Ada satu hal kurang baik di dalam proses penarikan (penyidik KPK) ini.
Hubungan antara dua lembaga penegak hukum, Mabes Polri dan KPK, yang belakangan kembali dalam situasi panas-dingin alias mengalami kisruh, salah satunya diwarnai dengan langkah penarikan sejumlah penyidik Polri dari KPK. Sebanyak 15 orang penyidik akhirnya diketahui sudah melapor kembali ke Mabes Polri.
Namun itu bukan semua yang dipanggil, karena masih ada beberapa yang belum melapor balik, setidaknya hingga sejauh ini. Belakangan kabarnya, mereka cenderung memilih untuk bertahan di KPK, dalam arti tak mengindahkan panggilan Mabes. Ada apa sebenarnya?
Salah seorang dari penyidik yang belum melapor balik ke Mabes Polri, serta kelihatannya cenderung memutuskan bertahan di KPK itu, mengaku ada yang salah (di pihak Polri) dalam penarikan dirinya dan rekan-rekannya tersebut. Minimal menurutnya, dilihat dari segi etika birokrasi.
Berikut petikan wawancara Beritasatu.com, Kamis (4/10), dengan penyidik berpangkat Kompol (Komisaris Polisi) yang tak ingin disebutkan namanya tersebut:
Spoiler for lanjutan:
Mengapa tidak kembali ke Mabes Polri?
Awalnya itu kan, kita ini sudah diminta untuk diperpanjang. Saya belum habis masa dinas di KPK. Berdasarkan PP 63, kita ini empat tahun boleh diperpanjang. Surat dari pimpinan Polri itu, saya belum habis masa tugasnya. Tapi alasannya Polri, ada aturan, setiap tahun itu ada perpanjangannya. Perpanjangan ke Mabes sudah diperpanjang. Tapi tidak diperpanjang oleh Mabes. Bukan habis masa berlakunya. Ini permasalahannya. Artinya, dari persuratan, yang tidak memperpanjang (itu) instusi Polri. Jadi bukan (karena) masa dinasnya habis.
Kedua, kenapa saya nggak kembali ke sana? Saya dihadapkan dari Mabes ke KPK. Artinya, ini birokrasi antara kedua belah pihak. Mabes dan KPK yang urusi surat pengantar penetapan untuk menghadap ke institusi lain. KPK minta perpanjangan, tapi tidak diperpanjang. Kami nggak diberikan surat penghadapan.
Tapi yang 15 (penyidik) lainnya memutuskan tetap kembali ke Mabes Polri, dengan atau tanpa surat penghadapan?
Empat (penyidik) itu minta sendiri untuk dikembalikan ke Mabes polri. Sedangkan 11 orang lainnya, merasa ketakutan, terganggu secara psikologi, bahwa Senin harus menghadap ke Mabes. Kedatangan ke Mabes, tanpa ada surat dari pimpinan KPK. Secara hukum etika birokrasi, itu tidak boleh begitu.
Sekarang bernaung di KPK, kemudian menghadap ke Mabes Polri, harus ada surat penghadapan dalam rangka apa. Sebelas orang ini menghadap ke institusi Polri. Di situ diminta tanda tangan surat pernyataan bahwa sukarela kembali ke Mabes Polri. Secara psikologi agak terganggu, maka mereka mengisi pernyataan itu. Oleh Mabes Polri, (dikatakan) 11 dari 15 bersedia untuk kembali.
Hari senin kemarin, baru pimpinan KPK berikan surat penghadapan ke lima orang (bagian dari 15 yang sudah kembali ke Mabes Polri) itu. Mereka kembali karena sudah mengisi form bahwa mereka harus kembali. Ini menurut saya ada kesalahpahaman dalam etika birokrasi. Seharusnya, sebelumnya harus ada surat-menyurat, ada kepentingan apa menghadap ke Mabes Polri.
Jadi menunggu surat penghadapan?
Kami berlima nggak diberikan surat penghadapan. Dari mana jalannya kita menghadap tanpa surat?
Selain alasan tidak ada surat penghadapan, ada alasan lainnya mengapa belum kembali ke Mabes Polri?
Saya mau menyatakan, saya awalnya ke KPK berniat untuk berperan dalam pemberantasan korupsi di KPK. Waktu masuk, gajinya kecil. Bukan seperti sekarang. Waktu wawancara, saya katakan, berapa pun gajinya saya terima, karena niat saya ingin memberantas korupsi ke KPK. Jadi bukan karena gaji, tapi untuk memberantas korupsi.
Kemudian, kami melihat ini sedang ada 11 perkara dalam proses penyidikan yang saya tangani. Lalu penyelidikan ada dua. Kemudian target operasi lainnya juga dibebankan kepada kami. Kami lihat dari sisi polemik pekerjaan. Kami mau tinggalkan, kan ada beban nurani.
Kita niatnya memberantas korupsi. Kalau kembali ke Mabes, kita nggak di dalam pekerjaan yang sama dan upaya pemberantasan yang sama. Dengan kondisi pekerjaan yang tidak sama, buat apa? Niat saya seperti itu.
Kalau Mabes Polri mengatakan bahwa mau perbaiki institusinya dengan menarik kami ke sana untuk perbaiki Polri, saya mau tidak terima gaji apa pun dari Mabes. Dan saya akan merayap dari KPK, kalau Polri mau perbaiki institusinya. Jadi bukan semata-mata karena sisi ekonomi. Kami memang haus dan lapar. Kami nggak boleh munafik.
Dengan kata lain, selama Mabes masih kurang baik, nggak akan mau kembali?
Saya nggak bilang begitu. Kalau mau perbaiki diri, nggak gitu caranya. Belum habis kok sudah ditarik. Persoalannya, kalian (Polri) mau kami kembali, kan untuk perbaiki. Kita siap. Kami ini perwira dididik untuk jujur dan berani. Persoalannya, di tengah-tengah kasus yang menyangkut simulator SIM ini, tiba-tiba kami ditarik. Ditariknya pun permasalahannya tidak wajar. Ini ada satu hal kurang baik di dalam proses penarikan ini. Nggak wajar dan nggak sesuai prosedur. Secara etika birokrasi tidak begitu.
Jadi, benar penarikan ini gara-gara kasus simulator ujian SIM?
Saya nggak boleh katakan begitu. Itu pendapat belum tentu benar. Kita bisa lihat saja kenapa. Proses ini masih ada. Beberapa tahun nggak diperpanjang nggak ada masalah apa-apa. Tapi ini belum habis masa tugasnya, tapi sudah ditarik. Saya sudah hampir tujuh tahun (di KPK), tepatnya enam tahun tujuh bulan. Dan mustinya satu tahun lagi. Saya baru sekali diperpanjang tahun 2009. Saya sudah sejak tahun 2005 bekerja di KPK.
Kalau jadi pegawai tetap (KPK), mau?
Kami ini kan punya tekad untuk memberantas korupsi. Kalau kami diangkat (jadi) pegawai tetap, ya, kami senang dan bersyukur.
Ada penawaran dari KPK?
Nggak ada. Kami pasti punya niatan untuk itu (jadi pegawai tetap) ketika ada rencana ke sana.
Kalau tetap tidak ada surat penghadapan, akan tetap bertahan di KPK?
Ini kan berarti tanggungjawab ada di institusi KPK. Sehingga, pimpinan Polri tanyakanlah ke pimpinan KPK. Tapi kalau misalnya pimpinan KPK berikan surat penghadapan, ya, harus menghadap (ke Mabes Polri).
(Jadi) Kecenderungannya mau ke KPK?
Ya, kami punya beban moril, masih banyak kasus. Kami diberi kesempatan jadi pegawai tetap, ya, mungkin bisa.
Ada tawaran jabatan dari Mabes Polri?
Itu sudah terbuka di media masa. Dalam jiwa saya, nggak ada jiwa tawaran-tawaran. Jadi orang nggak berani nawar.
Benar ada ancaman jika tidak kembali ke Mabes Polri?
Itu isu. Rumor yang belum tentu benar. Institusi Polri nggak mungkin ambil langkah-langkah itu. Kalau ada langkah yang diambil Polri, kami siap. Kami ini kan sedang bekerja di satu institusi KPK, jadi bagaimana mungkin kita pertanggungjawabkan bernaung di masing-masing institusi. Artinya institusi yang harus bertanggungjawab. Kita nggak bisa tanggungjawab sendiri. Institusi secara birokrasi ini.
Ada (rasa) iri terhadap 28 penyidik yang diangkat jadi pegawai tetap KPK?
Saya nggak iri. Saya hormat. Saya sampaikan ke mereka, itu pilihan. Bagaimana mereka menapaki jalan itu. Kita harus berjiwa ksatria. Nggak boleh iri. Itu jalan hidup.
Harapannya agar diangkat jadi pegawai tetap KPK?
Mudah-mudahan kami dinilai baik oleh pimpinan KPK, lalu diangkat jadi pegawai tetap. Kita sama-sama, di Polri dan di KPK juga untuk negara.
Kalau diangkat (dan) harus mengundurkan diri dari Polri, Anda siap?
Siap untuk apa saja yang dilakukan organisasi kasih ke saya. Kalau saya diangkat, saya nggak boleh berbadan dua. Hati nggak boleh mendua. Saya harus mundur salah satu. Kalau diangkat, saya akan mundur dari Polri. Kalau nggak diangkat, melangkah tegak ke Polri.