Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

  • Beranda
  • ...
  • Militer
  • Mengungkap misteri pembunuhan Mayor Mar Edianto Abbas

bobo19Avatar border
TS
bobo19
Mengungkap misteri pembunuhan Mayor Mar Edianto Abbas
Keberhasilan Markas Besar
TNI dalam mengungkap
kasus penculikan dan
pembunuhan Komandan
Satgas Rencong Sakti XI di
Cot Trieng Baroh tak lepas
dari peran Denjaka. Lewat
upaya rahasia yang penuh
liku dan berisiko tinggi,
pelaku akhirnya dapat
ditangkap.

Pada tanggal 28 Desember 1998
sekitar pkul 22.00 WIB, Pratu Mar
Safrudin yang bertugas di Pos
Komando Taktis (poskotis) Satuan
Tugas Rencong Sakti XI
(Satgasrensa XI) di desa Rancung
bertandang ke sebuah rumah
seorang gadis kenalannya yang
bertempat di desa Cot Trieng Baroh,
Kecamatan Muara Dua, Kabupaten
Aceh Utara.
Kedatangannya saat larut malam
mengundang reaksi warga
setempat. Pasalnya tindakan itu
bertentangan dengan norma susila
setempat karena yang
bersangkutan berada di rumah
wanita yang bukan muhrimnya
hingga larut malam. Akibatnya
timbul kesalah pahaman yang
berunjung pada tindakan
pengeroyokan dan penyekapan
Pratu Mar Safrudin oleh warga
setempat yang diduga kuat kena
hasut anggota AGAM (Angkatan
Gerakan Aceh Merdeka, sayap
militer GAM) yang membaur
ditengah kampung.

Versi cerita lain menyebutkan
bahwa personil Marinir yang terlibat
bentrokan dengan warga setempat
itu ialah Komandan Pos Marinir di
desa Peusangan, Aceh Utara, Sertu
Mar Haskani. Pokok masalahnya
ialah kesalah pahaman terkait
pembayaran hewan ternak warga
yang dibeli satuan Marinir untuk
keperluan logistik pasukan.
Menjelang tengah malam laporan
lengkap mengenai kejadian ini
akhirnya sampai di Poskotis
Rancung. Setelah di analisa dan di
kaji serta menimbang dari
komandan Kodim 0103 Aceh Utara,
akhirnya komandan Satgasrensa XI
Mayor Mar Edianto Abbas
memutuskan untuk menjemput
sendiri anak buahnya itu. Disana ia
juga berencana menyambung tali
silahturahmi dengan pemuka adat
kampung Cot Trieng Baroh.
Ia tak punya prasangka buruk
saat menjemput anak buahnya.
Sebagai putra asli Aceh, Mayor Mar
Edianto Abbas merasa akan lebih
mudah bernegosiasi dengan para
penyekap. Apalagi putra Abbas AR
ini telah menghabiskan sebagian
besar masa hidupnya di Banda
Aceh. Maka, siapa menyangka bila
hidup alumni AKABRI 1986 ini
harus berakhir disini. Secara tragis
gara-gara kasus sepele.

Dari serangkaian kontak rahasia
dan proses negosiasi yang di
lakukan intel Satgasrensa XI
dengan cukup alot, akhirnya
disepakati bahwa menyelesaikan
kasus akan dilakukan di desa
Paloh dekat Blang Tupat dinihari
esoknya (29/12/998). Dan,
bukannya di Cot Trieng Baroh.
Sesampainya di desa Paloh,
rombongan Dansatgasrensa XI ini
sebenarnya telah berhasil menjalin
komunikasi secara baik dengan
pemuka kampung Cot Trieng
Baroh. Hasilnya, Pratu Mar Safrudin
berhasil dibebaskan dengan
jaminan yang bersangkutan tidak
mengulangi lagi perbuatannya. Ia
hanya diwajibkan membayar denda
sesuai adat setempat.
Namun, tatkala rombongan TNI
ini akan beranjak pulang,
mendadak seorang pentolan AGAM
yang telah menjadi buronan aparat
keamanan selama delapan tahun
bernama Sulaiman (42) berhasil
menghasut puluhan warga
setempat agar serentak menyerbu
rombongan. Akibat serangan
dadakan ini, rombongan TNI yang
hanya berjumlah belasan itupun
kocar-kacir. Celakanya, Mayor Mar
Edianto Abbas yang kebetulan
paling dekat dengan kelompok
massa yang tengah mengamuk
tertinggal di lokasi. Ia hanya
ditemani seorang Bintara satuan
Intai Amfibi Marinir (taifibmar) dan
Bintara Kodim 0103 Serda Inf
Syarifuddin.

