Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

sanefcxAvatar border
TS
sanefcx
Multitafsir Penyulut Kontroversi di Old Trafford
WELCOMA TO JUNGLE


Spoiler for BB++:


Multitafsir Penyulut Kontroversi di Old Trafford


Pelatih Real Madrid, Jose Mourinho (kiri) dan pelatih Manchester United, Sir Alex Ferguson (kanan) pada leg kedua babak 16 besar Liga Champions, Selasa (5/3/2013).




MANCHESTER, KOMPAS.com- Euforia ribuan suporter Real Madrid di Stadion Old Trafford, meledak saat peluit panjang wasit berbunyi, menandakan akhir laga Madrid melawan tuan rumah Manchester United berakhir 2-1. Skor yang berpihak untuk kemenangan Madrid (agregat 3-2) dan lolos ke perempat final Liga Champions.

Hiruk pikuk menyeruak di sana-sini. The Special One, julukan Jose Mourinho, sekali lagi mampu menyisihkan seniornya, Sir Alex Ferguson.

Sambil memasukan tangan ke kantong jaket abu-abunya, Mourinho berjalan sendiri di sisi kiri lapangan. Sesekali matanya mengarah ke tribun penonton. Dirinya seakan larut dalam kegembiraan bersama para Madridista. Namun, dia melihat kesedihan suporter tuan rumah, Mourinho termenung dan hening di sana.

"Klub terbaik telah kalah. Kami tidak layak menang. Tetapi, inilah sepak bola," ujar Mourinho menunjukkan simpatinya kepada MU.

Dalam perhelatan sepak bola di seluruh dunia, sepertinya terdapat hukum tak tertulis ini, "Tim yang bermain lebih baik, belum tentu menang". Selain nasib, faktor lain karena adanya sosok manusia yang jika berdiri di lapangan memiliki kuasa sangat menentukan. Dialah wasit, sang pengadil lapangan. Keputusannya, entah salah atau benar, sering kali mengubah jalannya pertandingan.

Jutaan penduduk Inggris takkan pernah lupa ketika Diego Maradona menceploskan bola ke gawang kiper Peter Shilton dengan tangannya di perempat final Piala Dunia 1986. Meski ribuan kali rekaman video aksi Maradona itu diulang, gol itu tetap sah karena wasit Ali Bin Nasser telah membuat keputusan.

Bobby Robson, pelatih Inggris kala itu, lantas menyebut Maradona sebagai biang kerok dalam lapangan. "Itu tangan penipu, bukan tangan Tuhan," ujar Robson.

Pada akhirnya, hukum tak tertulis itulah yang membuat air mata ratusan juta penduduk Inggris tumpah karena kesempatan mengulang kesuksesan 1966 hilang di depan mata. Sebaliknya, hukum itu membuat kegembiraan warga Argentina meluap-luap.

Kubu Argentina bersuka cita karena sukses meraih gelar juara kedua, sementara The Three Lions merana karena kembali gagal unjuk gigi di kancah dunia. Dan, sekali lagi, hukum itu pun berlaku tanpa ampun bagi publik Inggris ketika Madrid menghadapi Setan Merah di Old Trafford, Selasa atau Rabu (6/3/2013) dini hari WIB.

Sejak peluit pertama dibunyikan wasit, MU tampil gagah perkasa. Rapatnya barisan belakang yang digalang Nemanja Vidic dan kawan-kawan sudah cukup membuat Gonzalo Higuain kewalahan. Belum lagi saat Sergio Ramos melakukan gol bunuh diri pada paruh kedua yang membuat puluhan ribu suporter MU bersuka cita.

Namun, keputusan wasit mengubah cerita, saat Robin van Persie dan kawan-kawan unggul 1-0. Pelanggaran keras yang dilakukan Luis Nani kepada Alvaro Arbeloa pada menit ke-56 memaksa wasit asal Turki, Cuneyt Cakir, langsung mengeluarkan kartu merah. Sejak itu, MU mulai kesulitan dan Madrid mampu mendulang dua gol untuk memetik kemenangan.

Keputusan yang kemudian melahirkan kontroversi. Sebagian menganggap keputusan Cakir sudah benar, terlepas Nani sengaja atau tidak. Sebab, aksinya memang sangat membahayakan. Bahkan, UEFA mendukung keputusan Cakir. Sebagian menganggap keputusan itu berlebihan, terutama publik MU. Artinya, keputusan itu menjadi multitafsir.

