- Beranda
- The Lounge
Film Gangster dan Perkembangannya
...
TS
abbas92
Film Gangster dan Perkembangannya
Quote:
BANTU RATE DOLO YA GAN
abbas92
Spoiler for Repost??:
Spoiler for WooooW:
Alhamdulillah,
Thx to Allah, Mimin, Momod, dan Kaskuser semua
atas dukungannya HT ke-9
Thx to Allah, Mimin, Momod, dan Kaskuser semua
atas dukungannya HT ke-9
Quote:
Mampir Dulu Gan
[CENTER] [WoooW]Film Horor dari Masa ke Masa [/CENTER]
Tukang Kayu
[WoooW]Nyontek ala mahasiswa JEPANG
[HOT INFO]Tipe Cowok yang Paling Gampang Ditolak Cewek
cewe ane jokesnya keterlaluan gan
[WoooW]Yuk Mengenal Batu Permata (Akik)
[WoooW] The 40 Most Spectacular and Mindblowing Photos of Nature
[WoooW] Ulun Danu Bratan, Sisi Lain Bali yang Lebih Tenang
[WoooW] 7 Pemandian Air Panas Paling Menakjubkan
[WoooW]Nyontek ala mahasiswa JEPANG
[HOT INFO]Tipe Cowok yang Paling Gampang Ditolak Cewek
cewe ane jokesnya keterlaluan gan
[WoooW]Yuk Mengenal Batu Permata (Akik)
[WoooW] The 40 Most Spectacular and Mindblowing Photos of Nature
[WoooW] Ulun Danu Bratan, Sisi Lain Bali yang Lebih Tenang
[WoooW] 7 Pemandian Air Panas Paling Menakjubkan
Quote:
Film Gangster dan Perkembangannya
Quote:
Film gangster atau juga sering disebut mafia film atau mob film merupakan salah satu genre besar yang telah populer sejak lama. Film gangster umumnya berkisah bagaimana sebuah kelompok kriminal memperbesar kekuasaan dan memperluas wilayah operasinya. Para gangster beroperasi diluar sistem hukum dimana mencuri, memeras, hingga membunuh menjadi bagian dari hidup mereka. Film gangster sering kali melibatkan bos kriminal yang berwatak amoral, kejam, dan brutal dalam menyingkirkan gangster pesaingnya atau sistem hukum yang menghalangi mereka. Kekuatan film gangster sering kali tampak pada kekuatan akting dari para aktornya yang bertampang keras dan dingin. Rivalitas antar kelompok gangster biasanya memperlihatkan adegan-adegan aksi kekerasan brutal tidak manusiawi yang penuh darah. Adegan-adegan aksi sadis dan brutal biasanya ditampilkan secara eksplisit dengan senjata-senjata khas seperti senapan mesin tommy gun, tongkat pemukul, bom mobil, dan lainnya.
..
Plot film gangster juga kadang melibatkan kucing-kucingan antara pihak gangster dan penegak hukum. Pihak penegak hukum sendiri sering kali menggunakan cara-cara di luar aturan hukum untuk melawan kelompok gangster. Film-film gangster biasanya mengambil setting di kota-kota besar yang berpenduduk sangat padat. Latar cerita sering mengambil tempat di lokasi gelap seperti, jalanan, bar, klab malam, rumah judi, tempat prostitusi yang menjadi tempat favorit berkumpulnya para gangster. Cerita film gangster biasanya tidak lepas dari bisnis barang ilegal seperti minuman keras, narkotika, senjata api, dan lainnya.
Sejak awal perkembangan sinema di Amerika, elemen gangster telah muncul pada film-film pendek seperti The Moonshiners (1904) and The Black Hand (1906) yang menggambarkan realitas sosial urban kala itu, yakni pemukiman padat, imigran, serta geng jalanan. The Musketeers of Pig Alley (1912) karya D.W Griffith serta The Regeneration (1915) karya Raoul Walsh juga menggambarkan kelompok kriminal yang terorganisir di kota besar. Sementara di Eropa, sineas Jerman, Fritz Lang memproduksi dua seri film gangster berpengaruh yakni, Dr. Mabuse, The Gambler, Part I dan II (1922-1923). Sebelum era film bicara, film gangster telah populer melalui Underworld (1927) karya sineas Joseph von Sternberg. Film ini sering dianggap sebagai film gangster modern pertama karena menggunakan tokoh gangster sebagai karakter protagonis. Sementara film gangster lainnya, The Racket (1928) arahan Lewis Milestone, berkisah tentang korupsi dan organisasi kriminal di kota besar. Munculnya teknologi suara semakin menaikkan pamor film-film gangster. Dengan efek suara tembakan, jeritan, serta suara mobil, film gangster menjadi lebih realistik. Tercatat film gangster bicara pertama adalah The Ligths of New York (1928) yang mengetengahkan kisah kriminal di kota besar.
