ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
[Cerpen #10] Akun Kedua Mama

Dalam menjalani hidup ada dua tipe manusia. Mereka yang menjalani hidup berdasarkan pilihan sendiri dan mereka yang menjalani hidup yang sudah dipersiapkan untuk mereka. Hampir seluruh manusia pasti setuju kalau menjalani hidup berdasarkan pilihan sendiri adalah cara yang tepat, tapi ironisnya sebagian besar orang menjalani hidup dikendalikan oleh orang lain.

Semua dimulai dari saat manusia itu lahir. Tak ada bayi yang memilih siapa orangtuanya, tak ada anak yang memilih namanya sendiri. Beberapa tahun sejak manusia lahir semua keputusan hidup berada di tangan orangtua mereka. Orangtua akan memasukkan anak mereka ke taman kanak-kanak dan sekolah dasar sesuai yang mereka inginkan.

Hampir semua orang tidak memiliki pilihan dalam masa-masa awal kehidupan, tapi persimpangan akan mulai terlihat menjelang sekolah menengah pertama. Beberapa orang memilih Smp yang mereka inginkan, beberapa memilih yang terdekat dari rumah, dan sisanya (sekali lagi) menuruti pilihan Smp orangtua mereka.

Seiring bertambahnya usia manusia akan diberi lebih banyak tanggungjawab dan harus memutuskan hidup mereka sendiri. Namun, tidak semua orang seperti itu. Beberapa orang akan terus hidup menjalani jalan yang sudah dipersiapkan untuk mereka.

“Kalau manusia memang hidup seperti itu, apa bedanya dengan kambing?” tanyaku ke luar jendela. Di luar, musim panas telah tiba. Tak ada awan, tak ada angin, hanya ada hawa panas yang menusuk kulit.

“Bedanya, kambing bisa dimakan manusia sedangkan manusia tidak bisa dimakan kambing,” jawab Sinian dari kursi di depanku.

“Oh ayolah, aku serius lo.”

“Jangan muram seperti itu Eva. Kau itu cantik, sepuluh ribu kali lebih cantik daripada kambing. Jangan sia-siakan kecantikan itu dengan kemurungan.”

“Okay, berhenti membahas kambing.”

Jawabannya pasti akan membuat semua gadis tersipu, tapi Sinian adalah orang yang menggombal semudah bernapas jadi aku hanya merasakan kesal mendengar jawabannya.

“Lagian kenapa tiba-tiba membahas itu? Kau bertengkar dengan ibumu lagi?” tanya Sinian sembari membuka jendela lebih lebar seolah mencoba memancing angin untuk bertiup.

“Iya. Mama tak setuju dengan pilihan jurusanku.”

“Kau pilih jurusan animasi kan? Apa ibumu tipe orang yang menganggap jadi PNS adalah satu-satunya jalan hidup?”

“Hahaha, seratus untukmu!”

Bagiku Mama adalah bagian dari jaman gelap nan kolot. Beliau adalah tipe orang yang tak bisa melihat perkembangan jaman. Di jaman yang serba canggih dan selalu berubah-ubah ini dia masih mempertahankan pandangan sempitnya bahwa menjadi PNS adalah jalan yang mudah dan aman. Dia tak akan mengijinkan anaknya mengambil jalan lain.

kalau kuingat-ingat, seluruh hidupku selalu diatur oleh Mama. Ke mana aku sekolah, di mana aku les, dengan siapa aku berteman, apa yang aku makan, kapan aku tidur, bahkan hingga siapa yang harus aku nikahi kelak. Dengar-dengar, Mama sudah mengatur agar aku dijodohkan dengan anak kenalannya yang kini menjadi guru di salah satu Sma di ibukota.

Seluruh jalan hidupku sudah diatur dengan rapi. Aku masuk Sd, Smp, dan Sma yang sama dengan sekolah Mama dulu. Setelah ini aku harus masuk jurusan pendidikan di Universitas Indonesia, sama seperti Mama dulu. Setelah itu aku akan melamar menjadi guru dan dengan koneksi Mama aku akan ditempatkan di sekolah yang sama dengan “calon suamiku.” Ngomong-ngomong, Mama juga bertemu Papa dengan cara yang seperti itu.

Seluruh hidupku sudah diatur melalui jalan yang sama seperti yang dulu Mama lalui. Aku akan menjalani hidup yang sama seperti Mama dan kelak anakku juga akan mengalami hidup yang sama. Sungguh hidup yang sangat mudah dan hampa.

“Kalau boleh berpendapat, menurutku hidupmu itu cuma akun kedua dari ibumu,” ucap Sinian tanpa memandangku. “Ibumu sukses dengan hidupnya dan karena itu kau harus melalui jalan sukses yang sudah terjamin itu. Kau itu cuma salinan. Palsu!”

“Oi! Aku juga bisa marah lo.”

“Itu kenyataan. Biasanya pemain game membuat akun kedua karena ingin mencoba mengembangkan karakter ke arah lain, tapi kau dikembangkan di jalan yang sama. Mudah dan aman. Itu bahkan lebih buruk dari kambing. Setidaknya kambing masih sering diuji untuk membuatnya lebih gemuk dari orangtuanya.”

Perkataan Sinian—meski menyakitkan—menusuk tepat di mana luka itu berada. Dia benar, aku cuma akun kedua Mama. Keberadaanku bukan sesuatu yang diharapkan untuk melampaui orangtua, tapi hanya diatur agar tidak gagal. Palsu. Aku cuma sebatas imitasi dari ibuku.

“Hey Sin, menurutmu mana yang lebih baik, asli atau palsu?”

Aku bertanya tanpa benar-benar mengharapkan jawaban. Lagipula apa yang perlu diharapkan? Kenyataan tak akan berubah meski aku tahu jawabannya. Sebuah kopian tak mungkin melampaui yang asli.

“Menurutku? Menurutku yang palsu jauh lebih bernilai.”

Alis mataku terangkat mendengar jawaban yang tidak disangka itu. “Oh ya? Kenapa?”

“Karena …,” Sinian menatap langit dengan wajah bosan, “yang palsu selalu berusaha untuk menjadi asli. Dari tekad semata, itu bahkan lebih asli dibanding yang asli.”

“… Aku tidak mengerti.”

“Itu cuma masalah sudut pandang dan bias di pikiran masyarakat. Kenyataannya, tak ada alasan kenapa yang palsu tak bisa melakukan apa yang si asli bisa lakukan. Lagian kita ini manusia, bukan benda maupun konsep. Tak ada yang namanya manusia asli maupun palsu.”

Aku tak mengerti mengapa pembicaraan melenceng ke arah ini. Aku tak mengharapkan pembicaraan berat, tapi Sinian memang lebih pintar dari manusia kebanyakan. Jika kau menanyakan sesuatu padanya maka dia akan menjawab dengan jawaban yang setepat-tepatnya.

“Jadi, sekarang aku harus apa?” tanyaku yang putus asa. Aku tak tahu kalau berharap rasanya bisa sesesak ini.

“Bunuh saja ibumu. Kalau akun pertama hilang, otomatis akun kedua akan jadi yang asli.”

“Kau ngelawak kan?”

“Sepuluh persen.”

Tanpa bisa ditahan kakiku menendang meja kursi yang dia duduki keras-keras. Untungnya saat ini cuma ada kami berdua di kelas. Kalau ada orang lain yang melihat kejadian ini mungkin aku akan diseret ke BK.

“Aku serius lo. Kebebasanku dipertaruhkan di sini. Kau bilang yang palsu lebih baik, tapi bagian mana dari hidupku yang bisa disebut baik?”