Bermain dengan 10 pemain, Ryan Giggs dan kawan-kawan seperti kebingungan dan tak tenang. Permainan mereka jadi bimbang karena komposisi pemain tidak imbang. "Penampilan kami yang bagus di pertandingan telah dirusak oleh satu keputusan," sesal asisten pelatih MU, Mike Phelan.

Menit ke-66, hukuman itu dirasakan MU, ketika liuk gerakan Luka Modric di depan kotak penalti berakhir dengan tendangan melengkung yang membobol gawang David De Gea. Kiper asal Spanyol itu pun seakan tak percaya, gawangnya kebobolan.

MU yang unggul terlebih dahulu, akhirnya kembali kebobolan, ketika Cristiano Ronaldo menyosorkan kakinya saat menerima umpan tarik Higuain, tiga menit berselang, untuk melumat jala gawang De Gea. Madrid pun lolos ke perempat final dengan agregat 3-2.

"Itu adalah keputusan sulit yang diambil wasit. Tetapi, kami telah melakukan yang terbaik pada menit-menit setelah kartu merah (Nani) itu," kata gelandang Madrid, Xabi Alonso.

Walhasil, suka cita publik Old Trafford pada akhirnya terhenti. Wajah riang gembira suporter di awal babak kedua berubah menjadi tatapan kosong seakan tak percaya timnya kalah. Tidak nyaring lagi terdengar nyanyian semangat dan tepukkan untuk para idola mereka di dalam lapangan atau pun Giggs, yang melakoni laga ke-1000 di pertandingan itu.

Pun halnya dengan Ferguson, yang langsung menuju ruang ganti tanpa menghampiri anak asuhnya yang meratap kekecewaan dalam lapangan. Sambil berjalan di sisi kiri lapangan pelatih berusia 71 tahun itu terlihat kesal. Raut wajahnya berubah menunjukan wataknya yang keras.

Karena sifat wataknya yang keras itu pula, Ferguson tak menghadiri jumpa pers usai laga yang bisa menyebabkannya terkena sanksi UEFA. Ferguson geram, tapi sadar betul sebagai manusia tak mampu melawan hukum tak tertulis itu. Apalagi, sejatinya pelatih asal Skotlandia itu sudah mahfum mengarungi kejamnya dunia sepak bola berpuluh-puluh tahun.

"Saya mengerti bagaimana perasaan Ferguson. Saya pernah mengalami kejadian yang sama dua tahun lalu melawan Barcelona. Tetapi, kasusnya berbeda. Ketika itu, pemain Barcelona berakting. Sementara, sekarang (Arbeloa) tidak," kata Mourinho.

Hasil akhir pertandingan sepak bola memang tidak selalu ditentukan permainan bagus semata. Ada kuasa Tuhan, nasib, dan wasit di sana. Dan, keputusan Cakir menjadi salah satu contohnya, terlepas dia benar atau kilaf. Setidaknya, kubu MU menganggap keputusannya merugikan mereka.

Ada perbedaan antara keputusan Ali Bin Nasser yang mengesahkan gol Maradona ke gawang Inggris di Piala Dunia 1986 dengan keputusan Cakir. Jika keputusan Nasser akhirnya terbukti salah dan itu diakui sendiri oleh Maradona, sedangkan keputusan Cakir masih multitafsir.

Pelajaran yang bisa didapat, akhir pertandingan tak selalu ditentukan oleh permainan semata. Banyak faktor ikut menentukan. Wasit adalah salah satunya. Pada akhirnya, semua harus menerima hasil akhir. Sejarah akan mencatat, tapi hasil yang sudah disahkan tak akan berubah seperti halnya gol Maradona, gol Geoff Hurst ke gawang Jerman Barat di Piala Dunia 1966, kekalahan Italia dari Korea Selatan di Piala Dunia 2002, dan sebagainya.

---


Quote:


Spoiler for INI KAN YANG KONTROVERSI ??:


Polling
Poll ini sudah ditutup. - 3 suara
Apakah keputusan wasit sudah benar gan ?
YES
33%
NO
67%
0
1.5K
8
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923KThread83.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.