- Beranda
- Heart to Heart
Cerpen : Dokter Fazli
...
TS
Leny.Khan
Cerpen : Dokter Fazli
“Maaf, jika keputusan ini mendadak dan membuatmu kecewa.”
Fazli menunduk setelah selesai mengutarakan niatnya. Sedangkan aku hanya bisa terdiam menahan gejolak di dada. Bagaimana tidak? Bulan depan kami akan menikah, tetapi Fazli memutuskan untuk pergi ke negara yang sedang berkecamuk itu. Menggantikan temannya yang sudah syahid di sana.
“Palestina bukanlah tempat yang dekat.” Aku menahan butiran bening yang hendak tumpah sejak tadi. “Apakah harus kamu yang berangkat ke sana? Tidak adakah orang lain?”
Lelaki berjenggot tipis itu sekilas memandangku sebelum kembali menunduk. Suasana sore yang gerimis seakan ikut merasakan kegundahan hati kami masing-masing di teras berubin putih ini.
“Maafkan aku, Khansa. Aku tahu ini berat buat kamu, bahkan buatku juga amat sangat berat. Tak terkecuali kedua orang tuaku. Namun, jujur … aku sudah lama bermimpi untuk berjuang di sana, dan aku nggak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.”
“Lalu, bagaimana denganku?” Kuberanikan diri menatap wajah lelaki itu. “Bagaimana dengan mimpi-mimpiku? Bagaimana dengan segala rencana yang sudah kita buat? Bagaimana dengan pernikahan kita? Apakah semudah itu bagimu menghancurkannya?”
Entah, pertanyaanku mungkin terdengar egois. Seharusnya aku sudah bisa memaklumi resiko menjadi calon istri seorang dokter. Apalagi Fazli tipe dokter yang sangat loyal dengan profesinya. Namun, siapa sangka kalau harus sejauh ini keadaannya.
“Tunggu aku pulang!”
Kalimat itu terdengar seperti orang pasrah bagiku, bukan sebuah permintaan.
“Kamu yakin akan pulang?”
Raut Fazli tampak terkejut mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibirku. Mungkin baginya itu seperti sebuah kalimat menyumpahi sehingga ia pun hanya diam.
Beberapa saat kemudian, aku meminta izin untuk masuk tanpa menunggunya mengiakan. Bahkan saat melewati ruang tamu, tak kuhiraukan kedua orang tuanya yang sedang berbicara dengan Mama dan Papa. Aku hanya tak ingin mereka melihat air mata yang sedari tadi sangat susah untuk ditahan.
Fazli keterlaluan. Jika memang ingin pergi ke sana, kenapa harus melamarku terlebih dahulu? Bukankah itu hanya akan menyakitiku saja? Tidakkah ia tahu bahwa pernikahan ini telah lama kuimpikan bersamanya?
Masih bisa kuingat dengan jelas bagaimana awal kami bertemu. Ketika itu aku mengalami kecelakaan motor saat hendak ke kampus. Aku diserempet orang dan ia kabur. Orang-orang membawaku ke rumah sakit. Memang tidak ada yang parah, hanya luka-luka saja di tangan, kaki, dan juga wajahku. Kebetulan Fazli yang menyambut di IGD siang itu.
Pada saat perawat membersihkan lukaku, tak sengaja aku berteriak. Maklum, aku sedikit manja dan tidak kuat menahan rasa sakit walau hanya luka kecil saja. Air mataku mengalir tidak berhenti. Sampai-sampai dua perawat berjilbab putih itu geleng-geleng kepala dan mengulum senyum melihat tingkahku yang mungkin terlalu lebay.
Fazli yang tadinya kulihat duduk di balik meja kerja—setelah memeriksaku tadi—pun bangkit dan mendekat. Kedua tangannya dimasukkan ke saku jas putih.
“Kamu ini, baru juga lecet doang, tapi tangisannya kayak luka digigit beruang aja!” komentarnya. “Kalah sama anak kecil.”
Ia tersenyum mengejek, tak terkecuali dua perawat tadi. Mereka malah tertawa kecil mendengar kelakar sang dokter.
“Dokter nggak tahu rasanya,” sahutku.
“Lebih dari yang kamu rasakan, saya sudah pernah mengalaminya. Bahkan patah tulang pun saya juga sudah pernah.”
“Dokter itu laki-laki, jadi wajar saja kalau Dokter kuat. Saya ‘kan perempuan, Dok.” Aku masih berusaha tak mau kalah. Sesekali mendesis menahan sakit saat tangan perawat itu menyentuh lukaku.
Lagi-lagi lelaki itu tersenyum. Aku baru sadar kalau ia memiliki lesung pipi.
“Lukamu … belum ada apa-apanya dengan luka-luka yang dihadapi wanita-wanita di Palestina sana.”
Kata-katanya membuatku terdiam. Seketika luka yang terasa perih pun menghilang. Air mata berhenti begitu saja. Terbayang bagaimana wanita-wanita Palestina itu dan memang lukaku belum ada apa-apanya. Sedangkan mereka? Bahkan saat sudah tertimpa bangunan dan anggota tubuh mereka harus diamputasi pun mereka masih bisa tersenyum.
Kuhapus sisa air mata di pipi dengan punggung tangan. Para perawat pun telah selesai membalut lukaku. Fazli juga sudah sibuk dengan pasien yang baru masuk. Tanpa sadar, ada sesuatu yang kurasakan ketika mengingat cara lelaki itu berbicara. Ah, itu hanya perasaan sesaat saja! Aku tidak boleh baper.
Tak lama kemudian Papa datang menjemput. Di sanalah semua berawal. Ternyata Papa dan sang dokter saling mengenal. Fazli merupakan anak dari sahabat Papa yang memang sudah direncanakan untuk dijodohkan denganku. Hanya saja, kala itu aku masih kuliah semester akhir dan mereka terpaksa menundanya terlebih dahulu.
Satu tahun selepas kuliah, akhirnya Fazli resmi melamarku. Tanggal pernikahan pun sudah ditentukan. Aku yang baru saja diterima sebagai tenaga pendidik di sebuah sekolah Islam pun hanya bisa menyetujui. Bagiku, tidak ada salahnya mengikuti kemauan Mama dan Papa. Lagian, keturunan dan latar belakang Fazli sangat jelas. Tidak ada alasan untuk menolak.
***
Hari itu akhirnya datang juga. Fazli begitu kuat dengan tekadnya. Bahkan air mataku pun tak mampu menahan langkahnya.
“Khansa. Nama kamu adalah nama salah satu shahabiyyah yang sangat tangguh. Jangan menagis hanya karena perpisahan ini. Insyaa Allah, kita pasti kuat menjalani ujian yang Allah berikan.”
Aku membuang pandangan darinya. Menahan desakan yang terasa memanas di sudut mata.
“Kenapa kamu tidak menikahiku saja sebelum pergi?” Bibirku bergetar saat menanyakan itu. “Setidaknya aku bisa tenang melepasmu ke sana. Sebab jika aku rindu, rindu itu telah halal kurasakan.”
Tarikan napas Fazli terdengar dalam. Ia tidak menanggapi pertanyaanku. Bahkan sampai saat ia meninggalkan rumahku, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Hanya saja, ketika akan menaiki mobil yang akan mengantarnya ke bandara, kedua tangan ia tangkup di dada sambil berujar, “Maaf!”
Matanya terlihat merah. Kemudian ia pergi.
***
Aku mencoba menerima kenyataan dengan lapang dada. Melaksanakan aktivitas seperti hari-hari sebelumnya tanpa ingin larut dalam kesedihan. Siapa tahu dengan begini, hari-hari akan terasa cepat berlalu dan Fazli segera pulang untuk menikahiku.
Bulan berganti bulan, hingga tak terasa satu tahun sudah kepergian Fazli ke Palestina. Dulu, setidaknya satu kali seminggu ia akan berkirim kabar. Mengirim video tentang kegiatannya di sana atau hanya sekedar berkirim foto-fotonya dengan anak-anak hebat Palestina.
Namun, dua bulan belakangan aku hampir tak pernah menerima kabar lagi darinya. Bahkan di bulan ini sama sekali tidak ada. Berulangkali aku memeriksa aplikasi hijau, tetapi tak kutemukan satu pun pesan darinya.
Karena rasa penasaran, akhirnya kuberanikan diri untuk menanyakan kabarnya terlebih dahulu. Berharap kalau Fazli baik-baik saja dan apa yang kutakutkan tidak terjadi. Akan tetapi hanya centang satu yang tertera di sana. Pesanku tidak terkirim. Aku masih mencoba berpikir positif, siapa tahu ini hanya masalah jaringan.
Sudah beberapa hari, keadaannya masih sama. Pesanku tak juga terkirim.
Sampai pada suatu Jumat yang mendung, akhirnya Fazli memberi kabar. Ya, ia membalas pesanku. Hatiku melonjak bahagia. Bersyukur kalau ternyata ia baik-baik saja.
Namun, ada hal yang membuatku terpaku menatap layar ponsel. Sebuah foto berikut pernyataan yang membuat duniaku seketika menjadi gelap.
“Khansa, aku minta maaf. Semua yang terjadi di luar kuasaku. Mungkin kedatanganku ke Palestina ini adalah untuk menemukan jodoh pilihan Allah. Bukan ingin mengingkari janji padamu. Hanya saja perempuan yang kunikahi ini lebih membutuhkanku ketimbang kamu. Kamu masih punya kesempatan memilih lelaki yang jauh lebih baik dariku. Sedangkan wanita yang kunikahi ini, ia sudah tak punya siapa-siapa lagi. Suami dan anak-anaknya tewas ditimpa reruntuhan rumah mereka, dan jiwaku terpanggil untuk menghalalkannya. Khansa, sekali lagi maafkan aku. Doa terbaik selalu kulantunkan untuk kebahagiaanmu.”
Tanganku bergetar hingga ponsel yang kupegang nyaris terlepas. Aku yang masih berada di sekolah tempat mengajar berusaha sekuat tenaga untuk menguasai diri.
Saat tak lagi mampu membendung air mata, aku segera bergegas ke taman belakang sekolah. Membawa tubuh ini duduk di kursi yang berada di sana. Kutumpahkan tangis sejadi-jadinya. Hingga saat merasa puas, kembali kusentuh layar ponsel dan mengetikkan sesuatu di sana.
“Alhamdulillaah. Akhirnya apa yang kamu cita-citakan terwujud. Aku sudah paham dari awal pertemuan kita, bahwa kamu sangat tergila-gila dengan ketangguhan wanita Palestina. Terbukti dari setiap kata yang kamu ucapkan selalu terselip kekagumanmu pada mereka. Kini, kamu sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan. Meskipun hatiku patah, tetapi aku akan tetap mendoakan kebahagiaan untuku. Semoga saja hati ini masih bisa mempercayai sebuah janji pernikahan lain di kemudian hari. Baarakallahu lakumaa, semoga kalian hidup bahagia. Tolong sampaikan salamku pada wanita Palestina itu. Katakan padanya, bahwasanya aku iri dengannya. Karena ia mampu memenangkan hatimu.”
🌹Selesai🌹
0
38
0
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Heart to Heart
22.2KThread•31KAnggota
Komentar yang asik ya