Mesir terancam bubar

Beranda

...

Berita Luar Negeri
Mesir terancam bubar

DanDjaeveLen666

30-01-2013 06:59

Mesir terancam bubar

Quote:

Panglima Angkatan Darat Mesir Jenderal Abdel Fattah al-Sisi mengatakan konflik politik saat ini terjadi di Mesir bisa membuat negara itu bubar. Upaya mempertahankan Terusan Suez sebagai tugas utama militer di sejumlah kota dekat wilayah itu juga akan gagal.

"Pertarungan kepentingan kelompok politik belakangan ini bisa membuat negara bubar," ujar al-Sisi yang juga sebagai Menteri Pertahanan, seperti dilansir kantor berita Reuters, Selasa (29/1). Pernyataan itu termuat di laman juru bicara kemiliteran di situs Facebook.

Polisi Mesir hari ini menembak mati seorang pengunjuk rasa di Kota Port Said, setelah sehari sebelumnya membunuh seorang demonstran di Ibu Kota Kairo. Ribuan pengunjuk rasa sudah lima hari berdemonstrasi memprotes keputusan Presiden Muhammad Mursi menyatakan pemberlakuan kondisi darurat dan jam malam selama sebulan di tiga provinsi, Port Said, Suez, dan Ismailiya.

"Seorang pemuda bernama Mohammed Gharib ditembak mati ketika terjadi bentrokan antara pengunjuk rasa dengan polisi di luar markas polisi di Port Said," ujar seorang sumber. "Korban tewas dalam perjalanan menuju Kota Zagazig."

Demonstrasi semakin meluas di seantero Mesir mengakibatkan 50 orang tewas sejak Jumat pekan lalu.

Dalam siaran televisi kemarin Mursi mengajak kelompok oposisi berdialog. Mereka menuding Mursi mengkhianati revolusi.

Kelompok oposisi dari Front pembebasan Nasional yang didominasi gerakan liberal dan kiri menolak ajakan dialog Mursi. "Kami tak ingin berpartisipasi dalam dialog tanpa isi," ujar pemimpin kelompok oposisi Mohamad ElBaradei.
Sumber

Quote:

Presiden Mesir Muhammad Mursi kemarin menyatakan negeri Piramida itu saat ini dalam keadaan darurat dan akan memberlakukan jam malam di tiga provinsi. Langkah ini diambil Mursi setelah meletupnya kerusuhan yang menyebabkan puluhan orang meninggal.

Stasiun televisi Al Arabiya melaporkan, Senin (28/1), keadaan darurat itu berlaku efektif malam ini di provinsi Port Said, Suez, dan Ismailia, selama 30 hari ke depan. Mursi juga mengatakan dirinya siap mengambil langkah lebih lanjut untuk menghalau ancaman bagi keamanan Negeri Dua Sungai itu.

Dia menjelaskan pemberlakuan jam malam di tiga provinsi itu akan sama yakni mulai pukul sembilan malam hingga enam pagi. "Saya telah katakan, saya sebetulnya menentang tindakan darurat. Namun, jika saya harus menghentikan pertumpahan darah dan melindungi orang banyak maka saya akan mengambil tindakan."

Mursi memperingatkan dirinya juga siap mengambil langkah tegas jika kerusuhan yang terjadi sejak tiga hari lalu itu tidak berakhir. Dia mengatakan dirinya tidak akan ragu-ragu mengambil tindakan lebih jauh sebab hal ini sudah menjadi tanggung jawab dia.

Mursi juga dikabarkan akan mengadakan pertemuan dengan kelompok oposisi dan pemimpin politik di seantero Mesir hari ini. Dia mengatakan tidak ada jalan lain selain melakukan dialog. "Saya telah memutuskan untuk mengundang semua pemimpin politik untuk melakukan dialog hari ini. "

Pernyataan dikeluarkan Mursi terkait adanya keadaan darurat ini diambil setelah unjuk rasa atas kasus kerusuhan sepakbola terjadi tahun lalu makin meluas hingga menyebabkan enam orang meninggal dan sedikitnya 460 orang cedera.

Sumber

Mesir kan salah satu negara yang mempunyai peradaban tertua di dunia, sayang banget kalau sampe dibubarin. Sampai sekarang aja udah banyak anget memakan korban

Quote:

Original Posted By the fan►To be a liberal is to be democratic. That’s a no-brainer.

In Egypt, as in American foreign policy, however, the situation is made complicated by obvious betrayals of democratic principles by many of those claiming liberalism as their political ideology of choice.

Let’s take a brief excursion into recent Egyptian politics to see how the “liberal” attack on democracy has played out in contemporary Egypt.

In June, the Supreme Council of the Armed Forces and a judiciary composed largely of ousted President Hosni Mubarak appointees worked together to disband Egypt’s first ever democratically elected Parliament on a technicality.

One would think that such a slap in the face would be a disturbing occurrence for any lover of post-revolution democracy. One would think.

Many Egyptian “liberals” didn’t object to the ruling, however. Some even openly praised it. Why? Because the People’s Assembly was dominated by Islamists, and many “liberals” were not able to stomach the thought of living with an Islamist-led Parliament for four years. In short, “liberal” distaste for Islamists caused them to betray their alleged democratic principles.

This narrative will not sound strange to anyone familiar with modern American foreign policy, which has witnessed successive US overthrows of democratically elected regimes because electorates (in Palestine, Guatemala, Iran and Brazil, among other places) have, in the opinion of the White House, voted wrong.

Many Egyptian “liberals,” like American administrations, don’t seem to have gotten the message that, in democracy, numbers count and the majority wins, even if they’re Islamists. Believing in an exclusive democracy –– democracy for "us," but not for "them" –– doesn't make one a democrat.

More recently, in July, when newly elected President Mohamed Morsy’s move to reinstate the People’s Assembly was blocked, many “liberals” just shrugged. Some didn’t even shrug.

In August, Morsy, in an effort to fulfill an important revolutionary demand, tried to oust the prosecutor general, a man appointed by Mubarak and scheduled to remain in his post for the rest of his working life. Once again, Morsy was prevented from fulfilling a democratic aim and, once again, Egypt’s liberals did, and said, next to nothing.

More recently, and perhaps most importantly, the democratically assembled group in charge of writing the new constitution had been threatened by both the judiciary and liberal political forces. Reports suggest the judiciary was close to disbanding the assembly, even as they put the finishing touches on Egypt’s new national charter.

The Constituent Assembly provides an important stopping point. About 20 of the 54 non-Islamists on the 100-member committee had recently jumped ship, complaining of inordinate Islamist influence on the document.

Mohamad Hamas Elmasry, Assistant Professor, Department of Journalism and Mass Communication, The American University in Cairo.

Selengkapnya : http://www.egyptindependent.com/opin...ratic-liberals

Diubah oleh DanDjaeveLen666 31-01-2013 05:10

3.5K

Kutip

Balasan

Komentar yang asik ya

Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!

Berita Luar Negeri

79.3KThread•11.3KAnggota

Urutkan

Terlama

Komentar yang asik ya