SUBUD: Kepercayaan asli INDONESIA yang Populer di Seluruh Dunia! (CintaIndonesia)
TS
xiao88
SUBUD: Kepercayaan asli INDONESIA yang Populer di Seluruh Dunia! (CintaIndonesia)
Spoiler for Baca dolo:
Menolak
Agama Islam berkembang pesat di Eropa. Ah, itu berita biasa. Hindu berkembang pesat di dunia barat. Ah, itu juga berita biasa. Namun kalau kepercayaan asli Indonesia berkembang dan diminati di luar negeri, nah itu baru berita LUAR BIASA. Sebagian kaskuser mungkin menganggap topik tulisan ini mengada ada bukan? Ya, terserah Anda.
Apa itu SUBUD? SUBUD adalah singkatan dari Susila Budhi Dharma, tiga kata yang berasal dari bahasa Sanskerta, bahasa asli Indonesia. SUBUD ini, gampangnya adalah gerakan spiritual yang mulai disemarakkan oleh bapak Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo pada tahun 1920-an di Jawa. Pada dasarnya, praktek SUBUD ini adalah latihan kejiwaan yang menurut Pak Muhammad merepresentasikan 'pencerahan' dari Yang Maha Kuasa.
Spoiler for Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo:
Menurut Pak Muhammad, SUBUD ini bukanlah suatu agama atau kepercayaan baru. SUBUD ini menerima semua anggota dari agama apapun, Islam Kristen Katolik Hindu Buddha Konghucu sampai yang atheist, karena menurut sang pendiri, SUBUD adalah untuk semua manusia, tanpa terkecuali. Ya, hanya wadah untuk orang-orang yang mencari 'tuntunan hidup' ataupun mengejar 'latihan spiritual' untuk mencapai 'ketenteraman jiwa', bukan dengan cara mendengarkan ceramah, tapi mencari jawaban dari dalam diri masing-masing.
SUBUD saat ini sudah menyebar ke 82 negara, dan anggotanya di seluruh dunia sekitar 10,000.
Setiap anggota SUBUD, dua kali dalam seminggu akan berkumpul untuk latihan (bahasa inggrisnya saja 'latihan', lho, tidak diterjemahkan jadi 'exercise') di tempat yang telah ditentukan, yang dibedakan ruangannya untuk pria dan wanita. Biasanya tempat latihan ini berupa sebuah ruangan terbuka atau setidaknya dengan banyak jendela. Seorang sesepuh akan memimpin latihan, meminta para anggota duduk atau berdiri, mana saja terserah, yang penting diem bukan jalan-jalan muterin ruangan, dan relaks.
Relaksasi ini sangat penting dalam latihan, karena dalam tahap relaksasi inilah para anggota disarankan untuk tunduk kepada 'kesempurnaan' dan mengikuti 'apa yang muncul dari dalam diri yang terdalam'. Tidak perlu baca mantra, jangan berpikir apa-apa, nikmati saja kesunyian dan ketenangan hati, dan tunduk pada keinginan Yang Maha Kuasa. Apapun yang muncul berbeda untuk tiap orang, dan mereka dipersilakan menginterpretasikan apa yang mereka dapat secara bebas, sebab 'pencerahan' tidak akan sama untuk setiap individu.
Terkadang, saat latihan, 'kesadaran' ini dapat bermanifestasi dalam bentuk gerakan, seperti tiba-tiba bangkit dan menari, tertawa, menangis, berjalan-jalan, meloncat-loncat, dan lain-lain. Sekilas seperti orang kesurupan, namun sebenarnya tidak. Sebab, mereka sadar 100% apa yang sedang mereka lakukan. Murni karena ekspresi fisik dan emosi yang mereka alami dalam proses latihan.
Praktisi SUBUD percaya latihan ini, dan segala hal yang dapat terjadi dalam prosesnya, adalah bentuk 'pencerahan' dari dalam diri yang dapat menuntun mereka dalam hidup, dan membuat mereka merasa 'disegarkan kembali', 'dimurnikan', serta 'bersih'.
Website SUBUD pun menuliskan di halaman depan mereka:
"A deepening of the natural connection with wisdom, one's higher self, the divine, or God, depending on one's preferred terminology"
Latihan ini dapat dilakukan kapan saja, baik sendirian maupun bersama-sama, namun idealnya dilakukan dua kali seminggu.
Tidak ada doktrin, perintah, peraturan maupun larangan, dan tidak ada batasan terhadap siapa yang boleh dan tidak boleh bergabung. Anggota juga tidak ditarik biaya apapun, atau diminta memberikan apapun.
Nama Susila Budhi Dharma sendiri berarti:
Susila: kebaikan dalam diri manusia yang selaras dengan keingan dari Yang Maha Kuasa.
Budhi: kesadaran diri yang ada dalam setiap manusia.
Dharma: penyerahan dan percaya total terhadap Tuhan yang Maha Kuasa.
Ini adalah simbol dari seseorang yang memiliki kedamaian dan ketenangan dalam dirinya, serta sanggup menerima kontak apapun dari arus kehidupan yang suci.
Spoiler for logo SUBUD:
Inilah SUBUD, Susila Budhi Dharma, kepercayaan asli Indonesia yang orang Indonesia sendiri saya jamin pasti banyak yang tidak tahu.
Original Posted By RobRon►ane dulu pernah kerja jagain klinik SUBUD ini, asli brur orang2nya bener2 ikhlas kerja buat kemanusiaan.
semua di lakukan tanpa ada imbalan, penyebarluasan ajaran atau yg inplisit sekalipun, mulai dari posyandu sampe pengobatan TBC semua hampir bisa dikatakan gratis.
yg kerja pun sederhana dan benar2 niat mau nolong sesama, agama mereka tetap tidak berubah agama & tetap setia beribadah agama masing2
ini murni ingin mendekatkan diri dgn YME kata mereka
Quote:
Original Posted By agninistan►
Pasca Indonesia merdeka, politik diskriminasi terhadap masyarakat adat tidak berhenti. Diskriminasi dalam berbagai aspek, khususnya dalam hal agama, terhadap masyarakat adat tetap berlansung. Diskriminasi terhadap agama yang dianut masyarakat adat berakar dari diberlakukannya UU No.1 PNPS/1965 beserta regulasi turunannya seperti TAP MPR No.IV/1978 dan Instruksi Mentri Agama No.4 /1978 yang membatasi agama resmi yang diakui pemerintah hanya 6 yakni, Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Huchu. Agama yang dianut oleh masyarakat adat yang biasa disebut dengan agama asli nusantara atau agama adat direduksi menjadi aliran kepercayaan. Dampak dari diberlakukannya serangkaian peraturan hukum tersebut adalah timbulnya diskriminasi terhadap pemeluk agama adat atau penghayat, terutama diskriminasi dalam akses hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Berikut beberapa kasus diskriminasi yang masih berlangsung hingga detik ini :
1.) Diterbitkannya SK Pelarangan dan Pembubaran organisasi kepercayaan Aliran Kebatinan “Perjalanan” dengan No. SK-23/ PAKEM/1967 tanggal 23 Mei 1967, oleh Bakor “PAKEM” Kejaksaan Negeri Kabupaten Sumedang, namun Organisasi yang bersangkutan tidak menerima SK tersebut. Pengurus organisasi kepercayaan terasebut telah mengajukan sanggahan dan penolakan atas pembubaran tersebut, serta memohon untuk pencairan kembali keberadaan organisasi tersebut, namun pada bulan Juni 1993 pihak Kejaksaan Negeri Sumedang telah memberi jawaban dan menyatakan bahwa Aliran Kebatinan Perjalanan Kabupaten Sumedang tetap dilarang, dengan alasan “bahwa Aliraan Kebatinan Perjalanan Kabupaten Sumedang merupakan penjelmaan dari partai PERMAI yang menurutnya telah dilarang Pemerintah, serta pengikutnya berasal dari pemeluk agama Islam yang telah keluar dari Islam.
Sebagai catatan, aliran Perjalanan merupakan ajaran Mei Kartawinata, seorang tokoh Marhaenis Bandung yang berbasiskan tiga inti ajaran, yakni spiritualitas berdasarkan ketuhanan, kemanusiaan berdasar persamaan, serta kebangsaan berdasarkan pembangunan karakter bangsa. Ajaran Mei Kartawinata merupakan bagian dari ajaran Sunda Buhun atau Sunda Wiwitan.
2.) Tanggal 29 April 1974, keluar larangan kegiatan dan pembubaran organisasi kepercayaan Aliran Kebatinan “Perjalanan” di wilayah hukum Kabupaten Subang oleh Bakor PAKEM Kejaksaan Negeri Subang tanpa proses peradilan, dengan alasan :
a.)tidak didukung masyarakat Kota Subang,
b.)ajarannya bertentangan dengan/dapat mengacaukan ajaran Islam dan menimbulkan/dapat menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban umum.
Warga penghayat kepercayaan “Perjalanan” melalui Perwakilan Departemen Agama dan Majelis Ulama Kabupaten Subang dibina (digiring) untuk memeluk agama Islam.