“Eva-ku sayang. Kau yang menekan seluruh keinginanmu dan menurut pada ibumu saja sudah menunjukkan kemampuan yang luar biasa. Kau menekan perasaanmu dalam-dalam dan itu butuh ketahanan mental yang tak mungkin dimiliki si asli. Sebenarnya kau tak perlu memusingkan apa pun, kau sudah lebih baik dari ibumu. Kalau kau menghadapinya secara langsung maka kau pasti akan menang. Yang kau butuhkan cuma keberanian. Keberanian untuk melawan atau keberanian untuk kabur. Pilih salah satu.”

Keberanian, aku tak yakin aku punya yang seperti itu. Mama adalah kepala keluarga di rumah, semua uang ada di genggamannya. Kalau aku menolak jalan yang telah dia persiapkan maka dia tak mungkin mau membiayai jalan yang kupilih sendiri. Pilihanku memang cuma tiga: meyakinkan Mama, kabur, atau menyerah.

“Hahh, pasti enak rasanya jadimu Sin. Aku jamin kau tak pernah memusingkan apa pun.”

“Kau mengejekku ya? Kau pikir anak panti asuhan tak punya masalah hidup?”

“Bukan itu maksudku. Maksudku, kau itu jenius, kau bahkan sudah punya penghasilan. Kau sudah bebas mau melakukan apa saja sekarang. Tidak seperti aku.”

“Jangan mencari-cari alasan, Eva. Cuma kau yang bertanggungjawab atas hidupmu sendiri.”

Dan dengan saran yang amat berat itu Sinian pun pergi. Aku menatap punggungnya hingga hilang dari pandangan sembari bertanya-tanya apa yang harus kukatakan pada Mama nanti malam.

***


“Tidak.”

Itulah yang Mama ucapkan setelah lima detik penjelasan. Mama bahkan tidak mendengarkan alasan yang aku punya, beliau sudah menutup diri pada kemungkinan-kemungkinan yang resiko berhasilnya kurang dari seratus persen.

“Kau sudah memenuhi semua kualifikasi nilai, Eva. Satu-satunya yang kau butuhkan sekarang hanyalah gelar dan semuanya akan berjalan mulus. Kau tak boleh menyia-nyiakan peluang untuk sesuatu yang tidak jelas seperti itu.”

“Tapi Ma, aku nggak minat jadi guru!”

“Kau tak membutuhkan minat untuk menjadi guru. Itu pekerjaan yang mudah dan santai tanpa peluang bangkrut. Berhentilah membicarakan mimpi idealis yang kau punya. Sudah jutaan orang yang menyesal karena mengikuti keinginan sesaat macam itu.”

Argumen yang sangat logis itu terdengar menyakitkan. Kalau Mama mudah untuk diyakinkan pasti Papa tak akan pernah takut untuk bicara dengan nada tinggi. Itulah Mama. Selalu tenang, dingin, dan mungkin juga kejam.

“Tapi jaman sudah berubah Ma. Tak ada jaminan profesi PNS masih akan ada sepuluh tahun lagi. Lagian apa salahnya aku mencoba sesuatu yang kusuka? Aku selalu menuruti Mama. Sekali ini, tolong dengarkan aku.”

Suara cangkir yang ditekan keras ke meja membuat tulang belakangku merinding. Sudah kuduga, memang mustahil untuk meyakinkan Mama. Ini bukanlah drama televisi maupun kisah-kisah pasaran yang menghangatkan hati. Inilah kenyataan. Kebanyakan orang memang tak pernah mendapat apa yang mereka inginkan.

“Profesi guru selalu dibutuhkan tak peduli jaman apa pun itu, sedangkan impianmu cuma kesenangan belaka. Bukankah sangat bodoh namanya kalau mempertaruhkan seluruh hidupmu demi sedikit kesenangan yang kau temukan di otak yang belum dewasa itu?”

