- Beranda
- The Lounge
Sejarah Vriva Motor
...
TS
VrivaMotor
Sejarah Vriva Motor
Quote:
Onderdil Limbah dari Cinangka
ADA bau karat dan oli, meski tak menusuk.
Ada pula tumpukan daun pintu Panther Touring cokelat karena termakan karat.
Kumpulan setir, rotor, lampu depan, dan lampu belakang mobil tergantung di langit-langit dekat pintu masuk.
Banyak bongkahan mesin dari berbagai jenis mobil berserak.
Gundukan gearbox juga menumpuk di sana.
Di samping kiri pintu masuk, seorang pegawai tengah asyik menyikat mesin dengan bensin, setelah dipereteli satu per satu.
Tampak pula beberapa onderdil kinclong.
Kala melangkah ke dalam, terlihat ruangan hanya disinari lampu 15 watt.
Meski tak begitu terang, pegawai di sana bisa dengan cekatan menemukan barang yang dipesan pembeli.
"Cari transmisi apa?" tanya seorang di antara mereka. "Mazda Vantrend," ujar seorang calon pembeli.
Tanpa banyak cakap, pegawai itu langsung ngeloyor ke deretan rak di belakang.
Sesaat kemudian ia berteriak: "Lagi kosong." Apa boleh buat, si calon pembeli pasrah, dan minta informasi ke mana lagi ia harus mencari barang itu.
"Coba deh ke Bekasi," jawab pegawai itu.
Itulah sekelumit aktivitas di Vriva Motor, di Jalan Raya Cinangka 64, Sawangan, Bogor.
Tampilan bangunan toko itu biasa saja.
Berdiri di atas tanah seluas 1.250 meter persegi.
Nama Vriva Motor tak dipajang di papan nama yang "wah".
Cukup ditulis dengan cat semprot di dinding depan. Berukuran besar namun sederhana.
Bisnis onderdil mobil bekas --termasuk pernak-perniknya-- di Vriva Motor itu cukup beken di kalangan penggemar mobil.
Semua barang bekas itu disusun begitu rupa agar tak sulit mencarinya.
Lama-lama para pegawai itu sudah hapal.
"Sekali raba sudah ketahuan ini onderdil Toyota atau Suzuki," kata Aan, seorang pegawai di sana, kepada Wisnu Wage Pamungkas dari GATRA, awal Oktober lalu.
Vriva Motor dimiliki Haji Amir Syariffudin, 56 tahun.
Pria kelahiran Bukittinggi yang biasa dipanggil Pak Haji itu hanya lulusan sekolah dasar.
"Saya diboyong keluarga ke Semarang sejak masih belia," katanya.
Di "kota lumpia" itulah ia digembleng ayahnya agar jadi pedagang.
Pada 1952, bermodal nekat, ia ke Ibu Kota, dan berdagang di Tanah Abang, Jakarta Pusat.
"Awalnya jualan cabe dan peniti," katanya, mengenang. Akhir 1970-an, ia beralih menjadi pembeli barang-barang bekas.
"Ya, pemulunglah," katanya, sambil mengisap rokok Gudang Garam Merah dalam-dalam.
Dari pagi sampai sore, ia datangi bengkel-bengkel, hotel, instansi pemerintah, serta pabrik-pabrik.
"Kalau ada piring bekas atau ban bekas, saya beli," katanya.
Barang bekas itu ia jual lagi dengan berjalan kaki, memanggul barang-barang itu.
Profesi ini ia jalani setahun saja. Pada 1982, ia mulai berani menyewa kios berukuran 2 x 2 meter di bilangan Tanah Abang.
Dari sana, bapak sembilan anak itu mulai jualan onderdil bekas.
Peranti keras mobil merek Holden, Moris, Opel, dan lainnya ia pajang di kiosnya.
Omsetnya, menurut Pak Haji, tak menentu.
Maklum, pelanggannya rata-rata sopir opelet dan pikap.