Akan tetapi jumlah pengeroyok
yang terlalu banyak membuat
upaya perlawanan kedua personil
TNI ini sia-sia belaka. Dalam
keadaan babak belur mereka
berhasil diringkus massa dan
diserahkan kepada kelompok
AGAM pimpinan Sulaiman untuk
dijadikan sandera. Selama hampir
satu minggu, dengan menumpang
kendaraan curian mereka dibawa
putar-putar keliling wilayah
Kecamatan Muara Dua dengan
mata tertutup dan bergerak di
malam hari guna menghindari
pemeriksaan aparat keamanan.
Setelah sempat berganti empat
kali kendaraan, akhirnya dengan
memakai truk kedua sandera itu
dibawa kelompok Sulaiman ke
sebuah kebun kelapa milik Banta
Hussein yang sebenarnya masih
termasuk ke dalam wilayah desa
Cot Trieng Baroh. Kedua sandera
diturunkan dan dipaksa berjalan
dengan tangan dan kaki terikat
memasuki kebun.
Baru berjalan sejauh 100 meter,
tiba-tiba kedua sandera dibunuh
dengan cara keji oleh tangan
Sulaiman sendiri. Jenazah
keduanya kemudian dikubur
bersamaan di dalam sebuah lubang
yang digali secara dadakan. Untuk
menyulitkan pencarian, selain
diberikan samaran secara fisik di
sekitar lokasi, juga ditebar mantera
guna mengantisipasi upaya
pelacakan oleh aparat keamanan
dengan bantuan paranormal.

Malam hari tanggal 29 Desember
1998, berita insiden bentrokan di
desa Paloh yang berujung dengan
penyekapan dua orang anggota TNI
ini konon menggemparkan jajaran
TNI pada umumnya dan Korps
Marinir pada khususnya. Baik di
Jakarta dan di Daerah Istimewa
Aceh. Tanpa menunggu perintah
dari Jakarta, jajaran Korem 011/
Lilawangsa dan Polda DI Aceh
segera mengambil inisiatif bergerak
melakukan pencarian.
Di tengah upaya gencar Korem
011/Lilawangsa dan Polda Aceh,
menjelang tengah malam
Komandan Korps Marinir Mayjen
Mar Suharto akhirnya memutuskan
untuk mengirim satu tim lawan
teror Detasemen Jala Mangkara
(Denjaka). Tim dipimpin Komandan
Yonif 2 Brigif 2 Marinir Letkol Mar
Alfan Baharudin (mantan
Komandan Denjaka 1993-1995).
Mereka bertolak dari Jakarta
dinihari 30 Desember 1998 dan tiba
di Lhokseumawe sekitar pukul
10.00 WIB. Disana mereka segera
berkoordinasi dengan satuan
teritorial setempat untuk bergerak
keesokan harinya

Dinihari 31 Desember 1998,
sebuah tim gabungan TNI-Polri
yang terdiri dari beberapa personil
Denjaka dan Gegana Brimob Polda
Aceh yang diperkuat satu kompi
Yon Arhanud TNI AD plus satu
peleton Yon 113 TNI AD bergerak
menuju desa Aleu Papeuh (18 km
selatan kota Lhokseumawe).
Mereka bermaksud menggerebek
rumah yang dipakai sebagai tempat
persinggahan kendaraan terakhir
yang dipakai mengangkut kedua
sandera ke kebun Banta Husein.
Namun setibanya di lokasi, yang
menurut laporan intel merupakan
salah satu basis AGAM, tak
diketemukan apa-apa. Tak ada
satupun barang atau jejak yang
dapat dipakai sebagai penunjuk
signifikan.
Tatkala tim gabungan akan
beranjak dari lokasi setelah
melakukan 'pengendapan' selama
48 jam, tiba-tiba ada seorang
bersenjata yang tak dikenal
mendekati tempat persembunyian
personil Denjaka. Orang itu dengan
seenaknya buang air besar.
Pemandu satuan Denjaka segera
mengenalinya sebagai seorang
anggota AGAM dari kelompok
Sulaiman. Dari kejauhan kepala
yang bersangkutan sebenarnya
telah 'tampak' di titik sasaran pada
teropong bidik senapan tembak
runduk jenis Steyr Mannlicher
SSG-69 andalan Letkol Mar Alfan
Baharudin. Tinggal menarik picu
dan Dor ...!

Namun Alfan urung
menghabisinya. Pemandu satuan
Denjaka yang kebetulan juga putra
asli Aceh menyarankan agar orang
itu 'dilepas' saja agar Sulaiman
tidak keburu curiga dan malah kian
rapat bersembunyi di tengah
simpatisannya.
Selain mengandalkan tim
gabungan pasukan khusus TNI-
Polri tersebut, Markas Besar TNI
juga menggelar Operasi Wibawa 99
sejak tanggal 3 Januari 1999. Meski
telah mengerahkan kekuatan
dalam jumlah besar, operasi ini
tetap tidak mampu mengungkap
kasus memilukan ini. Bahkan
upaya kampanye simpatik dan
persuasif yang dilancarkan dengan
gigih oleh seorang putra Aceh
lainnya, Kolonel Mar Safzen
Noerdin, yang mengemban misi
sebagai utusan khusus Komandan
Korps Marinir guna melobi sejumlah
tetua adat di Lhokseumawe di
sepanjang bulan Februari 1999,
juga kandas.
Barulah dari razia rutin dan
interogasi yang di lakukan terhadap
seluruh supir truk dan angkot di
Lhokseumawe dan daerah
sekitarnya, akhirnya diperoleh
keterangan penting dari mulut
seorang kenek truk simpatisan
GAM bernama Ridwan (nama
samaran). Intinya, dalang
penyekapan kedua anggota TNI
tersebut adalah pentolan AGAM
bernama Sulaiman. Tak hanya itu,
Pihak TNI akhirnya juga tahu
bahwa kedua personilnya itu telah
gugur dibunuh Sulaiman. Saat tim
gabungan pimpinan Alfan
Baharudin berupaya keras
melakukan pencarian kedua
jenazah di lokasi yang di tunjukan
Ridwan (8/2/99), hasilnya bolak
balik nihil karena kawasan tersebut
telah diberi 'pagar gaib' oleh
kelompok Sulaiman.

Lewat pendekatan 'khusus',
diawal Maret 1999 seorang
simpatisan GAM yang berkerja
sebagai supir angkot jalur Banda
Aceh - Lhokseumawe bernama
Saiful (nama samaran) berhasil
dibina oleh tim gabungan TNI-Polri.
Yang bersangkutan disuruh
memilih, membantu tim gabungan
dengan imbalan mobil angkot baru
atau di jebloskan ke penjara gara-
gara bersimpati pada GAM. Tujuan
rekrutmen ini semata agar yang
bersangkutan dapat menuntun
anggota tim gabungan TNI-Polri ke
arah sasaran yang benar.
nona212
nona212 memberi reputasi
1
10.7K
14
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Militer
MiliterKASKUS Official
20KThread7.3KAnggota
Urutkan
Terlama
Thread Digembok
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.