Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

xzanAvatar border
TS
xzan
Siapa bilang Jokowi Asbun! (Cerita di Balik Ide Deep Tunnel)
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jakarta Achmad Husein Alaydrus menilai rencana pembangunan deep tunnel atau terowongan di bawah tanah yang membentang sepanjang MT Haryono hingga Pluit hanya mimpi semata.

“Itu asal bunyi (Asbun) saja, harus ada ahlinya yang meneliti, nanti evaluasinya seperti apa? Teknologinya bagaimana? Emang dia pikir kaya pat-pat gulipat tinggal lipat aja,” katanya kepada merdeka.com, Jumat (28/12).

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, Triwisaksana menilai pembangunan deep tunnel tersebut merupakan progam proyek dadakan dan tidak mendesak.

Nah, itulah pandangan wakil rakyat mengenai rencana deep tunnel Jokowi. Yang satu dari Demokrat, yang satu lagi dari PKS.

Kritis?

Selintas, iya. Tapi sebetulnya kritik tersebut menunjukkan wakil rakyat kita yang kurang referensi. Sejak awal Jokowi sudah menyatakan, kajian deep tunnel sudah ada sejak jaman Sutiyoso memimpin DKI. Tepatnya konsep itu diajukan oleh Badan Regulator PAM DKI Jakarta dengan nama Deep Tunnel Reservoir System (DTRS) pada tahun 2007 di depan Rapim Pemprov DKI. Fauzi Bowo, yang waktu itu menjabat Wagub, juga hadir dan mendukung penuh.

Apa kata sang ahli tentang konsep ini? Liputan Media Indonesia Online 1 Maret 2007 menuliskan:

“Kajian sementara, kita akan kendalikan air yang meluap dari sungai Ciliwung,” kata Wakil Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo kepada wartawan seusai mendengarkan paparan dari Badan Regulator mengenai DTRS di Balai Kota, Kamis (1/3).

Fauzi mengatakan kelebihan dari sistem ini yaitu tidak ada pembebasan lahan karena tandon dibangun di bawah 100 meter dari permukaan tanah.

“Nanti, tidak ada warga yang menentang proyek ini karena terowongan dan tandon dibangun di dalam tanah,” katanya.

Ia menambahkan tandon yang nantinya dibangun bisa menampung air yang cukup besar, yakni 30 juta meter kubik. Sehingga, air yang ada di permukaan tanah bisa masuk ke terowongan bawah tanah dan ditampung di tiga tandon yang ada di bawah BKT, Setia Budi, dan BKB.

Air yang ditampung di tandon ini kemudian digunakan untuk pasokan air baku bagi Perusahaan Air Minum (PAM). Selain itu, sistem ini bisa juga sebagai tempat penampungan air limbah rumah tangga yang kemudian diolah menjadi pupuk.

DTRS mengaplikasikan green technology atau teknologi ramah lingkungan sehingga tidak mencemari lingkungan karena sistem ini merupakan sistem saluran dan reservoir bawah tanah yang secara terintegrasi dapat mengatasi masalah banjir, kelangkaan air baku, penanganan limbah cair perkotaan, manajemen dan konservasi air tanah, serta untuk memperbaiki kembali kondisi kualitas sungai yang mengalami pencemaran berat di perkotaan.

“Sistem ini merupakan integrated system dari BKT dan BKB. Kita akan bicarakan dengan pemerintah pusat untuk membangun tunnel ini karena pembiayaan cukup besar,” tandasnya.

Fauzi mengatakan sistem ini sudah dibangun di Singapura, Kuala Lumpur, Hongkong, dan Chicago. Sementara Jakarta akan mengembangkan sistem yang cocok dengan sistem di Ibukota.


Dalam rencana awal, DTRS menganut konsep “5 in 1”, yaitu manfaatnya untuk mengendalikan banjir dan genangan air, menampung air limbah pada terowongan di bawah tanah, yang kemudian dimanfaatkan menjadi air baku untuk pasokan ke Instalasi Pengolahan Air bersih (IPA) PDAM; untuk mengendalikan pemompaan air tanah secara berlebihan dan terakhir pekerjaan ini tidak membutuhkan pembebasan tanah/lahan. Sebagai tahap awal rencananya DTRS ini akan dibangun di Jakarta bagian tengah, yaitu letaknya berada di bawah Banjir Kanal Barat (BKT) sepanjang 17 km dengan luas penampang basah 42 x 42 m2, yang dapat menampung air sekitar 30 juta m3, dengan estimasi total biaya yang dibutuhkan + Rp. 4,4 triliun.

Selanjutnya ide itu terus dikembangkan, di mana tunnel juga difungsikan untuk jalan tol (seperti Smart tunnel di Malaysia) dan utility shaft (seperti TARP di Chicago) di mana sebagian terowongan disewakan kepada swasta untuk menggelar pipa air minum, kabel serat optik, jaringan listrik, dan sebagainya. Konsep ini dikenal dengan nama Multi Purpose Deep Tunnel (MPDT). Untuk konsep ini, dibutuhkan tambahan biaya sekitar Rp 12 triliun, sehingga total biaya yang dibutuhkan, seperti kata Jokowi, sekitar Rp. 16 triliun.


Kalau deep tunnel hanya berhenti pada pengendalian banjir dan pengolahan air limbah, memang biaya hanya seperempatnya. Namun penambahan fungsi jalan tol dan utility shaft memberikan potensi aliran pendapatan yang sangat membantu pembiayaan proyek ini. Itu sebabnya Jokowi percaya betul, investor swasta akan berminat bekerja sama dengan Pemprov DKI.

Memang, proyek ini belum sampai ke kajian detail sampai ke desain rinci dan studi kelayakan. Namun potensi penerimaan dari tol, penyewaan utility shaft, retribusi pengolahan limbah, penjualan air baku, dan hasil pengolahan limbah dalam bentuk pupuk dan gas metane yang kemudian digunakan untuk pembangkit listrik, sudah dapat dihitung kasar. Hitungan ekonomis ini saja sudah menarik untuk investor. Belum lagi kalau dihitung keuntungan dari berkurangnya banjir karena adanya MPDT ini. Kerugian banjir di Jakarta tahun 2002 dan 2007 diperkirakan total mencapai Rp. 18 triliun. Kalau kerugian ini bisa dicegah, tentu menjadi profit sosial yang tidak sedikit untuk masyarakat Jakarta.

Nah, siapa bilang Jokowi asbun?
Spoiler for Sumber: :


SIAPA skr yang ASBUN gan? Pakdhe ato DPRDe?? emoticon-Ngakak


Kalo suka CEndool y gan emoticon-Ngakak
Diubah oleh xzan 30-12-2012 08:33
0
21K
223
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671KThread40.9KAnggota
Terlama
Thread Digembok
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.