- Beranda
- Stories from the Heart
[Cerpen #8] Pil Pelupa
...
TS
ih.sul
[Cerpen #8] Pil Pelupa
Beberapa tahun yang lalu pemerintah mengeluarkan produk baru yang dirancang sebagai metode terapi. Pil Pelupa, itulah namanya. Nama yang sangat malas dan tidak kreatif, tapi orang-orang yang sudah mencobanya berkata pil itu punya efek yang sesuai dengan namanya. Siapa pun yang memakan pil itu akan melupakan hal yang ingin mereka lupakan.
Namun, pil itu punya efek samping. Selain ingatan yang ingin dilupakan, pemakannya juga akan melupakan satu informasi di dalam otak. Informasi itu bisa berupa rumus matematika, pengetahuan sejarah, atau bahkan nama anggota keluarga. Informasi yang hilang benar-benar acak.
Sudah banyak orang yang mencobanya dan sampai sekarang belum terdengar ada masalah berarti tentang penggunaan pil itu. Malah, para pemakai cenderung lebih bahagia karena bisa melupakan hal yang tak ingin mereka ingat.
Pil itu beredar secara bebas dan aku tertarik untuk mencoba satu. Baru-baru ini aku membeli sebuah novel yang ceritanya luar biasa jelek. Saking jeleknya cerita novel itu terus saja terngiang-ngiang di kepalaku dan membuat level kekesalan di tubuh ini naik sepuluh tingkat. Aku ingin melupakan fakta bahwa aku pernah menghabiskan seratus lima belas ribu rupiah untuk membeli novel super jelek itu.
“Kamu yakin mau makan itu?” Citra—teman baikku—memperingatkan. “Kemarin kan bibi makan pil itu, terus dia lupa kalau dia udah nikah. Bayangin aja, punya anak tapi nggak pernah nikah. Menjerit-jerit dia.”
“Aku kan belum nikah, belum punya anak,” sanggahku. “Lagian kalau aku lupa sesuatu yang penting ya tinggal ingatkan aja kan?”
Menanggapi itu Citra hanya mengangkat bahu, tapi dia mengamatiku dengan tertarik saat perlahan-lahan pil itu memasuki mulutku. Katanya pil itu bereaksi cepat. Aku hanya perlu fokus pada hal yang ingin aku lupakan. Fokus! Hal yang ingin kulupakan … hal yang ingin kulupakan ….
Apa ya?
“Gimana?” Citra bertanya sekali lagi.
“Kamu siapa?” tanyaku.
“Ya Tuhan. Masa kamu—”
“Becanda kok. Mana mungkin aku lupa sama kamu.”
Sembari nyengir lebar, aku menimati ekspresi Citra yang tampak seperti gabungan lega dan kebelet BAB. Ekspresi yang aneh, tapi tetap saja cantik.
Citra adalah teman baikku sejak kecil. Sebenarnya, aku berharap hubungan kami bisa lebih dari itu. Tak ada lasan untuk tidak menyukai Citra. Dia cantik, pendengar yang baik, dan selalu ada saat aku butuh dukungan moral. Kami nyaris tak terpisahkan. Kalau aku menyatakan cinta sekarang aku yakin dia tak akan menolak, tapi keberanian untuk melakukan itu tak kunjung muncul.
“Jadi kamu udah benar-benar lupa sama novel ini?” Citra mengangkat novel yang sejak tadi berada di atas meja. Aku ingat novel itu. Citra merekomendasikannya padaku minggu lalu dan aku membelinya di Gramedia dengan harga seratus lima belas ribu. Aku ingat sudah membacanya, tapi aku benar-benar tak ingat seperti apa ceritanya. Yang kutahu hanyalah itu novel yang jelek.
“Lupa seratus persen,” jawabku gembira. Citra memiringkan kepalanya dengan ekspresi yang tidak kumengerti. Ini cuma perasaanku saja atau dia memang jadi sedikit aneh belakangan ini. Rasanya seperti dia mencoba memasang jarak, tapi tetap dekat-dekat denganku.
Namun aku tak terlalu memikirkannya. Dengan cepat aku sudah melupakan kejadian itu dan menjalani hidup seperti murid Sma pada umumnya. Kehidupan Sma-ku … err, tidak terlalu baik. Nilai-nilaiku terus turun dari ujian ke ujian. Aku tak bisa berkonsentrasi dan sering kali melupakan hal-hal penting.
Rasanya sungguh gila. Perasaan di dalam hati ini membuat pikiranku kacau. Aku harus segera membubuhkan tanda titik pada perasaan ini. Jika aku tidak segera mengutarakan perasaan ini, mungkin aku akan jadi gila.
“Kenapa, Kak? Mukamu kok kayak orang mau ngerampok bank gitu?”
Sepulang sekolah, aku dan Citra mampir di warung gorengan tempat kami biasa nongkrong. Hari ini aku sudah memutuskan, pantang pulang sebelum jadian.
“Cit, kamu ingat nggak kita dulu pernah jalan-jalan ke Borobudur?”
“Hmm, ingat dong. Waktu itu Papa kepleset waktu naik tangga. Lehernya hampir aja patah.”
“Terus, Papa masuk rumah sakit dan kamu dengan penuh perhatian terus menjaganya. Waktu aku ngelihat kamu seperti itu, aku sadar kamu orang yang luar biasa. Hatimu lembut, penuh kasih, jauh lebih peduli pada orang lain dibanding dirimu sendiri. Mungkin … sejak saat itu aku jatuh cinta ke kamu.”
Hening … dan hening. Kebetulan Abang penjual gorengan meninggalkan warungnya yang sepi untuk buang hajat di toilet sehingga di sini hanya ada kami berdua. Aku menatap Citra dalam-dalam dengan ekspresi yang menunjukkan betapa seriusnya aku. Kugenggam tangannya agar dia tidak bisa kabur, aku ingin jawaban pasti hari ini juga.
“Citra, kamu mau nggak jadi pacarku?”
Ketika mendengar pertanyaan itu, kedua mata Citra tertutup dan dia pun menunduk. Menunduk, bukan mengangguk. Aku tak mengerti apa yang ada dalam kepalanya. Kami menghabiskan waktu bersama nyaris setiap hari dan dia selalu tampak bahagia. Jika kebahagiaan itu bisa menjadi lebih besar maka apa yang dia ragukan?
Namun, dengan gerakan yang begitu lembut, Citra melepas genggaman tanganku pada tangannya. Dengan mata yang berlinang, dia membalas tatapanku dan mengucapkan sesuatu yang membuat diriku seolah dihantam ribuan tombak.
“Kak, aku ini adikmu. Sudah berapa lama kau lupa?”
Rasanya seperti melihat dari terowongan yang amat panjang. Aku tak mengerti apa yang Citra katakan. Kenyataan yang dia sampaikan sama sekali tak ada dalam otakku.
“Setahun yang lalu kamu minum pil pelupa itu. Katanya Kakak mau melupakan perceraian orangtua kita, tapi kamu juga ikut lupa kalau aku sebenarnya adikmu. Sebulan setelah itu Kakak mengutarakan perasaan padaku. Aku tolak. Aku kasih tahu kalau aku itu adikmu, tapi Kakak yang terlalu sakit hati malah minum pil itu lagi dan lupa semua yang kuberitahukan. Sejak saat itu sudah lebih dari dua puluh kali Kakak nembak aku. Kakak sudah lupa banyak hal. Kakak lupa materi-materi dasar, makanya nilaimu terus memburuk. Tolong, Kak. Terima fakta ini. Jangan pakai pil itu lagi.”
Kata demi kata yang dia ucapkan terus bergentayangan di dalam kepalaku. Tak sanggup menahan tangis, Citra bangkit dan pergi meninggalkanku sendirian dalam memproses semua informasi yang bertentangan dengan kepercayaanku selama ini.
Citra itu adikku? Sejak kapan? Aku tak ingat kami punya hubungan darah. Yang aku tahu hanyalah kami begitu sering bersama sejak kecil. Citra yang lebih muda dua tahun dariku selalu menempel karena di sekitar rumah kami tak ada teman seusianya.
Dia tinggal di …. ???
Orangtua Citra adalah …. ???
Rasanya seperti ada lubang besar di dalam ingatanku. Aku ingat dulu ayahku masuk rumah sakit karena lehernya hampir patah, tapi kenapa Citra menjagai ayahku? Apa dia memang benar-benar adikku? Bagaimana bisa aku melupakan sesuatu sepenting dan sebesar itu?
Dan mendadak saja, rasa nyeri yang tak terlihat mulai menggerogoti dada ini. Rasanya begitu sakit seperti diiris pisau dan membuatku sulit bernapas. Rasa sakit itu menyebar dan membuatku buta, membuatku tuli, membuatku mati rasa.
Hal berikutnya yang kusadari adalah aku sudah sampai di rumah. Di tanganku terdapat sebuah pil, pil pelupa. Mataku basah, air mata itu masih belum berhenti.
Aku merasa benar-benar tolol. Bagaimana bisa aku jatuh cinta pada adikku sendiri? Mengapa perasaan ini tumbuh? Sampai kapan rasa sakit ini akan menyiksaku? Rasanya sakit tak karuan sampai-sampai aku tak bisa merasakan yang lain.
Oh Tuhan, kumohon, hapuskanlah Citra dari kepalaku dan jangan biarkan aku mendekatinya lagi. Apa pun bayarannya, apa pun ingatan yang akan kau ambil, tolong kabulkan permintaanku.
Jika jatuh cinta memang sesakit ini, lebih baik aku melupakan semuanya.
-END-
Namun, pil itu punya efek samping. Selain ingatan yang ingin dilupakan, pemakannya juga akan melupakan satu informasi di dalam otak. Informasi itu bisa berupa rumus matematika, pengetahuan sejarah, atau bahkan nama anggota keluarga. Informasi yang hilang benar-benar acak.
Sudah banyak orang yang mencobanya dan sampai sekarang belum terdengar ada masalah berarti tentang penggunaan pil itu. Malah, para pemakai cenderung lebih bahagia karena bisa melupakan hal yang tak ingin mereka ingat.
Pil itu beredar secara bebas dan aku tertarik untuk mencoba satu. Baru-baru ini aku membeli sebuah novel yang ceritanya luar biasa jelek. Saking jeleknya cerita novel itu terus saja terngiang-ngiang di kepalaku dan membuat level kekesalan di tubuh ini naik sepuluh tingkat. Aku ingin melupakan fakta bahwa aku pernah menghabiskan seratus lima belas ribu rupiah untuk membeli novel super jelek itu.
“Kamu yakin mau makan itu?” Citra—teman baikku—memperingatkan. “Kemarin kan bibi makan pil itu, terus dia lupa kalau dia udah nikah. Bayangin aja, punya anak tapi nggak pernah nikah. Menjerit-jerit dia.”
“Aku kan belum nikah, belum punya anak,” sanggahku. “Lagian kalau aku lupa sesuatu yang penting ya tinggal ingatkan aja kan?”
Menanggapi itu Citra hanya mengangkat bahu, tapi dia mengamatiku dengan tertarik saat perlahan-lahan pil itu memasuki mulutku. Katanya pil itu bereaksi cepat. Aku hanya perlu fokus pada hal yang ingin aku lupakan. Fokus! Hal yang ingin kulupakan … hal yang ingin kulupakan ….
Apa ya?
“Gimana?” Citra bertanya sekali lagi.
“Kamu siapa?” tanyaku.
“Ya Tuhan. Masa kamu—”
“Becanda kok. Mana mungkin aku lupa sama kamu.”
Sembari nyengir lebar, aku menimati ekspresi Citra yang tampak seperti gabungan lega dan kebelet BAB. Ekspresi yang aneh, tapi tetap saja cantik.
Citra adalah teman baikku sejak kecil. Sebenarnya, aku berharap hubungan kami bisa lebih dari itu. Tak ada lasan untuk tidak menyukai Citra. Dia cantik, pendengar yang baik, dan selalu ada saat aku butuh dukungan moral. Kami nyaris tak terpisahkan. Kalau aku menyatakan cinta sekarang aku yakin dia tak akan menolak, tapi keberanian untuk melakukan itu tak kunjung muncul.
“Jadi kamu udah benar-benar lupa sama novel ini?” Citra mengangkat novel yang sejak tadi berada di atas meja. Aku ingat novel itu. Citra merekomendasikannya padaku minggu lalu dan aku membelinya di Gramedia dengan harga seratus lima belas ribu. Aku ingat sudah membacanya, tapi aku benar-benar tak ingat seperti apa ceritanya. Yang kutahu hanyalah itu novel yang jelek.
“Lupa seratus persen,” jawabku gembira. Citra memiringkan kepalanya dengan ekspresi yang tidak kumengerti. Ini cuma perasaanku saja atau dia memang jadi sedikit aneh belakangan ini. Rasanya seperti dia mencoba memasang jarak, tapi tetap dekat-dekat denganku.
Namun aku tak terlalu memikirkannya. Dengan cepat aku sudah melupakan kejadian itu dan menjalani hidup seperti murid Sma pada umumnya. Kehidupan Sma-ku … err, tidak terlalu baik. Nilai-nilaiku terus turun dari ujian ke ujian. Aku tak bisa berkonsentrasi dan sering kali melupakan hal-hal penting.
Rasanya sungguh gila. Perasaan di dalam hati ini membuat pikiranku kacau. Aku harus segera membubuhkan tanda titik pada perasaan ini. Jika aku tidak segera mengutarakan perasaan ini, mungkin aku akan jadi gila.
“Kenapa, Kak? Mukamu kok kayak orang mau ngerampok bank gitu?”
Sepulang sekolah, aku dan Citra mampir di warung gorengan tempat kami biasa nongkrong. Hari ini aku sudah memutuskan, pantang pulang sebelum jadian.
“Cit, kamu ingat nggak kita dulu pernah jalan-jalan ke Borobudur?”
“Hmm, ingat dong. Waktu itu Papa kepleset waktu naik tangga. Lehernya hampir aja patah.”
“Terus, Papa masuk rumah sakit dan kamu dengan penuh perhatian terus menjaganya. Waktu aku ngelihat kamu seperti itu, aku sadar kamu orang yang luar biasa. Hatimu lembut, penuh kasih, jauh lebih peduli pada orang lain dibanding dirimu sendiri. Mungkin … sejak saat itu aku jatuh cinta ke kamu.”
Hening … dan hening. Kebetulan Abang penjual gorengan meninggalkan warungnya yang sepi untuk buang hajat di toilet sehingga di sini hanya ada kami berdua. Aku menatap Citra dalam-dalam dengan ekspresi yang menunjukkan betapa seriusnya aku. Kugenggam tangannya agar dia tidak bisa kabur, aku ingin jawaban pasti hari ini juga.
“Citra, kamu mau nggak jadi pacarku?”
Ketika mendengar pertanyaan itu, kedua mata Citra tertutup dan dia pun menunduk. Menunduk, bukan mengangguk. Aku tak mengerti apa yang ada dalam kepalanya. Kami menghabiskan waktu bersama nyaris setiap hari dan dia selalu tampak bahagia. Jika kebahagiaan itu bisa menjadi lebih besar maka apa yang dia ragukan?
Namun, dengan gerakan yang begitu lembut, Citra melepas genggaman tanganku pada tangannya. Dengan mata yang berlinang, dia membalas tatapanku dan mengucapkan sesuatu yang membuat diriku seolah dihantam ribuan tombak.
“Kak, aku ini adikmu. Sudah berapa lama kau lupa?”
Rasanya seperti melihat dari terowongan yang amat panjang. Aku tak mengerti apa yang Citra katakan. Kenyataan yang dia sampaikan sama sekali tak ada dalam otakku.
“Setahun yang lalu kamu minum pil pelupa itu. Katanya Kakak mau melupakan perceraian orangtua kita, tapi kamu juga ikut lupa kalau aku sebenarnya adikmu. Sebulan setelah itu Kakak mengutarakan perasaan padaku. Aku tolak. Aku kasih tahu kalau aku itu adikmu, tapi Kakak yang terlalu sakit hati malah minum pil itu lagi dan lupa semua yang kuberitahukan. Sejak saat itu sudah lebih dari dua puluh kali Kakak nembak aku. Kakak sudah lupa banyak hal. Kakak lupa materi-materi dasar, makanya nilaimu terus memburuk. Tolong, Kak. Terima fakta ini. Jangan pakai pil itu lagi.”
Kata demi kata yang dia ucapkan terus bergentayangan di dalam kepalaku. Tak sanggup menahan tangis, Citra bangkit dan pergi meninggalkanku sendirian dalam memproses semua informasi yang bertentangan dengan kepercayaanku selama ini.
Citra itu adikku? Sejak kapan? Aku tak ingat kami punya hubungan darah. Yang aku tahu hanyalah kami begitu sering bersama sejak kecil. Citra yang lebih muda dua tahun dariku selalu menempel karena di sekitar rumah kami tak ada teman seusianya.
Dia tinggal di …. ???
Orangtua Citra adalah …. ???
Rasanya seperti ada lubang besar di dalam ingatanku. Aku ingat dulu ayahku masuk rumah sakit karena lehernya hampir patah, tapi kenapa Citra menjagai ayahku? Apa dia memang benar-benar adikku? Bagaimana bisa aku melupakan sesuatu sepenting dan sebesar itu?
Dan mendadak saja, rasa nyeri yang tak terlihat mulai menggerogoti dada ini. Rasanya begitu sakit seperti diiris pisau dan membuatku sulit bernapas. Rasa sakit itu menyebar dan membuatku buta, membuatku tuli, membuatku mati rasa.
Hal berikutnya yang kusadari adalah aku sudah sampai di rumah. Di tanganku terdapat sebuah pil, pil pelupa. Mataku basah, air mata itu masih belum berhenti.
Aku merasa benar-benar tolol. Bagaimana bisa aku jatuh cinta pada adikku sendiri? Mengapa perasaan ini tumbuh? Sampai kapan rasa sakit ini akan menyiksaku? Rasanya sakit tak karuan sampai-sampai aku tak bisa merasakan yang lain.
Oh Tuhan, kumohon, hapuskanlah Citra dari kepalaku dan jangan biarkan aku mendekatinya lagi. Apa pun bayarannya, apa pun ingatan yang akan kau ambil, tolong kabulkan permintaanku.
Jika jatuh cinta memang sesakit ini, lebih baik aku melupakan semuanya.
-END-
bukhorigan dan 11 lainnya memberi reputasi
12
2K
37
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32KThread•45.3KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya