Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nizmaf1Avatar border
TS
nizmaf1
Tana Toraja; My 1st Backpacking and Soloists
Niatan ke tana toraja sebenarnya sudah saya miliki dari awal maret tahun ini, mendengar kisah keunikan budaya dan keindahan alamnya benar-benar membuat saya jadi penasaran. Beberapa teman mengatakan kalau mau berkunjung dan melihat semua kekayaan tator akan lebih baik sewaktu ada upacara pemakaman, karena disitulah keutamaan keunikan budayanya. Pada bulan Mei sampai bulan Agustus biasanya upacara kematian sering kali dilakukan, karena bertepatan dengan liburan sekolah sangatlah mendukung para keluarga untuk berlibur dan bertandang ke kampung.

Rencana awal saya akan pergi kesana sebenarnya ramai-ramai dengan teman-teman, yah ternyata banyak sekali yang menghalangi mereka sehingga memutuskan untuk tidak ikut. Lilis, ayahnya yang masuk rumah sakit, sehingga mengharuskannya untuk merawatnya dengan baik. Ita, ada acara keluarga, sepupunya dari palu menikah di makassar, maminya juga datang dari palu, jadi tidak mungkin absen dari acara itu. Udin tidak bisa karena ada kerjaan, yang lainnya gak jelas. (padahal sudah dikabari itinerary yang harus disiapkan, kabar dari travel di tator mengenai rencana tour dan perhelatan budaya disana...kantong juga sebenarnya pada waktu itu mendukung, tapi entah semua jawaban tidak ada yang serius, hiks!) akhirnya setelah mencari informasi tentang tana toraja sendiri, dengan googling peta, penginapan, budaya, dsb kamis malam saya memutuskan untuk memastikan untuk pergi sendiri (dari pada nunggu yang gak jelas dan tidak pasti).

Langkah awal, saya mencari kode area tator/ rantepao (0423), hubungi 108 untuk mencari tahu informasi Wisma / hotel, tour n travel untuk mengatur rencana disana. Alhamdulillah pihak tour n travel sangat kooperatif, memberikan arahan yang sangat membantu untuk saya seorang diri. Sewa mobil kisaran 500.000 sudah dengan innova, bensin, supir dan pemandu. Wisma murah juga banyak, kisaran harga permalam 50.000 s.d. 100.000, dengan fasilitas air panas, karena di Rantepao udaranya dingin.

Saat itu saya membeli tiket bus Makassar-Tator,kebetulan yang direkomendasikan oleh pihak travel Bintang Prima, jarak Makassar-Tator ditempuh dalam 8 jam, karena berangkat malam hari jadi tidak terasa lama, berhenti makan dsb di Enrekang, yang memiliki gunung yang indah dan udara yang dingin. Pengalaman dulu kalau ke pondok, Jakarta-Ngawi menempuh waktu 12 jam, menjadikan saya tidak asing dengan perjalanan ini. Harga tiket hanya sebesar Rp.80.000,- saja, dengan kualitas dan fasilitas bis seperti VVIP di bis Rosalia / Lorena di Jawa: bantal, kursi dengan sandaran kaki, full AC, dan diantar sampai ditujuan, jadi tinggal sebut saja minta diturunkan di wisma mana, sang supir dengan senang hati mengantarkan kita.

Tepat pukul 05.30 pagi, saya sudah tiba di kota Makale, pusat pemerintahan Tanah toraja, keunikan budaya sudah terlihat dari bentuk rumah penduduk yang memiliki tongkonan. Hijaunya sawah dengan terasering serta kabut dipagi hari membawa kenyamanan dan kesenangan yang luar biasa, saya semakin bersemangat untuk menjelajahi tanah toraja.

Setibanya di Rantepao, saya di drop langsung di depan wisma maria, sayang karena saat itu libur panjang dan tidak ada yang mau di booking terlebih dahulu, semua kamar penuh. Saya mencari wisma lain dengan Bentor kalau disana disebutnya tritor, dengan sekali perjalanan bayar 3000,-. cukup murah. Sampai di wisma saya beristirahat sebentar, pihak travel sudah menelpon dan siap untuk menjemput ditempat, tapi setelah berdiskusi dengan pihak wisma, ternyata bisa menyewa motor, dan harganya sudah juga cukup murah, sama seperti di bali, 50.000 untuk seharian tambah 20.000 untuk bensin. karena saya sendiri, dan untuk menghindari macet dll, saya memilih untuk touring dengan sepeda motor, keasingan lokasi memutuskan saya untuk menyewa pemandu sekalian ngebonceng saya ke tempat-tempat yang unik. Membayar pemandu cukup 100.000-150.000 saja, jadi hati-hati kalau nego harga, bisa dipalak habis.

lepas jam 9 saya sudah siap ke lokasi, berbekal jaket, ransel, kamera dan helm, siap menuju lokasi upacara pemakaman, tempatnya di Mandoe. Setibanya disana sungguh mengesankan, semua tamu berpakaian hitam dengan aksesoris khas tator, banyaknya jumlah babi yang akan disumbangkan sangat besar, bentuk babinya hitam dan bagi saya cukup mengerikan. Begitu jumlah kerbau, konon kerbau yang bule, belang diatas punggung / kepala (Lotomboko') itu nilainya bisa sampai ratusan juta, dan itu paling berharga untuk dewa. Semua yang dibawa oleh saudara duka dihitung secara seksama dan terhitung sebagai hutang keluarga duka. Menurut mereka, sekali upacara kematian bisa menghabiskan ratusan juta bahkan milyaran rupiah.

Dari semua yang saya dapatkan banyak sekali pengetahuan budaya yang catat:

Starta sosial masyarakat Tator:
1. Toma renge' : mereka yang duduk di bawah lumbung padi pada saat upacara adat, mereka memiliki strata sosial paling tinggi. biasanya orang-orang yang dituakan.

2. Tomakaka : mereka yang bertugas dalam organisasi upacara. biasanya yang memimpin upacara.

3. Pa'dampi : Para pendamping Tomarenge'

4. Bilodiapa' : mereka yang memiliki strata paling bawah, bisanya bertugas sebagai pemotong kerbau atau pekerja.

tarian kedukaan yang dinyanyikan secara berkelompok disebut dengan tarian Maba'dong, bersahut-sahutan bersuara seperti tangisan.

tarian Tomarandik adalah tarian yang ditarikan oleh 4 orang saja sebagai pengiring tamu, tarian ini adalah tarian perang.

Setelah menikmati upacara adat pemakaman di Mandoe, saya lanjut ke Lemo, tempat wisata pemakaman masyarakat yang letakan di batu tebing pegunungan. Mereka membuatnya seperti ruang kotak dengan lebat 1 x1 meter, dengan kedalaman bisa mencapai 3-5 meter. Didalam situlah mayat yang sudah diformalin diletakan dalam bungkusan menyerupai bantalan, karena bentuknya lonjong dan bulat. Keunikan pintu melambangkan status sosial mereka. Sayangnya masyarakat setempat tidak mempertahankan keunikan dari ukiran pintu terswebut, karena kerap kali terjadi pencurian dan di jual sampai ke tanah bali dan jawa. terutama yang memiliki ukiran kepala kerbau, entah apa yang menjadi keunikan dan prestisious bagi mereka, mungkin dari gambar hewan yang diagungkan tersebut. Patung-patung jenazah juga dibuat sebagai tanda kenangan dan kerukunan leluhur saja.

Saya bertanya philosopi mereka melakukan penguburan dengan cara seperti itu, mereka menjawab tidak ada yang signifikan, melainkan kalau dulu takut dimakan oleh binatang, baik rayap maupun binatang buas, jadi mereka letakan di gua. Semakin tinggi letak kuburan tebing, semakin dekat dengan Dewa dan tuhan, dan semakin mudah juga mereka melihat keturunannya di dunia.

Selanjutnya saya mengarah ke Londa, goa kuburan, dimana peti-peti jenazah diletakan, sampai sebagian darinya tinggal tengkorak saja. Gua ini panjang dan sangat gelap, jadi ketika masuk harus menyewa lentera yang sudah dipersiapkan, sekali sewa 10.000-20.000.
Sebagian ada yang berupa kuburan gantung. Masuk kesini, bulu kuduk saya berdiri, tapi karena ditemani oleh pemandu dan pembawa lentera yang bersikap biasa saja, jadi saya juga tidak takut lagi. Kendati demikian, takut alih-alih salah perilaku, saya terus berucap : 'Assalamu'alaikum ya ahli kubur..."

Setelah berkeliling di Londa, saya beristirahat makan siang di kota Rantepao, ingat! jangan makan sembarangan untuk teman-teman yang tidak memakan babi, karena tidak semua makanan disana halal, akhirnya saya ke warteg jawa yang menjual makanan dan masakan NON BABI...setelah kenyang shalat di masjid terdekat dan melanjutkan lagi perjalanan untuk melihat perkampungan rumah Tongkonan.

Keindahan rumah tongkonan sangat luar biasa, tau-tau yang banyak menandakan banyaknya keluarga yang mati dan tingginya strata sosial mereka. Karena tidak semua orang, sekali pemakaman tersumbangkan lebih dari 24 kerbau.
Jadi dengan jumlah tau-tau yang dipasang dimuka rumah, bisa menunjukkan tingginya tingkat sosial mereka di masyarakat.

Sebagian besar warga sudah tidak tinggal di rumah tongkonan, mereka memilih membangun rumah dibelakang rumah adat. Rumah tongkonan hanya menjadi prasyarat budaya saja dikala ada upacara adat dan lainnya. Yang pasti tidak semua warga bisa memiliki rumah tongkonan, prasyaratnya banyak. tanah harus dimiliki sendiri, bagi mereka yang keturunan raja punya ukiran disetiap dinding tongkonan tersendiri, sedangkan mereka yang dari strata bwah, meskipun mereka mampu membangun tongkonan tapi mereka tidak diperkenankan untuk mengukir dindingnya.

Terakhir perjalanan ke Puncak batu tumonga, disini dingin banget, seperti puncak pas, jauh dari kota Rantepao, diatas sana kita bisa melihat terasering sawah yang hijau dan indah, kota rantepao dari atas bukit, puncak gunung dan sungai Sa'dan.
Konon sungai sa'dan ini adalah asal mulanya kedatangan nenek moyang tana toraja, tak heran jika jenis ukiran dan tenunnya memiliki kemiripan dengan Batak dan Mataram. Katanya nenek moyang mereka bersaudara, dan karena mereka bermatapencaharian sebagai nelayan, ketika mereka terdampar dimuara sunga Sa'dan, akhirnya mereka membangun rumah-rumah berbentuk perahu yang disebut dengan tongkonan itu.

Setelah seharian berkeliling dan foto-foto, saya memutuskan segera kembali ke kota untuk membeli sedikit oleh-oleh untuk teman-teman di Makasar. Karena tidak ada pertunjukan budaya di malam hari, saya memutuskan untuk pulang ke makassar, dan beristirahat di Bis.

Ketakjuban akan karya Tuhan tidak pernah terlupakan dengan melihat keindahan dan keunikan alam budaya tana Toraja. Subhanallah!!...
Polling
0 suara
apakah postingan ini informatif menurut agan?
0
2.5K
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Domestik
DomestikKASKUS Official
10.2KThread3.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.