ii.
Music 2
Tanganku mendadak kaku, rasa licin serta keringat yang mulai mengalir membasahi kepalan tanganku yang entah mengapa kuat kuat menggenggam udara kosong. Berseteru dengan diriku sendiri yang benar benar mendapatkan sebuah kejutan yang jadi hal terakhir yang kuharapkan. Pertanyaan demi pertanyaan terus muncul di benakku saat itu, mengalirkan seluruh darah ke otak dan menekannya tiap tiap uratnya kuat kuat, menyisakan tubuhku yang kaku serta ketakutan berdiri kaku.
Seketika entah dari mana datangnya sebuah tangan yang besar berhadapan langsung ke depan wajahku, menamparku dengan keras sampai sampai memaksa leherku untuk bergerak ke arah yang dituju oleh pukulan itu.
Penglihatanku yang gelap perlahan lahan mendapatkan sinarnya kembali. Cahaya kuning dari lampu yang hangat serta sekalibat serangga serangga kecil yang berterbangan kesana kemari tanpa arah.
“Heh!” sahut seseorang dari arah sebelah kananku.
Siapa itu?, kutoleh ke arah datangnya panggilan tersebut, suara yang familiar itu datang, namun dengan intonasi yang tidak biasanya.
“Jaya!” datang lagi panggilan itu, kali ini dengan menggenggam keras pundakku, menekannya kuat kuat dengan menusukan jempolnya berusaha menembus tulang bahuku.
Kemudian kepalaku bergoyang ke berbagai arah, bergeleng geleng dan menemukan bahwa wajah kotak Ardi kini sudah ada berada tepat di hadapanku.
“Keraskan suaranya!”
“Hah?!”
“Cepat!”
“Ya, Jaya … ikuti perintah Ardi,” sambung sebuah suara dari pria tadi.
Seketika aku teringat kembali, tentang perbincangan dengan Dewi, lalu Brama datang, entah berapa lama aku kehilangan kesadaran namun itu tidak penting lagi untuk dipikirkan saat ini. Dengan cepat kuraih gelang di tanganku dan kemudian membesarkan suaranya, lalu kutaruh earphoneku di atas meja besar itu agar semua suara dapat masuk dengan jelas.
“Bicaralah sekarang! Brama.”
Dito yang sejak tadi terdiam kemudian perlahan menoleh dengan tajam tepat ke arahku dengan matanya yang terbuka lebar lebar. Ardi yang membantuku menyadarkan diri juga kemudian pergi melangkah ke arah depan teras, mengacungkan pedangnya ke arah lapangan dengan memasang kuda kuda. Sontak Dito yang terpicu oleh Ardi kemudian berdiri tegak sambil memampangkan tinjunya ke udara. Tidak ketinggalan diriku yang ikut bersiap menghadapi serangan yang mungkin saja datang melahap kami semua secara tiba tiba seperti waktu itu.
“Brama?!” seru Dito menyebut namanya.
“Ya,” jawab Brama singkat.
Dito terkekeh panjang. “Akhirnya permainan petak umpet selesai juga, ya?”
“Dito … tidak sedikitpun berubah, bahkan setelah maut datang.”
“Jangan banyak omong lu! kita selesaikan sekarang juga, disini!” pekik Dito.
“Benar … diriku juga lelah bermain main terus begini,”
Mendengar kalimat tersebut membuat adrenalinku semakin terpacu, jantungku berdebar kencang dan mataku tidak ada hentinya mencari cari serta menatap ke berbagai arah berusaha menebak darimana datangnya serangan tiba tiba yang ia biasa lakukan.
“Tapi kali ini kau tidak perlu khawatir, tidak ada satupun mainanku yang ada di tempatmu saat ini,” ujar Brama dengan santai.
“Lu pikir saya percaya?”
Suara aliran air yang terjun menyucur kedalam sebuah gelas datang dari arah Brama dan perlahan suara percikan air yang mulai penuh itu kemudian berhenti.
“Yah … Diriku disini ingin sekali berbicara, itu saja,” jawab Brama sambil diikuti suara yang bergemuruh saat Brama sedang meminum minumannya tersebut.
