Sekelebat angin riuh menerpa hangatnya senja kala itu. Mengusik dedaunan yang telah gugur digerus oleh musim. Tak ada pilihan lain untuk hidup selain dari mengikuti arus, atau mati dibawa arus. Begitulah takdir, kata mereka.
Suara langkah kaki mendekat. Menampakkan sosok wanita berkacamata bulat dengan wajah yang mungil sedang berjalan menghampiri posisiku. Kemeja loose-fit tosca yang dipadu dengan celana jeans biru memancarkan sebuah pesona elegan dari sosoknya. Bahkan tanpa pernak-pernik dan sentuhan make-up yang berlebih, dia telah memancarkan kesan yang berkelas. Sosok wanita yang kumaksud itu adalah Riska.
โMau omongin apa, Kak?โ tanyaku bingung.
โKamu lagi butuh kerjaan, Ram?โ
Aku cukup kaget, tak menyangka informasi telah menyebar secepat itu. โTahu dari mana, Kak?โ
โDari Steven,โ jawab Riska. โAku ada lowongan nih, di restoran punya bokap.โ
โDuh, aku gak mau ngerepotin, Kak,โ balasku enggan.
Riska menggelengkan kepala. โKita emang lagi butuh karyawan, Ram. Soalnya ada beberapa karyawan yang resign.โ
โTapi ini beneran gak bakal nyusahin kakak, kan?โ tanyaku memastikan.
Riska menghela nafasnya. โSekalipun nyusahin, bakal tetep aku bantu kok, Ram.โ
โGa perlu sungkan-sungkan, deh. Kayak orang baru kenal aja,โ ucap Riska sembari menyikut pelan tubuhku.
Aku hanya bisa menggaruk rambutku yang sebenarnya tak gatal, karena merasa canggung dan tak enak. Muncul perasaan ingin menolak di batinku, namun mulutku tak bisa menolak, karena saat ini aku memang membutuhkannya.
โOmong-omong, posisi kerjanya apa ya, Kak?โ tanyaku penasaran.
โSetauku, pelayan atau penerima tamu sih, Ram. Nanti detailnya bakal dijelasin sama manager,โ jelas Riska.
โBy the way, kapan kamu siap masuk kerjanya, Ram?โ
Aku berpikir sejenak. โHmmm โฆ kalau bisa sih secepatnya, Kak.โ
Belum sempat Riska menanggapi, tiba-tiba ponsel di kantong celanaku bergetar. Aku segera menariknya dan melihat tulisan Ibu muncul di layar. Sejenak aku menatap Riska, dan dia pun meresponku dengan anggukan kecil sebagai persetujuan. Aku pun menerima panggilan itu dan mendekatkan ponsel ke telingaku.
โAda apa, Ma?โ tanyaku dengan suara pelan.
Ada jeda beberapa detik, sebelum Ibu membalas.
โNak โฆ pulang,โ ucap ibu dengan suara yang serak.
Aku merasa ada yang tidak beres dari suara Ibu. Suara serak Ibu yang kudengar terkesan seperti orang yang sudah lelah untuk menangis.
โKenapa, Ma?โ tanyaku dengan perasaan was-was.
โBapak masuk rumah sakit.โ
<><><>
Lorong dingin itu berhasil membangkitkan kenangan buruk di benakku. Kenangan yang sudah kucoba untuk menguburnya dalam-dalam. Trauma itu muncul dalam bentuk kucuran keringat yang membasahi seluruh tubuhku, hasil dari jantung yang terpacu akibat lari terburu-buru.
Tampak seorang perempuan yang duduk di seberang pintu. Wajahnya pucat, matanya sembab dan membengkak. Dia menoleh ke arahku dan seketika bibirnya bergetar menahan tangis.
Tak perlu berkata-kata, kupeluk tubuhnya dengan erat. Berharap secercah ketenangan muncul di batinnya. Tapi nyatanya aku cuma manusia lemah, yang juga tak bisa menahan kesedihanku. Air mata pun jatuh menetes hingga mengalir deras di luar kendaliku.
Malam itu, kuputuskan untuk menunggu di sana. Walau Ibuku menolak, aku tetap memaksanya untuk pulang. Aku yakin, panik dan tangisan yang dialaminya sudah menguras energi dari tubuhnya yang mulai renta. Biarlah aku yang menggantikannya untuk bermalam dan menunggu hasil.
Sepanjang malam itu, kuhabiskan waktuku untuk duduk merenung dan menyepi di lorong itu. Berharap supaya tak terjadi musibah di keluarga kecil kami. Detik demi detik hati kecilku memberontak. Pikiranku kian berandai-andai akan kemungkinan yang terburuk. Namun, batinku selalu membantahnya sembari berkata bahwa.
Aku belum siap.
<><><>
Derap langkah kaki terdengar samar. Rasa pegal di sekujur tubuh lantas membangunkanku. Saat aku membuka mata, tampak orang-orang yang sudah berlalu lalang di sekitarku. Terang telah menyambangi lorong ini, tak seperti malam kemarin, hanya ada kegelapan yang merasuki diri.
Dari sekian banyaknya orang yang berlalu lalang, seorang perawat masuk ke dalam ruang di mana Bapak dirawat. Tak lama kemudian, dia keluar dan akhirnya memperbolehkanku masuk.
Dinding putih menyambutku, lengkap dengan peralatan medis yang terpasang di dekat kasur. Tampak seorang pria paruh baya dengan wajah pucat sedang bersandar sambil memandangiku.
Kuangkat pelan kursi di sudut ruangan dan meletakkannya di dekat Bapak. Kududuki kursi itu dan kupandang wajahnya dengan seksama.
โHasilnya gimana, Pak?โ tanyaku khawatir.
Dengan raut wajah datar Bapak menjawab, โBelum ada hasil pasti dari Dokter, tapi tenang aja, Bapak cuma butuh istirahat aja, kok.โ
Aku mengangguk lalu lanjut bertanya, โBapak sebenarnya selama ini sakit apa?โ
โHipertensi,โ jawab Bapak dengan santai bahkan terkesan tak peduli.
Aku heran sendiri, apa penyakit itu tergolong ringan atau memang Bapak yang anggap sepele. Reaksi Bapak berbanding terbalik dengan reaksi dari Ibu kemarin. Aku segera membuka ponselku, dan mengetik hipertensi di google. Membaca tulisan-tulisan yang tertera di berbagai artikel di sana, membuatku bergidik seketika.
Hipertensi merupakan pemicu dari berbagai macam penyakit. Serangan jantung, stroke, gangguan ginjal dan banyak penyakit lainnya. Aku pun seketika memandang Bapak dengan khawatir.
โJangan ngelihat Bapak kayak gitu. Bapak belum mau mati, kok,โ ucapnya santai.
Aku diam tak membalas ucapannya. Perasaanku masih kacau, menyadari betapa lalainya aku selama ini.
โGak usah banyak mikirin Bapak. Fokus pikirin diri kamu dulu. Jaga kesehatan dan jaga pergaulan.โ
Sejenak, aku hanya diam sembari menatapnya lesu. Hingga perlahan, aku mulai memberanikan diri untuk bertanya.
โBapak dipecat, ya?โ tanyaku pelan.
Bapak diam sesaat, lalu dia malah balik bertanya. โKamu tahu dari Ibu?โ
โAku gak sengaja dengar obrolan Bapak sama Ibu,โ jawabku.
Bapak menghela nafas sejenak, lalu menjawab, โBapak bukan dipecat, tapi mengundurkan diri.โ
Jawabannya tidak dapat memungkiri bahwa saat ini dia tak mempunyai pekerjaan. Sejujurnya aku bingung, kenapa Bapak mengundurkan diri. Padahal dia sudah lumayan lama bekerja di sana, seharusnya dia mendapat kompensasi yang cukup jika memilih untuk dipecat.
โPasti Ibu marah karena Bapak gak dapat pesangon, ya?โ
Bapak mengangguk pelan lalu membalas, โKenapa? kamu mau ngikut omelin Bapak juga?โ
Aku menggeleng kepala sembari lanjut bertanya, โAlasannya?โ
Bapak diam sejenak, raut wajahnya tampak enggan untuk menjawab.
โUdah โฆ kamu gak perlu tahu,โ jawabnya pelan, seakan menutup sebuah rahasia.
โRama udah dewasa, Pak. Mau sampai kapan Bapak nanggung semuanya sendirian?โ ucapku frustasi.
Aku sadar bahwa diriku bukan anak yang penuh perhatian dan punya segudang prestasi untuk dibanggakan. Oleh karena itu, setidaknya aku ingin meringankan bebannya walau dengan hanya mendengarkan curhatan kecil yang terlepas dari bibirnya.
โBapak tahu kalo niat kamu baik, tapi ini tanggungan Bapak, gak perlu dibagi-bagi sama siapa pun,โ ucap Bapak tegas.
Pembicaraan seketika terhenti. Lagi-lagi, aku hanya bisa menyerah atas keras kepalanya sifat dari Bapak. Ia selalu menanggung semua beban dan menyembunyikannya dariku. Ia sudah terbiasa menjadikanku sebagai penonton. Menyaksikannya memilih pilihan yang sulit, agar tidak menodai prinsipnya.
Aku pun menghela nafas panjang, dan perlahan beranjat dari kursi yang kududuki. Bapak hanya memejamkan kedua matanya dan tampaknya tak menghiraukan ucapanku. Aku pun menyerah dan pergi keluar kamar untuk sekedar mencari udara segar.
Baru saja keluar kamar, tak jauh dariku tampak seorang pria paruh baya sedang menenteng sebuah bingkisan buah. Dia memandang ke arahku dan segera menghampiri posisiku.
โKeluarganya Pak Adi, ya?โ tanyanya sembari mengulurkan tangan ke arahku.
Dengan wajah bingung aku membalas uluran tangannya. โIya benar, kalau Bapak sendiri?โ
โSaya rekan kerjanya Pak Adi. Kalo boleh tahu, keadaan pak Adi bagaimana, ya?โ
Dengan sopan aku membalas ucapannya, โSudah mulai pulih kembali, Pak. Makasih udah mau datang berkunjung ya, Pak.โ
Dia menganggu sembari tersenyum lebar, seakan bersyukur atas informasi yang kuberikan.
Dia lalu memberikan bingkisan buah itu kepadaku. โTitip buat pak Adi, ya.โ
โOh, makasih, Pak. Gak mau langsung masuk ke dalam aja, Pak?โ tawarku.
โNggak usah,โ balasnya dengan cepat. โTakutnya malah ngeganggu. Ini saya mau langsung pulang.โ
โOh, ya udah Pak, akan saya sampaikan,โ ucapku sembari berniat untuk kembali masuk ke dalam ruangan.
Belum sempat aku kembali masuk ke kamar, aku langsung berbalik badan seraya berkata, โMaaf Pak, saya belum nanya nama Bapak dari tadi.โ
Sesaat tampak keraguan di raut wajah pria paruh baya itu, tapi seketika tergantikan oleh senyuman tipis di bibirnya.
โNama saya Iwan, tapi ga usah repot-repot kasih tahu ke Pak Adi, ya. Saya cuma mampir berhubung lagi dekat dari lokasi,โ ucapnya ramah.
Dia lalu pamit dengan melambaikan tangannya. Dia pun pergi menjauh dan perlahan menghilang dari pandangan mataku. Aku pun masuk kembali ke kamar dan meletakkan bingkisan buah titipan dari Pak Iwan di meja.
โTitipan dari teman Bapak. Namanya Pak Iwan,โ ucapku tanpa bertele-tele.
Seketika pandangan matanya berubah menjadi tajam. Suasana ruangan seperti membeku, hingga membuatku enggan untuk bergerak sedikit pun.
Bapak mengacungkan jarinya pada buah titipan yang kubawa masuk. โBuang ke tong sampah,โ perintahnya.
Walau muncul banyak pertanyaan di benakku, aku pun tetap menuruti perintahnya. Sesuai dengan harapannya, aku tak mau mengorek lebih dalam lagi. Melihat kondisi emosinya yang tak stabil, aku tak ingin semakin memperburuk kondisi kesehatannya. Biarlah semua terkuak dengan sendirinya.
<><><>
Beberapa hari telah berlalu dan kondisi Bapak kian membaik. Hingga pada akhirnya Bapak diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit. Dengan catatan harus mengonsumsi obat dan mengikuti seluruh anjuran dokter.
Aku pun cukup lega dan akhirnya bisa kembali menjalani hidupku seperti semula. Setelahnya, aku mulai bersiap-siap untuk menerima dan menjalani tawaran pekerjaan dari Riska.
Hingga pada suatu siang, di saat aku berniat keluar kos untuk sekedar membeli makanan. Aku bertemu dengan orang yang tak kusangka-sangka. Saat membuka gerbang, tatapanku tak bisa lepas dari sebuah lamborghini merah yang terparkir, persis di seberang kos.
Tampak seorang pria mengenakan setelan serba hitam. Mulai dari kacamata, kaos, jaket kulit, dan celana ketat yang digunakannya mirip dengan musisi rock. Rambutnya yang panjang tergerai sampai ke leher, wajahnya putih pucat bagaikan kekurangan darah. Ia bersandar di mobil sembari menghisap sebatang rokok di mulutnya.
Kehadirannya berhasil mencuri semua perhatian orang di sana, termasuk diriku sendiri. Dia yang sedang sibuk menghisap sebatang rokoknya, tiba-tiba mengalihkan pandangannya ke arahku. Dia menjauhkan rokok dari mulutnya dan tersenyum sembari melambaikan tangannya.
Orang-orang yang sedang berlalu-lalang pun spontan menengok ke arahku. Aku terdiam kaku, canggung akan situasi yang terjadi. Samar-samar, aku merasa ada yang familiar dari orang tersebut, tetapi aku tak bisa mengingatnya.
โKamu masih belum ingat wajah saya?โ ucapnya santai sembari memegang rokok dengan dua jari.
โMaaf, pernah ketemu di mana, ya?โ balasku bingung.
Dia memasang ekspresi kecewa sambil menggelengkan kepalanya. โSaya kasih satu kata petunjuk.โ
โKelelawar.โ
Aku berpikir sejenak dan seketika sadar siapa orang yang ada di hadapanku saat itu. Dia adalah eksekutor dari siluman kelelawar yang telah mencelakaiku dan Putra. Hawa yang terpancar dari pria yang ada di hadapanku mirip dengan sosok yang kutemui saat melakukan proyek astral terdahulu.
โHendri โฆ Hendra?โ tanyaku memastikan, sebab aku telah lupa dan hanya ingat samar-samar tentang kejadian itu.
โMahendra,โ jawabnya singkat.
Tapi tak berhenti disitu saja, dia lanjut berbicara. โSesuai perintah Mbah Gumelar, saya disuruh buat ngajarin kamu. Jadi, kapan kamu siap?โ
Aku juga mengingat ucapan mereka pada saat itu. Sayangnya, sejak kematian Putra, aku memilih untuk tidak berkecimpung di dalam dunia mereka lagi.
โMaaf, saya gak berminat, Pak. Lagian saya lagi banyak urusan kedepannya,โ jawabku datar.
โKenapa? Kamu lagi butuh duit, kah? Kalo iya, tinggal ikut saya saja, beres,โ ucap Mahendra lalu menghisap kembali rokoknya.
โSaya gak mau berurusan sama dunia sebelah lagi, Pak. Saya udah sibuk di dunia saya sendiri,โ balasku kekeuh.
โHah โฆ hanya orang bodoh yang menolak bakat nalurinya,โ cibirnya sambil tersenyum tipis.
Aku tak begitu peduli dengan omongannya, sebab hidupku sudah terlalu sibuk dengan banyak hal lain. โTerserah Bapak mau bilang apa, yang pasti saya tetap menolak.โ
Dia menatapku iba, lalu mengucapkan kalimat misterius yang tak kumengerti. โKamu persis seperti sebuah ukiran yang menempel di batu karang.โ
โMaksudnya?โ tanyaku spontan sembari mengernyitkan dahi.
Mahendra hanya tersenyum kecil. โSuatu saat kamu pasti mengerti akan maksud saya.โ
โCholilah, nanti kalau sudah butuh, hubungi saja nomor ini,โ ucapnya sembari memberiku sebuah kartu nama berwarna hitam.
Mahendra tersenyum dan menepuk pundakku pelan. Tepukan itu seperti aliran listrik yang membuatku seketika kejang dan mundur beberapa langkah untuk menghindarinya. Entah kenapa, batinku terasa terancam hingga spontan mengaktifkan ajian yang sudah lama tak kupakai. Ajian Gembala Geni.
Seketika energi berbentuk api yang membara keluar dari tubuhku. Api merah ganas tak terkendali yang langsung menyambar ke arah Mahendra.
Belum sampai menyentuh tubuhnya, tiba-tiba muncul kabut gelap yang dalam sekejap melahap habis, api merah itu sampai tak tersisa. Dari dalam kabut gelap itu, muncul sebuah ekor bersisik hitam yang meliuk-liuk.
Sejenak ekor itu berhenti meliuk, ekor itu lalu berdiri dan seketika melayang cepat menuju arahku. Aku bahkan tak sempat bereaksi, karena dalam sekejap mata, ujung ekor yang tajam seperti tombak itu berhenti tepat di depan bola mataku.
Nafas dan jantungku mendadak terhenti dalam beberapa saat. Perlahan, ekor itu mulai bergerak kembali ke dalam kabut gelap. Setelah ekor itu sepenuhnya masuk, kabut gelap itu kian memudar dengan sendirinya. Di sisi lain, Mahendra hanya tersenyum menyeringai, lalu dia perlahan melepas kacamata hitamnya.
Mahendra berjalan mendekatiku lalu berbisik, โDitunggu kehadirannya.โ
Mahendra lalu pergi melewatiku dan masuk ke dalam lamborghini merahnya. Dia pun pergi meninggalkanku yang masih membeku dalam posisi yang sama. Mulai kusadari, ternyata punggungku sudah banjir oleh keringat dingin.
Bersambung โฆ