Quote:
Jam masih menunjukkan pukul 4 sore, saya dan istri saya yang baru saja dari Candi Simping untuk mencari bahan ikut postingan Travellista langsung menuju ke Pesanggrahan Djojodigdan atau oleh masyarakat Blitar lebih dikenal dengan Kuburan Gantung. Tidak seperti biasanya, pintu gerbang masuk Pesanggrahan yang biasanya terlihat selalu tertutup waktu itu sedikit terbuka dan sangat kebetulan sekali Mbah Ram dan Mbah Man juru kunci Pesanggrahan Djoodigdan ada di pintu gerbang belakang, lansung saya dan istri saya berbincang dan mengutarakan niat saya untuk melihat-lihat Pesanggrahan sekaligus soan ke Makam Eyang Djojodigdo. Dengan ramahnya, Mbah Ram mempersilahkan untuk masuk dan memarkir motor saya disamping rumah beliau yang terletak di sebelah barat bangunan utama dari Pesanggrahan.
Area Pesanggrahan ini cukup luas, terdapat sebuah bangunan rumah yang cukup besar dan hampir di sekeliling Pesanggrahan terdapat kebun yang cukup rindang. Saya pun bertemu dengan Mbah Man, suami dari Mbah Ram, dari beliau saya mendapat banyak info tentang Pesanggrahan ini dan dari beliau juga saya mengetahui bahwa Mbah Ram merupakan salah satu cucu dari Eyang Djojodigdo. Sebelum saya mengulas Pesanggrahan Djojodigdan lebih lanjut, saya akan sedikit membahas mengenai Eyang Djojodigdo. Menurut cerita yang beredar dan dari beberapa sumber informasi yang saya peroleh, beliau merupakan sahabat dekat Pangeran Diponegoro dan dia juga merupakan keturunan darah biru Mataram. Sepak terjang Eyang Djojodigdo berkaitan erat dengan Perang Diponegoro (melawan Belanda) selama masa peperangan lima tahun (1825-1830), beliau merupakan salah satu pengikut setia Pangeran Diponegoro.
Dari keterangan nisan yang saya baca di foto2 dinding dalam Rumah Mbah Djojodigdan, beliau lahir pada tanggal 29 Juli 1827, banyak orang percaya bahwa beliau mempunyai Ajian Pancasona. Aji Pancasona merupakan ilmu yang bila pemiliknya mati, dia akan hidup kembali dengan catatan tubuhnya menyentuh tanah. Dalam epos Ramayana, hanya ada satu orang yang dikenal memiliki Aji Pancasona. Dia adalah Subali, saudara kembar Sugriwa. Mereka berdua berasal dari bangsa kera. Namun, karena rayuan Rahwana, ajian ini jatuh ke tangan raja Alengka. Dengan kesaktiannya itu, konon Joyodigdo tak hanya sekali tertangkap dan dieksekusi mati oleh Belanda. Namun, karena mempunyai Aji Pancasona, begitu jasadnya dibuang (dan menyentuh tanah), dia hidup kembali tanpa sepengetahuan kompeni. Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda, Joyodigdo (yang usianya masih sekitar 30 tahun kala itu) masih meneruskan gerilya. Karena Yogyakarta dijaga terlalu banyak pasukan Belanda, Joyodigdo memilih bergerilya ke arah timur. Sepanjang perjalanan, dia menyerang tiap pos Belanda yang lengah.
Sesampainya di Blitar, Joyodigdo berhasil mengusir Belanda dari wilayah ini. Keberadaan Joyodigo pada akhirnya diketahui oleh Adipati Blitar. namun Joyodigo menolak saat Adipati memintanya datang dengan alasan sibuk melatih laskar untuk melawan Belanda. Dua tahun kemudian, utusan Adipati kembali datang dengan maksud meminta Joyodigdo untuk menggantikan patih Kadipaten Blitar yang mangkat. Joyodigdo pun menerima permintaan ini. Dia kemudian diberi tanah perdikan yang sekarang berada di Jln. Melati, Blitar. Di tanah ini Joyodigo mendirikan rumah besar untuk keluarganya yang diberi nama Pesanggrahan Joyodigdo yang hingga sekarang pun masih berdiri kokoh. Eyang Joyodigdo pun wafat pada 1905 di usia 100 tahun lebih. Bagi yang tertarik untuk menguasai Ajian ini, konon syarat utamamnya adalah melakukan puasa ngalong, yaitu bergelantungan di pohon dengan posisi kepala di bawah (seperti kalong) selama 40 hari 40 malam tanpa makan dan minum. Ada yang bermininat?
Karena khawatir akan hidup lagi begitu menyentuh bumi, kemudian oleh para kerabat, makamnya diusahakan agar tidak menyentuh tanah. Jasad Joyodigo dimasukkan ke dalam peti besi, dan peti itu kemudian disangga dengan empat tiang yang juga terbuat dari besi seperti yang tampak sekarang ini.
Di usia yang sudah lebih seratus tahun, kan kasihan kalau Eyang terus menerus hidup lagi setelah meninggal. Karena itu, makamnya dibuat menggantung agar tidak menyentuh tanah. Kalau asal-usulnya ya, seperti yang saya katakan tadi. Eyang Joyodigo merupakan keturunan darah biru dari Mataram dan pernah menjadi patih di Kadipaten Blitar sini. Kalau saudara beliau, mantan bupati Rembang yang juga suami dari RA. Kartini, terang juru kunci yang telah menjaga makam Eyang Joyodigo lebih dari 20 tahun.
Berikut penampakan dari Kuburan Gantung Djojodigjan
Maaf karena kamera yang ane gunakan kurang bagus
Quote:
Itu cerita dari perjalanan ane, mohon maaf jika ada salah kata.
Sekian dari ane ya gan
Jangan Lupa & memberikan Comment yang Bermutu
Terima kasih sudah membaca dan mampir ke trit ane