Story
Pencarian Tidak Ditemukan
KOMUNITAS
link has been copied
Pengumuman! Telah hadir KASKUS GPT: Fitur yang membantu Gan/Sis menulis thread dengan Cepat. Daftar Beta Tester
34
KASKUS
51
244
https://www.kaskus.co.id/thread/641eb15791c33267a80974bd/keris---singa-hitam
Halo gan/sis sekalian. Thanks untuk para pembaca sekalian. Masih dalam cerita yang sama Jaya dkk dengan editing serta polishing kata kata serta tambahan tambahan lainnya. Semoga dapat mengisi hari hari agan. Untuk cerita akan di share 2 bab perhari terhitung dari tgl 25 Maret 2023 dan ditargetkan selesai pada 7 hari dari sekarang. Akan diupload tiap jam 2 siang - 4 sore. Jadi silahkan ditunggu saj
Lapor Hansip
25-03-2023 15:31

KERIS - SINGA HITAM

icon-verified-thread
KERIS - SINGA HITAM
Quote:Halo gan/sis sekalian. Thanks untuk para pembaca sekalian. Masih dalam cerita yang sama Jaya dkk dengan editing serta polishing kata kata serta tambahan tambahan lainnya. Semoga dapat mengisi hari hari agan.

Untuk cerita akan di share 2 bab perhari terhitung dari tgl 25 Maret 2023 dan ditargetkan selesai pada 7 hari dari sekarang. Akan diupload tiap jam 2 siang - 4 sore. Jadi silahkan ditunggu saja ya


Quote:Cerita Sebelumnya : KERIS 13 IBLIS


Singkat Cerita:

Jaya adalah seorang pemuda yang baru saja menjalani masa masa mudanya  sebagaimana pemuda normal lainnya. Setelah lulus dari kuliahnya, ia pun kembali pada "keluarga" yang selama ini telah membantunya. Akan tetapi setelah sampai, Jaya mendapati bahwa keluarga yang selama ini membiayainya bukanlah yang ia sama sekali pikirkan. Kemudian bersama keluarga barunya itu Jaya berkenalan dengan Dito, kakak dari Nadya dan satu orang lagi bernama Ardi.

Dalam waktu itu Jaya menghabiskan hari harinya dengan berlatih bela diri bersama Ardi. Namun tiba tiba saja Dito pun mengalami kecelakaan yang tidak normal. Mereka pun menyelidiki kecelakaan itu dan did dala m perjalanannya mereka bertemu dengan salah seorang yang bernama Brama. Kemudian kejadian dengan model yang sama terulang lagi dan lagi yang dapat disimpulkan kalau ini semua adalah perencanaan pembunuhan oleh seseorang.

Penyelidikan serta pelindungan target pembunuhan yang panjang pun berubah menjadi pembersihan saksi mata yang kini mengancam keluarga Jaya. Kali ini mereka semua melarikan diri dari kejaran sang pembunuh.


Diubah oleh amriakhsan
profile-picture
profile-picture
profile-picture
dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Masuk untuk memberikan balasan
stories-from-the-heart
Stories from the Heart
29.6K Anggota • 29.5K Threads
Halaman 1 dari 2
KERIS - SINGA HITAM
25-03-2023 15:33
BAB I - Target

i.

Tangan basah, dingin serta kaku tidak memberikan sedikitpun renggangan pada setiap kubu kubu jarinya, menggenggam roda kendali mesin baja ini dan tidak membiarkan sedikitpun kelopak mata terjatuh, meninggalkan fokusnya menatap jalan. Rasa takut pada kehilangan kendali adalah masalah keseribu bagiku. Satu satunya yang terpikirkan dan menyangkut di isi kepalaku hanyalah keinginan untuk pergi; menjauh dan menghindari apapun sebutan yang disematkan pada makhluk itu.
Mataku yang basah mulai mengering dan memulai perasaan perih di sekujur bulatannya. Entah mengapa dunia ini seakan sangat kosong dan tidak ada hal lain yang lebih penting bagiku selain pedal gas, setir dan kerikil kerikil di jalanan yang mulai berliku liku. Namun semua itu hilang dalam sekejap saat tubuh lemas ini berguncang hebat bahkan sampai membuat mobil seberat dua ton lebih ini mulai bergoyang, menggemparkan seisi ruangan sempit nan pengap ini. Tidak sampai sedetik kemudian rohku kembali ke jasadnya sambil membuka mata penghuninya lebar lebar dengan gelengan gelengan kecil saat sadar datangnya goncangan tersebut datang dari arah bahuku.

“HEH! mikirin apaan?!” sontak suara itu datang dari arah kiri bahu kaku ini.

Mataku memandang orang itu cepat bagai seekor kucing yang siap menyergap mangsanya. Model rambut undercut yang berantakan itu dengan pemiliknya yang berwajah hampir lonjong; berahang tegas serta mata yang menyala menatapku dengan serius sambil mencengkram erat pundak lemah ini dengan tangan gorilanya itu.

“OY!” sahut pria besar itu sekali lagi, kali ini tanpa ada guncangan yang mungkin saja bisa membuat mobil ini terbalik.

Entah dari mana teriakan itu bisa masuk ke dalam isi kepalaku yang kosong, memanggil penghuninya keluar; memaksanya untuk menjawab panggilan yang mulai terdengar menjengkelkan itu.

“Paan?” jawabku kesal sambil perlahan menyingkirkan tangan besarnya itu dari bahuku.

“Paan - Paan lagi,” ucap Dito dengan alis menukik. “Anda ini kemana aja dari tadi dipanggil?”

“Hah … liat sendiri, kan? ya disini sini aja,” jawabu santai.

Tidak lama setelah jawaban itu, sebuah gesekan dengan tekanan yang keras serta tajam menancap tepat di menusuk serta menembus kulit kepalaku. Tidak berhenti disitu, serangan itu berlanjut memaksa dirinya berjalan terseret seret sampai ke jambang kepalaku dan menghilang begitu saja, meninggalkan rasa pedih dan perih yang teramat disertai rahang rahangku yang berusaha menggigit sekaligus menyedot udara sekaligus dengan kencangnya. Rasa sakit itu sampai membuat genggaman yang telah melekat ini melepaskan cengkramannya.

“E buset, APAAN?!”

“Masih inget kan rutenya?” tanya Dito santai.

“Hadeh … Iya bos, inget inget kita ke rumah Embah,” balasku sambil memutar mata.

“Iya saya tahu anda cerdas sekali, tapi tadi masalahnya tadi jalannya kelewat.”

Mendengar kalimat itu bukan hanya membuat kepalaku sakit namun juga membuat semua otot pipi yang berbangga ini jatuh lemas meninggalkan cemberut serta perasaan bodoh. “Ouw … siht.”

Dito hanya bisa mengusap usap kepalanya saat melihatku sadar atas kesalahan konyol itu. Pijakan pedal gas juga perlahan melemah mengikuti perasaanku yang mulai turun jatuh meninggalkan raganya. Tidak lama berselang Dito yang selesai mengusap usap kepala serta rambutnya akhirnya membuka matanya diikuti usapan jarinya yang mencolek pundakku sambil menunjuk ke arah sebuah warung di pinggir jalan. Berusaha tidak mengulangi kesalahan yang sama membuatku memberhentikan laju mobil dan berhenti tepat di atas tanah sempit milik warung tersebut.

“Saya rasa kita harus beristirahat dulu sejenak, terserah kalian mau beli makan ato minum, biarkan Saya; Jaya dan Ardi berdiskusi dulu sementara. Terus Nadya, waktunya ganti lagi.” perintah Dito ke seisi mobil ini, mengosongkannya dan menyisakan kami bertiga.

Nadya lalu berhenti menyisir rambut pixienya yang agak panjang itu “Oke, kak,” ucap Nadya dengan suara cemprengnya yang serak disertai suara suara gesekan. Si chubby berwajah segitiga yang periang itu pun menarik lempengan besi saat tangan putihnya itu dan mengambil beberapa plat nomor serta kunci dari bawah kursinya.

“Maaf, tadi agak meleng sedikit,” ucapku sambil merapihkan dan memijat mijat wajahku yang terpantul di kaca mobil depan dengan bentuknya yang kotak membulat ini dengan mata yang suram bahkan mungkin kehilangan sinarnya dan mulai memerah akibat terbakar matahari. Tetesan tetesan keringat mengguyur seluruh kepalaku sampai ke rambut rambut kasar ini yang menggantung menutupi kening orang lelah ini.

“Ya … santai saja dulu sebentar sambil mulihin fokus, jangan sampai kita malah tewas di jalan gara gara pengemudinya singit,” ujar Dito.

“Berapa lama lagi kita bakal jalan?” tanyaku yang dengan isi kepala yang mulai kehilangan konsep akan eksistensi waktu.

“Kayaknya 3 jam lagi kalau bisa cepat,” jawab Dito memperhatikan jam di bagian dashboard mobil.

Mataku hanya bisa terangkat, terbang lalu hilang; bersembunyi di langit langit di balik gelapnya kelopak mata sehabis mendengar hasil kalkulasi asalnya itu. Tangan tangan yang kerampun kemudian berusaha mengambil gerakan kedepan dan melakukan peregangan, mengalirkan darah yang mungkin mulai terhambat dan menggumpal sambil membunyikan masing masing sendi di tubuhku yang ada dari jempol kaki hingga leher.

“Edan, 3 jam lagi!? udah hampir 4 jam nyetir muter muter gak sampe sampe,” keluhku sambil melemparkan sisa udara dari bibir tipis ini.

“Mau gimana lagi, kita harus berhasil ngilangin jejak dan usahain jangan sampai terendus, Untungnya nih mobil gede rada sedikit pasaran,” ucap Dito sambil bersandar berusaha menurunkan kursi menidurkan badan berototnya itu, menyisakan wajahnya yang siap menabrak langit langit mobil yang lembut.

Dalam nafas lelah mataku sayup sayup berusaha mencari pandangan lain selain jalanan yang terpapar tepat di depan wajahku. Bolak balik tanganku berusaha mengendalikan spion dalam mobil yang alot. Pandanganku buram ini pun terhenti saat mencoba menganalisa sosok orang dengan kulit kecoklatan berwajah kotak yang tegas, berhidung mancung dan bibirnya yang hitam dikerumuni oleh brewok tipis yang tercukur tidak rapi. Dibalik rambutnya yang panjang dan lurus itu terdapat matanya terus terusan tertutup seolah tidak peduli akan kondisi kami dan tertidur dan menikmati mimpinya sendiri. Rambutnya yang panjang teruntai dengan jambul di atasnya membuatku harus menatap sekali lagi untuk memastikan apakah orang ini laki laki atau perempuan, namun melirik kembali bulu bulu tipis di sekitaran rahangnya membuatku lega sekaligus kecewa dengan hasil analisa bodohku ini.

“Gimana pendapat lu, Ardi?” tanya Dito sambil berusaha memejamkan matanya yang masih sedikit berusaha mengintip Ardi, memastikan apakah ia tertidur atau memang perjaman matanya itu hanya sebuah topeng.

“Jujur aja, aku tidak punya banyak komentar dan semoga rencana kau berhasil,” jawab Ardi santai.

Dito kemudian menghembuskan nafas lega setelah mendengar jawaban itu. “Ya … ya … setidaknya lu ngasih masukan yang positif.”

“Tapi jangan senang dulu, aku yakin kalau musuh kita tidak akan berhenti sampai mayat kita ditemukan,” lanjut Ardi.

“Ya … jujur saja kalau masalah itu masih terus berputar putar di otak saya.”

Aku hanya bisa memejamkan mataku dalam dalam dan berusaha untuk kabur dari percakapan mereka berdua. Entah mengapa tanganku bergerak secara otomatis mengambil smartband ditanganku dan mengaktifkan mode layar terpisah. Menatap layar kaca fleksibel yang bersinar menerangi mataku dengan berbagai macam aplikasi yang hanya kugeser keatas dan kebawah secara cepat, sampai sampai akhirnya tanganku terpeleset dan secara tidak sengaja menggeser layarnya ke arah samping, memunculkan berbagai macam kolom berita yang ada yang akhirnya menarik perhatianku dan sekilas membacanya satu persatu.

“Kau tahu bagaimana cara orang itu masih bisa terus ngejar kita semua? apa dia gak punya tulang atau emang makhluk di desain untuk bisa semengerikan itu, melupakan rasa sakit dan terus mengejar targetnya, apa apan,” gumam Ardi.

“Jujur saja kalau masalah itu saya tidak tahu sama sekali, mungkin aja Brama emang udah siapin itu mahluk pakai semacam obat adrenalin atau semacamnya.”

“Tapi gak logis juga tulang patah kayak begitu masih bisa berlari, bukan?”

“Udah lah jangan dipikirkan lagi, selama kita masih bisa kabur, itu udah cukup.”

“Kalau menurutmu Jaya?”

Sontak panggilan itu mengalihkan pandanganku di tengah perjalanan text yang sampai akhirnya ku berhenti membaca dan memikirkan kalimat kalimat sebelumnya yang ia maksud. “Ah … kalau itu gua rasa sih mungkin aja regenerasi, tapi mungkin pengaruh obat penghilang rasa sakit juga bisa,” jawabku sambil berusaha kembali mengingat kejadian sebelumnya.
Makhluk itu, maksudku orang itu, apa benar dia bakal membunuh kita semua?. Bola mataku kemudian teralihkan dan sekejap langsung menarik laci mobil, memaparkan sebilah belati besar berwarna hitam legam yang dari benda itu mulai mengeluarkan sedikit bau karat serta bau amis yang pekat darinya. Mengingat si Topeng itu datang tanpa aba aba dan berusaha membunuh kami semua dengan persenjataan yang lengkap. Andai saja mereka menggunakan senjata api, pasti kami semua sudah tamat disana.
Si Brama itu, otak dari segalanya yang entah mengapa harusnya ia memiliki waktu dan kesempatan berkali kali untuk membunuh kami sebelumnya dan malah ia sia siakan. Apa yang dipikirkannya selain untuk melakukan “uji coba” yang ia maksud. Saat kami bersama Brama pun Ardi tidak bisa merasakan adanya perasaan yang aneh pada dirinya. Benar benar pria yang sangat misterius, bahkan Dito sama sekali tidak bisa mengetahui gerak geriknya dan memaksa kami kabur, entah kemana pengejaran ini akan terus ia lakukan. Namun aku sangat yakin kalau ada sesuatu, sebuah hal yang ia cari dari Dito dan hanya ia bisa dapatkan darinya. Aku yakin ini bukan masalah tanda tangan atau perjanjian omong kosong yang ia pernah katakan sebelumnya.

“Cumang segitu aja?”

“Sebenernya gak sih. Ada yang gua mau tanyain,” ungkapku.

“Yaudah tanya aja.”

“Sebenernya apa yang Brama cari dari lu, Bos? gua yakin bukan masalah uang apalagi bisnis kan?”

Mendengar pertanyaanku itu membuat Dito terkejut dan langsung membuka matanya lebar lebar. “Itu ya … emang bener juga kalau bukan masalah duit apalagi kalau dia mau bikin pasukannya, kenapa gak bikin aja sekarang. Masalahnya saya juga gak tahu apa yang dia cari dari saya,” jelas Dito.

“Yakin?” tanyaku berusaha kembali memastikan jawabannya.

“Ya, kalau saya tahu mah, saya bakal kasih ke dia dan kita semua bakal balik lagi ke masa masa damai, live happily ever after,” pungkasnya dengan kekehan kecilnya diakhir.
0 0
0
KERIS - SINGA HITAM
25-03-2023 15:33
Selesai mengikuti ocehan tadi membuatku kembali bisa tenang dan membaca kembali apa yang kulewatkan. Namun mataku dipenuhi dengan rasa geram menatap yang kali ini gangguan itu berasal tepat di layar kacaku. Jajaran iklan yang bertebaran menutupi kolom berita dan memaksaku menekan tombol kembali dan mencari cari bacaan lainnya. Usapan jari yang meninggalkan bekas jejaknya di hangatnya layar sembari membalik satu persatu kolom bacaan menarik lainnya. Tapi tidak sampai sedetik setelahnya ibu jariku dibuat membeku di udara, dengan kerutan dahi yang berusaha memantapkan pandangan membaca sebuah kalimat yang tidak tidak asing dan juga terasa sangat dekat di kepalaku.
Penghuni Rumah Mewah di Jakarta Ditemukan Tewas. Jari jariku mulai bergetar dengan konflik yang yang kini sedang beradu untuk menentukan apakah ini sesuatu yang harus kubaca atau harus kulewatkan. Kemudian dengan sentuhan kecil di jariku menentukan hasilnya dan memaksaku membaca yang satu ini.
Ada firasat buruk yang entah darimana muncul dan tiba tiba datang memasuki pikiranku, membuat getaran di tanganku semakin menjadi jadi. Dengan bibir kering mulutku berusaha mengucapkan apa yang berada di depan bola mataku saat ini.

“Empat orang … tewas … berinisial AGN, JTW, RS, dan RA … masih belum jelas penyebab dari kejadian ini, tapi menurut pendapat tetangga diperkirakan terjadi … adu mulut … saling cekcok, perkelahian … menggunakan senjata tajam,” ucapku dengan menghembuskan nafas terakhir yang ku bisa keluarkan dari mulut gersang ini. Perlahan kedua tanganku meletakan layar bodoh itu ke atas dashboard mobil sembari menarik kedua jari telunjukku dan pelan pelan menusukannya ke masing tulang pelipis yang hangat ini, menekannya sedikit demi sedikit lalu melakukan gerakan memutar, membiarkan semua darah yang tertahan tadi lewat dan mengalirkan beban itu ke seluruh tubuh dengan seimbang.

“Oh … Siet …”

ii.

“Jadi … sebenernya jangan jangan kita udah mati, trus sekarang arwah kita lagi menghayal jalan kemana mana,” gumam Ardi dengan seringai kecilnya.

“Lu mau tau ini beneran ato gak?” tawar Dito dengan wajah jengkel.

“Ah bol- oke gak jadi,” jawab Ardi tersenyum.

“Tapi menurut lu aneh gak sih? semua nama ada kecuali saya sama Nadya,” ungkap Dito sambil mengusap usap batang hidungnya.

“Iya sih, emang aneh juga kalo ada yang kurang, tapi kan lu dah mati Bos, masa ada konfirmasi kematian dua kali.”

Dito terkekeh menyembulkan gigi gigi serinya. “Iya sih, tapi keren juga ya kalo gelarnya dimasukin ke nama saya; M.Alm. Hanindito.”

Kami juga ikut tertawa mendengar leluconnya itu. Aneh sekali bukan walau dalam situasi krisis seperti ini pun orang orang masih bisa tertawa dan bahkan membuat bencana menjadi candaan. Semoga saja itu bukan pertanda kalau masing masing dari kami telah kehilangan kewarasannya karena kelelahan yang teramat sangat.

“Menurut lu gimana Jay, teori konspirasi macam apa lagi yang bisa bikin nama lu pada masuk ke berita?”

Sesaat aku berpikir; bergumam sambil memasukan bibirku ke dalam mulutku, menggigitnya serta membasahi retakan retakan yang muncul. “Kayaknya sih ini entah ini permainan uang dari pihak sana atau emang Brama punya masing masing DNA kita.”

Ardi bergumam. “ Aneh gak sih padahal kan tinggal lihat wajahnya saja terus sudah bisa ketahuan kan siapa korbannya. Aku yakin kalo bagian itu gak bisa dipalsukan ya, kan?”

“Ah … kalo masalah itu sih sebenernya emang metode identifikasi wajah malah jarang dipake dan karena tes DNA udah secepat kilat, jadi udah kurang laku. Ya tahu sendiri sekarang rata rata operasi plastik dimana mana, malah dari kecil anak anak udah beda beda wajahnya,” jelasku.

“Kalo sidik jari?” celetuk Dito.

Bola mataku langsung melayang ke langit langit mendengar bagian yang terlewat itu. “Wah … ia juga ya.”

“Yak. Berarti emang kita udah gak bisa ngandelin aparat kalau begini.”

“Bisa dibilang udah telat, lu sendiri kan Bos yang awalnya gak mau bawa bawa nih ke polisi.”

“Ya … memang rencananya begitu, dilema antara masalah kita nanti jadi terekspos atau malah kasusnya bakal lama terus berbelit belit sampe kita udah tewas semua baru jalan lagi kasusnya,” ungkap Dito.

“Sebegitu gak percayanya sama aparat?” tanyaku memastikan.

“Ya … emang begitu bukan dari dulu.”

Aku tidak pernah begitu paham dengan jalan pemikiran Dito, namun mungkin ia jauh lebih tahu dan berpengalaman tentang masalah ini dan dengan alasan apapun ia berusaha menghindari urusan ini dan jangan sampai jatuh ke tangan kepolisian. Mungkin saja ini masalah bisnisnya atau yang seperti kupikirkan; ia memiliki sesuatu yang sangat berharga yang disembunyikan dari kami semua.

“Lama sekali mereka semua,” keluh Ardi.

“Santai aja dulu, jangan samakan energi mereka dengan kita semua.”

“Kalau kita gak cepet cepet sampai ke tempat Mbah bisa bisa kita ketahuan.”

“Asal kita bertiga gak keluar mah aman aman aja.”

“Emangnya ada apa di rumah Mbah sih sampe bisa dibilang aman?” tanyaku penasaran.

“Ya … satu satunya orang luar yang kita bisa percaya, lagian juga disana minim sinyal, jadi malah makin aman lagi bukan.”

Alasan pertama rupanya ya, kalau bagian kedua mungkin tidak tepat karena mau bagaimanapun caranya kalau memang kita sudah terlacak maka tidak ada lagi jalan untuk menghindar selain membuang semua alat elektronik kami dan kembali ke zaman batu. Namun aku yakin selama kami tidak melakukan kontak dengan orang orang yang terkait maka tidak ada salahnya.

“Oh iya, kalian jangan kasih tahu masalah ini ke Nadya sama yang lainnya ya,” ucap Dito.

“Kenapa Bos, bukannya kalo semua tahu malah jadi lebih bagus buat jaga masing masing?” balasku berusaha menyanggah perintahnya secara logis.

“Kalau mereka tahu mereka semua mati, kemungkinan besar mereka bakal panik terus minta pulang segala dan juga bisa membuat mereka shock yang berujung mempertaruhkan kewarasan mereka. Ini semua berlangsung kurang dari 24 jam, pasti berat bagi mereka. Walau kecil kita gak bisa ambil resiko semacam itu terlebih lagi masih ada kejanggalan sama konfirmasi kematiannya,” jawab Dito menguraikan prediksinya.

“Kau peduli sekali sama mereka, sampe sampe kita gak dipikirin,” sahut Ardi menggerutu.

“Santai aja kalo kalian mah, lu lu idiot pada juga bisa jaga diri sendiri kan, lagian dari awal juga udah gak waras.”

“Ya terserah lah,” pungkas Ardi.


Beberapa menit kemudian Nadya dan yang lainnya masuk kembali ke dalam mobil dengan membawa makanan serta jajanan yang banyak. Kami semua makan bersama di dalam mobil yang kali ini penuh dengan bau santan serta sambal yang kental memenuhi mobil, bahkan kami sampai terpaksa untuk membuka pintu sedikit untuk membuang segala aroma yang mulai tidak sedap ini. Kami hanya terdiam dan sibuk dengan makanan masing masing. Tidak ada canda ataupun tawa, memang tentu saja bukan saat yang tepat bagi kami untuk bersikap ceria namun bukan berarti kami semua harus memurungkan diri bagai jejeran patung di dalam mobil.
Sesaat setelahnya Nadya menanyakan tentang berita atau keadaan terbaru dari rumahnya. Sesuai permintaan Dito aku sama sekali tidak menjawab dan hanya bilang kalau tidak ada yang perlu dikhawatirkan.Dito bilang kalau masalah itu sudah diurus temannya. Namun aneh saja kalau Nadya bertanya namun tidak mengecek saja sendiri lewat internet, entahlah mungkin dia sendiri juga takut mengeceknya.
Tebakan Dito ada benarnya tapi juga tetap membuatku gundah menutup mulut serta kebenaran dari mereka semua, mereka tentu saja berhak memiliki jawaban tersebut, namun tentu saja ada resiko yang lain yang aku sendiri tidak tahu.

“Semuanya sudah siap?” tanya Dito dengan tenang.

“Siap kak, waktunya tidur lagi.”

Nafas kecil menyembuh dari batang hidung Dito. “Yasudah kalau begitu, supir dipersilahkan.”
profile-picture
uken276 memberi reputasi
1 0
1
KERIS - SINGA HITAM
25-03-2023 15:35
BAB II - Sedarah; Bukan Saudara

Rumah Mbah

i.

Otot otot yang keras, memanas serta keringat yang tidak hentinya tercucur akhirnya terbalaskan ketika debu serta pasir merah telah tergesek dan serta berhamburan akibat hentakan roda hitam yang berusaha menghentikan laju mobil yang nampaknya sama lelahnya dengan kami.
Tidak pernah sekalipun diriku mendengar suara retakan punggung yang nyaris saja patah kalau saja aku paksa lebih jauh lagi. Aku sendiri mulai tidak yakin dengan pelarian ini akan menyelamatkan kami dalam bahaya dengan punggungku sebagai tumbalnya. Namun wajah bahagia serta tenang akhirnya dapat menerpa murungnya hari hari kami jalani saat ini.
Sesampainya kami memijakan kaki di rumah Mbah Saman, walau sudah tua dan berbadan kurus tapi tetap saja bibirnya terus melepehkan bertubi tubi pertanyaan datang darinya menimpa kami semua, terutama untuk Dito. Walau dalam kondisi mulut terus berbicara begitu, sembari memperbaiki posisi kacamata bulat kecilnya ia tidak lupa untuk memberikan sambutan hangatnya serta senyuman hangat dari wajah kotaknya itu dan membiarkan kami semua untuk beristirahat terkecuali untuk telinga kami.

“Tolong lah Ngkong, bisa berhenti sebentar saja, mungkin sampai besok,” pinta Dito yang terbaring diatas kursi dengan wajah memelas.

“Ngak … gak bakal; sampe dapet jawaban yang jelas,” jawab Mbah menolak sambil menuangkan teh dari teko besinya ke masing masing gelas kami.

Suara tersengut sengut perlahan keluar dari bibir tipisnya yang sok keras itu. “Haduh … haduh … dosa apa hamba. Barusan tadi udah diceritain padahal?” lirih Dito.

“- Barusan atau tadi,” sambung Ardi.

Bagai kesetrum listrik Dito meronta ronta, bangun dan melotot ke arah Ardi yang dengan tenangnya menghirup aroma teh melati yang pekat sesaat sebelum akhirnya ia kembali tergolek lemas dengan perlahan sambil pelan pelan menurunkan tangan nya yang tergulung penuh dengan perban.

“Ah … sapa namamu; lupa?” tanya Mbah Saman sambil mengacungkan telunjuknya ke arahku sambil memperbaiki posisi kacamata bulatnya.

“Ja- ”

“-Oh ya Jaya, lupak,” sosor Mbah sambil menepak keningnya sendiri. “Coba - coba cerita yang bener, tahu Dito itu tukang bohong.”

Tanganku yang penuh menggenggam gelas teh, mulai bergetar kebingungan dengan permintaan mendadak darinya sampai sampai memaksaku untuk menurunkan kembali gelas panas itu ke meja besinya yang coklat kehitaman. “Ah … maaf pak, kalau saya cerita juga gak ada bedanya sama Dito, mungkin kalau Ard-”

“-Ah yaudah, gausah kalau gitu,” sosor Mbah menarik bibirnya.

Ombak ombak kecil pun meluap karena hembusan nafas yang kencang dari cangkir yang dipegang Ardi

“Tapi kenapa kalian bisa selamat sampai kesini, kalian gak diuntit sama itu ‘orang’, kan?” tanya Mbah Saman sembari menaruh tubuhnya di atas kursi di bagian ujung meja.

“Kami sudah mondar mandir beberapa lama sih biar gak kelacak juga gak lewat jalan tol, semoga aja berhasil,” jelasku singkat.

Mbah Saman dengan melipat sikunya bergumam cukup lama sambil menengadahkan kepalanya ke arah langit langit. “Yasudah, Sementara kalian semua bisa tinggal disini, lagian juga disini juga lagi sepi.”

Paru parunya seketika mengempis; lega mendengar sebuah bantuan yang diharapkan akhirnya bisa diandalkan. Dito ternyata memang tahu siapa saja yang bisa diandalkan, namun tetap kita belum bisa senang dulu dengan semua urusan yang masih menghantui kami semua.
Setelah Mbah mengizinkan kami tinggal, dia langsung membawa kami ke bagian belakang rumahnya yang belum berubah. Tanah merah seukuran lapangan bulu tangkis dengan tempat pandai besinya di samping kanannya. Tungku bara yang entah mengapa setiap kali kulihat selalu mengeluarkan cahaya merah menyala dari dalamnya tidak ada henti hentinya untuk membakar apa yang ada di dalamnya.
Sejenak kepalaku kemudian terasa seperti tersetrum sengatan listrik, sekelebat ingatan lewat begitu saja namun aku tidak tahu sama sekali apa isi dari yang lewat barusan. Entah mengapa ada sesuatu yang terasa tertinggal atau sesuatu yang kulupakan dari tempat ini, sesuatu yang mengganjal bahkan sampai memaksaku memberhentikan langkahku. Namun mungkin ini bukan saat yang tepat untuk memikirkan hal tersebut dan terus saja diriku berjalan berusaha melupakan apa yang terlewat dalam benakku. Kubiarkan hal tersebut menjadi beban bagi ‘diriku di masa depan’ yang pastinya ‘diriku di masa depan’ akan mengutuk ‘diriku di masa sekarang’ karena memang begitulah caranya hidup dalam penyesalan.
Terlalu sibuk bermain dengan pikiranku membuatku tiba tiba kembali lagi merasakan pijakan di bumi layaknya roh yang jatuh dari langit. Tidak sadar saat semua orang akhirnya berhenti di depan sebuah tempat yang mungkin terlihat seperti sebuah gudang dengan genteng bata merah yang mulai menghitam yang membuatnya terlihat kumuh serta tembok yang dengan cat hijau yang mulai pudar namun selebihnya tempat ini nampak kumuh namun sangat kokoh, namun yang mengganjal dari tempat ini adalah dengan adanya teras dengan kursi serta meja di bagian depannya yang membuatku jadi tidak yakin apakah ini gudang atau malah dapur.

“Jangan kira ini gudang ya, ini kamar anak saya dulu. Sebelum ngerantau,” Ucap Mbah memaparkan sekaligus menepis hasil analisaku layaknya ia membaca pikiranku barusan.

“Kalo anak lu pergi, terus siapa yang nerusin nih kerjaan Ngkong?”

“Itu dia … mungkin antara kimpoi lagi terus punya anak lagi ato nerusin ini ke anak buah,” gumamnya.

Dito terkekeh. “Nice! Saya suka rencana pertama,” teriak Dito sambil menahan tawanya yang kemudian disusul dengan suara pukulan yang pasti datang dari Nadya.

Setelah kami semua selesai membersihkan diri, tidak butuh waktu lama untuk mereka semua tertidur; mengistirahatkan diri mereka di dalam rumah kecil itu. Namun tidak dengan kami bertiga yang entah mengapa masih belum sama sekali mendapatkan sinyal untuk mengistirahatkan mata serta tubuh kami. Akupun mulai teringat saat masa masa kuliah dulu dimana tubuhku yang masih lemah sekali, hanya dengan mendengarkan kuliah saja dan makan dapat membuatku kelelahan seperti orang yang habis kerja jam delapan sampai lima. Mungkin memang itu karena entah otakku jauh lebih lelah daripada badanku atau memang karena faktor malas, yang pasti itu semua akhirnya terjawab dengan latihan fisik yang berat selama satu setengah tahun lamanya; ini semua cumang masalah stamina serta adrenalin.
Kami bertiga duduk di teras bersama angin darat yang berhembus ke lautan di arah utara, melewati hutan jati yang berada di sekeliling rumah ini. Oksigen sejuk namun kering yang di bawahnya tetap dapat dinikmati setelah berjam jam lamanya dadaku diisi dengan udara AC yang tidak enak. Tanpa adanya minuman ataupun makanan yang berada di atas meja, kami sibuk sendiri dengan pikiran kami.
Sesekali aku menoleh ke arah Ardi yang dalam pejaman nya yang dalam sambil mengelus elus pedang putih berkilaunya yang besar itu ke pipinya. Terkadang aku sendiri menjadi jijik mengingat berapa banyak darah yang tumpah serta orang yang ditebasnya dengan benda itu. Di sisi lain Dito yang duduk sambil menyandarkan kepalanya di atas telapak tangannya, menatap kosong ke arah gelapnya pepohonan yang mengisi pemandangannya yang ku yakin pikirannya penuh dengan semua rencana yang ia terus pikirkan dan olah; berusaha untuk menyelamatkan dirinya serta kami semua dari bencana ini; mengabaikan tangannya yang masih terluka itu.
Sementara aku dengan otaku yang terus mengoceh dan memikirkan dirinya sendiri; terus menggumam tanpa arah. Sesekali aku merasa sangat bodoh dengan diriku yang masih bimbang dan belum ada tujuan atau sesuatu yang harus dikejar dari luas nya hidup ini. Hanya melakukan hal yang tidak berguna dengan memikirkan orang lain yang mungkin memang atau malah sama sekali tidak pernah menyadari akan adanya eksistensi diriku. Sibuk dengan menatap urusan orang lain, memang benar benar bodoh. Apakah orang tuaku paham dengan kondisiku saat ini, apa yang akan mereka lakukan; apa yang akan Ayahku lakukan jika dalam masa terjepit seperti ini.
Merasa otakku mulai mengejek diriku sendiri membuatku mencoba mengganti topik dengan mengalihkan perhatianku keatas layar kaca fleksibel. Kembali menatap barisan bacaan yang mungkin saja dapat membuatku mengantuk. Namun bukannya membuat mataku menjadi berat, benda ini malah membangunkan kembali perasaan buruk dengan menampilkan berita tentang kejadian pembunuhan di rumah; membuat alis alisku sampai saling beradu dengan menatap ke atas berusaha menghilangkan apa yang baru saja kulihat.

Ardi lalu terkekeh. “Sepertinya kau bisa berpesta dengan dirimu sendiri, ya?” sahut Ardi membaca perasaanku seperti biasanya.

“Seenggaknya gua bukan kayak psikopat yang mesra mesraan sama senjatanya,” balasku kesal.

Ardi menggeleng geleng pelan. “Ini barang penyelamat nyawa, jadi juga harus dikasih sayang.”

Mataku langsung menyerngit ke arahnya mendengar jawaban konyolnya itu sambil menahan rasa sabar yang mulai meluap. “Hadeh … kagak jelas,” gumamku mengerundel.

“Menurut lu pada kita harus apa habis ini?” tanya Dito lirih, memotong ocehan kami.

Mataku kemudian terlihakan ke arahnya yang masih menatap kosong itu tanpa sedikitpun menoleh ke arah kami. Aku entah mengapa bisa merasakan adanya rasa depresi dari dirinya yang biasanya ceria dan penuh dengan suara kerasnya serta teriakannya yang berapi api.

Ardi bergumam. “Kalo itu … kita gak bisa pulang sih udah jelas,” jawabnya santai.

“Ya, jujur aja belum ada pikiran lain Bos, biasanya kan emang lu yang bikin keputusan,” sambungku.

“Ya, itu dia masalahnya. Saya biasanya membuat keputusan sendiri tanpa tanya ke lu pada apa yang lu pada pikirin atau ada rencana lain. Sekarang pas sudah sampai di puncak masalah, saya sendiri gak tahu apa yang harus dilakuin, apalagi kalian yang cumang ikut ikutan. Memang terkadang demokrasi itu gak sepenuhnya buruk,” ungkap Dito.

“Ya mau gimana lagi Bos, mungkin kalau lu tahu Brama itu pelakunya juga kita gak bakalan begini kan; jadi wajar aja,” imbuhku berusaha memaklumi keadaan.

“Ya, itu juga sih. Tapi seharusnya saya juga tetap harus tanya dulu ke lu pada. Jadi gimana pendapat lu pada kira kira?”

“Udah lah … biarin aja kalau masalah itu mah. Mau dikasih tau detil masukan sekarang juga gak guna dan malah kayaknya sekarang mending gausaha dikasih tahu dah daripada kau malah makin nyesel,” geram Ardi menyikapi permintaan tadi.

“Jujur aja di … tadi itu pertanyaan ke Jaya. Saya sih gak yakin lu punya rencana,” kelakar Dito.

“Ow … bener bener, tapi bener sih” erang Ardi sambil mengangguk yang disusul oleh tawa kami semua yang lepas namun tidak sampai berhasil membuat wajah Dito untuk menghadap ke arah kami.

“Hah … emang lu kampret. Tapi jujur tadi saya beneran butuh pendapat.”

“Gimana gua mau ngasih pendapat Bos, kita aja gak tau Brama itu siapa dan kayak gimana orangnya,” ungkapku sambil menurunkan beban di alisku.

“Oh … begitu ya, oke saya akan ceritain si Brama ini,” pungkas Dito sambil melirik ke arah kami.
Diubah oleh amriakhsan
0 0
0
KERIS - SINGA HITAM
25-03-2023 15:35
ii.

Music 1

Sebuah karunia pasti dimiliki oleh hampir setiap anak yang lahir. Entah dia mengetahuinya atau tidak itu tidak akan menjadi masalah baginya karena di dunia ini memang tidak ada yang sempurna walau pada dasarnya tetap menginginkan kesempurnaan. Hidup terus berevolusi, akan tetapi tidak akan pernah mencapai apa yang itu namanya akhir dan pasti berhenti pada sebuah titik dimana evolusi akan merasa cukup dan pantas bagi tiap makhluk. Mereka tumbuh dengan aturan serta nilai yang telah tertanam dalam dalam tanpa adanya penolakan ataupun brain stroming dalam mencernanya. Namun itu semua akan menjadi lain cerita ketika ada seorang anak yang benar benar mampu melewati batas hal tersebut.
Salah satu anak yang tidak sempurna, bahkan dapat dibilang cacat; produksi gagal; kesalahan apabila kita melihat anak tersebut dan membandingkannya dengan saudaranya sendiri yang bahkan lahir berjarak tidak lebih satu jam dari dirinya. Tanpa tangisan, bergerak, detakan jantung ataupun uap panas yang keluar masuk dari dadanya, hanya sebuah wajah murung yang setengah matang; terdiam; membiru; menutup mata.
Orang orang yang merasa iba pun dengan cepat memberikan bantuan sebisa mungkin, setiap teknologi tercanggih yang bisa di dapat dan ditanam langsung diberikan agar dapat mendengar tangis dari ‘si kecil’ malang tersebut. Namun tubuh kecilnya itu layaknya sebuah batu yang diguncang guncangkan; bergeming dan hanya menerima apa yandi cekoki padanya tanpa memberikan respon sama sekali. Orang orang mulai pupus harapan serta kebingungan dengan apa lagi yang mesti mereka harus lakukan untuk menyelamatkan tubuh malang tersebut.
Saat wajah wajah sudah terunduk dan mulai berpaling darinya, disitu keajaiban datang menimpa mereka semua termaksud ‘si kecil’. Matanya tiba tiba terbuka, tidak lebar namun perlahan, menatap satu persatu individu, menoleh ke masing masing wajah mereka yang lebih besar darinya. Tidak menangis dan hanya tenang melihat wajah orang orang yang mulai bahagia serta tersenyum lega melihat perilaku ‘si kecil’ tersebut.
Terlahir dengan sesuatu yang berada diantara hidup dan mati adalah sesuatu hal yang menegangkan bagi salah satu anak kebar tersebut. Menurut beberapa ahli memang hal itu sering dan bisa saja terjadi pada kebanyakan anak yang baru lahir. Namun tangisan yang ditunggu tunggu tetap tidak muncul dan bahkan orang orang mulai melupakan bahkan mengabaikan sesuatu hal kecil tersebut. Sampai besar pun akhirnya tidak ada yang pernah tahu apakah anak itu pernah menangis atau tidak, tidak ada yang pernah tahu bahkan oleh saudara kembarnya sendiri.
Seiring rangkakan, perjalanan, pelarian yang mereka lakukan tidaklah sama sejak awal, membuat tanda bagi wali mereka untuk dapat mengenali perbedaan yang sangat jelas dari kembar ini. Mereka berdua tumbuh namun ‘Si Kecil’ tetaplah sama seperti namanya itu. Lambat, tenang, tidak banyak seperti kakaknya yang kemudian mendapatkan julukan ‘Si Besar”.

‘Si Kecil’ tidak memiliki rasa iri dengan perlakuan serta sikap wali mereka yang berbeda pada masing masing diri mereka, bahkan mungkin ‘Si Kecil’ dapat beradaptasi dengan baik sementara ‘Si Besar’ malah mengira kalau walinya dirasa terlalu sayang pada ‘Si Kecil’, rasa iri mulai tumbuh pada ‘Si Besar’ seperti kebanyakan anak anak seumurannya.
‘Si Besar’, ia tidak pernah sama seperti namanya, tumbuh dengan sesuatu yang juga tidak bisa dipahami oleh wali mereka. Emosi, rasa beruap uap;berapi api darinya membuat semua orang mengatakan kalau anak ini adalah seorang anak terlalu hyperactive; spesial dengan emosi serta amarah dan tenaga yang tidak terkontrol tersebut.
Meski mereka kembar, namun tidak ada ciri ciri kesamaan antara satu sama lain, bahkan bisa dibilang mereka layaknya datang dari masing masing keluarga yang berbeda. hal ini ditambah dengan sikap mereka yang saling bertolak belakang dan tidak pernah bisa akrab sedari kecil layaknya masing masing individu mereka menganggap saudaranya adalah seorang rival atau bahkan musuh.
Hari semakin berlalu, kalender seiring berganti, mereka mulai dewasa layaknya anak anak lainnya, tumbuh dengan normal seperti lupa dan kehilangan identitas mereka saat masih kecil. begitulah setiap kehidupan, engkau sendiri tidak pernah tahu akan seperti apa jadinya dirimu di masa depan nanti.
Dengan berjalannya waktu hal hal seperti itu mulai memudar dan diantara mereka pada akhirnya mulai terlihat tidak memiliki banyak perbedaan. Tidak ada lagi “Si Kecil” dan “Si Besar”, sama sama pintar, kuat dan juga penuh dengan diri kehidupan muda mereka sendiri. Semua terus berjalan dalam beberapa tahun hingga mereka pada akhirnya mereka merasakan sesuatu yang mereka sendiri selama ini tidak pernah mereka ungkapkan pada satu sama lain selama bertahun tahun, mereka merasa memiliki satu saudara lagi.
Hal yang bagi kembar ini pertama kali untuk berbagi meski semua kisah masa lalu mereka yang penuh dengan perbedaan. Mereka mulai saling akrab, berbagi dan membantu satu sama lain. Sebuah tujuan menghilangkan perbedaan di antara mereka berdua dan mempersatukannya.
Segala sumber daya, uang serta keringat mereka berdua habiskan dalam melakukan pencarian bagian diri mereka yang hilang. Tidak ada satupun orang lain yang tahu apa tujuan mereka dalam melakukan perburuan tersebut selain mereka dan layaknya seperti sedang dikejar oleh sesuatu, mereka berdua bahkan terlihat sama sekali tidak beristirahat untuk melakukan hal tersebut. Disebut sebut mereka berdua mencari satu saudara mereka yang hilang.
Setelah bertahun tahun melakukan pencarian yang sangat panjang. Mereka bukannya menemukan sebuah titik cerah yang mereka cari, namun mereka malah mendapatkan sebuah matahari yang bersinar terang tepat di depan wajah mereka. Cahaya yang mereka tidak sangka sangka datang, layaknya ditimpa oleh pohon durian yang jatuh karena tidak kuasa mengangkat beban buahnya. Sebuah penemuan yang berharga yang akhirnya menjadikan sebuah pondasi dasar dari perusahaan yang mereka buat nantinya.
Mata mereka yang sudah buta akan kilaunya berlian yang mereka temukan membuat mereka lupa akan tujuan utama mereka untuk mencari saudara mereka yang satunya lagi. Sebuah konflik kecil mulai terjadi antara dua bersaudara akhirnya mulai membesar dimana yang satu tetap ingin fokus pada pencarian saudara mereka sementara satunya lagi mengubah pikirannya dan mulai membangun bisnisnya.
Beberapa orang mengatakan kalau ‘kenapa mereka tidak membagi tugas saja atau menyewa orang’, namun semua saran saran berguna tersebut mereka acuhkan karena dalam hal ini hanya mereka berdua yang boleh tahu identitas saudara mereka yang satunya lagi dan tanpa bantuan satu sama lain, perjalanan mereka akan gagal. Mereka berdua sama sama tahu bahwa masing masing individu dari mereka layaknya sebuah pintu yang memiliki dua kunci berbeda; tidak ada yang dapat membuka pintu tersebut tanpa keberadaan mereka satu sama lain.

Hal ini terus berputar putar hingga akhirnya dari pihak yang ingin mencari saudara mereka yang hilang akhirnya mulai berencana untuk mengambil alih kunci dari saudara kembarnya itu. Perseteruan mulai memanas dan kali ini tidak ada satu pihak yang mengalah. Mereka akhirnya mulai kembali menjadi musuh yang selama ini mereka buang sendiri.
Pihak yang bersikeras mencari saudaranya melakukan berbagai cara ia lakukan untuk mendapatkan kunci tersebut namun selalu gagal. Dari situ membuat kebencian akan saudara kembarnya semakin menjadi jadi, ia bahkan sampai memperkuat dirinya sendiri dan menggunakan cara kekerasan untuk mendapatkan ‘emas’ tersebut, namun tentu saja tetap digagalkan oleh saudaranya yang jauh lebih pandai dan tidak ia sangka jauh lebih kuat dari yang ia perkirakan.
Dalam sebuah pertarungan puncak yang mereka lakukan, ‘sang pencari’ melakukan taruhan apabila dirinya kalah, maka ia akan mengikuti jalan yang diambil oleh saudaranya tersebut. Ia berpikir kalau melakukan hal tersebut akan membuat dirinya kuat dengan sebuah tekad. Namun tentu saja kekuatan tidak akan berguna di hadapan kecerdasan serta ketangkasan dari saudaranyanya itu. Ia akhirnya kalah, mulai putus asa dan tidak memiliki banyak pilihan lain selain mengikuti jalan yang ia tidak diinginkan tersebut. Dari sini ia kemudian teringat akan masa kecilnya, sebutan untuk mereka berdua kali ini berbalik, ‘Si Besar’ menjadi ‘Si Kecil’ dan “Si Kecil’ menjadi ‘Si Besar’.

iii.

Aku memiliki kesulitan dalam menuliskan kisah mereka berdua, terutama dengan cerita Dito yang entah mengapa di tengah cerita ia seakan ingin muntah dan menghentikan ocehan nya tersebut, namun sumberku hanya dari dirinya seorang dan mau bagaimana lagi selain menunggu dirinya pulih kembali.
Terkadang aku merasa heran dan bertanya tanya bagaimana dua bersaudara ini bisa tetap hidup sampai sekarang dan bukannya biasanya akan terjadi kejadian saling membunuh satu diantara mereka agar masalah ini selesai, akan tetapi ada sesuatu yang pasti membuat mereka tidak dapat melakukan hal tersebut. Apakah itu sebuah masalah bisnis, birokrasi ataupun isi kepala mereka yang membuat mereka tetap bisa menjaga agar tidak ada pembunuhan yang terjadi antar dua bersaudara ini.
Besok harinya aku mencoba mencari cari info lagi dari serta meminta Dito untuk melanjutkan cerita tersebut, sayangnya ia mengatakan kalau hanya itu saja yang ia bisa berikan.

“Apa kau yakin tidak ada info lainnya, kita sama sekali tidak dapat bisa mengalahkan Brama dengan info segini,” ujarku sambil berdiri dan menyisir alis dengan jari jariku sambil bersandar di kusen pintu yang mulai lapuk.

Dito yang sedang termenung menatap hutan kosong yang cerah tertembus sinar mentari yang terik melewati sela sela dedaunan. Hanya terdiam terpaku di sana, entah berapa hari ia sudah bersikap begitu, berusaha mengingat sesuatu atau ia tidak mendengar perkataanku barusan.

“Gak, gak ada. Kalau saya ingat pun juga pasti itu sesuatu yang gak guna juga akhirnya,” jawab Dito melirih sambil menghembuskan nafas dari mulutnya.

“Terus apa gunanya lu tetep cerita dari kemarin bos kalau tahu itu gak guna,” sambungku kesal.

“Mungkin itu gak berguna buat saya, tapi mungkin aja itu bisa jadi catatan buat lu.”

Tanganku hanya bisa mengusap usap jidatku mendengar jawaban malasnya itu. “Oke oke, kalau masalah perspektif mungkin bisa saja, tapi tetap aja gak ada yang bisa diambil, kenapa lu gak ceritain teknik bertarungnya si Gading atau gimana lah, senjatanya ato yang lainnya. Lu juga stakeholder PT. Sampurna juga kan, pasti ada info lain lah,” jelasku meminta info lebih darinya.

“Oh ya … masalah itu kayaknya bisa. Saya dulu sama Gading sering tarung di fight club gitu,” jelas Dito.

“Ya, itu gua dah tau,” balsaku cepat.

Dito seketika menoleh seakan tersengat listrik, mungkin ia kaget mendengar jawabanku yang ia tidak duga. “Tau dari mana lu?” kejar Dito dengan suara beratnya.

“Ardi, dia pernah bilang waktu itu.”

“Wah wah … itu orang emang …” gerutu Dito kesal.

“Udah deh bos, fokus.”

“Oh iya, jadi pada dasarnya teknik bertarungnya gak ada bedanya sama saya, kita sama sama bergulat dan itu aja sih, lebih kekuatan mentah mentah,” terangnya.

“Kenapa lu gak pake teknik beladiri bos, ato emang aturan begitu disana?” tanyaku penasaran.

“Oh … itu mah cumang bikin battle jadi gak begitu menarik, kadang kita campur kadang emang bener bener cumang adu otot sama stamina.”

“Kalau Gading, gimana, apa dia tipe yang keliatannya bisa bela diri ato gak?” tanyaku berusaha menyambungkan benang merah yang ia terus ingin kusutkan.

“Gading ya, gak begitu banyak sih, kelihatannya dia bisa tapi kalo dilihat dari kekuatannya aja kayaknya dia gak butuh sama sekali teknik bela diri buat menang sama orang lain,” ungkap Dito dengan kepala menengadah ke langit langit dengan kayu yang menghitam serta penuh jaring laba laba.

“Begitu ya … berapa kali kau kalah melawannya?” tanyaku mencoba membandingkan kekuatannya dengan Dito.

Dito tiba tiba malah tertawa lebar, kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil mengusap usap batang hidungnya. “Sekali.”

“Hah?!”

“Iya … cumang sekali, tapi rasanya … kayak kalah berantem untuk seumur hidup,” ungkap Dito yang terus menerus mengusap hidungnya.

“Jadi, itu bekasnya?”

“Ya … bener bener pukulan yang gila, kalo ngebayangin kayaknya masih kerasa,” sambung Dito yang akhirnya menjelaskan asal mula luka sobek yang berada tepat diatas batang hidungnya diantara kedua matanya yang lesu itu.

“Cumang sekali? berapa kali lu berantem bos?”

“Ya … berkali kali, cumang saya selama ini gak pernah tau kalo dia diam diam punya kekuatan yang segila itu. Besoknya saya langsung pensiun dari itu klub gebleg,” hembus Dito mengakhiri rasa kesalnya.

“Sekuat itu? apa dia punya semacam jurus rahasia?” ato pas itu dia keluarin teknik bela dirinya?” kejar ku berusaha menggali lebih dalam dengan mata berapi api.

“Itu ya … gimana ya, bisa dibilang dia terdiam sejenak terus pas kita coba adu pukul buat penutupan gitu, tiba tiba saya udah geletak di atas ring dengan mata kelilipan tergenang darah.”

Sontak mataku melebar, terkejut mendengar penjelasannya itu. Selama ini bertarung namun baru kali ini ia kalah sampai segitunya. “Apa lu dendam bos?”

“Bah … kagak, dia bantuin saya bangun terus berobat, jahit dan semua balik normal kecuali balik lagi ke acara tutorial buat jus otak kayak begitu lagi.”

Tawaku sedikit tersembul keluar saat mendengar rasa sesalnya yang berkali ali ia ucapkan, benar benar tamparan yang sangat keras baginya. “Sampe segitunya bos,” lontarku sambil menahan tawa.

“Ya … bisa dibilang waktu itu saya beruntung sih. Dipikir pikir kalo kegiatan gitu masih lanjut pasti ini isi otak bakalan cair udah mental kemana mana, anggep aja penghabisan,” jelas Dito.

“Ok bos kalo gitu, gak ada lagi kan info lain, Brama?” tanyaku berusaha mengganti objek.

Dito hanya menggeleng kecil sambil menggigit kedua bibirnya. “Kalo dia … bahkan Gading aja sampe gak pernah berani cerita.”

Jadi semua info ini didapatkan langsung dari Gading, aku yakin kalau memang tidak diceritakan pada Dito. Info itu terlalu berharga baginya bahkan sampai ia tidak mau menceritakan itu ke sahabatnya sendiri. Sepertinya investigasi ku berakhir sampai sini. Besok akan kucoba cari beberapa rencana untuk membantu Dito.
Diubah oleh amriakhsan
0 0
0
Post ini telah dihapus
KERIS - SINGA HITAM
26-03-2023 11:31
Izin Gelar Tiker Paman....
0 0
0
KERIS - SINGA HITAM
26-03-2023 13:12
BAB III - Belati dengan Lekukan

i.


Sinar jingga sore hari yang menyengat dari arah barat datang memerahkan langit yang berawan, rasa hangat serta pekatnya cahaya yang datang membuatku pikiranku kosong seakan segala isinya tersedot keluar mengikuti teduhnya mentari yang indah. Debu debu yang berlarian bersama angin diatas tanah lapang yang bersinar dengan indahnya senja membawa beberapa butirnya masuk ke dalam jangka penciumanku yang tajam, merasakan aroma serta rasa tanah yang pekat.
Mataku yang berkaca kaca akan pedihnya kawan kawan dari debu yang datang membuatku kembali lagi ke isi otakku yang masih kusut. Sedari tadi tidak ada hentinya aku mengambil serta mengulik info yang dapat ku olah dan kukembangkan dari apa yang kemarin serta tadi siang Dito katakan. Memang banyak sekali ikatan yang belum tersimpulkan serta beberapa benang yang masih terurai dengan jarak yang jauh membuatku semakin kesulitan harus menentukan bagian mana yang harus disusun.
Lidah serta mulut yang pahit semakin membuat pikiranku gundah dan mulia kehilangan fokusnya. Dalam hal ini kuputuskan untuk mengambil sebuah studi yang pernah kubaca tentang sesuatu untuk memulai semua permasalahan ini yaitu dengan berdiri serta merilekskan badan kemudian mengambil langkah kecil; perlahan untuk menghilangkan tekanan yang ada dipikiranku saat ini. Kuharap dengan melakukan hal ini dapat membuat isi otakku jernih atau bahkan aku bisa mendapatkan sesuatu di jalan nanti yang dapat menginspirasiku.
Suara hentakan sandal karet yang berirama menepak nepak telapak kakiku yang diiringi bunyi gesekan pasir yang sebagian dari mereka masuk ke sela sela kakiku yang telanjang. Berjalan tanpa arah; tak menentu yang membuat sebuah putaran tidak beraturan di atas lapangan yang kosong. Menatap ke bawah ke setiap butiran serta bongkahan tanah yang menggumpal dan mengeras di atas gersangnya lapangan ini.
Beberapa detik kemudian melakukan hal tidak jelas tersebut mendatangkanku sebuah hal yang akhirnya kulupakan sejak tadi siang. Saat dimana Dito menatap hutan jati yang penuh dengan rerumputan dan semak semak yang tinggi menjulang. Kemudian tanpa berpikir panjang langsung saja kuputuskan untuk berjalan ke arah tempat itu dengan membawa segala rasa penasaranku yang telah muncul kembali.
Sebuah perjalanan yang singkat itu akhirnya membawaku tiba di hadapan sebuah semak yang tingginya hampir sekepalaku. Pelan pelan wajahku mendekat serta memperhatikan dedaunan yang lembut dengan tulang tulangnya yang nampak jelas berulir ke ujung daunnya yang sama lembutnya dipenuhi dengan bulu bulu tajam kecil yang bening layaknya serpihan kaca yang tersusun rapi melindungi daun berharga tersebut.
Dalam hal ini akhirnya aku berhasil membuktikan teori yang kupikirkan barusan, namun kali ini otakku malah dipenuhi dengan hal hal yang sama sekali tidak lah penting. Namun entah mengapa dunia sangatlah terasa lambat sekali saat aku melakukan hal semacam ini, apakah memang hal ini sama sekali tidak berguna atau memang hanya pikiranku yang berkata seperti itu.
Sebuah arus yang tenang kemudian tiba dan menghanyutkan pikiranku yang teringat akan kata kata ayahku dahulu. Saat ia masih banyak bicara dengan diriku dan memenuhi isi tengkorak ini dengan omong kosong serta kata kata yang tidak bergunanya tersebut. Sebuah hal kecil yang kau lihat terkadang itu adalah hal yang terbesar yang ada pada hidupmu. Tidak pernah terpikir kalau bualan itu akhirnya muncul kembali di tempat ini. Walau aku menolak hampir semua yang ia katakan, namun bekas dan dampaknya masih terasa di kepalaku.
Tanpa sadar tanganku tiba tiba terangkat dengan sendirinya dan mulai meraih benda mungil tersebut, mengelusnya dengan seksama; pelan pelan mengikuti alurnya sampai ke ujungnya, menghirup aroma pahit yang membuat kelopak mataku terpaksa harus meminjam lebih dalam lagi tuk menghilangkan rasanya.
Ketenangan sesaat yang kudapat tiba tiba hilang saat sebuah suara gesekan dedaunan muncul tepat dari arah dalam hutan yang gelap. Mataku melebar menoleh ke arah tersebut dan mencari cari asal suara tersebut tiba. Dengan cepat leherku memaksa kepala ini berpindah pindah dengan cepat; takut akan kehilangan mangsanya yang takut untuk menunjukan batang hidungnya tersebut.
Kemudian dengan tanpa banyak akal kuputuskan untuk menyingkir kan semak semak yang berada di hadapanku dan melangkah masuk ke dalam hutan. Langkah kaki perlahan yang sudah kusiapkan untuk menginjak licinnya dedaunan tidak disangka malah disambut dengan perasaan keras yang datang dari kokohnya pijakan tanah yang membawa jalurnya masuk ke dalam sana. Sebuah jalan kecil akhirnya nampak setelah tersembunyi di balik semak semak ini.
Langkah kakiku yang telah masuk tidak kutarik mundur dan membawa pasangannya masuk ke dalam pekatnya hutan mengikuti aliran jalan setapak yang berantakan tidak beraturan menembus pilar pilar kayu kurus yang kokoh menjulang tinggi.
Perlahan lahan kakiku menyusuri jalan yang tidak tahu ujungnya kemana, membuat kakiku gatal dengan gesekan gesekan dari rerumputan kecil yang berusaha untuk memberi salam hangat dari mereka. Tidak lupa nyamuk yang mulai menyambar satu persatu memutar menari nari diatas kepalaku. Tidak jarang dari mereka tidak pakai permulaan dan langsung hinggap di bagian tubuhku yang langsung saja kusambut dengan pukulan cepat yang mematikan.
Jumlah nyamuk yang datang membuatku mulai menyerah dan menarik kembali langkah mantapku yang gagal dieksekusi. Namun suara itu datang kembali layaknya memancingku untuk terus masuk ke dalam. Saat itu kuputuskan jugan untuk mengambil umpan tersebut dan menyambarnya dengan cepat. Berlari tepat ke arah suara itu datang tanpa memperdulikan akan resiko kaki yang gatal, sebuah lubang dalam atau bahkan ular yang mungkin saja terinjak.
Pengejaranku yang liar itu kemudian berakhir ketika mataku menatap sebuah objek dengan warna mencolok diantara hijaunya tempat ini. Cepat saja ku berlari ke arah tersebut dan mengejarnya layaknya orang gila.
Adrenalin terpacu, jantung berdebar debar dan otak kosong mulai melakukan hal yang tidak waras akhirnya tiba dan berdiri di hadapan asal bunyi tersebut. Seorang dengan baju lusuh serta bercelana yang hanya sampai ke lutut, tidak menoleh ke keributan yang kubuat dan hanya menampilkan punggungnya yang nampak dengan jelas tulang belakangnya yang membungkus duri duri tajam tersebut agar tidak menusuk orang. Kuda kuda serta tinju di tangan kananku sudah siap memberikan salam pada orang ini saat dia berbalik.

“Gila bener,” ucap orang itu dengan suara seraknya. Orang itu kemudian memalingkan wajahnya yang berkerut serta tatapan yang teduh ke hadapanku. Mbah Saman dengan sebilah golok di tangannya dengan tenangnya menatap ke arahku tanpa rasa takut akan dihajarnya meski kata kata yang baru saja ia lontarkan.

Seketika kuturunkan semua persiapanku dan niatku saat menatap wajahnya yang menatap aneh ke arahku. Perasaan malu serta panik kemudian meluap memaksa mataku untuk melempar pandangannya ke daun daun yang ada di atas pohon sambil menaikan semua otot otot pipiku untuk menahan momen konyol ini.

“Ngapain mbah?” tanyaku berusaha meredakan suasana.

“Ngapain - ngapain … lo yang ngapain?!” pekik Mbah dengan bibirnya yang sambil monyong.

“Maaf mbah … dikira siapa gitu,” jawabku sambil terkekeh kecil.

“Untung belum nonjok orang, kalo orang lain bisa bahaya itu,” imbuhnya.

“Iya iya, maaf mbah, tahu kan situasinya lagi gimana,” jawabku lirih dengan mata memutar sambil mencoba mencari cari alasan lain.

“Iya juga, ya udah selagi disini tolong bantuin bawain kayu ke dapur,” ucap mbah sambil menunjuk ke arah batang dan ranting kayu yang ia sudah ikat menggulung dengan sebuah tali bambu.

“Hadeh … ada ada aja,” keluhku.

“Lu tadi yang ada ada aja, buruan angkat!”

Dengan lemas tanganku terangkat perlahan memberi hormat dengan tangan yang tidak sempurna di atas alis. “Siap ….”

Kuangkat kayu tersebut kemudian kugendong di bahuku, membawanya berjalan membuntuti Mbah yang juga berjalan perlahan ke arah rumah. Langkahnya yang lambat entah mengapa sepertinya ia sengaja lakukan untuk memberi hukuman padaku atas tindakan nekat yang baru saja kulakukan. Walau bisa dimaklumi namun ia juga harusnya tahu kenapa aku sampai bisa bertindak seperti tadi. Tidak ada yang tahu kapan musuh akan datang ke tempat ini dan menyerang kami selagi kami lengah.

“Sepertinya kau lupa ya?” ucap mbah tanpa ada konteks sama sekali.

Sebentar ku berpikir dan mengolah apa yang ia maksud, kuyakin tidak ada satu lagi gulungan kayu yang tertinggal di belakang. “Lupa apaan mbah?” tanyaku menanyakan kejelasannya darinya.

“Wah beneran lupa berarti,” jawabnya.

Alisku seketika menukik mendengar balasannya yang tidak memberikan kejelasan tersebut. “Apaanya mbah?” tanyaku pelan berusaha bersabar.


“Ya … coba ingat pas ke sini waktu itu ngapain?” jawab mbah berusaha memancing ingatanku untuk keluar.

“Waktu itu kesini bukannya ada urusan ya sama Dito?”

“Haah … “

Aku bergumam sebentar sambil mencoba coba mengingat kembali dan mencari tahu apa yang ia maksud. Ku ketuk ketuk kepalaku dengan sisa tanganku yang menganggur dan mencoba mengencerkan isinya agar semua ingatannya mengalir. Namun usaha yang kulakukan sia sia karena tidak ada sama sekali petunjuk yang keluar darinya.

“Nyerah mbah, apaan dah.”

“Alah, baru sebentar coba tebak,” ledek mbah sambil yang semakin memperlambat langkahnya.

Kupejamkan mataku berkali kali, gelap terang yang kubuat sama sekali tidak membuahkan hasil dan tetap membiarkan sis kepalaku kosong tanpa kejelasan dari yang ia maksud.
Kemudian ku coba ingat kembali sejak awal dimana kami datang kemari. Sebuah alasan yang entah mengapa aku sepertinya lenyap dari ingatanku. Kami datang untuk membuat sesuatu, sebuah hal yang entah mengapa jauh jauh kami datang kemari untuk melakukannya. Lalu kuingat kami menginap beberapa hari di hotel dan saat itu Dito pergi dan mengalami kecelakaan, ia selamat namun ida bilang kalau ada yang mencoba untuk membunuhnya.
Setelah itu ia menjelaskan beberapa hal aneh seperti tentara buatan, lalu kami juga harus melindungi beberapa orang dan akhirnya kami tidak sanggup melawannya, kalah lalu datang kemari. Sial aku benar benar tidak ingat asma sekali waktu itu kami datang kemari tujuannya ngapain.

“Sudah menyerah?” ledeknya.

Kuhembuskan nafasku dengan kencang saat ia menanyakan hal itu. “Iya mbah.”

“Hehehe … bisa begitu ya bapak sama anak,” lontar mbah menyinggung masalah ayahku.

“Emang apanya yang sama mbah?” tanyaku penasaran sambil sedikit menggeser kepalaku ke arah wajahnya yang sedikit berseringai.

“Ya … sama sama lupaan.”

“Lupaan? maksudnya?” kejarku yang makin penasaran dengan maksudnya.

“Alah … “ Mbah kemudian berhenti lalu membalikan badannya ke arahku, ia kemudian menunjuk ke arah tanganku dan mencongkel telunjuknya ke atas, menyuruhku untuk mengangkatnya.

“Nih!” sebuah benda dari tangannya menyambar mengguncangkan telapak tanganku, menaruhnya tepat di atasnya. Kemudian mataku melebar saat mengetahui benda yang baru saja ia berikan padaku, sebuah sarung pisau yang dengan sebuah gagang tertempel menyembunyikan isi hartanya yang tidak bisa sama sekali kuingat akhirnya muncul begitu saja di atas tangan ini.
0 0
0
KERIS - SINGA HITAM
26-03-2023 13:13
iii.

Biru, layaknya sebuah langit yang bersih di tengah cerahnya mentari tanpa adanya awan atau burung yang mengangkasa bebas. Begitulah sebuah keris ini tergambarkan dengan warnanya yang tidak biasa. Begitu bersihnya serta padatnya benda berwarna nila. Rasa dingin serta bau besi yang bercampur dengan bensin yang menyengat membuatku terkejut sampai memundurkan kepalaku.

“Apa ini, bensin?” tanyaku memberi tatapan heran pada Mbah.

“Bensin? oh itu ya … jujur aja gak tahu kenapa baunya bisa begitu baunya,” jawabnya sambil mengendurkan bibirnya yang keriput.

Mataku kembali fokus ke bilah pisau yang sangat menarik ini. Lekukan lekukan yang seimbang serta rasa tajam yang terasa mengiris jemariku saat menyentuhnya membuatku takjub dengan kemampuan benda ini saat kugunakan untuk bertarung nantinya. Aku yakin dengan ini aku bisa menusuk pelindung keras milik ‘Si topeng’ itu. Aliran yang serasi dari awal sampai ujung tidak membuatku kehilangan pandangannya pada sebuah ukiran aneh pada bagian pangkal belati ini yang sejajar berbaris dengan jempolku. Sebuah ukiran seperti kepala macan dengan taringnya yang menganga siap menerkam mangsanya.

“Kucing apa ini?” tanyaku sambil menunjuk ke arah wajah kecil di benda ini.

“Kucing?!” Mbah lalu tertawa sambil menggelengkan kepalanya. “Itu Harimau jawa.”

Sesaat mataku menengadah ke atas menatap kosong tirai daun daunan yang lebar yang tertembus mentari yang silau mencoba mengingat sesuatu dari balik sana. Benar saja tidak sampai sedetik kemudian dari kepalaku muncul sesuatu yang memang belum lama ini terjadi.

“Macan yang waktu itu pernah punah ya?” tanyaku berusaha memastikan.

Mbah mengangguk dengan seringai kecil di bibirnya. “Ya … memang teknologi itu banyak sisi positifnya juga.”

“Emangnya sisi negatif nya apaan mbah?”

“Anak gua jadi pada ngerantau semua.”

Hembusan nafasku sampai terlontar mendengar rasa sesalnya itu. Terkadang aku kasihan melihatnya kehilangan, dia pasti merasa sangat kesal.

“Seenggaknya mereka sukses kan disana?” ucapku mencoba meringankan gundahnya.

“Mana tau. Ngirim duit aja nggak,” gerundelnya.

“Walah, itu namanya mah kabur,” balasku yang malah ikut ikut terbawa kesal dirinya.

Mulut kering itu menghembus semua nafas dengan kencangnya sambil menurunkan bahu lusunya. “Emang sialan bocah bocah sekarang.”

Langkah kakiku kemudian terhenti bersamaan dengan pijakan kakek tua itu. Sejenak mengamati sekelilingnya sambil membasahi bibir gersangnya itu. Suara angin kencang datang menggesek setiap batang pohon serta mengadu dedaunan yang damai, menabrak mereka semua secara bersamaan membuat suara harmoni di dalam hutan.

“Cuaca yang bagus,” ujar Mbah.

“Sepertinya, emangnya ada apa mbah?”

“Ada yang ingin tak coba.”

Mendengar jawaban yang tidak nyambung itu membuatku harus menggeser sedikit kepalaku ke samping untuk mencerna maksudnya. Kemudian mataku memperhatikan dirinya yang entah mengapa memasang bahunya serta membuat kepalan di tangannya. Apa dia sedang melakukan peregangan?.

“Apa kau mau mengajari sesuatu?” tanyaku santai.

“Mungkin, tapi kita coba samakan skor waktu itu dulu,” jawabnya sambil membalikan badannya ke arahku dengan badannya layunya yang ia sudah keraskan.

Bibirku sampai mingkem, kaget mengetahui maksudnya untuk bertarung melawanku. Buru buru satu tanganku langsung mencoba meraih kawannya yang kemudian kucoba pijat pijat kecil sambil memberikan wajah masam padanya.

“Kayaknya gak bisa dah … ini tangan masih sakit bekas kemarin belum sembuh,” ucapku berusaha menghindar.

Mbah menggeleng pelan. “Kalau memang tangannya masih sakit terus kenapa tadi bisa hampir mukul orang?”

“Insting, mungkin,” jawabku kehabisan kata kata.

Sekejap kaki kecil itu langsung menancap ke tanah dengan sandal menggesek daun daunan yang mati itu dan menerbangkannya ke udara bersama kepalan tangan yang sudah terpasang tepat di depan dadanya. Kerutan wajahnya hampir seperti tidak lagi nampak dengan menyisakan kerutan di dahinya yang melengkung menandakan tidak ada lagi waktunya bercanda baginya.
Aku hanya berdiri tegap melihatnya berusaha menantangku, jujur aku sama sekali tidak siap untuk hal ini dan tidak tahu kalau ia akan melakukan pertarungan ini sekali lagi. Kugigit kedua bibirku dan mencoba untuk menarik kepalan tanganku ke angkasa dan perlahan menurunkannya lalu berhenti tepat di hadapan wajahku; tanpa kuda kuda; tanpa nafas yang menggebu gebu.

“Segitu aja?” tanya Mbah sambil mengangkat dagunya.

“Ah … saya masih belum siap sih, tapi … ya kita coba dulu.”

Tanpa menunggu, seketika itu juga pukulan kecil itu melayang tepat ke arah wajahku yang tentu saja langsung kucoba tangkis menggunakan sebelah tanganku. kepalan tangan lusu yang entah mengapa sekarang terlihat tegar di hadapanku dengan segala buku buku jarinya yang gemuk. Bergetar hebat; bukan main saat yang terpental bukannya pukulan miliknya melainkan tanganku yang malah meninju menghantam diriku sendiri yang mungkin saja kalau kedipanku tidak lebih cepat dapat membuat bola mataku berair hingga malam hari. Rasa perih yang masih melekat di wajahku tidak membuat gentar dan semakin bersiap menghadapi serangannya yang selanjutnya. Tanpa menunggu atau memberi waktu kasihan padaku serangan itu kemudian datang lagi dan mencoba masuk ke dalam perutku. Kali ini tanganku berhasil menangkapnya walau tetap saja sebagian dari pukulan itu tetap menyentuh pakaianku dan menembusnya, membuatku langsung ingin muntah saat itu juga.
Ia lalu berusaha menarik tangannya itu dengan memukul bagian otot lenganku dengan tapaknya, membuat guncangan yang berhasil memaksaku menghilangkan cengkraman barusan. Kaki kecil yang mulai nampak besar itu kemudian dengan cepat melangkah mundur menjauh dariku. Memberikan waktu untuk bernafas serta memijat lukaku yang kali ini bukan lagi sebuah bualan.

Bunyi desisan masuk melewati rongga kecil di bibirku yang sama sama ikut merasakan rasa sakit yang teramat sangat. Mataku terpejam dalam dalam serta mengucur air mata di bagian yang terkena pukulan. Tidak kusangka akan secepat ini aku kalah dengan ekspresi yang memalukan.

“Salahmu sendiri tidak serius,” ujar Mbah berusaha menumpahkan salahnya padaku.

Aku tidak menjawabnya dan hanya menahan rasa sakit yang masih terus kucoba salurkan ke seluruh tubuhku dan membiarkannya hilang dengan sendirinya.

“Apa segini saja atau lanjut lagi?” tanyanya kembali menyiapkan pukulannya itu lagi di depan wajahnya.

Aku menggeleng dengan cepat mendengarnya mencoba ingin mengajarku untuk kedua kalinya.

“Udah ya berarti, cepet banget.”

Perlahan ku atur nafasku kembali sambil mencoba mengembalikan wajahku yang masam ke bentuk normalnya walau dengan air mata yang masih sedikit mengalir.

“Cara nafasmu itu juga salah,” cetusnya.

Aku kemudian menatapnya dan melihat ke arah wajahnya yang masih mempertahankan dagu berkerut nya yang tidak mau turun. kakiku yang lemah mulai mencoba bangkit dan berdiri tegak walau masih terguncang.

“Apa emang biasa nunggu musuh nyerang?”

Kuusap air mataku sambil mengedip ngedipkan mataku yang masih perih. “Ya … saya emang terkadang masih bingung kalau mulai serangan yang tepat harus gimana.”

Mbah bergumam. “Gak belajar dari lawan pas nyerang?”

“Lawan saya selama ini cumang Ardi, satu orang tukang pukul sama manusia topeng itu,” jawabku sambil mengeluarkan seluruh nafas di paru paruku dan dengan susah payah kembali menghirupnya lagi. “Satu lagi ada sih, cumang itu gak penting,” pungkasku.

“Iya kah? kalo begitu salah Ardi yang ngajarinnya kurang bener.”

“Kalau itu saya gak tahu, tapi saya kira ajarannya gak salah kok,” jawabku berusaha membela ‘guruku’.

“Buktinya?”

Aku terkekeh kecil. “Buktinya, saya sampai sekarang masih hidup.”

“Mungkin kau masih hidup bukan karena ‘ajaran’ nya tapi karena ‘bantuan’ nya,” timpalnya.

Sejenak aku kembali mengingat ingat apa yang ia maksud, ada benarnya juga saat itu aku mungkin sudah tewas kalau bukan karena Ardi yang membantuku, namun juga karenanya aku bisa sampai sejauh ini bukan sekedar bantuannya, melainkan ajarannya juga. Aku tidak suka saat ia merendahkan Ardi begitu, namun bukan berarti ia salah, faktanya memang aku terus dibantu membuatku tidak bisa membantah kata katanya.

“Kalau begitu mau gimana lagi, saya tidak mungkin bisa meminta orang kayak Dito ngajarin saya, bukan gitu?” jawabku berusaha memberi alasan logis.

“Yasudah saya yang ajarin,” balasnya cepat.

“Hah?! apaan?” tanyaku sambil menyipitkan mata.

“Ya … selama kalian disini; tidak keberatan, lagian juga pasti nanti masih banyak musuh yang mesti dilawan bukan?” sambungnya sambil menggeser lehernya ke samping.

“Cumang satu kok musuhnya, ya tapi taudah anak buahnya banyak juga,” balasku membenarkan kata katanya.

“Yasudah kalau begitu malah lebih gampang bukan.”

“Tapi latihan macam apa lagi?”

“Ya kan sudah lihat sendiri bukan tadi pukulannya kayak gimana rasanya.”

Kugaruk kecil jambang kepalaku sambil terpejam saat mendengar jawaban sombongnya itu. “Sebenernya saya tadi gak siap, itu aja sih,” jawabku memberikan alasan konyol.

Aku tahu memang adi aku sama sekali tidak siap, namun harusnya secara logis kau bisa menangkis pukulan atau bahkan menangkap tangannya itu, namun kekuatan yang dilancarkannya sarta kekokohan dari setiap tangannya itu membuatku yakin ada sesuatu teknik yang digunakan pak tua ini untuk melakukan serangan itu.

“Alesan aja. Begini begini waktu itu ayahmu tidak menolak loh saat ditawarin.”

Aku sontak terkejut saat ia menyebutkan tentang ayahku. “Memangnya ayah saya latihan apa disini?”

“Waktu itu kan kita semua masih muda, jadi ya latihan fisik, tapi kalau sekarang saya kurang tahu bakalan bisa lagi ato gak.”

“Kalo begitu sama aja boong dong” balasku kecewa.

Mbah kemudian mengacungkan jarinya ke udara. “Umur bukan berarti penghalang, kan? kita coba dulu.”

Melihat wajahnya yang terseringai membuatku yakin ada sesuatu yang ia akan tunjukan padaku nanti, namun aku tidak tahu apakah itu siksaan atau sesuatu yang baru yang dapat kupelajari. Namun seperti katanya tadi, tidak ada salahnya mencoba, lagi pula kami butuh segala jenis bantuan yang kami bisa dapatkan saat ini.

“Oke mbah, tapi seenggaknya kasih tahu dulu apa yang bakal dipelajari,” balasku mengiyakan tawarannya.

“Ya … paling ketahanan sama pernafasan,” jawabnya sambil membalikan badan dan kembali berjalan ke arah rumah. aku pun mengikutinya dengan rasa sedikit kecewa saat kutahu kalau aku hanya bakalan disiksa lagi oleh orang ini.

“Tapi bukan berarti itu doang ya, ada jurus serta teknik menyerang yang pasti,” sambungnya.

Sekali lagi orang tua ini mengerjaiku dengan kata katanya, semoga saja jurus serta teknik yang ia berikan dapat kugunakan nantinya.

“Oh iya,” Mbah tiba tiba memberhentikan langkahnya. “Waktu itu ayahmu ngajarin beberapa teknik ke saya, baru inget. Pasti berguna bukan?”

“Tentu saja,” balasku mengiyakan kata katanya.

Aku mulai teringat kembali banyak hal tentang ayahku. Sangat jarang sekali ia memberikan sesuatu padaku namun saat ia memberikan hal tersebut tidak pernah hilang ataupun sia sia, aku yakin teknik ini pasti akan sangat berguna untukku nanti.
0 0
0
KERIS - SINGA HITAM
26-03-2023 13:15
BAB IV - Kunci

i.

Sudah seminggu sejak kedatangan kami kemari dengan lelah serta payah dan sejak seminggu itu pula kami hanya menghabiskan waktu kami di sini untuk bersembunyi, menunggu sesuatu yang kami sendiri tidak tahu entah kapan akan muncul dari kepala Dito. Satu minggu itu pula kami tahu musuh kami tidak pasti akan mungkin tinggal diam; duduk dan menunggu kail pancingnya tergigit. Sepekan itu pula aku melatih diriku bersama Mbah, mengetahui segala jurus yang bisa kugunakan dan yang setiap gerakan yang ada di kepalanya.
Kali pertama bagiku untuk sekian tahunnya berlatih dengan orang selain Ardi. Banyak sekali perbedaan yang bisa kurasakan mulai dari interaksi hingga bagaimana caranya diriku beradaptasi dengan orang yang jauh lebih tua dariku. Walau dengan umur yang tidak jaya lagi, namun entah mengapa aku bisa merasakan semangat yang berusaha ia alirkan padaku.
Jujur saja aku kesulitan dalam menuliskan bagaimana diriku menerima setiap teknik yang ia coba berikan. Mulai dari pernafasan yang dalam, mengarah pada perutku sebagai pusatnya dan mengembangkannya sampai sebesar mungkin, lalu menyalurkan udara yang terhirup tadi ke seluruh tubuh sambil mengompresnya dengan setiap tekanan otot di tubuhku.
Berkali kali diriku mencoba; gagal dan setengah berhasil, namun tidak pernah menyentuh angka seratus dalam hal ini. Sangat wajar katanya bagi orang yang baru pertama kali melakukan hal ini untuk membuat kesalahan, terutama juga katanya dengan orang bernafas pendek sepertiku ini pasti akan menjadi hal yang semakin lama untuk dipelajari.
Di saat sesi latihan itu pula aku terkadang menjumpai Ardi yang hanya terdiam di hutan, berdiri menyendiri di atas batu besar yang sama seperti dirinya yang tidak mau ditemani oleh siapapun dan hanya menjulang tegak diantara rindangnya pepohonan. Menggenggam pedang panjangnya itu seakan tidak ada hari esok dengan erat.
Diri Ardi yang masih misterius bagiku terkadang membuatku ingin sekali mengulik kehidupan serta kelakuan normalnya, namun yang kudapat hanyalah misteri yang semakin menjadi jadi. Bagaimana matanya bisa menjadi buta, bagaimana ia bisa berjalan layaknya orang normal, atau bagaimana pula ia bisa bertarung denganku yang aku sendiri merasa sangatlah bodoh saat dibantu oleh orang yang tidak dapat melihat. Pertanyaan pertanyaan itu pula yang ingin sekali kutanyakan pada Ardi suatu saat nanti setelah masalah ini selesai.
Berbicara tentang masalah ini membuatku juga teringat sesuatu tentang orang tuaku. Apa yang akan terjadi jika mereka masih hidup, terutama ayahku. Aku tidak begitu yakin kalau masalah ini akan cepat kelar namun aku bisa merasakan kalau masalah ini pasti tidak akan menjadi serumit ini pastinya dengan otak cerdasnya. Teringat pernah sekali diriku bertanya tentang suatu hal mengenai arti kematian dan kehidupan yang ia dapat jawab dengan kompleks, saking kompleknya aku sendiri tidak begitu ingat apa yang ia katakan waktu itu padaku. Namun ada sebuah kata akta yang masih tergantung dikepalaku sampai saat ini, berkat itu pula aku yang walau tidak memilki tujuan serta pencapaian hidup seperti ini masih terus melangkah, walau entah kemana jalur serta arus yang membawaku sampai ke hilir aku pun tetap akan mengikutinya.
Mentari putih yang bersinar di langit diantara gemerlapnya bintang bintang serta planet mars yang cerah di sampingnya terbang tinggi diatas birunya laut. Angin dingin yang berusaha dilawan dengan segelas teh hangat di malam yang bising oleh fauna nokturnal yang dengan riangnya berkicau di berbagai arah. Lampu LED kuning yang tenang dan sejuk dipandang membuat suasana malam yang melelahkan setelah letihnya berlatih menjadi pemberat bagi kelopak mataku untuk tetap tegar di posisinya.
Disampingku ada Dito yang sayup sayup juga terus berusaha mempertahankan posnya dari gangguan ngantuk yang datang. Ingin sekali ku mengajaknya bicara tentang suatu hal namun kepalaku terus sibuk bicara sendiri dan tidak mau bersosialisasi dengan orang lain selain diriku. Sesekali itu juga aku berusaha menatap dirinya, berusaha mencari perhatian darinya yang mungkin siapa tahu punya sesuatu yang ingin dibicarakan denganku walau ku yakin dirinya pasti masih terus berada di dalam badai tak terhentikan di otaknya sendiri.
Perlahan kuangkat kedua tanganku dan memijat mijat wajahku yang kusut keatas dan kebawah,berusaha merapikannya ke posisi semula selama hampir 30 detik sambil memikirkan sebuah topik yang hangat selain masalah kami.

“Apa yang lu pikirin?” sahut Dito tiba tiba dengan suaranya yang berat.

Tanganku yang keras kemudian berhenti mengaduk adonan dan kembali ke posisinya semula sambil mataku melirik ke arahnya dengan alis tertegun. “Ah … gak ada sih bos, hehe,” ucapku dengan nada cempreng.

“Lu udah mikirin bagaimana kita keluar dari sini?”

Mendengar pertanyaan itu pun membuatku semakin panik, ingatan saat ia meminta pendapat waktu itu kemudian melintas tepat di depan kepalaku begitu saja. Aku seharusnya paling tahu dari semua orang pasti aku lah yang bisa diandalkan dalam situasi rumit seperti ini. Mendengar pertanyaanya sangatlah berat, DIto pasti sudah dalam keadaan tersangkut. Membuatku merasa sangat bodoh, membuatku menyerngitkan wajahku sambil membuat suara desisan dari sela sela bibirku.

“Itu ya ... “ jawabku sambil menggeleng geleng.

“Gak ada ya … saya juga tanya Nadya dan ya dia juga sama bingungnya, kalo begitu kita cumang bisa do’a biar Brama berhenti,” lirihnya.

Suara langkah perlahan datang melangkah dari dalam ruangan menuju ke arah teras tempat kami berada. Tubuh itu kemudian berhenti dan bersandar di kusen pintu dengan satu kakinya. Tangan yang kekar lihai memainkan rambutnya yang panjang itu memutar mutar pintaiannya dan mengikatnya dengan rapi ke belakang.

“Aku ... tidak ada pendapat,” cetus Ardi.

Dito kemudian dengan cepat menengok ke arah Ardi membawa alisnya yang meruncing menatapnya dengan tajam sambil mencucukan bibirnya. Tangannya yang besar bergetar getar kemudian ia kepalkan ke atas.

“Lu yakin gak?” tanya Dito.

Ardi lalu mengangguk perlahan sambil memberikan seringai kecilnya. “Ya … kau tau lah.”

“Tahu apaan?” tanya balik Dito.

“Ya … kita saja sama sekali tidak punya info tentang apa serta kegiatan apa yang Brama lakukan saat ini, kita gak bisa maju bukan kalau kita gak tahu musuh,” jelas Ardi santai sambil melipat tangannya.

“Ya … lu bener sih, tapi seenggaknya ada saran untuk gerakan kita untuk melangkah ke depan, kita gak bisa diem aja sambil nunggu musuh muncul gitu aja,” sambung Dito.

“Gimana lagi to … kau aja gak bisa dapet solusi, apalagi kita,” pungkas Ardi.

Dito lalu perlahan merunduk sambil menyemburkan nafasnya. Menaruh kembali tangannya ke atas meja dan kembali menatap kosong ke arah hutan yang gelap.
Beberapa detik kemudian ada getaran yang kencang dari tanganku. Notifikasi panggilan datang, dengan cepat kuraih earphoneku dan segera ku lihat kembali siapa orang yang meneleponku malam malam begini. Nama yang muncul di layar membuatku terkejut. Dewi … ada apa dia tiba tiba nelpon … Oh … iya … .

“Halllow … “sahutku.

“JAYA” teriak Dewi nyaring menusuk telingaku.

Mataku yang ikut merasa sakit kemudian berusaha terbuka perlahan kembali. “Ada apa dew?” tanyaku pelan.

“ADA APA?! ISHHH.”

Kali ini jawabannya yang makin nyaring memaksa kedua mataku untuk tertutup. “Pelan pelan dew, emang ada apaan sih?” tanyaku mulai kesal.

“Kamu tuh yang ada apaan.”

“Hah?”

“Hah? ish kesel banget, itu di berita kamu kenapa?!”

Seketika mataku terbuka lebar, terasa tekanan yang kuat menekannya dalam dalam membawa ke isi kepalaku yang sama kosongnya kali ini dengan pandanganku. Dengan bodohnya diriku lupa mengabari Dewi tentang masalah ini, sangat sulit kepalaku untuk memproses apa serta bagaimana cara menjelaskan hal komplek ini padanya. Ini juga sangat berat bagiku mengingat ia sama sekali tidak mengetahui apapun tentang masalah ini.

“Jay … Jaya,” sahutnya mengembalikanku ke perbincangan.

“Oh .. iyak iyak,” jawabku kaku.

“Aku gak tahu apa itu kamu ato bukan tapi aku hafal banget kalo itu jelas jelas nama kamu yang ada di berita. Aku sibuk seminggu terus kamu ilang gitu aja” ujarnya.

“Ah … gimana ya dew … jujur aku susah jelasinnya,” jawabku melirih.

“Memang apanya yang susah, kan tinggal ceritain aja,” jawab Dewi berusaha menenangkanku.

“Kalo aku ceritain …” kemudian aku terpikirkan sesuatu, bagaimana caranya menjelaskan semua ini.

Aku sudah berbohong padanya selama ini, mulai dari setelah lulus; pekerjaan hingga sampai sekarang. Tidak kusangka ternyata akan begini buruknya memiliki dua hidup sekaligus. Dalam benakku juga tidak ada satupun alasan untuk membaca ataupun menceritakan hal ini padanya, aku tidak ingin lebih banyak lagi orang yang terlibat, palagi orang yang kusayangi.

“Jaya … kalau emang berat diceritain kamu bisa pelan pelan kok, aku tetap dengerin kamu apapun itu yang kamu bilang,” ujar Dewi dengan lembut.

“Iya Jaya … kenapa tidak diceritakan saja,” ucap seorang pria tiba tiba masuk ke percakapan kami.

Mataku melotot lebar, rasa panik dengan dentuman jantung yang berdebar debar benar benar terasa ingin menjebol dadaku dan keluar dari dalamnya. Entah mengapa aku bisa mengingat suara ini. Bunyi yang lembut, dengan rasa wibawa yang ia bawa serta cara bicaranya yang elegan. Ini pasti … Brama.

0 0
0
KERIS - SINGA HITAM
26-03-2023 13:16
ii.

Music 2

Tanganku mendadak kaku, rasa licin serta keringat yang mulai mengalir membasahi kepalan tanganku yang entah mengapa kuat kuat menggenggam udara kosong. Berseteru dengan diriku sendiri yang benar benar mendapatkan sebuah kejutan yang jadi hal terakhir yang kuharapkan. Pertanyaan demi pertanyaan terus muncul di benakku saat itu, mengalirkan seluruh darah ke otak dan menekannya tiap tiap uratnya kuat kuat, menyisakan tubuhku yang kaku serta ketakutan berdiri kaku.
Seketika entah dari mana datangnya sebuah tangan yang besar berhadapan langsung ke depan wajahku, menamparku dengan keras sampai sampai memaksa leherku untuk bergerak ke arah yang dituju oleh pukulan itu.
Penglihatanku yang gelap perlahan lahan mendapatkan sinarnya kembali. Cahaya kuning dari lampu yang hangat serta sekalibat serangga serangga kecil yang berterbangan kesana kemari tanpa arah.

“Heh!” sahut seseorang dari arah sebelah kananku.

Siapa itu?, kutoleh ke arah datangnya panggilan tersebut, suara yang familiar itu datang, namun dengan intonasi yang tidak biasanya.

“Jaya!” datang lagi panggilan itu, kali ini dengan menggenggam keras pundakku, menekannya kuat kuat dengan menusukan jempolnya berusaha menembus tulang bahuku.

Kemudian kepalaku bergoyang ke berbagai arah, bergeleng geleng dan menemukan bahwa wajah kotak Ardi kini sudah ada berada tepat di hadapanku.

“Keraskan suaranya!”

“Hah?!”

“Cepat!”

“Ya, Jaya … ikuti perintah Ardi,” sambung sebuah suara dari pria tadi.

Seketika aku teringat kembali, tentang perbincangan dengan Dewi, lalu Brama datang, entah berapa lama aku kehilangan kesadaran namun itu tidak penting lagi untuk dipikirkan saat ini. Dengan cepat kuraih gelang di tanganku dan kemudian membesarkan suaranya, lalu kutaruh earphoneku di atas meja besar itu agar semua suara dapat masuk dengan jelas.

“Bicaralah sekarang! Brama.”

Dito yang sejak tadi terdiam kemudian perlahan menoleh dengan tajam tepat ke arahku dengan matanya yang terbuka lebar lebar. Ardi yang membantuku menyadarkan diri juga kemudian pergi melangkah ke arah depan teras, mengacungkan pedangnya ke arah lapangan dengan memasang kuda kuda. Sontak Dito yang terpicu oleh Ardi kemudian berdiri tegak sambil memampangkan tinjunya ke udara. Tidak ketinggalan diriku yang ikut bersiap menghadapi serangan yang mungkin saja datang melahap kami semua secara tiba tiba seperti waktu itu.

“Brama?!” seru Dito menyebut namanya.

“Ya,” jawab Brama singkat.

Dito terkekeh panjang. “Akhirnya permainan petak umpet selesai juga, ya?”

“Dito … tidak sedikitpun berubah, bahkan setelah maut datang.”

“Jangan banyak omong lu! kita selesaikan sekarang juga, disini!” pekik Dito.

“Benar … diriku juga lelah bermain main terus begini,”

Mendengar kalimat tersebut membuat adrenalinku semakin terpacu, jantungku berdebar kencang dan mataku tidak ada hentinya mencari cari serta menatap ke berbagai arah berusaha menebak darimana datangnya serangan tiba tiba yang ia biasa lakukan.

“Tapi kali ini kau tidak perlu khawatir, tidak ada satupun mainanku yang ada di tempatmu saat ini,” ujar Brama dengan santai.

“Lu pikir saya percaya?”

Suara aliran air yang terjun menyucur kedalam sebuah gelas datang dari arah Brama dan perlahan suara percikan air yang mulai penuh itu kemudian berhenti.

“Yah … Diriku disini ingin sekali berbicara, itu saja,” jawab Brama sambil diikuti suara yang bergemuruh saat Brama sedang meminum minumannya tersebut.

“Jangan bohong dan cepat keluar!” erang Dito.

Suara hentakan beling kali ini datang dari arah Brama. “Kalau kau tidak percaya, mungkin Jaya bisa menjelaskannya,” ucap Brama pelan.

Seketika aku berpikir tentang apa yang dimaksud olehnya, tentang bagaimana ia bisa masuk ke dalam percakapan kami dan apa hubungannya dengan kedatangannya, kemudian sebuah benang merah yang terikat datang terpapar dihadapanku, membuatku menurunkan siagaku dan segala kuda kuda yang telah kubuat.

“Dia benar, dia mungkin bisa menyusup ke pembicaraan gua, tapi tidak ada jaminan dia bisa melacak lokasi keberadaan penelepon dengan enkripsi di jaman sekarang, kalaupun emang bisa, pasti butuh waktu lama.”

Mendengar konfirmasi dariku tak membuat Dito berhenti dari sikap was wasnya, begitu pula dengan Ardi. Semua masih tetap kukuh dengan pertahanan.

“Kalo begitu kita gak perlu khawatir,” ujar Dito sambil meneyembulkan seringai kecil namun dengan alisnya yang melengkung tinggi.

“Hebat, hebat sekali. Namun apa kau lupa akan kemampuan kuantum komputer?”

Mendengar nama itu membuat ku langsung menggigit kedua bibirku kuat kuat. “Gak, gua juga udah tahu pasti lu bakal nyebut itu.”

“Berarti sudah tahu kan, kalian sudah kalah saat ini.”

“Apa maksudnya?” tanya Dito.

“Maksudnya posisi kita saat ini memang sudah terlacak,” jawabku dengan alis menukik.

“Kata lu-”

“Ngak bilang kalau sama sekali gak kelacak.”

Dito kemudian menggigit angin dengan memunculkan gigi serinya, wajahnya pucat dengan keringat yang mulai mengalir dari keningnya secara perlahan menetes membasahi wajahnya.

“Jadi … sebenernya apa yang lu mau?” ucap Dito.

“Kemauan? mudah saja, datang kemari,” jawab Brama dengan tenang.

“Itu, aja?”

“Ya … mudah, kan?”

“Terus, saya mati?”

Brama terkekeh kecil dengan menyemburkan suara nafas yang kencang ke mikrofonnya. “Gak ... ngak … cumang datang, daku hanya … butuh sebuah ‘kunci’, lalu kau boleh pulang.”

Dito lalu memicingkan alisnya dan menatap aneh ke arah earphoneku. “Kunci apa? ya bodo amat lah. Tapi ini beneran? kita tidak sedang bercanda, lu tahu kan?”

“Kenapa harus bercanda di saat begini.”

Dito lalu merundukan kepalanya dan menghembuskan nafasnya yang berat, wajahnya kembali segar dan nampak sedikit senyuman muncul dari pipinya.

“Oke kala-”

“DITO!” teriak Ardi.

“Apa lagi sialan,” Geram Dito.

“Gak merasa aneh? dia mau sebuah ‘kunci’, si sialan ini mau sesuatu dan kau turutin? apapun itu aku tidak setuju, rencana; pasti ada rencana terselubung; kelakuannya juga sudah terlalu kelewatan,” jelas Ardi.

Sejenak aku teringat kembali dengan apa yang dimaksud dengan omongan Ardi tadi, aku sangat yakin kalau ini memang satu satunya tiket menuju kebebasan kami, namun aku sama sekali tidak setuju kalau tidak ada transparansi antara transaksi ini. Apalagi bernegosiasi dengan Brama saat ini juga adalah hal yang konyol mengingat perbuatannya pada kami.

“Gua juga gak setuju,” ujarku.

Dito memejamkan mata dalam dalam saat mendengar kata kataku yang ikut mengiyakan perkataan Ardi barusan. “Sebenernya ada apa ini, kenapa?” tanya Dito heran.

“Lu tahu sendiri kan? ada rencana yang lebih bahaya gua yakin kalo lu dateng ke sana,” jawabku.

“Baiklah kalau begitu, kalau semua menolak; mau bagaimana lagi. Diriku awalnya tidak suka dengan eskalasi situasi ini, namun alangkah lebih cepat jika urusan ini datang dengan sebuah sandra, bukan begitu?”

Dito lalu menukikan alisnya dengan raut wajahnya yang menampakan semua uratnya. “Lu apain Gading?!” geramya.

“Ya … sedikit eksperimen, tapi tidakkah akan jauh lebih cepat jikalau ada dua sandra,” sambung Brama.

Seketika bayangan wajah Dewi melayang di depan mataku. “Jangan berani bawa bawa-”

“Tidak, kalau kau lebih cepat sang ‘tuan putri’ pasti tidak akan terkena dampaknya, jadi cepatlah.”

Aku memandang Dito dengan wajah pucat serta alisku yang menekuk setelah mendengar ancamannya barusan. Dito lalu memalingkan wajahnya ke arah lain, membuang wajahnya dari hadapan kami dan memejamkan matanya dalam dalam sambil mengepalkan semua tinjunya. Lalu ia mengembalikan wajahnya ke tempat semula dengan perlahan sambil membawa seringai kecil di wajahnya.

“Sangat gak adil bukan, kau pakai sandra namun kami tidak bisa berbuat apa apa,” ujar Dito.

“Memang begitulah seharusnya tindakan seorang yang menang dan sikap orang yang kalah, tidak ada yang bisa mengatur.”

“Menang-Kalah, apa ini maksudnya kata kata dari orang yang menang tanpa mengepalkan tinjunya.”

Suara gebrakan meja datang dari arah Brama, lalu tawanya beratnya yang liar keluar dengan suara yang dalam serta menakutkan. “Jadi kau mau tantangan ya … Oke, kuladeni, tapi tidak ada garansi kalau kalian akan berakhir tragis di akhir,” Jelas Brama.

“Setuju,” jawab Dito mantap.

Brama tertawa lagi. “Baiklah kalau begitu sudah diputuskan, tantangan kuterima, saat kalian kembali ke kota, itu akan menjadi tanda bel sudah berbunyi, sebaiknya kalian siap. Selamat malam, dan maaf mengganggu waktunya saudari … maksudku ‘tuan putri’,” papar Brama menjelaskan tantangannya dan keluar dari panggilan kami.

Sedetik itu juga kuambil kembali earphoneku dan menaruhnya di tempat semula tanpa mematikan panggilanku dengan Dewi.

“Jaya, aku gak tahu apa itu tadi tapi tolong jelaskan ya semua, malam ini,” pinta Dewi dengan lembut, namun aku bisa mendengar ada rasa lirihan yang muncul darinya.

“Iya dew … maaf ya bikin kamu terlibat. Kututup dulu ya sebentar,”

“Iya,” balas Dewi mengakhri percakapan kami untuk sementara dan memfokuskan diriku dengan masalah di depanku saat ini.

“Jadi, gimana?” tanyaku pada Dito.

“Ya gak gimana gimana, kita datang dan hajar saja semuanya bukan begitu?” balas Dito dengan penuh keyakinan.

“Kenapa kau begitu optimis?” tanyaku menatap aneh Dito.

“Ya, kau lihat sendiri kan kualitas makhluk buatannya itu, tidak ada apa apanya dibandingkan dengan kekuatan kita,” jelas Dito.

“Ya … kita pasti bisa menang,” ungkap Ardi ikut meneguhkan diri kami.

Aku hanya terpejam sambil menundukan wajahku. Tidak kusangka akan jadi begini lagi akhirnya. Tidak ada pilihan lain selain melawan dan semoga saja dengan ini semua urusan kami akan kelar dan Brama mengalah dengan tindakannya ini.

“Baiklah, kalian berdua tutup mulut saja, jangan sampai Nadya dan yang lainnya tahu masalah ini. Saya tidak mau sampai dia ikut terlibat juga,” pungkas Dito mengakhiri diskusi serta perseteruan kami malam ini.
Diubah oleh amriakhsan
profile-picture
uken276 memberi reputasi
1 0
1
KERIS - SINGA HITAM
27-03-2023 13:11
BAB V - Pertaruhan

i.


Malam itu mungkin adalah malam terpanjang yang pernah kualami dalam hidupku sampai saat ini. Berjam jam diriku dihabiskan dengan bertubi tubi pertanyaan yang aku sempat kira tiada akhirnya dengan hari esok dimana aku mungkin akan kehilangan suaraku. Menjelaskan detail satu per satu pada Dewi membuatku hampir terasa mendapati sebuah ujian yang sangat berat, bukan pada pikiranku namun pada batinku sendiri yang melewati semua hal tersebut. Dari awal diriku bersama Dito dan menjelaskan tentang keluarga tidak jelas ini, percobaan pembunuhan dan bagaimana masalah ini menjadi sangat panjang. Aku berusaha tidak menutup nutupi lagi dan membuka pintu selebar lebarnya tentang semua fakta yang terjadi.
Perasaan gundahku ini semakin menjadi jadi karena telah menyeret Dewi ke dalam masalah ini membuatku semakin kehilangan arah dalam menentukan tujuanku. Aku sama sekali tidak paham apakah aku harus mengikuti strategi Dito yang mencoba langsung menyeruduk musuh atau malah kabur dan berusaha mengasingkan diri dari semua ini. Aku sangat tidak keberatan kalau diriku melakukan sikap pengecut seperti itu, namun Dewi; jangan sampai kebodohanku membuatnya benar benar celaka, aku sama sekali tidak menginginkan hal tersebut.
Walau begitu entah mengapa Dewi dapat dengan tenang menerima semua hal ini walau dengan cepat. Dalam wajah yang berbentuk hatinya yang cantik dan tenang perlahan menatapku dengan matanya yang cerah bagai mutiara. Ia bahkan menambahkan hatiku serta pikiranku yang kusut karena semua kegilaan ini. Semua kata kata lembutnya yang mengalir dari bibirnya yang merah membuatku luluh dan tenang. Setelah malam itu satu satunya yang kuinginkan setelahnya adalah mati di pangkuannya, hanya itu.
Adzan subuh berkumandang dari berbagai arah. Setelah sholat dan mengaji diriku cepat cepat membersihkan diri dan bersiap dengan segala persiapan yang ku bisa bawa, hanya pelindung sebuah jaket jeans hitam, dan hanya berbekal belati yang waktu itu kucuri dari si topeng.
Tidak ada hentinya tanganku bergetar, rasa gugup menyelimuti tubuhku yang membungkuk karena serasa seperti sedang menggendong sebuah gunung yang amat besar dipanggulanku. Wajahku pucat yang tidak beraturan, gelisah mengalir deras bersama keringat yang sedingin batu es. Mulutku yang tidak henti hentinya komat kamit mengucapkan segala doa yang pernah kupelajari. Walau pernah melawan mahluk ini, namun aku tidak paham mengapa saat ini aku sangat begitu ketakutan, entah darimana ada firasat buruk yang seperti badai besar sedang mengerubuniku.
Perlahan lahan diriku menutup pintu, berusaha tidak membuat kegaduhan dan membangunkan yang lainnya. Langkahku yang pelan berjalan keluar untuk segera pergi dari tempat ini. Di teras depan diriku disambut dengan Ardi yang sudah bersiap dengan pedang besar yang sudah terbungkus rapi dalam gulungan putih. Aku kaget melihatnya yang seperti orang habis berlibur dengan hanya mengenakan celana panjang dan baju pantai. Rambut panjangnya yang sudah terikat rapi ke belakang, duduk rapi di atas kursi besi dengan tangannya yang terlipat. Wajahnya berdiam diri dalam matanya yang terpejam, menatap ke arah hutan jati yang berwarna biru gelap dengan sedikit kabut melayang layang menjadi atapnya.

“Sudah siap?” tanya Ardi.

“I … Iya, dimana Dito?” balasku sambil menoleh mencarinya yang tidak terlihat sama sekali batang hidungnya itu.

“Dito … tunggu aja sebentar, nanti juga datang dia.”

Perlahan kuberjalan ke salah satu kursi di samping Ardi. Merebahkan punggungku yang berat serta mengempiskan perutku dengan menghembuskan seluruh napasku yang tertahan sejak tadi. Dengan seksama mataku melihat ke arah pandangan Ardi yang sepertinya sangat mirip dengan arah dimana Dito selalu menatap akhir akhir ini.

“Ada apa sebenernya sih disana?” tanyaku heran.

“Ada apa? aku juga gak tahu, mungkin kau bisa kasih tahu sebenernya ada apa disana,” ungkap Ardi sambil mengangkat bahunya sedikit.

Mataku langsung jadi setengah terpejam, menyadari pertanyaan bodoh yang kulayangkan pada orang yang bahkan tidak melihat.
Seketika kepalaku tersentak, kaget dengan getaran bumi yang tiba tiba saja muncul yang diikuti dengan suara dentuman yang amat keras, layaknya sebuah benda bedug yang dipukul menggunakan tongkat yang besar. Kepalaku menoleh kesana kemari mencari asal suara tersebut yang menggema ke segala arah. Namun Ardi yang santai dan terdiam di posisinya membuatku berhenti dan dengan cepat sadar kalau asal suara itu datang dari tempat wajahnya menghadap. Jikalau ia sama sekali tidak merespon suara tersebut itu berarti menandakan kalau ia tahu siapa yang membuat bunyi semacam itu atau memang ia sama sekali tidak perduli.
Suara dentuman yang seperti ledakan itu terus menerus muncul dengan tempo yang seirama, tidak lambat ataupun terlalu terlalu cepat. Aku mulai penasaran dengan orang yang membuat suara tersebut dan hendak menanyakannya pada Ardi. namun belum sampai mulutku terbuka suara itu lalu berhenti dari ritmenya, lalu muncul bunyi gemerisik dari balik semak semak yang menutupi sebuah jalan kecil di baliknya. Sebuah kepala mencuat dari balik semak semak itu. Dito muncul dari balik semak dengan sebilah kaos putih dengan celana panjang serta sebuah tas besar yang ia gemblok kebelakang hanya dengan satu tangannya.

“Jadi … semua sudah siap?” sahutnya dengan sedikit seringai mencuat di bibirnya sambil berjalan perlahan menghampiri kami berdua.

“Ya,” jawab Ardi singkat.

Aku hanya merunduk dan tidak berani mengungkapkan ketidaksetujuan kepada mereka berdua. Aku sangat paham kalau ini hanyalah pikiran negatifku belaka. Namun apa yang terjadi kalau firasatku benar, bagaimana kalau kita akan kalah.

“Kalau tidak ada, yaudah berangkat.”

Kami pun akhirnya berjalan melewati semak semak tempat Dito keluar tadi. Jalan yang kemarin aku dan Mbah lewati, menyusurinya perlahan layaknya kami sedang menikmati perjalanan ini. Langkahku yang gugup dan terburu buru dengan gelengan kepala yang tidak ada hentinya bergoyang sambil hati yang berteriak keras padaku kalau ini semua salah, ini berbahaya dan ini namanya bunuh diri. Semua hal negatif yang kutahan mulai meluap ke seluruh penjuru tubuhku.

“Ada apa, otak gak beres lagi?” tanya Ardi.

Langkahku terhenti saat pertanyaan itu mencuat. Ardi ikut menghentikan langkahnya dan Dito yang berjalan memimpin kami juga akhirnya berhenti setelah beberapa langkah.

Dito memalingkan wajahnya ke arah kami berdua. “Ada apaan?”

Kumpulan seluruh keberanianku dengan mengangkat wajahku ke hadapan Dito sambil menimbun seluruh rasa gundah ini dengan menggigit kedua bibirku kuat kuat. Nafasku yang berat kulepaskan semua sambil menggeleng kecil ke arah Dito.

“Apa yakin kita bisa menang?”

Dito langsung memundurkan kepalanya sedikit mendengar pertanyaanku itu. “Ya, yakin,” jawab Dito mantap.

“Apa Brama tidak akan langsung menembak atau membunuh kita saat kita sudah sampai disana?” kejarku.

“Oh … jadi lu pusing mikirin itu ya? ka-”

“Bukan itu doang, tapi apa lu yakin bos kalo lawan kita bukan yang kayak kemarin kemarin lagi, tapi lebih kuat.”

Dito memiringkan kepalanya. “Maksudnya?”

“Ya … lu liat sendiri kan bos pas waktu itu aja belum genap seminggu dia udah bisa upgrade ‘pasukan’ nya itu. Peningkatan sama kemampuan bertarung juga meningkat saat itu juga,” ungkapku dengan cepat.

Dito kemudian menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya perlahan sambil memejamkan matanya. “Ya … kalo masalah itu saya juga kepikiran terus dari kemarin, tapi kita gak ada cara lain lagi. Lu juga pada yang gak mau biarin saya ngorbanin diri kan.”

Mendengar jawaban darinya membuatku tersadar kalau pada dasarnya Dito memang ingin konflik ini segera berakhir, walau bahkan harus mengorbankan nyawanya sendiri.

“Tapi tenang aja. Kita ini sedang menantang Brama, tidak perlu khawatir kalau dia akan make cara curang kayak nembak ato segala macemnya lah,” ujar Dito.

“Emangnya kenapa?” tanya Ardi.

Dito lalu menengadahkan wajahnya ke atas. “Tantangan ini saya tujuin agar kita dapat bertarung adil lawan Brama, kalo emang dia gak muncul pun juga seenggaknya kalo kita menang, dia pasti bakal nepatin janjinya,” ujarnya menjelaskan mengapa ia bisa setenang itu dalam situasi ini.

“Terus gimana kita lawan mereka, kita bahkan gak ada senjata,” ucapku risau.

“Itu dia masalahnya. Jadi strateginya yaitu saat kita nanti sudah sampai disana, saya bakal mencar sendiri ke sebuah tempat, terus lu berdua masuk ke rumah ambil semua senjata kita disana terus kita pergi, usahain gak ketahuan. Abis itu baru kita telpon lagi Brama kalo kita udah siap lawan dia.”

“Lu yakin bos bakal berhasil?”

“Ya,” angguknya menjawab dengan mantap.

Aku menggeleng kecil lagi, walau keraguanku sedikit terpupus namun ini sama sekali tidak merubah pikiranku akan bahaya yang menghadang. Kami pun kembali melanjutkan langkah kami menyusuri hutan jati dengan cahaya biru terang yang menembus hutan tebal ini.
0 0
0
KERIS - SINGA HITAM
27-03-2023 13:12
ii.

Belum langkah kami genap sampai sepuluh menit akhirnya mata kami dapat melihat sebuah lekukan jalan aspal yang berada bawah jalan terjal ini. Di tengah mentari pagi yang menyengat rasa gugup serta kekhawatiranku yang awalnya begitu besar kini mulai luntur hanya dengan berjalan dengan pikiran yang sengaja kukosongkan. Masih ada bayang bayang rasa takut itu namun entah mengapa rasanya inis kepalaku menjadi sangat damai tanpa sebuah alasan apapun.
Sedetik kedamaian itu kemudian hilang saat sebuah suara hentakan datang tiba tiba di arah tujuan kami, seolah olah sesuatu ingin sekali memberhentikan kami semua dan menghalangi tujuan kami. Ardi dan Dito bergeming namun tidak ada tanda tanda siaga dari mereka berdua.

Dito menghela nafas. “Ada apa lagi sekarang?”

Sosok itu lalu keluar dari balik sebuah batang pohon yang lumayan besar. Tubuh luntainya datang menatap kami dengan tatapan tajam sambil mengeblok sebuah tas besar dibelakangnya.yang tidak sebanding dengan ukuran tubuhnya itu. Mbah, apa dia mau menghentikan kami?

Mbah saman menggeleng pelan dalam tatapannya yang dalam. Aku bisa merasakan rasa penat serta risau darinya saat ia mengulum kedua bibirnya yang kering itu.

“Gila … itu aja sih,” ujarnya sambil menatap kami lusu.

Dito lalu melipat kedua tangannya. “Oke … mungkin bukan waktu yang pas tapi … saya masih bisa terima masukan saat ini juga, Ngkong.”

Mbah terkekeh. “Aduh … ya pasti gak ada sih, datang jauh jauh kesini ya nunggu buat ngasih ini aja,” ungkapnya sambil menurunkan tas besar itu dari atas punggungnya, suara hentakan serta detingan logam terdengar keras datang dari tas tersebut.

“Kita sebenernya sudah ada senjata sih,” ucap Ardi.

“Mau ada senjata sekalipun juga bukan berarti kalian datang kesana tanpa baju pelindung ato apalah, jagoan sekalipun bakal tewas kalau pakai kaos doang.”

“Jadi nguping juga ya semalem?” tanya Dito dengan alis menukik.

“Sedikit, tapi sudah pasti gak bisa dicegah bukan? bener gitu?” tanya mbah memastikan kemantapan kami.

“Jangan buat kita mikir ketiga kalinya.”

“Kapan yang kedua?” sambung Ardi sambil menoleh ke arah Dito.

“Oh ya … oh … oke kalo udah dipikirin, berarti masalah selesai.”

“Diskusi ini sama sekali gak guna,” ucap Dito sambil menggeleng gelengkan kepalanya.

Kami pun berjalan mengikuti langkah Dito yang mengarah ke Mbah, Dito lalu berhenti tepat di depannya lalu menepuk pundak tuanya itu sampai sampai ia latah karena kaget hampir terjatuh kehilangan keseimbangan.

“Aduh aduh maaf,” ucap Dito sambil tertawa kecil, kemudian raut wajahnya menjadi serius sambil mendekatkan kepalanya ke samping kepala Mbah untuk membisikan sesuatu.

“Tolong, jaga Nadya sama yang lain, jangan sampe yang lain tahu,” ujar Dito.

Mbah bergumam sebentar sampai akhirnya Dito memasukan sesuatu ke saku celana Mbah dengan cepat, sekilas mataku melihat benda itu, berwarna merah dan sedikit muncul suara temukan kertas dari sana.

“Oke siap,” jawab Mbah mantap.

Dito lalu tersenyum kecil dan kembali berdiri tegak dan berjalan melewatinya. Aku yang menuntun Ardi berjalan kemudian berhenti di depan Mbah lalu mengambil tas berat tersebut dan segera memanggulnya.

“Jangan lupa, dipake semua yang udah dipelajari ya,” pesannya pelan.

“Ah .. iya mbah,” balasku gugup, kemudian kami berjalan kembali meninggalkannya.

“Yaudah kalo gitu, semoga selamat ya,” sahutnya.

“Doa lu kagak ngefek!” seru Dito tanpa memalingkan wajahnya.

Tidak lama setelah kami meninggalkan hutan kami pun naik sebuah angkutan umum dan memulai perjalanan pulang kami.


iii.

Tidak butuh waktu lama untuk kami sampai di kota menggunakan kereta cepat, sampai di kota pula kami berusaha setenang mungkin untuk berjalan dan tidak berusaha mencuri perhatian publik dengan barang bawaan kami yang besar. Memang banyak orang di sekitar yang sama sama membawa bawaan yang besar pula, namun bukan berarti kami akan aman kalau tidak berhati hati.
Matahari terik yang menyengat menandakan siang hari yang mulai terlewat. Tidak ada satupun tanda tanda bahaya yang mengintai kami ataupun sambutan hangat yang mungkin akan disajikan sama seperti waktu itu. Bagiku kota ramai ini seperti kota kosong yang hanya dilangkahi oleh kami bertiga dan tidak ada lagi yang mengganggu.

“Oke dari sini kita berpencar ya, saya pergi dulu nemuin seseorang, lu berdua pergi ke rumah, ambil yang lu bisa, oke ada yang mau diomongin?”

“Siap bos, gak ada,” jawabku lesu.

“Aku aslinya laper, tapi mau gimana lagi,” keluh Ardi.

Dito dengan gigi mencuat geregetan dengan cepat merogoh kantongnya dan memberikan sebuah kartu ke tangan Ardi.

“Wow, makasih pak.”

“Jangan panggil pak, dah sana! kita mesti cepet.”

Aku mengangguk dan segera pergi meninggalkan Dito dan berjalan keluar stasiun dan mencari angkutan yang sepi. beberapa kali ku menoleh kesana kemari dan tidak menemukan sebuah mobil yang kosong untuk menaruh barang kami yang cukup banyak.

“Jadi, latihan apa sama Mbah?”

Mataku menyerngit menatap aneh karena pertanyaannya itu. “Lah, tak pikir lu tau,” balasku.

“Ya tahu latihan, tapi gak tahu apa itu, jurus apa itu.”

Yaelah kenapa mesti sekarang. “Ya latihan jurus rahasia, ya gitulah.”

“Jurus dari ayah ya, keren juga,”

“Adeh … udah ya ntar aja di mobil ngomongnya,” pintaku.

“Maunya sih gitu, tapi siapa tau ini bisa jadi terakhir kali kita ngomong, ya … pesan kesan sebelum kematian,” ujarnya sambil memberikan seringai kecil.

Aku sontak kaget mendengar kata kata itu darinya, tidak biasanya Ardi sampai berpikiran begitu. “Jadi takut juga?”

Ardi lalu mencucukan bibirnya. “Dikit sih, tapi gak kayak kau, masih bisa ketahan.”

“Alasannya?” tanyaku balik.

“Mungkin karena lawan, mungkin karena ini mata, mungkin juga karena masih bujang, banyak alasan lah.”

“Ya … tapi jangan sampe lah,” ujarku berusaha tidak terpancing oleh Ardi.

Perlahan tatapanku yang lelah mencari tumpangan yang entah sampai kapan tidak ketemu ketemu entah mengapa membuatku tiba tiba menarik layar fleksibelku dan mencari cari kontak Dewi dengan sendirinya. Sejenak pikiranku terhenti akan sesuatu yang terasa aneh, seperti ada sesuatu dari dalam diriku yang membuatku ingin melakukan apa yang Ardi katakan tadi, masalah pesan, sebuah pesan ke Dewi.
Kudekatkan tanganku dan sambil mengirimkan pesan suara pada Dewi, berharap agar dia mendengarnya dan mengetahui kabarku saat ini.

“Aku udah di rumah,” ucapku pelan.

“Apaan?” sambung Ardi.

Merasa tertangkap basah, sekejap membuatku langsung mengirim pesan tersebut padanya tanpa pikir lagi.

“Apaan tadi bisik bisik, geli dengernya,” ungkap Ardi.

“Udah udah jangan dipikirin.”

Tidak lama setelah bersabar akhirnya mataku dapat menemukan tumpangan yang cocok untuk kami berdua. Aku menuntun Ardi masuk serta menaruh semua barang barang kami perlahan, lalu menyuruh sopir untuk menuju ke alamat kami.

Rasanya bagiku sangat aneh pergi ke rumah seperti orang yang kabur dari tahanan, aku harap rencana Dito berjalan lancar dan kami dapat dengan mudah mengalahkan makhluk ini, hanya sebuah do’a saat ini yang bisa menenangkanku.
0 0
0
KERIS - SINGA HITAM
27-03-2023 13:19
BAB VI - Penyesalan


i.

Music 3

PIC 2 & PIC 3

Garis garis kuning tebal yang berterbaran, tegang namun tetap melambung saat angin terhembus, dengan tinta tinta hitam yang melarang kami untuk melewati garis kuning yang mengisolasi gerbang rumah kami. Daun daun yang kuning berguguran nampak berhamburan menghiasi halaman depan rumah yang tidak terurus. Hanya ada sunyi serta sepi yang menghinggap dari balik rumah hantu ini.

“Ada yang jaga?” tanya Ardi.

Perhatianku langsung kulempar ke sekeliling rumah, mencari cari mata yang mungkin sedang mengawasi rumah ini.

“Gak ada sih keliatannya,” jawabku.

“Mungkin, tapi rasanya kayak ada yang ngeliatin, mending kita langsung masuk aja,” ujarnya.

“Ya … lagian ini kan juga rumah kita, jadi sah sah saja,” kataku.

Kutarik tangan Ardi dan memandunya melewati garis polisi dan berusaha agar ia tidak merusak label tersebut. Langkah kami lalu berjalan perlahan, menyapu dedaunan yang berhamburan, suara gesekan kaki kami tidak terelakan sampai akhirnya bunyi hentakan kayu muncul saat sepatu kami sudah menghantam lantai kayu teras rumah.
Suara hentakan kaki yang beradu dengan lantai kayu terus berulang seirama dengan perjalanan melewati pintu depan yang gagangnya entah kenapa sekarang penuh dengan debu. Penampakan koridor yang dulu mengkilap kini sudah penuh dengan retakan dimana mana serta garis garis putih berpola yang kali ini tercetak diatas lantai. Tanda dari hasil kematian serta pembunuhan yang palsu.
Aku masih heran bagaimana cara ‘tentara’ Brama ini dapat mengubah juga menyamai identitas dan membuat seolah olah telah terjadi pembunuhan di tempat ini. Apakah dengan menggunakan mayat yang sudah disiapkan, atau mahluk itu memang dapat mengubah penampilan serta darah mereka, aku harus menanyakan ini semua pada otak Brama nanti.

“Ada perabotan yang ilang?” tanya Ardi lagi.

“Gak sih, kalo ada pasti itu garis di depan udah ketembus lah,” jawabku logis.

“Oh iya ya, yang paling penting bagian basement gak ada yang ilang, yaudah buruan,” serunya.

“Iya … iya …”

Langkah kaki kami lalu berjalan melalui berbagai lorong rumah yang sepi, hanya langkah kaki kami serta debu debu yang berterbangan yang memenuhi kosong serta gelapnya bagian dalam rumah walau di siang hari. Sengaja kutidak nyalakan kembali listrik rumah ini agar tidak menarik orang orang luar yang dapat melihat lampu yang menyala.
Pada akhirnya perjalanan kami sampai pada tujuan dimana sebuah kain yang dibaliknya terdapat tembok besar yang terbuat dari kayu tebal dengan ukiran retakan keris di tengahnya menghadang kami. Kami lalu mendorong pintu besar itu dengan sekuat tenaga lalu masuk dan kembali menutupnya dari dalam. Segera kunyalakan senter dari smartbandku yang membuat ruangan malah jadi lebih menyeramkan. Entah kenapa ada perasaan tidak enak yang menepuk pundakku, berbisik untuk tidak datang kemari. Tiap tiap anak tangga yang tersinari cahaya tetap membuatku sedikit ketakutan saat tahu cahayaku tidak cukup terang untuk menyinari ujung anak tangga ini dan menyisakan kegelapan yang harus kujelajahi ditambah lagi dengan pikiranku yang mulai aneh aneh dengan membuat seakan ada makhluk imajinatif yang tiba tiba saja meluncur dari kegelapan tersebut dan segera melahap kami.
Ketakutanku akhirnya menjadi jadi saat kami sampai pada anak tangga yang terakhir. Pemandangan ruang bawah tanah yang seram serta lapang membuat nafasku terasa sesak karena ketakutan, merinding dan was was akan sesuatu yang entah tiba tiba saja akan mengagetkanku saat pandanganku.

“Oi,” sahut Ardi mengagetkanku, membuat tubuhku sampai sampai tersentak dan nyaris saja teriak.

“Kampret! jangan ngagetin,” pekikku.

Ardi lalu terkekeh. “Takut juga, emangnya ada apaan?” balasnya.

“Gak ada apa apa sih, cumang gelap aja.”

“Pantes, lagian kenapa gak nyalain lampu?”

“Listrik nih rumah mati.”

“Gitu toh, yaudah deh intinya pelan pelan aja berarti, jangan sampe berantakan,” ujarnya.

Menuruti perintah Ardi, perlahan ku coba melangkah dan berusaha mengambil semua senjata serta peralatan kami yang bisa kuambil. Namun saat ku berada di tengah ruangan ini, mataku terbelalak saat melihat box baja besar tempat penyimpanan senjata kami yang biasanya tenggelam di dalam lantai kali ini sudah mencuat.

“Eh … ini sejak kapan dah … kok bisa bagian senjata naik semua?” tanyaku gugup.

“Hah!? serius? kalo gitu bagus dong berarti kita bisa langsung ambil,” jawab Ardi santai sambil berjalan perlahan sendiri ke arahku, ia lalu menabrakku dan kugeser ke langkahnya ke sebelah kiri ke tempat kotak senjatanya.

Belum berhenti diriku menatap kotak senjata milikku yang masih janggal dikepalaku. Dua buah golok serta enam buah wedhung berbahan titanium yang mengkilap memantulkan cahaya senter dan menyebarkannya ke seluruh penjuru ruangan. Menerangi sisi kananku yang juga ada sebuah kotak senjata yang tidak pernah kulihat sebelumnya.

“Itu yang disebelah kanan punya siapa dah?”

“Oh … itu punya Dito,” jawab Ardi yang sedang sibuk dengan tempat senjatanya sendiri.

Setelah itu dengan cepat kuambil semua senjataku serta memakai kaos serat baja lalu memasang golok di kedua sisi pinggang dan sementara keenam wedhung di kedua bagian otot lengan serta pahaku. Perlahan ku melangkah ke arah tempat senjata milik Dito, jujur aku sampai saat ini belum pernah melihat atau menyaksikan dirinya menggunakan ‘senjata warisan’ miliknya itu. Saat sampai langsung kuarahkan senterku ke atas kontainer miliknya itu. Aku sama sekali tidak menduga namun yang kutemukan adalah sepasang zirah tangan seperti milik ksatria eropa abad pertengahan yang yang panjangnya cukup untuk melindungi dari area ujung jari sampai bahu namun dengan ukuran yang cukup besar. Sebuah benda yang aneh kalau disebut ‘senjata warisan’, apalagi melihat bentuk di bagian area sendi pergelangan tangan sampai ke ujung bahu terdapat banyak batang batang besi yang membuatnya malah terlihat seperti sebuah eksoskeleton pada robot. Mungkin ini menjelaskan mengapa Dito memiliki tangan besar seperti gorila.
Perjalananku kuteruskan untuk lebih menilik kembali ruangan ini dengan sesama. Entah mengapa aku melakukan hal yang aneh ini namun ada firasat aneh yang masih bergemuruh di kepalaku berusaha menjelaskan bagaimana semua kotak senjata itu yang seharusnya tersembunyi kali ini sudah seperti siap digunakan. Mengingat terakhir kali kami meninggalkan rumah ini tanpa adanya satu orangpun yang datang ke ruangan bawah tanah ini.
Mataku lalu mencoba menatap ke arah lantai, berusaha mencari jejak jejak yang mungkin dapat menjelaskan hal aneh tersebut. Aku memiliki dugaan mungkin saja polisi masuk ke dalam ruangan ini, namun kalau itu memang terjadi pasti isi ruangan ini sudah kosong dan semua senjata kami sudah disita.
Pandanganku lalu terhenti saat sebuah angin aneh tiba tiba saja melewati wajahku. Dengan cepat kepalaku menoleh ke arah depan dan tidak menemukan apapun, lalu ku tengok ke arah belakang dan hanya menemukan Ardi yang kali ini sudah siap dengan kaos serat baja miliknya. Mataku lalu kembali menghadap kedepan dan menemukan sebuah pemandangan yang aneh, mungkin bukan aneh namun seperti sesuatu yang tidak pernah kulihat sebelumnya di ruangan ini.
Tiga buah manekin dengan mata tertutup yang lengkap dengan pakaian serba hitam berdiri tegap dan berjajar rapi di dekat ujung lorong. Tingginya sekitar 170 cm dan uniknya mereka semua memiliki pakaian yang sama dengan pelat pelindung baja yang membentuk bagian dada serta otot otot di keseluruhan tubuh mulai dari tangan hingga otot otot pada kaki. Patung botak itu hanya berdiri dan entah mengapa ada sesuatu yang keren dan juga menarik dari diri mereka dengan kombinasi baju pelindung yang mereka miliki.

“Nemu sesuatu?” ucap Ardi yang tiba tiba sudah berdiri disampingku.

“Asem ... biasaan!” erangku sambil menatap tajam padanya, lalu kembali menatap tiga manekin itu kembali. “Kagak begitu aneh sih, cumang gua baru tau kalo Dito diem diem udah bikin armor yang baru buat kita.”

“Baju baru?”

“Ye … ini udah dipajang dimanekin segala,” balasku sedikit riang.

“Woah keren juga, gak tanya ama Dito apa kita bisa pake sekarang ato kagak?” lanjut Ardi yang juga bersemangat.

“Wah iya juga,” segera kunyalakan layar fleksibelku dan menelpon Dito. “Walo walo bos.”

“Ada apaan?” balas Dito.

“Dimana bos posisi sekarang?”

“Gausah tau lah, udah siap semuanya?”

“Ya … kayaknya udah sih, tapi ada yang aneh,” ucapku sedikit ragu ragu.

“Apanya yang aneh?” tanya Dito dengan nada penasaran.

“Listrik gak gua nyalain, tapi di ruganan bawah tanah nih semua kotak senjata tiba tiba dah muncul aja gitu,” jelasku.

“Lah … gimana caranya? apa polisi dateng kesitu? ada yang ilang?” kejar Dito panik.

“Kagak … anehnya lengkap semua.”

Dito bergumam. “Aneh juga ya, itu box emang maek sistem hidrolik, mungkin aja kalo listrik mati bisa ngangkat sendiri, mungkin aja ya soalnya saya gak pernah liat tuh tempat pas lagi mati listrik,” jelas Dito mengungkapkan tebakannya itu.

“Hmmm … bisa juga sih, oke deh kalo gitu,”

“Yaudah terus apa lagi kira kira yang aneh?”

“Gak ada sih bos, cumang ini boleh kita gak pake baju zirah yang baru?” tanyaku bersemangat.

“Apaan? Zirah baru? yang mana?” tanya Dito bingung.

“Ini yang di manekin.”

“Manekin itu apa dah?” tanya Dito yang makin bingung.

“Itu kayak boneka patung yang biasa di mall mall itu, yang dipakein baju,” terangku.

“Buset serem amat, kagak pernah ada yang begituan di tempat saya,” serunya.

“Lah terus ini apaan?” tanyaku heran.

“Itu punyaku, Jaya,” ucap Brama yang tiba tiba ikut ke percakapan kami.
Diubah oleh amriakhsan
0 0
0
KERIS - SINGA HITAM
27-03-2023 13:25
ii.

Music 4

Ruang yang sunyi serta gelap gulita tiba tiba diramaikan dengan sambungan arus listrik yang menyala yang sekaligus menghidupkan seluruh lampu yang ada di ruangan. Mataku yang pedih terpejam cukup lama sambil menutupi cahaya lampu yang terang dengan kedua tanganku.

“AWAS!” teriak Ardi lantang sambil menarik diriku yang tidak siap untuk mundur, berkat dirinya tanganku tidak sengaja mematikan percakapanku dengan Dito.

Tubuh serta kakiku berusaha mengambil keseimbangan mencoba untuk menganalisa keadaan sekitar sementara Ardi sudah siap dengan pedang besarnya yang mengacung pada ketiga manekin itu.

“Itu … musuh?” tanyaku kebingungan dengan mata putih terbakar, berusaha beradaptasi.

Ardi menggeleng geleng sambil menghembuskan nafasnya dari sela sela giginya yang terlihat. “Entah yang di belakangnya ato emang dari itu boneka,” ucapnya.

Ketarik kedua golokku lalu memasang kuda kuda serta ikut mengacungkan senjataku pada ketiga patung itu. Mataku sesaat memperhatikan Ardi yang terlihat sangat gelisah, aku sendiri yang kebingungan saat melihatnya begitu berusaha menjernihkan pikiranku. Aku sama sekali tidak merasakan adanya sensasi bahaya dan melihat keringat Ardi yang mulai mengalir membuatku semakin kebingungan dimana letak musuh kami berada.

“Bukannya … bukannya dia gak bisa ngeluarin aura begitu,” ucapkku gugup.

“Harusnya emang begitu, tapi …”

Tanganku yang keras dan siap kali ini mulai ragu dengan gertakan dari Ardi. Melihatnya begitu panik membuatku jadi lupa akan kedatangan Brama di percakapan kami tadi. Biasanya makhluk ini memang tidak bisa dirasakan oleh dirinya, namun entah mengapa kali ini ia bisa merasakan ada rasa bahaya yang bahkan aku sendiri tidak dapat melihatnya.
Ketegangan itu sirna saat Ardi yang bagai harimau yang ingin menerkam mangsanya dan seketika itu pula ia tiba tiba saja seperti kucing yang kebingungan karena targetnya menghilang. Kepalanya menoleh kesegala arah, tubuhnya tidak lagi siaga dan bahkan ia sampai menurunkan pedangnya.

Aku yang masih kebingungan lalu mengikutinya. “Apaan tadi? apa gara gara denger suara Brama?”

Kepala Ardi tidak ada henti hentinya menoleh kesegala arah dengan cepat, mencari sesuatu yang hilang darinya. “Dia ilang …”

Paru paruku mengempis serta pundak yang kaku langsung lemas saat mendengar kata katanya itu. Mungkin agak sedikit mengejutkan saat tiba tiba semua listrik menyala tanpa sebab, mungkin itu juga yang buat Ardi sampai panik begitu. Mataku lalu teralih pada ketiga manekin tadi yang ia sempat kira musuh. Patung patung itu sama sekali tidak bergerak dan berubah, saat kulihat dengan seksama dari ujung kaki sampai ujung kepala tidak ada yang berpindah, hanya saja aku rasa bola mata putih yang melotot itu tidak ada sebelumnya disana.

Mataku terbelalak saat menyadari kejanggalan itu. “Oh … “

Suara langkah tepakan langkah kaki telanjang yang lembut menyentuh lantai dingin yang sedingin kulit putih mereka diikuti oleh satu temannya lagi disebelah meninggalkan satu temannya sendirian. Perlahan kedua tangannya mereka yang seirama itu melambung setinggi dada dengan tinjunya yang dikepalkan. Tidak mau kalah dengan mereka berdua, kami juga bersiap dengan sebilah senjata kami yang teracung pada tiap tiap kepala mereka.

“HAHA! Satu satu ya,” kata Ardi.

“Kayaknya begitu.”

Sekejap Langkah kaki Ardi melompat ke depan, menyeruduk musuhnya itu tanpa sedetikpun memberinya kesempatan untuk mundur, berseberangan melewati lawan satunya lagi yang di sampingnya yang kali ini berlari ke hadapanku langsung dengan tinjunya yang sudah berada persis di sebelah bahunya.
Sebuah terbasan diluncurkan Ardi dengan cepatnya, memaksa lawannya yang setinggi dirinya itu untuk menangkis dengan pelindung tangannya. Bunyi dentingan oleh baja yang beradu memenuhi ruangan, diiringi oleh erangan diriku yang berhasil menangkap pukulan kuat dari lawanku ini dengan satu tanganku.
Suara menggema itu kini terdengar kembali ketika Ardi yang memutar tubuhnya kembali melancarkan tebasan yang juga sudah disambut oleh pelindung tangan lawannya yang saat itu juga dilanjut dengan menembakan sebuah pukulan telak tepat ke arah wajah si manekin itu. Terkejutnya Ardi sampai sampai ia memundurkan kepalanya saat pukulan mentahnya itu berhasil ditangkap oleh si manekin.
Di sisi lain diriku yang saling memberi pukulan sama sekali tidak ada yang berhasil melukai atau bahkan menyentuh sasaran kami berdua. Dengan lihai serta ketepatan masing masing tangan kami dengan cepat melempar pukulan serta tangkisan yang juga dibalas dengan gerakan yang sama pula. Entah mengapa aku sama sekali tidak paham namun rasanya aku seperti melawan bayanganku sendiri.
Semua tangan kami berempat lalu saling mengunci, menekan serta menahan agar tidak ada diantara dari kami yang melepaskan tangan yang sudah ditangkap. Walau begitu Ardi dengan lihai mengangkat kedua kakinya, menjadikan tumpuan lawannya itu sebagai penyeimbang dirinya yang kali ini melayang. Bunyi dentuman yang besar lalu meledak ketika tendangannya itu mengenai dada musuhnya, melemparnya beberapa meter jauh dari Ardi. Mataku yang menyaksikan hal keren tersebut lalu melemaskan kedua kuda kudaku dan membiarkan diriku tertarik oleh si manekin dan dengan cepat kubenturkan kepalaku tepat ke kening putih yang seperti es itu. Cara tersebut berhasil dan sedikit guncangan itu membuat kedua tangannya kehilangan tenaganya yang langsung ku lempar serangan dua tapak tongkok yang melempar tubuhnya kedepan untuk bersama sama tidur dengan teman satunya lagi.

“Teknik gak pernah berubah ubah,” ujar Ardi.

“Emangnya ‘pedang muter muter’ ada perubahan?” balasku dengan seringai kecil.

“Seenggaknya … wet-”

Kata kata Ardi terputus saat suara ketukan lempengan besi dari tubuh mereka berdua muncul seiring dengan badan mereka yang kembali bangkit dengan tegak layaknya tidak terjadi apa apa.

“Jadi begitu ya … hebat juga,” ucap Brama melalui speaker dari salah satu dari manekin itu.

“Aku awalnya ragu, tapi ternyata tidak ada pengembangan sama sekali,” balas Ardi entah berusaha mengejeknya atau ia kecewa dengan lawannya itu.

“Ya … perkembangan itu relatif, sama seperti waktu juga sama seperti orang orang lainnya,”

“Kalau begitu sekarang gimana, kita berarti udah menang bukan?”

“Menang? lawan kalian jelas jelas masih berdiri,” ucap Brama santai.

Kamipun kembali mengacungkan senjata kami pada mereka berdua.

“Bicara soal perkembangan, kita akan coba seberapa berkembangnya kita semua,” ujar Brama yang sekaligus diikuti dengan munculnya dua buah paku persegi besar dengan ujung yang runcing muncul begitu saja seperti sebuah trik sulap dari kedua tangan mereka, menggengamnya layaknya sebuah pisau.

“Level dua.”

Ucapan itu langsung dibarengi dengan serangan serudukan dari mereka berdua sekaligus yang dengan cepat kami langsung balas. Kutangkap serangan tusukan itu dengan cepat sambil melemparkan satu tusukan tangannya lagi ke udara lepas dengan golokku. yang langsung kuarahkan tepat ke lehernya, namun terkejutnya diriku saat tiba tiba kulihat wajahnya yang mundur menghindari tebasanku yang membuatnya melewati wajahnya begitu saja dan membuat tanganku hampir menyerang diriku sendiri. Kulepas genggaman golok beratku itu dan cepat meraih sebilah wedhung dari bahu tanganku dan mencoba kembali menikam kepalanya yang kali ini ia gagalkan dengan menangkap kembali tanganku, kami akhirnya berada di posisi yang sama seperti sebelumnya.

Sementara Ardi yang entah bagaimana tiba tiba saja sudah berhasil melempar kembali lawannya itu kembali meluncur di atas lantai. Tidak perlu menunggu aba aba dariku dengan cepat Ardi langsung membantuku dengan menarik bahu lawanku dengan kuat sambil memberikan pukulan yang keras ke wajahnya, meletakannya kembali ke lantai. Tidak butuh waktu lama untuk makhluk makhluk itu kembali bangun dan berdiri seperti sedia kala.

“Huh … Tiga.”

Serbuan yang sama datang kembali dari mereka berdua dengan serangan yang sama seperti sebelumnya, namun entah mengapa ada sesuatu yang berbeda dari mereka, rasanya mereka jauh lebih cepat dari sebelumnya. Kusadari hal ini saat pukulan yang kali ini kucoba tangkap tiba tiba gagal saat ia dalam sekejap merubah arah pukulannya tersebut dari wajahku ke bagian sisi bahuku dan membenturnya dengan keras. Tubuhku yang tergoyang dan panik juga tidak mau kalah dengan adrenalin yang berpacu untuk membalas pukulan barusan ke arah perutnya. Sayang hal tersebut sama sekali tidak berhasil dan dengan mudahnya berhasil ia tangkap dengan kuat.
Gigi gigiku terbaku baku mencuat sambil menghembuskan nafas dari sela selanya. Seluruh tenagaku kucoba kumpulan ke dalam tanganku dan berusaha menarik kembali tanganku yang berhasil ia tangkap. Momen buruk itu tidak ia sia siakan sama sekali dan dengan cepat ia memberikanku pukulan yang kucoba tangkis namun gagal dan gagal, berkali kali ia menghajarku dengan cepat ke area perut hingga wajahku.
Sekilas di saat itu juga yang ada pada mataku hanyalah cahaya yang datang dan pergi, gelap dan terang silih berganti dengan irama yang menenangkan, layaknya diriku seperti sedang melayang di udara. Tapi khayalan itu langsung sirna saat sebuah pukulan kembali mendarat tepat di wajahku. Dengan erangan yang keras serta rasa sakit yang tidak tertahankan membuatku menggila dan entah bagaimana tanganku yang ia kunci sejak tadi akhirnya berhasil lepas. Membuatku langsung mundur dan mencoba memukul balik lawanku yang entah bagaimana berhasil mengenainya. Bertubi tubi tinju serta pukulan balasan dariku yang berusaha ia tangkap kembali selalu gagal dan berhasil mendarat di tubuhnya yang keras serta kepalanya yang sampai sampai berhasil membuatnya mundur beberapa langkah. Teriakan serta erangan dariku yang tak henti akhirnya tiba di akhir ketika kutarik jauh jauh tanganku kebelakang dan memberikan sebuah pukulan mantap tepat ke wajahnya, meluncurkannya jauh kedepan bersama tubuh temannya yang baru saja juga Ardi berhasil lempar.

“Jay! gapapa kan?” tanya Ardi.

Tubuhku membungkuk dan tanganku berpegangan erat pada lututku sambil mengeluarkan seluruh nafas yang ku bisa sambil menariknya lagi dengan cepat. Dari hidungku lalu serasa mengalir keringat yang amat banyak yang akhirnya menetes ke lantai, warna merah yang kulihat saat membentur ubin menjelaskan dirinya kalau bukan keringat lagi yang kali ini mengalir.

“Heh!” seru Ardi.

Akupun menggeleng geleng dengan cepat yang akhirnya membuat percikan darahku terlempar kemana mana. “Kayaknya sih .... gak begitu,” balasku terengah engah.

Mataku yang sedang melihat dunia terombang ambing kali ini mendapati lawan kami berdua bangkit kembali dengan tegap layaknya tidak terjadi apa apa. Ini benar benar sangatlah buruk.

“Empat.”

Ucapan Brama sekali lagi mengawali serta menjadi tanda mulainya ronde keempat bagi kami. Serangan yang begitu cepat serta kuat tersebut sangatlah tidak normal, aku sama sekali tidak paham dan mengerti bagaimana tubuh mereka tetap bisa melawan meski dengan serangan keras seperti tadi, bahkan tidak meneteskan darah sekalipun.
Ardi yang lebih dahulu di terkam terlihat sangat kesulitan saat setiap tebasan pedang berputarnya itu selalu berhasil ditangkis olehnya, tendangan yang sama cepatnya itu pula dapat dipentalkan oleh lawannya itu. Tidak pernah kulihat ada orang yang bisa melakukan perlawanan yang sekaligus dari Ardi seperti itu. Tiap tebasan yang terpental ia putar kembali dan mengulang serangannya itu dengan arah sebaliknya, kakinya yang tidak tinggal diam juga mencoba ikut berputar menari dengannya sambil berusaha menyerang area kaki musuhnya untuk menghilangkan keseimbangannya, namun semua hal itu sama sekali tidak berhasil dan yang kudengar hanyalah bunyi dentingan dari sebuah gangsing yang beradu dengan sebuah pilar yang amat susah ditumbangkan.
Serudukannya yang begitu cepat langsung kusambut dengan menarik kedua bilah wedhungku dari kakiku dan mencoba untuk memberikan tinju langsung padanya yang membuat pukulan kami akhirnya saling beradu. Rasanya tulang tulang ditanganku mau retak dan patah saat menahan tinju kuatnya itu; sampai sampai membuat tanganku bergetar hebat, dan hanya dengan satu hentakan dari pukulannya langsung membuat tanganku terpental, membuat genggaman kedua bilah pisauku terbang ke udara yang diikuti dengan tinju uppercut yang tepat mengenai daguku.
Kemudian sekali lagi cahaya itu datang kembali, kali ini jauh lebih terang dan berusaha membutakan mataku, namun ada sebercak bayangan yang entah mengapa ikut terbang bersamaku, berputar putar dengan bebas. Aku tidak tahu mengapa tapi rasanya sangatlah tenang sekali berada disini, seperti diriku akan berada di dalam kondisi ini untuk selamanya. Akan tetapi sinar yang membutakan itu tiba tiba saja lenyap saat bayangan besar datang bayangan kecil tadi, menangkapnya dan lalu jatuh menutupi diriku.
Mataku akhirnya kembali lagi ke dunia nyata, menatap bola mata putih bulat itu yang kini sangatlah menakutkan dengan urat urat yang nampak jelas merambat di sekeliling pipinya yang putih pucat itu. Dari tangannya yang terangkat itu bisa kulihat sebuah cahaya yang menyilaukan datang darinya, seperti sebuah pantulan cahaya yang besar membutakan mataku. Saat itu juga tangan kusadari tangan itu sedang menggenggam sesuatu, sebuah bilah pisau yang kuingat, dan sangat familiar; belati milikku sendiri.
Sebuah tikaman datang tepat di dadaku, melewati tulang rusukku dan menekannya kuat kuat. Satu satunya yang kulakukan setelah itu hanyalah melihat kulitku yang melahap seluruh bilah pisau sampai hanya meninggalkan bilahnya. Benda itu lalu ia tarik kembali dan ia melakukannya sekali lagi, dan lagi. Bisa kulihat darah yang berada pada lembaran pisau itu, namun tidak dengan perutku. Pria putih itu lalu pergi berjalan meninggalkanku begitu saja, sendiri; dengan tubuh yang sok; terkejut dan tidak bisa berbuat apa apa.
Mataku lalu menatap ke arah Ardi yang terasa bergerak sangat lambat mengalihkan pandangannya ke arahku sambil berteriak dengan keras, entah kenapa aku tidak bisa mendengarnya dan hanya melihat mulutnya terbuka begitu lebar ke arahku. Lalu setelah itu ia kemudian terlihat seperti terdorong dari arah belakang,berkali kali lalu jatuh perlahan dengan kening yang membentur lantai terlebih dahulu.
Sayup sayup mataku berusaha terbuka juga dengan melambatnya dadaku mengembang kempis dengan lambatnya, menatap Ardi yang juga terbaring dengan satu tangannya yang berusaha menggenggam lantai yang datar yang tentu saja ia tidak akan mungkin bisa lakukan. Melihatnya membuat nafasku seolah menjadi sangatlah rileks dan walau dengan pernapasan dada ini, dan satu satunya yang kurasa adalah perasaan tenang yang menyuruhku untuk segera menutup mata saja dan tidur. Aku tahu diriku sangat tidak ingin terpejam dan terus berkata bahwa ini semua adalah salah; ini tidak benar; aku akan mati dan begitu seterusnya. Namun begitulah hal yang tubuhku bisikan pada diriku dan berkata padaku dengan lembut untuk tenang, rilek dan terbaring lah dengan lelap.
0 0
0
KERIS - SINGA HITAM
28-03-2023 04:32
Diubah oleh ganthercage
0 0
0
KERIS - SINGA HITAM
28-03-2023 13:06
BAB VII - Pilihan


i.

Rasa ketidaktahuan, penasaran serta kebingungan akan sesuatu yang jika ditanya pada diriku sudah pasti akan menjauhi hal tersebut namun disisi lain ada hal yang ingin merasakan hal itu. Sebuah rasa yang telah menjadi temanku sepanjang hidup selama ini, yang selalu menghantuiku sekaligus misteri untuk batin serta isi kepalaku.
Kehilangan bukan lah suatu hal yang menyenangkan untuk didengar namun tentu saja tidak ada yang dapat mencegah hal itu tidak terdengar ataupun terlihat karena semua hal itu berada di sekeliling kita, menunggu dari balik balik kabut atau kegelapan yang dalam di sana.
Bagiku hal itu adalah sebuah kegelapan yang kali ini menyelimuti pandanganku. Aku bisa merasakan genggaman tanganku juga gerakan kakiku, namun kegelapan ini terlalu pekat. Entah mengapa dari balik kegelapan itu aku bisa merasakan ketakutan yang teramat sangat. Kebingungan menjelma menjadi kengerian serta rasa panik membuat seluruh tubuhku terasa kejang.
Dengan seluruh daya kuangkat; membawa tubuh yang sedang terbaring dan berusaha untuk duduk. Di dalam kegelapan itu ku bisa rasakan sebuah aliran air sedang membasahi pipiku, terbanjiri oleh genangan akan ketakutan yang sudah menggila menggetarkan tubuhku yang malang ini. Aku ingin sekali melihat anggota tubuhku, ku bisa rasakan setiap gerakannya namun entah mengapa diriku tetap ketakutan dan ingin sekali bisa melihat masing masing anggota badan yang kugerakan.
Bibir yang terus bergetar kali ini bisa merasakan sebuah hasil aliran air yang asin tersebut melewati sela selanya. Di dalam kegelapan diriku meraung sejadi jadinya, mencoba mengeluarkan semua suara yang bisa kubuat untuk menghentikan rasa kesepian serta ketakutanku ini. Tidak pernah sekalipun sepanjang hidupku merasakan hal ini, aungan yang bergemuruh di tenggorokan, berusaha menenangkan nafas terengah engah yang mustahil untuk dijinakan.
Dari semua kegilaan itu tiba tiba muncul sebuah cahaya kecil yang nampak sangat jauh, terlalu jauh hingga tanganku tidak bisa mencapainya namun entah mengapa begitu terasa dekat di hadapanku. Tidak menerangi apapun bahkan diriku dan hanya bagaikan sebuah titik putih yang melayang tenang di dalam kegelapan. Dengan segenap tenaga genggamanku berusaha menangkap cahaya kecil itu, berusaha mendekatkannya ke tubuhku dan memberikanku sebuah kehangatan. Namun upaya itu sama sekali tidak berhasil dan memaksaku untuk menyeret tubuhku dengan kedua tanganku ke arahnya. Perlahan lahan aku bisa merasakan diriku sedikit demi sedikit mendekat ke arah cahaya mungil itu namun entah mengapa rasanya tidak semua usahaku sia sia dan tidak ada kemajuan dari semua usahaku.
Lelah dan kesal akhirnya dengan cepat langsung membuatku menyerah. Aku berpikir tidak ada gunanya mengejar cahaya kecil itu, mungkin itu hanyalah sebuah titik khayalan di mataku. Di tengah rasa putus asa itu perlahan kutarik nafasku dalam dalam, rasa dingin yang basah menyelimuti rongga dadaku dan mengeluarkannya dengan perlahan. Walaupun mataku tidak bisa melihat apa apa, namun setelah itu tiba tiba rasanya udara menjadi terasa sangat dingin sampai sampai jariku terasa basah karena uap air yang mengembun di tiap tiap jariku.
Kutaruh kembali tatapanku ke arah depan dan melihat sekali lagi cahaya kecil itu. Sebuah perubahan terjadi padanya, bukan perubahan yang berarti namun terlihat perlahan semakin membesar. Aku yang mulai tidak percaya dengan mataku sendiri berusaha menajamkan pandanganku dan fokus ke titik yang kali ini menjadi sebuah bulatan sebesar bola pimpong itu. Sekejap kemudian mataku langsung dibutakan oleh cahaya terang yang muncul darinya, layaknya sebuah lampu pijar putih yang menggantung berusaha menerangi kegelapan, tidak ada objek ataupun sesuatu yang berada di sekitar lampu itu, hanya dirinya dan lantai hitam datar di sekitarnya.
Cahaya itu lalu menguat, sinarnya perlahan lahan mulai mendekatiku dan menerangi tubuhku. Akhirnya dengan cahaya itu ketakutanku mulai hilang, mataku bisa melihat tangan serta kakiku yang masih duduk selonjor ke arah cahaya itu, walau samar samar gelap namun rasa tenang yang dihadirkannya bisa membuatku sedikit bernafas lega.
Saat kulihat dengan jelas dalam maksudku yaitu melihat tubuhku yang kedinginan dengan seluruh udara disini dan hanya mengenakan celana pendek saja. Aku bingung saat mencoba mengingat pakaian apa yang terakhir kali dipakai namun entah mengapa bayangan akan hal tersebut tidak ada sama sekali di ingatanku. Setelah itu kemudian sebuah bola cahaya yang sama muncul dari sisi kiri pandanganku, jaraknya lebih jauh dari lampu di depanku saat ini namun dengan gerakan yang serupa, perlahan sinarnya mulai menyebar dan menerangi sekelilingnya.
Sontak diriku terkejut saat sinar itu akhirnya memunculkan sebuah sosok dari sana. Seseorang nampak sedang duduk sila dengan tenang di atas lantai gelap sedang memperhatikan cahaya tersebut. Matanya yang terlukai dengan santai menatap cahaya di depannya. Cahaya yang semakin besar itu akhirnya menguak siluet dirinya dan menampilkan pria yang sedang duduk tersebut.
Tidak kusangka ternyata Ardi, dengan mata terbukanya yang selama ini terpejam. Dengan tubuh yang hanya mengenakan celana yang sama sepertiku bisa kulihat semua luka jahitan yang begitu banyak berada di punggungnya, Melihat dengan seksama cahaya putih itu, namun entah mengapa tatapannya yang sedih terlihat sangatlah menakutkan, layaknya sebuah hantu dengan wajahnya yang pucat serta bagian kantung matanya yang sedikit menghitam. Dia sama sekali tidak menyadari keberadaanku dan hanya berfokus pada lentera tersebut, aku juga sama sekali tidak ingin dia melihatku dengan tatapan mengerikannya itu.
Dia lalu mengangkat kedua tangannya ke hadapan wajahnya yang merunduk, mencoba menggenggam genggam udara hampa lalu memijat mijat kedua kaki nya. Kemudian ia menaruh kedua tangannya ke atas lantai dan mencoba untuk berdiri namun gagal dan terjatuh. Lalu ia kembali mencoba untuk berdiri lagi dan tubuhnya kembali gagal dan terjatuh.
Berulang kali ia melakukan hal itu, tiap kali ia terjatuh tiap kali itu juga tubuhnya mulai berhasil berdiri tegap. Kali ini saat kedua kakinya yang sudah mantap menopangnya berdiri hampir terjatuh kembali, tiba tiba muncul sebuah tangan hitam yang menopangnya. Lalu tiba tiba banyak sekali tangan yang berdatangan membantunya untuk berdiri utuh. Lalu tangan tangan gelap itu perlahan memunculkan siluet orang hitam dengan badan yang lengkap, sama sama berdiri membantu Ardi. Iapun perlahan melihat ke masing masing wajah siluet hitam itu, aku yakin ia bisa melihat orang dibalik siluet hitamnya yang tidak nampak dipandanganku.