3.) Keputusan Jaksa Agung no Kep-006/B/ 2/7/1976 tentang Pelarangan terhadap Aliran Kepercayaan Manunggal. Kepercayaan Manunggal adalah bagian dari ajaran Kejawen yang berintikan kearifan hidup orang Jawa dan menitik beratkan pada harmonisasi manusia dengan alam dan sesamanya.
4.)Keputusan Kejaksaan Tinggi Jateng no. Skep 002/ K.3/2/1979 tentang Larangan Kegiatan Ajaran Agama Jowo Sanyoto (Kejawen).
5.)Keputusan Kejaksaan Tinggi Jabar No. Kep 15/ K.23/2/12/1979 tentang larangan Aliran Kepribadian (Kejawen),
6.)SK Kejati Jabar No. Kep-44/K.2.3/8/1982 tanggal 25 Agustus 1985 yang membubarkan Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU). PACKU merupakan organisasi para pengikut ajaran Pangeran Madrais yang didirikan oleh cucu Madrais, Pangeran Djatikusuma pada tanggal 11 Juli 1981. Ajaran Madrais pun bagian dari rumpun agama Sunda Buhun.
7.)Antara bulan Februari-April 1989 sebanyak 42 orang warga penghayat kepercayaan di Kecamatan Naringgul Kabupaten Cianjur dibawa ke Koramil untuk diinterogasi, serta mendapat perlakuan yang tidak manusiawi (disiksa, diancam dan sebagian ditahan), dengan tuduhan menganut aliran sesat dan punya kaitan dengan PKI.
Mereka diharuskan membuat pernyataan masuk Islam dan melaksanakan syariatnya, serta kepatuhan dalam pelaksanaannya dipantau oleh aparat desa dan masyarakat lainnya.
8.)Pada 15 Nopember 1992 Direktorat Sospol Depdagri menerima SK Nomor: 02/Kep/PAKEM/1970, yang berisikan tentang larangan dan pembubaran Aliran Kebatinan “Perjalanan” di wilayah hukum Kabupaten Majalengka dengan alasan tidak jelas, namun Kejaksaan Negeri Kabupaten Majalengka sendiri sangat terkejut dengan laporan adanya SK tersebut di atas, karena di dalam catatan arsip/file tersebut tidak terdapat surat keputusan tersebut.
9.)Maret 2001 di Desa Cimulya, Kecamatan Lur Agung Kabupaten Kuningan, sepasang calon pengantin warga penghayat PACKU berkonsultasi kepada Kepala desa untuk mengajukan perkimpoian, namun berdampak sebanyak 30 KK warga penghayat kepercayaan dipanggil ke Balai Desa dan diinterograsi oleh aparat desa, ustadz dan warga desa selama 3 malam berturut-turut, dan selanjutnya keluar keputusan kepala desa yang mengatasnamakan seluruh warga desa Cimulya (keputusan tertulis tidak diberikan), yaitu Desa bersedia melaksanakan perkimpoian kedua calon pengantin, dengan ketentuan :
mereka (30 orang yang dipanggil) bersama keluarganya harus bersedia menandatangani surat pernyataan keluar dari organisasi penghayat tersebut
mereka diwajibkan menyatakan masuk Islam, serta akan tunduk dan taat melaksanakan syariat Islam.
Di Desa Cimulya tidak boleh ada lagi kegiatan/kehidupan masyarakat Kepercayaan terhadap Tuhan YME termasuk organisasinya.
10.) Sardi, seorang warga penghayat Kecamatan Bantar Gebang-Bekasi yang sejak kecil bercita-cita menjadi tentara. Terpaksa harus membuang jauh cita-citanya, karena ketika lulus SMA dan bermaksud untuk melamar jadi calon Tantama, ketika mengurus surat-surat yang diperlukan ke kantor Polisi, dinyatakan tidak memenuhi persyaratan karena identitasnya sebagai penghayat kepercayaan.
11.) Sejak tanggal 2 Mei 2005 sampai saat ini warga Penghayat Parmalim di Kelurahan Binjai Kota Medan, tidak dapat melanjutkan pembangunan Ruma Parsaktian Parmalim (tempat saresehan/ritual). Warga penganut Parmalim pun sering mendapatkan kesulitan dalam mengakses hak-hak sipil seperti pembuatan KTP dan KK. Parmalim adalah agama asli Batak warisan dinasti Sisingamangaraja.
12.) Tanggal 19 Mei 2006, sebanyak 12 orang warga penghayat di Kelurahan Wanareja Kecamatan Cibogo Kabupaten Subang diundang (dipanggil untuk diintrograsi) oleh kepala desa yang juga dihadiri oleh Ketua MUI , Camat, Kapolsek serta Danramil Kecamatan Cibogo. Ke-12 warga penghayat tersebut kegiatannya dianggap telah meresahkan masyarakat, karena suka mengadakan pertemuan/kliwonan dan yang hadir pakai ikat kepala (iket Sunda), ucapan salamnya menggunakan kata-kata Sampurasun dan Rahayu, serta metik kecapi.
13.)Sepanjang periode tahun 1984 – 2006, di seluruh wilayah Republik Indonesia perkimpoian warga penghayat kepercayaan tidak dapat dicatatkan perkimpoiannya oleh Negara, dan dianggap perkimpoian tidak sah, kecuali mereka memeluk salah satu agama yang “diakui” oleh Negara sesuai UU No.1 PNPS tahun 1965.
14.) Dewi Kanti, putri Pangeran Djatikusuma dari PACKU gagal mendapatkan akta nikah karena birokrasi catatan sipil tidak bersedia mencatatnya. Penyebabnya adalah pernikahan Dewi Kanti yang menggunakan tata cara adat Sunda Wiwitan tidak diakui oleh catatan sipil maupun KUA. Selain itu, tokoh adat PACKU, Kento Subarman juga tidak dapat mencatatkan pernikahannya di Catatan Sipil karena konsistensinya dalam menggunakan tata cara perkimpoian Sunda Wiwitan.
“Anak-anak kami yang lahir dari pernikahan adat, dianggap sebagai anak haram karena pernikahan orang tuanya tidak tercatat di Kantor Catatan Sipil,” ujar Kento Subarman.
15.) Warga penganut Sunda Wiwitan di kampung Cirendeu, Cimahi sulit memperoleh hak-hak sipilnya seperti KTP, KK dan urusan perkimpoian hingga kini.[1]
Bukan hanya diskriminasi yang dilakukan Negara, para penghayat kepercayaan atau penganut agama asli nusantara juga kerap mendapatkan stigmatisasi, terror bahkan tindak kekerasan dari sekelompok masyarakat. Kasus-kasus berikut menjadi gambaran nasib masyarakat adat :
1. Penyerangan dan pembakaran Paseban milik warga PACKU di Cigugur Kuningan oleh gerombolan Darul Islam (DI/TII) pimpinan Kartosuwiryo pada tahun 1950-an,
2. Pembantaian warga penganut ajaran Perjalanan oleh gerombolan DI/TII di Ciparay, Bandung tahun 1954,
3. Pembantaian para Bissu (pemuka adat Bugis) oleh gerombolan DI/TII pimpinan Kahar Muzakar tahun 1960-an,
4. Stigmatisasi terhadap komunitas adat Sedulur Sikep di Jawa Tengah sebagai orang-orang yang tidak tahu aturan dan tidak bertata krama. Komunitas Sedulur Sikep merupakan para pengikut Samin Surosentiko yang menganut kearifan lokal Jawa,
5. Stigmatisasi terhadap komunitas Watu Telu Sasak (Lombok) yang sering dicemooh sebagai warga Islam yang “tidak penuh”.
6. Fatwa sesat Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap komunitas adat Dayak Losarang Indramayu. Komunitas Dayak Losarang adalah penganut ajaran ngaji rasa alam semesta yang sama sekali tidak mengklaim diri sebagai penganut Islam.
7. Penyerangan terhadap aliran Kejawen Sapta Darma yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI) pada tahun 2007 di Yogyakarta,
Dari berbagai fakta tersebut, terlihat bahwa diskriminasi maupun stigmatisasi (bahkan tindak kekerasan) masih tetap membayangi masyarakat adat penganut agama asli nusantara. Padahal agama mereka sudah “diturunkan derajatnya” oleh Negara menjadi aliran kepercayaan. Namun bukannya dijamin hak-hak dasarnya sebagai warga Negara, mereka tetap saja menjadi tumbal diskriminasi Negara dan kelompok tertentu dalam masyarakat. Pemerintahan Indonesia merdeka ternyata tak ubahnya pemerintah kolonial yang memiliki anggapan bahwa masyarakat adat nusantara menganut “agama primitif” dan harus “diberagamakan” dengan agama yang benar menurut ukuran penguasa. Maka masihkah kita meragukan fakta-fakta tersebut yang menjadikan kita memiliki “cacat” dalam kehidupan berbangsa dan benegara?!