Toh, rezeki tak lari darinya. Ia mampu membeli kios sewaannya.
"Waktu itu, harganya Rp 200.000-an," katanya.
Kios itu ia beri nama Vriva, gabungan nama anak pertamanya, Veri, dan anak keduanya, Eva.
Tak ada alasan khusus saat pemberian nama itu dipakai.
"Praktis saja, ya, saya gabung," katanya.
Usahanya mulai berkembang.
Feeling-nya mengatakan, bisnis onderdil bekas ini merupakan ladangnya.
Apalagi, menurut Pak Haji, tak ada persaingan kotor dalam bisnis ini.
Awal 1990-an, orang yang pernah naik haji sampai dua kali itu membeli lahan kosong di Cinangka.
"Tanahnya dulu masih murah sekali," katanya.
Duit hasil kios di Tanah Abang ia investasikan di Cinangka.
Ia menyulap lahan itu menjadi bengkel body repair.
Karyawannya mencapai setengah lusinan.
Untuk memayungi pegawai bengkelnya, di lahan itu didirikan bangunan sederhana.
Eh, ternyata, Vriva di Cinangka berkembang cepat.
Terus terang, ia mengaku diuntungkan oleh makin sempitnya kota Jakarta.
Bengkelnya pun mulai ramai seiring dengan perkembangan kawasan itu sebagai permukiman dan industri.
"Orang-orang makin ke pinggir," katanya, pendek.
Lama-kelamaan, bangunan bengkelnya ia rehab perlahan-lahan hingga besar seperti sekarang.
Kini, Pak Haji berani melepas kiosnya di Tanah Abang dan berkonsentrasi di Cinangka, walau persaingan makin marak.
Persaingan ini dibenarkan Almizan, importir junk yard atawa barang bekas, yang menjelang sore itu tengah nongkrong di Vriva.
Di mata Almizan, persaingan menajam karena para pedangan etnis Cina banting harga.
"Mereka mah punya modal besar," katanya.
Menghadapi hal itu, kiat Almizan adalah menambah pelayanan khusus pada pembeli.
"Yang penting, servis dan jujur pada pelanggan," katanya.
Tiap hari, Vriva jualan dari pukul sembilan pagi sampai enam sore.
Ada selusin pegawai yang melayani.
Seorang di antaranya, Anas Syarif, putra keempat Pak Haji.
"Malas nerusin kuliah," kata Anas, beralasan.
Vriva lebih banyak menjual mesin Suzuki Carry, L-300, Toyota Kijang, dan Futura.
"Rata-rata tahun 1990-an ke atas," kata Anas.
Maklum, memenuhi kebutuhan pemilik angkutan kota.
Selain itu, anggota klub-klub mobil pun jadi pelanggannya.
Vivra besar dari mulut ke mulut.
Mesin dan segala perniknya itu dibeli dari para importir barang bekas.
Tidak sulit, karena pemesan itu dalam jumlah besar.
Onderdil mesin-mesin itu masih dalam bentuk gelondongan.
Agar tak rusak dimakan karat, setelah mesin dicek kemudian dibersihkan.
"Rata-rata kondisinya masih terawat," kata Ojo, 27 tahun, mekanik bengkel AMS di bilangan Kebayoran yang sudah tiga bulan terakhir ini jadi pelanggan Vriva.
Padahal, pembelian lewat importir itu bersifat gambling, untung-untungan.
Barang itu tak bisa diketeng atau dipilih satu per satu.
Sebab, menurut Pak Haji, pihak importir pun membelinya secara borongan. "Kita juga nggak boleh milih.
Beli, ya sudah, langsung bawa," katanya, kalem.
Cara begitu sudah jadi pakem.
Umpamanya, ada 50 dinamo Toyota Kijang.
Harga disepakati Rp 1 juta. Ya sudah, tinggal bayar, jreng.
"Tak bisa dicek satu per satu," ujar Pak Haji.