“Jangan bohong dan cepat keluar!” erang Dito.
Suara hentakan beling kali ini datang dari arah Brama. “Kalau kau tidak percaya, mungkin Jaya bisa menjelaskannya,” ucap Brama pelan.
Seketika aku berpikir tentang apa yang dimaksud olehnya, tentang bagaimana ia bisa masuk ke dalam percakapan kami dan apa hubungannya dengan kedatangannya, kemudian sebuah benang merah yang terikat datang terpapar dihadapanku, membuatku menurunkan siagaku dan segala kuda kuda yang telah kubuat.
“Dia benar, dia mungkin bisa menyusup ke pembicaraan gua, tapi tidak ada jaminan dia bisa melacak lokasi keberadaan penelepon dengan enkripsi di jaman sekarang, kalaupun emang bisa, pasti butuh waktu lama.”
Mendengar konfirmasi dariku tak membuat Dito berhenti dari sikap was wasnya, begitu pula dengan Ardi. Semua masih tetap kukuh dengan pertahanan.
“Kalo begitu kita gak perlu khawatir,” ujar Dito sambil meneyembulkan seringai kecil namun dengan alisnya yang melengkung tinggi.
“Hebat, hebat sekali. Namun apa kau lupa akan kemampuan kuantum komputer?”
Mendengar nama itu membuat ku langsung menggigit kedua bibirku kuat kuat. “Gak, gua juga udah tahu pasti lu bakal nyebut itu.”
“Berarti sudah tahu kan, kalian sudah kalah saat ini.”
“Apa maksudnya?” tanya Dito.
“Maksudnya posisi kita saat ini memang sudah terlacak,” jawabku dengan alis menukik.
“Kata lu-”
“Ngak bilang kalau sama sekali gak kelacak.”
Dito kemudian menggigit angin dengan memunculkan gigi serinya, wajahnya pucat dengan keringat yang mulai mengalir dari keningnya secara perlahan menetes membasahi wajahnya.
“Jadi … sebenernya apa yang lu mau?” ucap Dito.
“Kemauan? mudah saja, datang kemari,” jawab Brama dengan tenang.
“Itu, aja?”
“Ya … mudah, kan?”
“Terus, saya mati?”
Brama terkekeh kecil dengan menyemburkan suara nafas yang kencang ke mikrofonnya. “Gak ... ngak … cumang datang, daku hanya … butuh sebuah ‘kunci’, lalu kau boleh pulang.”
Dito lalu memicingkan alisnya dan menatap aneh ke arah earphoneku. “Kunci apa? ya bodo amat lah. Tapi ini beneran? kita tidak sedang bercanda, lu tahu kan?”
“Kenapa harus bercanda di saat begini.”
Dito lalu merundukan kepalanya dan menghembuskan nafasnya yang berat, wajahnya kembali segar dan nampak sedikit senyuman muncul dari pipinya.
“Oke kala-”
“DITO!” teriak Ardi.
“Apa lagi sialan,” Geram Dito.
“Gak merasa aneh? dia mau sebuah ‘kunci’, si sialan ini mau sesuatu dan kau turutin? apapun itu aku tidak setuju, rencana; pasti ada rencana terselubung; kelakuannya juga sudah terlalu kelewatan,” jelas Ardi.
Sejenak aku teringat kembali dengan apa yang dimaksud dengan omongan Ardi tadi, aku sangat yakin kalau ini memang satu satunya tiket menuju kebebasan kami, namun aku sama sekali tidak setuju kalau tidak ada transparansi antara transaksi ini. Apalagi bernegosiasi dengan Brama saat ini juga adalah hal yang konyol mengingat perbuatannya pada kami.
“Gua juga gak setuju,” ujarku.
Dito memejamkan mata dalam dalam saat mendengar kata kataku yang ikut mengiyakan perkataan Ardi barusan. “Sebenernya ada apa ini, kenapa?” tanya Dito heran.
“Lu tahu sendiri kan? ada rencana yang lebih bahaya gua yakin kalo lu dateng ke sana,” jawabku.
“Baiklah kalau begitu, kalau semua menolak; mau bagaimana lagi. Diriku awalnya tidak suka dengan eskalasi situasi ini, namun alangkah lebih cepat jika urusan ini datang dengan sebuah sandra, bukan begitu?”
Dito lalu menukikan alisnya dengan raut wajahnya yang menampakan semua uratnya. “Lu apain Gading?!” geramya.
“Ya … sedikit eksperimen, tapi tidakkah akan jauh lebih cepat jikalau ada dua sandra,” sambung Brama.
Seketika bayangan wajah Dewi melayang di depan mataku. “Jangan berani bawa bawa-”
“Tidak, kalau kau lebih cepat sang ‘tuan putri’ pasti tidak akan terkena dampaknya, jadi cepatlah.”
Aku memandang Dito dengan wajah pucat serta alisku yang menekuk setelah mendengar ancamannya barusan. Dito lalu memalingkan wajahnya ke arah lain, membuang wajahnya dari hadapan kami dan memejamkan matanya dalam dalam sambil mengepalkan semua tinjunya. Lalu ia mengembalikan wajahnya ke tempat semula dengan perlahan sambil membawa seringai kecil di wajahnya.
“Sangat gak adil bukan, kau pakai sandra namun kami tidak bisa berbuat apa apa,” ujar Dito.
“Memang begitulah seharusnya tindakan seorang yang menang dan sikap orang yang kalah, tidak ada yang bisa mengatur.”
“Menang-Kalah, apa ini maksudnya kata kata dari orang yang menang tanpa mengepalkan tinjunya.”
Suara gebrakan meja datang dari arah Brama, lalu tawanya beratnya yang liar keluar dengan suara yang dalam serta menakutkan. “Jadi kau mau tantangan ya … Oke, kuladeni, tapi tidak ada garansi kalau kalian akan berakhir tragis di akhir,” Jelas Brama.
“Setuju,” jawab Dito mantap.
Brama tertawa lagi. “Baiklah kalau begitu sudah diputuskan, tantangan kuterima, saat kalian kembali ke kota, itu akan menjadi tanda bel sudah berbunyi, sebaiknya kalian siap. Selamat malam, dan maaf mengganggu waktunya saudari … maksudku ‘tuan putri’,” papar Brama menjelaskan tantangannya dan keluar dari panggilan kami.
Sedetik itu juga kuambil kembali earphoneku dan menaruhnya di tempat semula tanpa mematikan panggilanku dengan Dewi.
“Jaya, aku gak tahu apa itu tadi tapi tolong jelaskan ya semua, malam ini,” pinta Dewi dengan lembut, namun aku bisa mendengar ada rasa lirihan yang muncul darinya.
“Iya dew … maaf ya bikin kamu terlibat. Kututup dulu ya sebentar,”
“Iya,” balas Dewi mengakhri percakapan kami untuk sementara dan memfokuskan diriku dengan masalah di depanku saat ini.
“Jadi, gimana?” tanyaku pada Dito.
“Ya gak gimana gimana, kita datang dan hajar saja semuanya bukan begitu?” balas Dito dengan penuh keyakinan.
“Kenapa kau begitu optimis?” tanyaku menatap aneh Dito.
“Ya, kau lihat sendiri kan kualitas makhluk buatannya itu, tidak ada apa apanya dibandingkan dengan kekuatan kita,” jelas Dito.
“Ya … kita pasti bisa menang,” ungkap Ardi ikut meneguhkan diri kami.
Aku hanya terpejam sambil menundukan wajahku. Tidak kusangka akan jadi begini lagi akhirnya. Tidak ada pilihan lain selain melawan dan semoga saja dengan ini semua urusan kami akan kelar dan Brama mengalah dengan tindakannya ini.
“Baiklah, kalian berdua tutup mulut saja, jangan sampai Nadya dan yang lainnya tahu masalah ini. Saya tidak mau sampai dia ikut terlibat juga,” pungkas Dito mengakhiri diskusi serta perseteruan kami malam ini.