Kesenangan belaka. Bodoh. Belum dewasa. Semua yang Mama katakan terlalu benar untuk disangkal. Apa aku benar-benar menyukai animasi? Apakah itu layak untuk ditukar dengan masa depan yang sudah terjamin? Dipikirkan bagaimanapun sudah jelas mengikuti jalan yang Mama buat adalah pilihan terbaik.

Tapi mengapa … mengapa rasanya sesakit ini?

“Tak apa kalau kau mau menangis.”

Papa, dengan seluruh kehangatan yang dia punya, mengelus puncak kepalaku dengan lembut. Sebagai seorang suami takut istri mungkin itulah hal terbaik yang bisa dia lakukan.

“Eva, maaf karna Papa tidak berdaya melawan Mamamu. Tapi ingat, Nak, Papa pasti selalu mendukungmu. Ini hidupmu, jangan gunakan untuk memuaskan orang lain. Tak apa kalau kau gagal. Masa muda memang harus banyak-banyak diisi kegagalan.”

Aku merasa Papa seperti sebuah boneka rusak. Mungkin dia pernah mengalami hal yang sama denganku, tapi akhirnya menyerah akan kegagalan. Mungkin itu alasan mengapa dia kalah berkuasa dari Mama. Jika aku menemui kegagalan dari jalan yang kupilih sendiri, akankah aku berakhir seperti Papa?

“Pa, apa Papa bahagia?”

Itu pertanyaan yang sederhana, tapi Papa butuh waktu lama untuk menjawabnya. Akhirnya, Papa mengecup keningku dan berbisik pelan, “Ya, Papa bahagia karna kau ada. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaan Papa.”

Dan kemudian, waktu terus berjalan. Tak ada yang berubah meski hari terus berganti. Waktu kelulusan sudah semakin dekat. Pilihan universitas harus benar-benar ditetapkan. Pilihan ini akan menentukan menjadi apa kita dalam lima atau bahkan sepuluh tahun ke depan. Pilihan yang benar-benar penting.

Dan bagiku, ini sama seperti memilih hidup seutuhnya atau tetap menjadi akun kedua Mama.

Pilihan untuk meyakinkan Mama sudah tidak ada. Pilihan yang tersisa hanyalah menyerah atau kabur. Kabur … itu terdengar amat menggoda tapi juga berbahaya. Aku tak punya apa pun untuk kabur. Uang, dukungan, dan juga keberanian.

“Sudah kubilang jangan berwajah muram. Wajah cantikmu jadi sia-sia.”

“Aku sedang tak ingin tertawa, Sin."

“Aku tak menyuruhmu tertawa. Menurutku wajah tertawamu itu jelek.”

“Kau benar-benar jujur ya.”

Dengan agak menghentak dia meletakkan selembar kertas di atas meja. Aku melirik isinya sekilas, itu pasti kertas yang benar-benar penting.

“Apa ini?”

“Kertas rekomendasi kepsek. Dengan ini aku bisa masuk UGM lewat jalur prestasi.”

“UGM ya … aku juga mau masuk ke sana.”

Nilai-nilaiku cukup bagus untuk masuk jurusan pendidikan UI, tapi aku juga yakin bisa masuk UGM meski mengambil jurusan yang lebih sulit. Sayangnya, nilai saja tidak cukup. Universitas membutuhkan uang untuk tetap berjalan.

“Masih belum punya keberanian untuk kabur ya?” tanya Sinian. Dia membaca pikiranku.

“Ya. Aku jadi menyesal tak punya skill untuk mencari uang. Kalau aku jadi mahasiswi UGM yang kos di pinggir kota, menurutmu kerjaan apa yang cukup untuk kebutuhanku?”

“Open bo.”

“Kau serius mengatakan itu?!”

“Jadi sugar baby juga bisa,” lanjutnya tanpa perubahan ekspresi.

“Stop! Pembicaraan ini menjijikkan.”

“Kalau aku, aku berencana mengontrak rumah di sana. Aku punya cukup uang dan aku sudah punya bayangan pekerjaan.”

“Hahaha, nggak ada yang nanya.”

“Kalau kau memang buka jasa sugar baby, aku mau jadi sugar daddymu.”

“…. Ha?!”

Aku menunggu kelanjutan kalimatnya. Kebetulan, sekarang memang sedang April mop. Namun, Sinian tetap saja berwajah datar seperti biasa. Kurasa aku cuma salah dengar.

“Kau nggak salah dengar,” ucapnya lagi seolah tau apa yang kupikirkan. “Aku bisa membayar kuliah dan kebutuhanmu kalau kau mau. Kita bisa kabur bersama, jauh dari cengkraman siapa pun.”

Detik demi detik berlalu dan otakku tetap belum bisa memproses semuanya. Jika aku menerima tawaran Sinian maka aku tak perlu khawatir tentang biaya hidup. Urusan dokumen aku bisa minta bantuan Papa. Setidaknya Papa pasti bisa melakukan itu. Ini adalah jalan baru yang tak pernah ada sebelumnya. Jalan terbaik untukku. Tapi ….

“Sin … kau suka aku ya?”

“Aku suka kau sejak lama, Eva. Aku sudah sering bilang kan?”

Ini mungkin pengakuan cinta paling datar dalam sejarah umat manusia. Memang dia sering mengungkapkan cinta, tapi ekspresi datar wajahnya membuatku tak pernah bisa menganggapnya serius. Sinian adalah tipe manusia yang akan menang dalam setiap lomba tahan tawa yang dia ikuti.

“Kau becanda kan?”

“Tidak.”

“Kenapa kau rela menghabiskan uang untukku?”

“Anggap saja itu investasi. Kau akan berhutang seumur hidup padaku. Kau harus membayarnya … dengan seluruh hidupmu.”

“…. Sin … kau sangat payah dalam percintaan.”


***

Singkat cerita, aku memutuskan menerima tawaran dari pria super menyedihkan yang membuatku sadar betapa menyedihkannya hidupku. Dengan bantuan Papa, aku memutuskan untuk kabur dari rumah. Setelah selama ini hidup dalam jalan yang lurus, aku akhirnya melangkah dan membentuk hidupku sendiri. Membentuk karakterku sendiri. Menjadi sebuah akun yang benar-benar baru.

Mama benar-benar tidak senang dengan keputusanku ini, tapi dia tak bisa melakukan apa-apa karena aku sudah menjadi orang dewasa dengan KTP resmi. Aku tahu dia memikirkan yang terbaik untukku, tapi remaja sepertiku sepertinya tergila-gila dengan dunia yang lebih menantang.

Dan Sinian … aku masih tak terlalu mengerti dirinya. Dia seperti buku tertutup yang menolak untuk dibaca. Setengah diriku masih yakin kalau ini semua hanyalah lawakan darinya, tapi empat tahun berlalu dan kami pun lulus kuliah. Coba tebak? Dia langsung melamarku.

Dan aku ... menerimanya. Aku yang selalu menjadi akun kedua merasa nyaman dengannya yang tak pernah diatur siapa pun. Dia mengajariku hidup dengan bebas, cukup bebas untuk menolak perjodohan yang diatur Mama.

Sisanya adalah cerita yang klise. Kami menikah dan punya anak. Anakku mirip sekali dengan Mama, tapi aku menjauhkan anak itu dari neneknya. Dia tak akan menjadi akun kedua siapa pun. Anak ini akan hidup sebagai dirinya sendiri. Mungkin jalannya akan terjal dan berbatu, tapi dia akan selalu punya orangtua yang sepenuh hati mendukungnya.

Aku akan menjamin hal itu.

-END-
kubelti3Avatar border
namakuveAvatar border
tagzivAvatar border
tagziv dan 10 lainnya memberi reputasi
11
2K
22
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.