Pak Haji tak khawatir kena kibul.
Pengalaman bertahun-tahun membuktikan, barang dari Singapura belum pernah yang afkir semua.
"Paling satu-dua-tiga saja yang koit," katanya. Maklum, pemilik mobil Singapura merawat betul mesin mobilnya.
Kalau, misalnya, 50% kondisi barang jelek, maka separuhnya harus dijual dengan harga agak tinggi, demi menutup tekor.
"Pokoknya tak rugi, dan bisa mengambil untung, meski sedikit," katanya.
Adapun mesin Kijang diperoleh Pak Haji dari Taiwan.
Untuk mesin Kijang Super, ia pasang harga Rp 3,6 juta, tak bisa ditawar.
Sebab, keuntungannya sangat tipis: cuma Rp 100.000.
Mesin Colt Diesel ia jual Rp 13 juta. Harga belinya Rp 12 juta.
"Untuk setiap barang, rata-rata keuntungan yang diambil 10%-20% saja," katanya.
Selain lewat impor, barang-barang bekas itu diperoleh dari pabrik-pabrik besar seperti Toyota, Isuzu, dan Suzuki.
Bicara soal mesin, Vriva tak menerima pemasangan langsung.
Tapi, bila konsumen menginginkannya, bisa diusahakan.
Vriva menyediakan mekaniknya.
"Ongkosnya tak besar, karena semua untuk mekanik dan kami tak mengutip sepersen pun," katanya.
Dalam kondisi sepi, omset perdagangan onderdil ini Rp 100 juta-Rp 130 juta per bulan.
"Kalau lagi ramai, bisa menembus angka setengah milyar per bulan," katanya, lugas.
Dengan omset itu, tiap bulan Pak Haji bisa menggaji anak buahnya secara harian Rp 60.000.
"Kalau pas ramai, saya berani memberi bonus sampai 35%," kata suami Hajah Hermawati itu.
Vriva juga membuka cabang di Bekasi.
Itu pun baru dilakukan tiga bulan.
Toko ini diurus anak pertamanya, Veri.
Berhubung masih tekor, terpaksa biaya operasionalnya masih disubsidi.
Untuk menggerakkan usahanya itu, beberapa pelanggan Vriva yang berdomisili di Bekasi ia alihkan ke sana.
Kios serupa ada di Cianjur, dikelola adik iparnya.
Kios di Cianjur itu sudah berjalan delapan tahun.
"Dulunya ramai, kini omsetnya terus turun, per hari cuma Rp 300.000," katanya.
Meski begitu, ia tak ingin nasib tokonya itu sama dengan yang di Cipete.
Dua tahun lalu, kios itu terpaksa dijual.
Pasang surut dalam bisnis itu lumrah.
Jadi, Pak Haji tetap mensyukurinya.
Apalagi, berkat jualan onderdil bekas itu, ia mampu menyekolahkan tiga anaknya sampai bergelar sarjana.
Lima anak lainnya masih duduk di bangku SD sampai SMA.
Sehari-hari, keluarga besar Pak Haji tinggal di Gang Nangka, 200 meter dari Vriva.
Di rumahnya yang besar dan asri terparkir sebuah Kijang kapsul keluaran anyar, Starlet, dan Kijang baru model pikap.
Meski terbilang sukses, Pak Haji tetap sederhana.
Jika berangkat kerja, misalnya, ia mengayuh sepeda BMX-nya.
Di tokonya, ia membaur dengan karyawan, bercelemongan oli dan debu.
Ia memang pekerja yang tak betah berongkang-ongkang kaki.
Quote:
sumber
[url]www.gatra.com/2003-11-02/artikel.php?id=31985[/url]
[url]www.gatra.com/2003-11-02/artikel.php?id=31985[/url]
Spoiler for Menerima:
Budayakan
0
19.6K
Kutip
33
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
923.1KThread•83.4KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru