuhnya yang mereka sebut sebagai kelompok Manifest Kebudayaan. Pram, seperti yang ditulis Ajip Rosidi dalam obituarinya, menteror penandatangan Manifes melalui Lentera. Ia berdalih bahwa pertentangan idea adalah hal yang wajar. Melawan kata dengan kata. Namun sedikit banyak menjadi absurd saat ia ingin menuntut Taufiq Ismail dan D.S. Moeljanto, seperti yang tertulis dalam buku susunan Liliek Toer, karena melakukan fitnah. Apa yang berbeda?

Saya kira Pram telah selesai memberi kepada bangsa ini. Namun sejauh ini hanya Gus Dur yang benar-benar menghargai Pram. Saya ragu dan lupa apakah Megawati, putri orang yang ia puja, pernah menghargai Pram. Membuatnya menjadi pahlawan nasional. Atau mewajibkan pembacaan karyanya sebagai sebuah karya kanonik. Toh, saya juga tak yakin Pram menginginkan itu. Buatnya basa-basi selalu tak penting.

Saya bisa berdebat panjang lebar mengenai karya mana yang membuat Pram harus dicatat sejarah sebagai penulis sastra kanonik. Namun Bukan Pasar Malam adalah sebuah Magnum Opus, yang saya kira, dengan sangat manis menggambarkan pribadi Pram yang utuh dan manusiawi. Di dalamnya merupakan gambaran manusia urban. Seseorang yang harus berdamai dengan masa lalu (Bapak) dan juga bertikai dengan masa kini (Istri).

Juga bagaimana Pram menggambarkan masa lalu hanya sebagai beban. Ini adalah potret masa lampau yang masih relevan hingga kini. Anak yang terlanjur nyaman di kota, merasa jengah dan lelah karena harus kembali pada keluarga dan kampung halaman. Ini, buat saya, seolah menggenapi pernyataan Tariq Ali dalam obituari Pram. "Toer was writing about the past, but much of what he wrote resonated with the present."

30 April 2006. Bahkan di ujung hayatnya Pram masih menolak untuk tunduk. Minggu pukul 05.00 pria tua yang sebelumnya menolak dirawat di Saint Carolus ini sempat mengerang. "Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang," di ujung nafas yang paling akhir pun ia tak mau nasibnya ditentukan orang lain. Seperti yang telah ia sampaikan pada André Vltchek, "Kalau ngomong soal Indonesia, saya kebakaran" Api kemarahan sudah membakar Pram begitu pekat.

http://www.perspektifnews.com/1077/m...sia-pramoedya/
0
1.3K
6
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.9KThread41.5KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.