CERITA INI GUE SADUR LANGSUNG GAN DARI MAJALAH TAMBANG TAHUN 2010 (LAMA TAPI GAK BASI GAN)



MAJALAH TAMBANG. Seorang teman menuturkan pengalamannya yang cukup berkesan, saat bertugas di Kantor Wilayah Departemen Pertambangan dan Energi Jayapura (sekarang Dinas Pertambangan dan Energi Papua). Waktu itu 1978, ia adalah seorang geologis muda yang diperintahkan untuk menjalankan ‘silent mission’, mendapatkan sampel konsentrat yang diekspor PT Freeport Indonesia (PTFI).
Saat itu, ujarnya PTFI di Papua hanya dikenal sebagai perusahaan tambang tembaga. Royalti yang dibayarkan ke pemerintah hanya berdasarkan volume tembaga yang diekspor. Namun sedah merebak kabar bahwa perusahaan raksasa itu juga menambang dan mengekspor emas. Untuk membuktikan kebenarannya, maka tugas tersebut diberikan. “ Sengaja yang ditugaskan geologis di Irian Jaya, karena kalau kirim orang dari Jakarta bakal mencolok,” ungkapnya.
Teman ini pun mengisahkan, tidak mudah mendapatkan sampel konsentrat PTFI, karena perusahaan itu sangat tertutup. Tidak sembarang orang bias masuk kesana, termasuk pegawai pemerintah seperti dirinya. Namun lewat pendekatan dengan beberapa ‘orang dalam ‘, ia berhasil mendapatkan satu botol konsentrat milik PTFI . “ Sahabat yang memberipun wanti wanti, jangan sampai ketahuan managemen PTFI. Kalau ketahuan , dia bakal dipecat”, kisahnya.
Satu botol sampel konsentrat itu pun diteliti di laboratorium, dan hasilnya sangat mencengangkan. Kadar emas tambang Freeport di papua saat itu, diatas 7 gram per ton. Lebih tinggi dari kadar emas tambang Cikotok, Jawa Barat(saat ini masih beroperasi). Dengan 7 gram per ton saja Cikotok sudah bias BEP (Break Even Point). Apalagi Freeport yang kadar emasnya lebih dari itu.
Hasil silent mission itu pun dilaporkan ke pemerintah pusat. Tetapi apa daya, kontrak karya generasi 1 PTFI yang ditandatangani 1967 baru habis pada 1991. Jadilah sepanjang 25 tahun , pemerintah hanya menerima royalty tembaga saja dari PTFI. Sedangkan Freeport yang bermarkas besar di Amerika Serikat menangguk untung berlipat lipat, karena selain tembaga juga menjual emas.
Entah siapa yang bersalah dengan KK 1967itu. Freeport yang tidak jujur atau pemerintah yang terlalu lugu. Tapi yang jelas, selama 25 tahun itu emas dari Bumi Papua sudah dikeruk tanpa imbalan yang berarti ke Pemerintah Indonesia, apalagi ke rakyat Papua. Mungkin hanya Dividen saja , yang terselip dari 9,36% saham jatah pemerintah. Royalti emas baru diberlakukan pada Freeport berdasarkan KK perpanjangan tahun 1991, itupun Cuma 1% dari pendapatan Freeport.