Era 30-an dianggap sebagai era berpengaruh bagi perkembangan genre gangster. Isu serta masalah sosial yang muncul pada era ini turut mempopulerkan genre ini. Depresi besar yang melanda Amerika mempertinggi angka kriminal, perjudian, dan prostitusi di kota-kota besar. Juga pelarangan alkohol di Amerika pada tahun 1920-1931, serta beberapa peristiwa kriminal besar, seperti pembantaian berdarah di St. Valentine (1929), serta munculnya tokoh-tokoh gangster besar seperti, Al Capone. Isu-isu sosial ini rupanya menarik perhatian studio-studio besar Hollywood terutama Warner Brothers untuk mengangkat kehidupan para gangster ke layar lebar. Film-film gangster era baru ini menawarkan suatu bentuk aksi kekerasan kejam dan brutal yang belum pernah tampak di layar lebar sebelumnya.
Tercatat tiga film gangster berpengaruh yang diproduksi pada era ini memantapkan gangster sebagai genre populer yakni, Little Caesar (1930), The Public Enemy (1931), serta Scarface, The Shame of Nation (1932). Dua film pertama diproduksi oleh Warner Bros yang dirilis hampir bersamaan. Sementara film terakhir adalah produksi United Artist. Little Caesar arahan Mervyn Le Roy mengetengahkan kisah seorang kriminal bernama Enrico Bandello yang karakternya diinspirasi dari Al Capone. Karakter bengis ini diperankan dengan sempurna oleh Edward G. Robinson yang setelah ini meroketkan namanya menjadi bintang gangster pertama. Kemudian William Wellman mengarahkan The Public Enemy, dibintangi oleh James Cagney yang bermain sebagai Tom Powers seorang gangster yang kejam dan brutal. Sementara film kontroversial Scarface arahan Howard Hawks dibintangi oleh Paul Muni. Film ini juga banyak terispirasi dari tokoh-tokoh serta peristiwa kriminal besar pada era ini.
Adegan-adegan aksi kejam, brutal, dan sadis pada film-film tersebut, terutama Public Enemy dan Scarface, membuat lembaga pra-sensor film (baru resmi dibentuk tahun 1934) mengecam keras film-film tersebut. Produser Public Enemy berkilah mereka hanya memaparkan fakta problem sosial yang terjadi di masyarakat. Juga ending pada dua film tersebut menggambarkan para tokoh gangster yang tewas mengenaskan, mengisyaratkan bahwa perbuatan jahat (kriminal) tidak akan membuahkan hasil apapun. Namun pihak pengecam menganggap pada sisi-sisi tertentu film-film tersebut mampu memberikan kesan kuat jika kehidupan kriminal (gangster) penuh dengan glamour dan kesenangan. Pihak produser pun akhirnya mengalah, seperti pada kasus Scarface mereka terpaksa mengganti atau menghapus beberapa adegan yang dinilai tidak pantas.
Tekanan dari pihak sensor tidak serta merta membuat genre ini kehilangan popularitasnya. Para kreator dengan cerdik mengubah sentral plot tidak pada karakter gangsternya melainkan pada karakter yang memihak hukum seperti polisi, agen pemerintah, atau detektif. Dalam G-Men (1935), James Cagney berperan sebagai seorang agen FBI yang menyamar dalam suatu kelompok gangster. Walau berperan sebagai hamba hukum namun Cagney berperan nyaris sama dinginnya dengan film-film gangster yang ia bintangi sebelumnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Edward G. Robinson dalam Bullets or Ballots (1936). Dalam Angels with Dirty Faces (1938) yang dibintangi Cagney, mengisahkan dua orang sahabat yang mengambil jalan hidup yang bertolak-belakang, yakni seorang gangster dan seorang pendeta.
..
Plot film gangster juga kadang melibatkan kucing-kucingan antara pihak gangster dan penegak hukum. Pihak penegak hukum sendiri sering kali menggunakan cara-cara di luar aturan hukum untuk melawan kelompok gangster. Film-film gangster biasanya mengambil setting di kota-kota besar yang berpenduduk sangat padat. Latar cerita sering mengambil tempat di lokasi gelap seperti, jalanan, bar, klab malam, rumah judi, tempat prostitusi yang menjadi tempat favorit berkumpulnya para gangster. Cerita film gangster biasanya tidak lepas dari bisnis barang ilegal seperti minuman keras, narkotika, senjata api, dan lainnya.
Spoiler for klik:
Sejak awal perkembangan sinema di Amerika, elemen gangster telah muncul pada film-film pendek seperti The Moonshiners (1904) and The Black Hand (1906) yang menggambarkan realitas sosial urban kala itu, yakni pemukiman padat, imigran, serta geng jalanan. The Musketeers of Pig Alley (1912) karya D.W Griffith serta The Regeneration (1915) karya Raoul Walsh juga menggambarkan kelompok kriminal yang terorganisir di kota besar. Sementara di Eropa, sineas Jerman, Fritz Lang memproduksi dua seri film gangster berpengaruh yakni, Dr. Mabuse, The Gambler, Part I dan II (1922-1923). Sebelum era film bicara, film gangster telah populer melalui Underworld (1927) karya sineas Joseph von Sternberg. Film ini sering dianggap sebagai film gangster modern pertama karena menggunakan tokoh gangster sebagai karakter protagonis. Sementara film gangster lainnya, The Racket (1928) arahan Lewis Milestone, berkisah tentang korupsi dan organisasi kriminal di kota besar. Munculnya teknologi suara semakin menaikkan pamor film-film gangster. Dengan efek suara tembakan, jeritan, serta suara mobil, film gangster menjadi lebih realistik. Tercatat film gangster bicara pertama adalah The Ligths of New York (1928) yang mengetengahkan kisah kriminal di kota besar.
Spoiler for klik:
Era 30-an dianggap sebagai era berpengaruh bagi perkembangan genre gangster. Isu serta masalah sosial yang muncul pada era ini turut mempopulerkan genre ini. Depresi besar yang melanda Amerika mempertinggi angka kriminal, perjudian, dan prostitusi di kota-kota besar. Juga pelarangan alkohol di Amerika pada tahun 1920-1931, serta beberapa peristiwa kriminal besar, seperti pembantaian berdarah di St. Valentine (1929), serta munculnya tokoh-tokoh gangster besar seperti, Al Capone. Isu-isu sosial ini rupanya menarik perhatian studio-studio besar Hollywood terutama Warner Brothers untuk mengangkat kehidupan para gangster ke layar lebar. Film-film gangster era baru ini menawarkan suatu bentuk aksi kekerasan kejam dan brutal yang belum pernah tampak di layar lebar sebelumnya.
Tercatat tiga film gangster berpengaruh yang diproduksi pada era ini memantapkan gangster sebagai genre populer yakni, Little Caesar (1930), The Public Enemy (1931), serta Scarface, The Shame of Nation (1932). Dua film pertama diproduksi oleh Warner Bros yang dirilis hampir bersamaan. Sementara film terakhir adalah produksi United Artist. Little Caesar arahan Mervyn Le Roy mengetengahkan kisah seorang kriminal bernama Enrico Bandello yang karakternya diinspirasi dari Al Capone. Karakter bengis ini diperankan dengan sempurna oleh Edward G. Robinson yang setelah ini meroketkan namanya menjadi bintang gangster pertama. Kemudian William Wellman mengarahkan The Public Enemy, dibintangi oleh James Cagney yang bermain sebagai Tom Powers seorang gangster yang kejam dan brutal. Sementara film kontroversial Scarface arahan Howard Hawks dibintangi oleh Paul Muni. Film ini juga banyak terispirasi dari tokoh-tokoh serta peristiwa kriminal besar pada era ini.
Spoiler for klik:
Adegan-adegan aksi kejam, brutal, dan sadis pada film-film tersebut, terutama Public Enemy dan Scarface, membuat lembaga pra-sensor film (baru resmi dibentuk tahun 1934) mengecam keras film-film tersebut. Produser Public Enemy berkilah mereka hanya memaparkan fakta problem sosial yang terjadi di masyarakat. Juga ending pada dua film tersebut menggambarkan para tokoh gangster yang tewas mengenaskan, mengisyaratkan bahwa perbuatan jahat (kriminal) tidak akan membuahkan hasil apapun. Namun pihak pengecam menganggap pada sisi-sisi tertentu film-film tersebut mampu memberikan kesan kuat jika kehidupan kriminal (gangster) penuh dengan glamour dan kesenangan. Pihak produser pun akhirnya mengalah, seperti pada kasus Scarface mereka terpaksa mengganti atau menghapus beberapa adegan yang dinilai tidak pantas.
Spoiler for klik:
Tekanan dari pihak sensor tidak serta merta membuat genre ini kehilangan popularitasnya. Para kreator dengan cerdik mengubah sentral plot tidak pada karakter gangsternya melainkan pada karakter yang memihak hukum seperti polisi, agen pemerintah, atau detektif. Dalam G-Men (1935), James Cagney berperan sebagai seorang agen FBI yang menyamar dalam suatu kelompok gangster. Walau berperan sebagai hamba hukum namun Cagney berperan nyaris sama dinginnya dengan film-film gangster yang ia bintangi sebelumnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Edward G. Robinson dalam Bullets or Ballots (1936). Dalam Angels with Dirty Faces (1938) yang dibintangi Cagney, mengisahkan dua orang sahabat yang mengambil jalan hidup yang bertolak-belakang, yakni seorang gangster dan seorang pendeta.
Lanjut dibawah gan
0
41K
Kutip
1K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
924.8KThread•89.9KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya