devankaflaAvatar border
TS
devankafla
Balasan Untuk Perebut Suamiku
Par 1

"Tolong jauhi suamiku! Sekarang aku tengah mengandung anak kami. Tidakkah kamu kasihan padaku? Kita sesama perempuan," ucapku ketika aku memutuskan untuk menemui selingkuhan suamiku yang bernama Rosa.


***
Namaku Dara Sasmita. Aku sudah menikah dengan Mas Fajar selama lima tahun. Namun sayang, kami tak kunjung juga diberikan momongan.

Semua hal sudah kami lakukan. Bahkan aku juga keluar dari pekerjaan yang sudah lama aku tekuni agar bisa fokus program hamil. Tapi memang belum rejeki kami.

"Maaf, ya, Mas, aku belum bisa memberikanmu keturunan," ucapku pada suatu malam.

"Gak apa-apa. Ini bukan salahmu, Sayang. Udah gak usah dipikirkan lagi," jawab Mas Fajar kala itu.

"Apakah kamu akan tetap setia bersamaku, Mas? Apakah kamu tidak akan melirik wanita lain walaupun aku memiliki kekurangan?" Aku mengungkapkan kekhawatiranku sebagai seorang istri.

Bukankah jaman sekarang banyak sekali berita-berita soal perselingkuhan? Banyak juga pelakor-pelakor yang berkeliaran dan siap memangsa suami siapa saja. Wajar bukan jika Dara merasa khawatir?

"Kamu itu ngomong apaan, sih, Sayang? Aku akan tetap setia bersamamu sampai tua.

Ucapannya membuatku yakin jika Mas Fajar akan setia bersamaku walaupun kami belum memiliki buah hati.

Tapi, semua sikap Mas Fajar berubah ketika dia mulai naik jabatan dan kita pindah rumah. Mas Fajar mulai sering pulang terlambat dengan alasan lembur. Tentu saja aku percaya karena memang jabatan Mas Fajar sekarang menuntutnya lebih bekerja keras lagi.

Hingga suatu hari aku menemukan sebuah nota pembelian di saku celana kerjanya yang aneh dan janggal menurutku. Nota apa ini? Kok barang-barang perempuan? Tapi, Mas Fajar tak pernah memberikan aku barang-barang seperti yang ada di nota ini. Lalu, kepunyaan siapa ini?

Aku menyimpan nota itu baik-baik. Kalaupun aku bertanya langsung pada Mas Fajar, aku takut Mas Fajar berbohong kepadaku. Untuk itu, aku akan berusaha mencari tahu jawaban itu sendiri dengan caraku.

Aku memang masih berusaha menepis hal-hal buruk dalam rumah tangga kami. Maka dari itu, aku memilih diam tak menanyakan soal nota itu daripada kami ribut besar. Karena memang aku dan Mas Fajar tak ada masalah apapun.

"Hari ini pulang malam lagi, Mas?" tanyaku ketika tengah menyiapkan sarapan untuk Mas Fajar.

Seperti biasa, jam tujuh pagi suamiku itu sudah rapi dan siap untuk berangkat ke kantor. Aku selalu membiasakan Mas Fajar untuk sarapan dulu di rumah. Terkadang aku juga buatkan bekal untuknya makan siang. Tapi, akhir-akhir ini Mas Fajar menolaknya dengan alasan buru-buru.

"Belum tau. Nanti aku kabari kamu kalau memang aku harus lembur," jawabnya dingin dengan jari terus memainkan ponselnya.

"Oh ya sudah. Mau aku buatkan bekal gak, Mas? Sudah lama kamu gak bawa bekal dariku," tanyaku lagi.

"Gak usah. Aku ada rapat pagi di kantor. Besok-besok saja bawanya." Lagi-lagi suamiku menolak.

Aku pun tak bisa memaksanya. Dan aku melepas keberangkatan suamiku setelah dia selesai sarapan. Selama ditinggal suamiku bekerja, aku melakukan hobi yang aku sukai dengan menulis sebuah cerita di sebuah aplikasi.

Awalnya aku hanya iseng-iseng saja karena memang hobi menulis. Tapi, ternyata dari hobi itu bisa menghasilkan uang. Jadilah aku sambil menyelam minum air. Aku bisa menyalurkan hobiku dan aku juga bisa mendapatkan uang dari sana.

Setiap malam, aku selalu menulis sembari menunggu suamiku pulang kerja. Tapi, entah kenapa malam ini aku merasakan hal yang berbeda. Perasaanku tidak menentu dan aku punya firasat buruk.

Sampai jam dua belas malam, Mas Fajar belum juga pulang dan itu semakin membuatku khawatir. Aku sudah berusaha menghubungi Mas Fajar, tapi sayang tidak ada respon.

Ya Allah, selamatkan suamiku dimanapun dia berada. Ingatkan dia jika dirinya salah langkah. Ada aku istrinya yang sedang menunggunya di rumah. Itulah doa yang aku ucapkan sambil menunggu di ruang tamu.

Adzan subuh membangunkan aku dari tidurku. Dan ketika aku terbangun, Mas Fajar sudah ada di sampingku. Entah jam berapa dia pulang aku pun tak tahu.

Tak ingin mengganggu waktu tidurnya, aku segera bangun untuk sholat subuh dan mengerjakan pekerjaan rumah. Ketika aku tengah beres-beres, aku melihat Mas Fajar sudah bangun dan mengambil air wudhu.

"Masak apa kamu, Sayang?" Tiba-tiba saja Mas Fajar memelukku dari belakang.

"Astaghfirullah! Kamu bikin aku kaget saja, Mas. Aku lagi masak nasi goreng buat sarapan kita. Ehm ... semalam pulang jam berapa, Mas? Kok tau-tau sudah di rumah?" jawabku sambil terus memasak nasi goreng.

"Sekitar jam satu malam kalau gak salah. Melihatmu tidur di sofa, membuatku merasa kasihan. Jadinya aku angkat kamu ke kamar. Maaf, ya, Sayang, aku pulang terlambat sekali karena memang pekerjaanku harus segera di selesaikan," jelas suamiku. Dia sudah melepaskan pelukannya dan mengambil segelas teh hangat yang sudah aku siapkan untuknya.

"Ya sudah kalau begitu. Mas tunggu saja di meja. Sebentar lagi sarapannya juga sudah siap," ujarku.

Melihat sikapnya kali ini, membuatku menepis prasangka buruk yang sebelumnya sempat terbesit dalam pikiranku karena nota itu. Mas Fajar masih sama seperti dulu. Dia masih mencintaiku dan tak berubah. Mungkin hanya perasaanku saja yang merasa bersalah karena belum memberikannya keturunan sehingga pikiran buruk itu muncul begitu saja.

Tak sampai sepuluh menit, nasi goreng telah siap dan aku segera menyajikannya untuk Mas Fajar yang setia menungguku di meja makan.

"Silahkan di makan, Mas!" ujarku sambil meletakkan satu piring nasi goreng untuknya.

"Wah kelihatannya enak sekali!" pujinya sambil mencium aroma nasi goreng itu. Aku pun tersipu malu karena pujiannya itu.

Tangannya dengan cekatan menyendok nasi goreng dan membawanya ke mulut. Ekspresinya tak berubah. Dia selalu tersenyum lebar setiap kali makan nasi goreng buatanku.

"Tuh, kan, sama seperti biasanya! Kamu paling the best, istriku!" pujinya lagi.

"Alhamdulillah kalau Mas suka. Sudah lama sekali rasanya Mas tidak menikmati masakanku begini. Biasanya selalu buru-buru dan bahkan kadang tak sempat."

"Maaf, ya, Sayang, kalau aku jadi jarang perhatian sama kamu. Tapi, perlu kamu tau, hatiku tak pernah berubah sedikitpun untukmu. Semua ini aku lakukan untuk masa depan kita. Kamu mengerti, kan?"

Kata-kata Mas Fajar mampu membuatku terbang melayang. Sudah lama sekali kami tidak mengobrol sehangat ini. Dan kini aku mulai menyadari bahwa pikiran-pikiran buruk itu berasal dari diriku saja.


***
Hubunganku dan Mas Fajar kembali seperti dulu lagi. Walaupun Mas Fajar masih suka pulang malam, dia masih menyempatkan diri untuk berbagi cerita denganku jika aku masih terjaga.

Hingga akhirnya aku yakin bahwa rumah tangga kami baik-baik saja dan tidak perlu lagi ada yang dikhawatirkan.

Aku dan Mas Fajar bahkan sudah merencanakan untuk liburan di akhir pekan ini karena Mas Fajar ingin menghabiskan waktu berdua denganku di tempat yang berbeda. Tentu saja aku senang sekali karena sudah lama kami tak melakukan itu. Tapi, tiba-tiba saja Mas Fajar berubah pikiran.

"Lho kenapa, Mas? Aku sudah siapkan pakaian kita lho, Mas," protes ku. Aku baru saja menata baju-baju kami ke dalam koper.

"Maaf, Sayang, tiba-tiba saja ada investor yang mau datang besok. Dan kalau bukan Mas yang menemuinya, bisa gawat karena ini investor besar di kantor. Mas harap kamu mengerti, Sayang. Lain kali Mas janji akan mengajakmu liburan," jelas Mas Fajar padaku.

Aku sudah emosi dan kecewa. Aku tak merespon ucapan Mas Fajar dan memilih meninggalkan dia di dalam kamar. Aku menyibukkan diri di dapur. Piring-piring yang sudah bersih aku cuci kembali sebagai luapan rasa kecewaku.

Awalnya aku kira Mas Fajar akan bertemu dengan investor itu di kantor. Tapi ternyata mereka bertemu di luar kota. Walaupun dengan kondisi marah dan kecewa, aku tetap membantu suamiku mempersiapkan baju-baju yang akan dia bawa keluar kota.

Bahkan malam itu juga dia harus berangkat karena menurut penuturannya, mereka akan bertemu di pagi hari. Agak janggal memang tapi aku menepis semua keraguan itu dan membiarkan suamiku pergi.

Selang setengah jam dari kepergian Mas Fajar, Laras sahabatku menelepon. Tak biasa-biasanya dia menelepon malam-malam begini.

"Iya, halo! Ada apa, Ras? Tumben malam-malam kamu telepon aku," ucapku setelah mengangkat telepon darinya.

"Apa suamimu gak ada di rumah, Ra?" tanyanya yang membuatku mengernyitkan dahi.

"Mas Fajar? Kenapa kamu tanya begitu, Ras? Mas Fajar baru setengah jam-an yang lalu pergi mau keluar kota, Ras. Ada urusan kantor yang harus dia selesaikan besok," jawabku apa adanya.

"Apa kamu yakin jika suamimu gak berbohong padamu, Ra?"

Pertanyaan Laras semakin ngaco dan membuatku bingung. "Ada apa, sih, Ras? Jangan belibet ngomongnya! Langsung aja pada inti masalahnya."

"Tapi kamu jangan syok, ya, kalau aku kasih tau? Janji dulu sama aku!"

"Iya aku janji, Ras. Cepat katakan ada apa?" desak ku karena sudah tak sabar.

"Aku tadi melihat suamimu dengan seorang wanita ada di bandara. Sayangnya, saat aku mengikuti mereka, aku kehilangan jejak. Jadinya aku tak punya bukti kuat untuk mendukung ucapanku ini. Aku gak punya maksud apa-apa, Ra. Aku hanya ingin kamu lebih berhati-hati lagi dengan suamimu."

Bagai disambar petir, aku terkejut mendengarkan penjelasan dari Laras. Apakah mungkin yang diucapkan Laras itu benar? Tapi, itu tak mungkin! Mas Fajar sangat mencintaiku dan tak mungkin mengkhianati aku. Itu yang aku pegang sampai detik ini.

"Kamu salah orang kali, Ras. Gak mungkin Mas Fajar seperti itu. Rumah tangga kami baik-baik saja, Ras. Jangan ngaco, ah!" Aku berusaha mengelak semua tuduhan Laras itu.

"Tapi ini beneβ€”"

"Sudahlah, Ras, kamu jangan bikin rumah tanggaku jadi gak baik. Maaf aku harus matikan teleponnya, Ras."

Sebelum Laras menyelesaikan ucapannya, aku memotongnya dan memutuskan untuk mengakhiri komunikasi kami. Aku sangat yakin jika Mas Fajar bukan orang yang seperti itu. Dia saat ini sedang bekerja keras untuk masa depan rumah tangga kami.

Tiga hari sudah Mas Fajar pergi keluar kota. Tak ada sedikitpun waktu terlewat untuknya untuk tidak mengabarkan keadaannya di sana. Ini juga semakin membuatku yakin jika Laras kemarin salah orang.

[Besok aku sudah pulang, Sayang. Kamu siapkan makanan yang enak, ya. Aku kangen masakanmu.] Tulis Mas Fajar dalam pesannya.

[Iya, Mas. Besok aku akan masak makanan kesukaanmu. Aku mencintaimu, Mas.]

[Aku juga mencintaimu.]

Begitulah setiap hari kami bertukar kabar dan juga melontarkan kata-kata romantis. Dan waktunya pun tiba. Pagi sekali aku sudah ke pasar untuk belanja. Setelah itu, aku memasak untuk menyambut kedatangan Mas Fajar dari luar kota.

Tepat pukul sebelas siang, Mas Fajar tiba di rumah dan aku menyambutnya dengan hangat. Terlihat sekali kalau Mas Fajar begitu kelelahan.

"Kamu bersih-bersih badan saja dulu, Mas. Habis itu baru makan. Sini kopernya biar aku bereskan," ucapku pada Mas Fajar. Dia hanya menjawab dengan anggukan dan pergi ke kamar untuk mengambil handuk serta baju.

Sembari menunggu suamiku selesai mandi, aku menyiapkan makanan yang sudah aku masak sebelumnya. Rasanya begitu bahagia ketika bisa memberikan yang terbaik untuk suamiku.

Ya, pekerjaan ibu rumah tangga memang tidaklah mudah. Tapi jika dilakukan dengan hati yang ikhlas, Inshaa Allah semua akan terasa lebih mudah dan ringan.

Selesai mandi, Mas Fajar langsung menuju ke meja makan. Dia makan masakanku dengan lahapnya. Aku tersenyum dibuatnya.

"Uhuk! Uhuk!"

"Aduh pelan-pelan, Mas! Ini diminum dulu!" Aku menyodorkan segelas air karena Mas Fajar tersedak.

Glek! Glek! Glek! Air dalam gelas itu habis dalam sekejap.

"Terima kasih, ya, Sayang," ucapnya kemudian.

"Sama-sama, Mas." Aku tak berhenti tersenyum memandangi wajah tampan nan rupawan dari suamiku itu.

"Alhamdulillah kenyang. Aku mau tidur dulu, ya, Sayang. Badannya rasanya masih capek sekali."

"Habis makan kok langsung tidur, Mas? Gak baik, lho!"

"Ya gak langsung tidur juga, Sayang. Maksudnya mau di kamar aja gitu. Gak apa-apa, kan?"

"Oh gitu. Ya sudah gak apa-apa, Mas. Aku juga mau beres-beres meja makan sama kopermu tadi, Mas. Nanti aku susul kalau sudah selesai." Mas Fajar mengangguk dan berjalan masuk ke dalam kamar.

Setelah membersihkan meja makan, aku membereskan koper milik suamiku. Aku memilah-milah pakaian kotor yang belum dicuci.

Bau parfum siapa ini? Kok aku belum pernah menciumnya? Mas Fajar bau parfumnya bukan seperti ini. Lalu, milik siapa, ya?

Semua baju-baju kotor milik Mas Fajar te tempel bau parfum yang baunya seperti parfum milik perempuan. Pikiranku langsung melayang ke ucapan Laras beberapa hari yang lalu.

Apa ucapan Laras tempo hari benar adanya? Atau ini hanya bau parfum milik koleganya? Daripada aku terlalu berburuk sangka, aku harus menanyakan langsung kepada Mas Fajar.

Aku kemudian masuk ke dalam kamar. Dan saat aku masuk, Mas Fajar terlihat sangat terkejut dan buru-buru menyembunyikan ponselnya dariku.

"Kamu kenapa, Mas? Habis telepon siapa memangnya?" tanyaku yang penasaran.

"Engβ€”gak kok. Aku gak telepon siapa-siapa," jawabnya gugup dan tingkah Mas Fajar aneh.

"Ya sudah lupakan saja. Oh iya, Mas, aku mau tanya sesuatu boleh?"

"Tanya apa, Sayang?" jawabnya yang sudah mulai biasa ekspresinya.

"Semua bajumu ada bau parfum yang tidak aku kenal dan sepertinya parfum perempuan. Apa Mas Fajar tidak macam-macam di luar sana?" tanyaku langsung tanpa basa-basi lagi.

"Itu ..."


Ini novel yang luar biasa untukmu:"Balasan untuk Perebut Suamiku" 🌟🌟🌟🌟🌟 Ayo, periksa sekarang.

https://www.fizzo.org/page/share/?bi...e=id®ion=ID
bukhoriganAvatar border
bayi.kafirAvatar border
bayi.kafir dan bukhorigan memberi reputasi
2
996
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThreadβ€’41.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
Β© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.