saniscayaAvatar border
TS
saniscaya
Lagi-lagi TV *ne - Reporter ga tau diri
Mudah-mudahan ga repost...

Wawancara Reporter TV yang Mengerikan

Jika dialog itu terjadi dalam kondisi seimbang tentu tak ada masalah selagi reporter dan narasumber saling memahami batasan dan perasaan. Bahkan jika melihat beberapa debat di TV di mana antar narasumber saling bantah bahkan kadang bertukar caci, sementara sang reporter juga ikut bermain dengan pancingan pertanyaan provokatif, itu tak menjadi masalah selagi semua pihak berada dalam kondisi yang seimbang. Menyaksikan reporter yang mencecar narasumber dengan mengerahkan segenap rasa ingin tahu pun masih bisa diterima selagi narasumber mampu mengimbangi dan yang terpenting narasumber tak berada dalam kondisi tertekan. Tapi tayangan langsung Apa Kabar Indonesia Pagi di TV One kemarin membuat saya tak habis pikir dengan apa yang dilakukan oleh sang reporter terhadap narasumbernya. Saya yakin sang reporter masih memiliki nurani, saya percaya ia pun mengerti etika. Tapi apa yang dilakukan oleh reporter TV One berinisial AM terhadap tersangka pembunuh balita yang berinisial IR, sangat mengerikan.

Ini bukan tentang masalah IR adalah seorang tersangka yang telah membunuh bayi majikannya. Ini bukan tentang seorang tersangka yang akan dihakimi oleh pengadilan. Ini bukan tentang tersangka yang di manapun memang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tapi ini tentang perasaan dan kepatutan. Tentang kepekaan hati dan nurani yang terpinggirkan atas nama kreativitas jurnalistik.

Mengapa anda berbohong setelah membunuh Raisya ?. Apa yang anda rasakan ?. Apa yang ingin anda sampaikan ?.

Itu sedikit dari banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh reporter AM dalam wawancaranya terhadap IR. Pertanyaan yang wajar karena memang kerap kita jumpai dilakukan oleh banyak reporter. Tapi apa yang dilakukan oleh AKI Pagi TV One sangatlah mengejutkan perasaan. Tak masalah jika pertanyaan itu diajukan kepada narasumber dalam keadaan sehat dan mantap secara psikologis. Tapi apa yang terjadi tadi pagi semoga takkan terulang lagi.

IR diwawancara dalam keadaan tertekan, menangis tersedu, terisak keras dan selalu menundukkan kepala menghindari kamera. Sementara sang reporter terus mengejar jawaban dengan mengulang pertanyaan. Sekali, dua kali, tiga kali, IR diam. Tapi ketika mikrofon itu terus disodorkan ke arahnya, akhirnya ia buka suara. Tapi isak tangisnya tak mereda, suara beratnya tampak menunjukkan kalau ia memang tertekan dengan wawancara itu.

Ironisnya Wakasat reskrim yang kebetulan ada di dalam ruangan wawancara justru membiarkan wawancara terus berlangsung di tengah isak tangis IR yang semakin meninggi. Ironisnya lagi, sang Wakasat reskrim adalah seorang wanita yang harusnya bisa sedikit lebih peka terhadap perasaan sesamanya dan sensitif terhadap kondisi mental IR. Saya yang seorang pria saja bisa membaca isak tangis IR bukan sekedar air mata kesedihan, tapi juga sebuah luapan perasaan yang tertekan.

Spoiler for Reporter AM yang terus mengejar jawaban dari IR yang sudah menangis dan terbata:


Yang membuat saya menggeleng adalah reporter AM tak jua berhenti menelanjangi IR. Setiap jawaban IR seperti dipandang kalau IR “tak keberatan” menjawab. Tapi siapa yang bisa menghindar jika mulutnya dikejar mikrofon bahkan ketika ia sudah menunduk dan menutup muka ?. Sementara ia ada di dalam penjara dengan beberapa polisi berjaga. Seakan seorang tersangka wajib menjawab setiap pertanyaan bahkan kepada orang lain yang bukan penyidik dan tak perlu ikut melakukan “pemeriksaan”.

Masih di depan IR yang tertunduk dengan tangis tak henti, reporter AM justru menanyakan tentang hasil tes kejiwaan kepada sang polisi wanita. Tak berhenti di situ. Lagi-lagi saya merasa terkejut karena di depan IR, seorang polisi lain justru ikut meladeni wawancara dengan menjelaskan detail hukuman yang akan dikenakan kepada IR beserta kemungkinan hasil tes kejiwaannya. Bisa dipastikan bagaimana tambahan beban perasaan yang ditanggung IR dalam wawancara itu.

Ini tak seharusnya terjadi. Ke mana empati sang reporter ?. Model wawancara yang dilakukan kepada narasumber dalam keadaan “tak berdaya” seperti menepikan etika. Saya tak mengerti bagaimana etika jurnalistik atau tata krama dalam berwawancara. Tapi rasanya ada “etika lain” yang bersumber pada nurani yang harus dijaga. Dan itu tak ada dalam wawancara tadi pagi.

Ini bukan tentang IR yang seorang tersangka pembunuhan yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ini juga bukan hanya tentang reporter sebuah TV yang kreativitasnya kerap dikritik. Tapi ini tentang sebuah perasaan dan hak yang terabaikan. Apakah layak seorang reporter mencecar jawaban dari seorang yang mentalnya sedang tertekan ?.

Sangat disayangkan jika idealisme stasiun TV yang ingin menjadi terdepan dan terdalam dalam menyampaikan berita hanya melahirkan reporter yang “terlalu kreatif”. Dalam isak tangis IR berkali-kali hanya diam ketika pertanyaan diajukan kepadanya. Tapi reporter seperti tak menghiraukan beban dan tekanan yang dialaminya.

Wawancara perlu dilakukan tak hanya dalam kondisi seimbang tapi juga bermartabat. Apakah layak memaksakan mikrofon kepada narasumber yang sedang tertekan secara mental ?. Jika memang itu diperbolehkan, maka wawancara tadi sesungguhnya telah menjadi wawancara yang sangat mengerikan, bukan hanya bagi IR, tapi bagi yang menyaksikan.

Sumbernya gan, sorry hyperlinknya ga bener tampilannya di forum jadi mentahnya aja
media.kompasiana.com/mainstream-media/2013/02/06/wawancara-reporter-tv-yang-mengerikan-531971.html

Diubah oleh saniscaya 08-02-2013 07:44
0
10.1K
119
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923KThread83.1KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.