Orang orang itu lalu perlahan memandu Ardi untuk berjalan perlahan ke arah cahaya putih itu. Langkah langkah yang sangat kecil ia lakukan demi mencapai tujuannya tersebut. Mataku yang sedang melihat hal aneh tersebut tiba tiba saja dikejutkan dengan sebuah tangan yang muncul dihadapanku. Sebuah tangan hitam terbuka yang menyodorkan sebuah bantuan.

Diriku lalu mencoba untuk melihat orang dibalik siluet hitam tersebut, namun hanya wajah kotak yang hampa berada di hadapanku. Lalu sebuah tangan kembali meluncur lagi di hadapanku, sebuah tangan dari siluet yang berbeda. bantuan dari dua orang ini lalu tidak kusia siakan dan segera kuraih kedua tangan mereka. Perlahan membantuku mengangkat diriku yang entah mengapa sangatlah berat.
Di saat diriku mulai berhasil berdiri tegak disitu pula kulihat Ardi yang sudah bisa berdiri sendiri dengan kekuatannya. Orang orang hitam itu lalu memegang pundak Ardi dan memandunya berjalan ke cahaya di depannya. Sebuah perjalanan yang tadi kuanggap mustahil pun akhirnya berhasil ia lakukan.
Tangannya yang penuh bekas luka itu perlahan mencoba menyentuh bola cahaya terang tersebut, namun tiba tiba tangannya berhenti. Dengan alis yang melebar dirinya menatap bola cahaya dan menikmati keindahan tersebut. Kemudian ia menyentuh bola tersebut dan menggenggamnya. Cahaya itu kemudian menjadi sangat terang dan begitu menyilaukan, dan disaat mata Ardi dibutakan oleh cahaya tersebut, kedua siluet dibelakangnya kemudian mendorong tubuh Ardi dan membawanya jauh ke tempat yang gelap yang tidak terlihat. Dirinya lenyap begitu saja, menghilang dari hadapanku dan meninggalkanku sendiri.
Diriku yang menyaksikan hal tersebut langsung ketakutan, kebingungan serta panik. Mataku dengan cepat melihat kedua siluet yang berusaha membantuku berdiri dan memelototi mereka berdua dengan getaran yang hebat. Tanpa pikir panjang lagi kalau mereka berdua ini adalah malaikat maut yang ingin membawaku ke akhirat. Segera badanku meronta ronta melepaskan pegangan mereka berdua. Ku lempar kedua tangan mereka kemudian dengan tubuh yang masih tidak seimbang diriku berlari menjauh dari cahaya tersebut, menjauh dari mereka berdua.
Badanku yang masih tidak seimbang terus menerus mencoba mengambil langkah yang terborgol dengan benda terasa amat berat di kedua kakiku, menyeretnya dan mencoba melangkah menjauh dari mereka berdua. Saat kurasa sudah sedikit jauh kemudian kutolehkan sedikit wajahku ke arah mereka. Aku terkejut saat melihat diriku yang berhasil menjauh, anehnya mereka tidak mengejarku dan hanya berdiri disana terdiam sambil melihat ke arahku. Setelah itu ku putar lagi pandanganku ke arah sebaliknya dan berfokus untuk menjauhi dari mereka, di dalam kegelapan ku berlari tanpa arah dan saat ku toleh kembali wajahku ke arah mereka yang kali ini sudah lenyap dari penglihatanku, tiba tiba saja kakiku tersandung sesuatu, membuat badan beratku terhempas bebas ke udara dan seketika terjatuh.
0 0
0
KERIS - SINGA HITAM
28-03-2023 13:07
ii.

Tubuhku terjatuh ke depan, terlontar dan entah bagaimana tiba tiba punggungku malah terasa sedang membentur sebuah benda yang sangat empuk, sesuatu yang menyerap kejutan tubuhku yang terguncang karena perubahan posisi yang mendadak.
Mataku terbuka lebar menatap silaunya cahaya lampu putih yang terang benderang, menyorot mataku dan memaksaku untuk segera memejamkannya kembali. Udara dingin yang kurasa sedang membekukan seluruh tubuhku yang sekarang hanya terbaring dengan sebuah kain biru tipis yang menutupi seluruh tubuhku. Nafasku terengah engah, rasanya begitu sulit untuk mendapatkan udara yang bisa memuaskan paru paruku. Seberapa dalamnya kutarik tetap rasanya bagiku seperti tercekik.

Badanku yang masih panik berusaha sekuat tenaga untuk bergerak, namun tidak ada hasil yang terjadi dan satu satunya hal yang bisa kulakukan hanyalah gerakan jemariku yang berusaha menarik narik selimut yang sedang menutupi seluruh tubuhku ini. Ingin sekali kulihat apa yang sedang terjadi pada dunia sekelilingku dan segera berpaling dari cahaya yang menyilaukan ini akan tetapi tubuhku sama sekali tidak memiliki daya bahkan untuk menggerakan leherku sendiri.
Kemudian dengan segala cara yang tidak berhasil tersebut membuatku hanya bisa menggerakkan bola mataku ke kiri dan ke kanan, berharap ada sesuatu yang dapat kulihat dan sekaligus menjelaskan posisi diriku berada. Kuputar mataku ke arah kiri dan mendapati sebuah tiang besi putih yang berdiri dengan terlihat di ujung atasnya menggantung beberapa kantong darah yang sudah mengempis dengan sedikit sisa yang entah mengapa tidak turun. Lalu bisa kulihat selang kecil yang tipis dan dengan cairan merah kehitaman di dalamnya tampak terhenti dan tidak lagi mengalir. Selang itu kemudian tidak lagi terlihat dan sepertinya berakhir di atas tubuhku.
Pandanganku yang samar samar kini beralih ke arah kanan, kali ini terlihat sebuah selimut yang sama seperti milikku sedang menutupi penuh tubuh seseorang dan menyisakan kepalanya saja. Penutup hijau di atas wajahnya membuat diriku tidak tahu siapa orang tersebut namun ku yakin ia memiliki kondisi darurat yang sama sepertiku dengan kantong kosong menggantung yang juga telah mengempis tampak di tiang bagaikan buah buahan yang kering dengan selang yang ujungnya tersembunyi dibalik selimut tersebut.
Lalu dari balik tubuh itu bisa kulihat sebuah kaca yang dibaliknya menampilkan beberapa orang sedang mengobrol. Tepatnya ada tiga orang, namun mataku samar samar melihat wajah mereka dan hanya bisa memperkirakan orang orang tersebut dengan yang berbadan tinggi besar pasti seorang pria lalu disampingnya terdapat seseorang yang lebih pendek dengan pakaian putih serta berkerudung dan mereka berdua sedang berbicara dengan seorang di depannya dengan baju berwarna serba hijau muda.
Nafasku yang mulai teratur serta pikiranku yang perlahan tenang kini sadar tempat dimana diriku berada. Ruang ICU yang sangat dingin membuat diriku mulai menggigil dengan bibir yang gersang serta mata yang berat membuatku seakan ingin kembali tertidur namun aku sama sekali tidak bisa kembali terlelap dengan udara yang membekukan badanku ini.
Kemudian kuarahkan kembali mataku ke mereka yang kali ini hanya meninggalkan si pria besar dan seorang wanita yang berdiri bersamanya. Nampak si laki laki itu merundukan pandangannya terus bersama si wanita, namun saat kuperhatikan lebih lagi sepertinya mereka menaruh pandangan mereka ke pria di balik selimut itu.
Konsep waktu telah hilang dari pikiranku, entah berapa lama menit serta jam yang terlewat saat diriku yang setengah sadar kembali terlelap. Cahaya menyengat yang sama terus membuatku kebingungan dengan kejelasan kondisiku saat ini. Satu satunya yang kuingat adalah mimpi barusan, namun apa yang membuatku bermimpi itu masih tidak kuketahui.
Mataku terus berkedip kedip, lelah dengan sengatan cahaya ini dan segera ingin sekali bangkit dan pergi dari tempat dingin ini. Jemariku yang tadi hanya bisa sedikit sekali bergerak sekarang berubah saat tiba tiba aku bisa merasakan tanganku telah bangkit dan dapat menggeser selimut yang menutupi diriku.

Kutarik selimut tersebut dan diriku langsung diterpa angin kencang dari AC yang berada di atas ruangan. Aku segera bangkit, mendudukan badanku dengan sekuat tenaga dan mendapati selang selang yang tadi kulihat ternyata langsung tersambung ke dadaku, tepatnya menembusnya dan sepertinya langsung mengalir ke jantung ku. Aku sedikit panik, namun aku tidak bodoh untuk langsung mencabut selang itu dan membiarkannya menggantung disana.
Pandanganku yang kini telah membaik mungkin dapat menjelaskan keberadaanku saat ini dan apa yang sudah terjadi pada diriku. Mataku beralih ke depan dan melihat seorang perawat dengan pakaian serba hijau yang sedang sibuk kini tiba tiba berhenti bergerak saat melihatku dari balik kacamata bulatnya. Ia pun segera menghentikan tangannya yang sibuk dan segera berjalan cepat ke arah lain dan meninggalkanku begitu saja. Kuperhatikan arahnya berjalan dan kali ini dapat kulihat ia sudah keluar dari ruangan ini dan berjalan melewati ruangan kaca tadi dimana dia berbicara dengan dua orang sebelumnya.
Beberapa detik setelah perawat itu menghilang kini suara tapakan langkah kaki yang terburu buru dan muncul suara gesekan pintu dengan keras. Kedua orang tadi kini masuk dan langsung mengarah ke jendela, menatapku dengan jelas. Dito dengan wajah pucat dan matanya yang melebar penuh lalu di sebelahnya Dewi dengan muka yang memerah serta air mata yang mengalir yang tidak henti hentinya ia usap.
Aku pun hanya bernafas dengan tenang saat melihat mereka dan tidak tahu respon atau ekspresi apa yang harus kuberikan pada mereka. Wajahku datar dan hanya melihat mereka seperti biasanya. Lalu kualihkan pandanganku ke arah kawan di sebelahku yang tadi sedang tertidur kini sepertinya ia telah benar benar terlelap dengan wajahnya yang sekarang telah tertutup penuh dengan selimut tersebut.
Kupandang dirinya dengan penuh rasa iba serta kasihan selama beberapa detik hingga diriku yang tidak kuat langsung kembali memusatkan mataku ke arah Dito. Ia menggeleng geleng ke arahku, aku yang tidak paham lalu menengadahkan sedikit tanganku dan juga sebelah alisku. Ujung telunjuknya lalu perlahan menyentuh kaca lalu perlahan dan serta dengan guncangan hebat di tangannya itu, telunjuknya beralih mengarah ke pria yang tertutupi selimut itu. Akupun melihat wajahnya yang pucat serta lesu, bahkan bisa kulihat dari ujung kelopak matanya terdapat sekilap cahaya yang berkilauan, bibirnya kemudian mulai bergerak dan perlahan mengucapkan sebuah kata, Ardi.


iii.

Tidak sampai esok harinya setelah hari itu diriku entah bagaimana penjelasannya didiagnosa dan sudah diperbolehkan pulang. Aku sangat bingung, entah ini keajaiban atau memang teknik pengobatan saat ini yang terlalu maju. Namun semua kecanggihan serta kemampuan itu tidak berguna saat melihat Ardi, aku sama sekali tidak menyangka kalau dia.
Aku bahkan tidak sempat melihat wajahnya dan tidak ada satupun dari kami yang berani atau sanggup menatap wajahnya. Aku pun yang baru keluar dari ruangan langsung disambut hangat oleh Dewi dan dipandu sambil duduk disampingnya sementara Dito yang terduduk hanya melihatku sejenak dan langsung membuat wajahnya dari hadapanku sambil terpejam dalam menahan sebuah rasa pedih, menjauh dari kami dan menyendiri sambil menunggu kabar terbaru dari Ardi dalam renungannya. Tidak ada sepatah katapun darinya yang muncul bahkan saat kukeluar dari ruangan tersebut. Sepertinya keajaiban tetap tidak akan pernah bisa menghilangkan sebuah kesedihan saat ini.

Dengan tubuh yang penuh dengan luka dari dalam dan luar pun mencoba untuk menatap kedepan dengan berani dan melihat ke arah mereka berdua. Aku menatap Dewi yang sedang melihat lihat bekas luka jahitan di tanganku dengan air matanya yang menghitam lelah setelah menangis. Kupegang tangannya dan memijatnya, mencoba mengurangi rasa sedihnya pula. Ia lalu menatapku dan dengan malu kuarahkan mataku ke tempat lain agar menghindar dari kontak mata langsung dengannya.

“Kenapa …?” lirihnya.

“Ah … kenapa gimana?” tanyaku bingung.

“Kenapa sampai begini …”

“Itu … aku minta maaf,”

Sebuah kepalang langsung terjun ke arah diriku, namun seketika berhenti sebelum membentur dadaku. Seringai kecil mencuat dari bibir tipis Dewi dan dengan sedikit guncangan di tubuhnya. “Maaf …?! buat apa … kamu aja sampai hampir mati terus kamu bilang maaf,” ujarnya sambil menggeleng geleng.

“Ya .. maaf bikin kamu nangis, itu aja sih kayaknya,” balasku santai.

“Gapapa kok,” balasnya dengan tersenyum sambil mengusap tangis kecil dari matanya.

“Tapi … gimana caranya aku bisa sampe, kukira aku tadi masih di rumah?” tanyaku gundah.

“Kamu ingat kan pas kamu ngasih pesan pagi kemarin.”

“Ya … terus.”

“Aku pas itu juga langsung naik mobil ke rumah kamu.”

“Aku gak liat,” balasku heran.

“Itu dia, aku sembunyi terus ngeliatin aja, nunggu sampai kamu keluar.”

“Ternyata aku gak keluar,” sambungku.

“Ya … yang keluar malah dua orang lain yang aku gak kenal, dia lari jauh kemana, aku gak ikutin.”

“Terus kamu langsung masuk kerumah?”

“Ya … aku ngerasa ada firasat buruk gitu, terus aku lari, nyari nyari dimana kamu, terus ngeliat bekas darah gitu di lantai, kuikutin ke ruang bawah terus ketemu kamu sama sodara kamu udah … ” Dewi terhenti sambil menggeleng geleng dengan alis mengkerut.

Segera kupegang tangannya untuk menenangkannya, iapun lalu menghembuskan semua nafasnya.

“Aku terus buat pertolongan pertama, nutup luka kamu sambil nelepon ambulan, terus kamu kekurangan darah, kurang banyak banget sampe butuh beberapa kantong segera, akhirnya aku gak pake lama langsung minta transfusi darahku langsung ke kamu.”

Aku tersentak dengan penjelasannya. Dewi bukan saja menyelamatkan kami sekali namun dua kali, ia benar benar wanita yang benar benar berani.

“Makasih banyak ya … aku gak bisa balas-”

“Ish … udah, gak perlu, aku merasa kalau ini adalah peranku untuk membantu kamu.”

“Kamu bukan lagi bantu Dew, kamu nyelamatin kita. Terus kamu hubungin Dito?”

“Gak … dia datang sebelum ambulan datang terus bantuin aku buat nutup luka sodara kamu, abis itu kita berdua datang kemari, nungguin kamu bareng,” jealsnya.

“Dito bilang apa?”

“Dia bilang makasih banyak sambil panik, aku paham sih bukan waktunya ngobrol lagi kondisi begitu.”

Aku lalu menoleh sedikit ke arah Dito yang masih belum berubah. “Dari kemarin dai begitu?”

Dewi mengangguk kecil. Setelahnya ku pegang pundaknya dengan lembut sambil memijatnya, kemudian kulepaskan dan menapakan tanganku ke kursi dan mencoba untuk berdiri sendiri. Dewi lalu dengan sigap membantuku dan segera kami berjalan ke arah Dito. Berdiri di hadapannya yang termenung sambil menatapnya dengan penuh rasa iba.

“Dit-”

“Maaf.”

“Gak kena-”

“Maaf karena saya menyuruh kalian berdua ke rumah, maaf telah egois, maaf juga karena jadi pemimpin yang buruk,” ucap Dito dengan tegas, kemudian ia membentur benturkan kepalanya dengan kedua tangannya.

Kuarahkan tanganku ke pundak Dito sambil merunduk, mencoba meringankan beban batinnya saat ini yang sedang kacau akan rasa kecewa dengan dirinya sendiri.

“Tenang aja, Ardi itu kuat, jadi-”

Sebuah gebrakan pintu datang dari arah ruangan ICU, mengalihkan pandangan kami semua ke arahnya.

“Keluarga Ardi!” sahut perawat.

Dito seperti kesetanan langsung berlari menghampiri si perawat. Akupun ikut berjalan menghampirinya perlahan bersama Dewi.

“Jadi gimana?” seru Dito.

“Kami sudah berusaha, jantungnya berhenti juga pernafasannya, kami sudah mengecek ulang juga namun saudara Ardi tidak tertolong. Kami mohon maaf yang sebesar besarnya.” jelas perawat yang disambung dengan erangan Dito yang menggema ke seluruh lorong rumah sakit.
0 0
0
KERIS - SINGA HITAM
28-03-2023 13:14
BAB VII - Tidak Adil

i.

Tangan besar yang terlipat itu tidak hentinya mematung; meneduhkan kepala yang terus tertunduk di depan pintu yang lebar itu. Wajah putih pucat serta mata yang terpejam melukiskan akan pedihnya serta sesal atas keputusan yang ia telah buat.
Aku tahu Dito berbuat salah dan ini adalah bayaran yang sangatlah mahal, namun aku juga tidak bisa menyalahkannya dengan segala usaha serta keputusannya selama ini. Musuh kami jelas telah memberikan kejutan dan tidak ada sama sekali yang menyangka kalau hal ini dapat terjadi, bahkan dengan strategi yang jenius Dito sekalipun.
Sementara itu Dewi berusaha meringankan beban batinku di saat saat seperti ini adalah sebuah anugrah yang tidak bisa kubayangkan. Tubuhku yang masih kedinginan diselimuti dengan jaket tebal yang ia bawa. Dengan senyum kecil bercampur pahit ia terus layangkan ke hadapanku berharap mataku dapat menerimanya dengan lapang dada. Aku tidak bisa menolak namun juga tidak dapat merespon dengan sikapnya yang baik itu, aku benar benar merasa sangat lemah dan tidak berdaya akan semua kejadian ini.
Aku sangat tidak percaya akan kepergian Ardi namun aku tidak memungkiri tentang mimpi anehku sebelumnya, apakah itu memang benar malaikat maut, lalu kenapa aku harus melihat kepergiannya. Aku sangat yakin kalau tadi bukanlah sebuah kebetulan, ada sebuah tujuan dari mimpi tadi yang masih harus kucari tahu.
Mataku menoleh ke arah sekeliling dengan hampa sambil mengalihkan perhatianku dari pikiranku yang sedang kusut. Kujambak jambak rambutku yang membeku sambil memasamkan wajahku; menghadap ke arah lantai dan berharap kalau ini bukanlah sebuah pikiranku saja, namun ada sebuah firasat yang entah kenapa aku sendiri tidak bisa mengeluarkannya dalam bentuk kata kata. Rasanya dari dalam tubuhku ada sesuatu yang ingin sekali kumuntahkan sampai sampai semua isi perutku keluar.
Kupegang kembali perutku yang penuh dengan jahitan sambil menaruh wajahku yang menggeram menahan rasa sakit ke Dewi.

“Kenapa? kamu perutnya sakit, coba kulihat?” tanya Dewi cepat sambil membuka kaosku.

Rasa kecewa serta lega bercampur saat kulihat hanya ada bekas jahitan diantara kulit yang putih kecoklatan, tanpa darah ataupun luka yang terbuka. Namun rasa mual serta sakit terus bergejolak di perutku.

“Kamu mual; sakit?”

“Adeh … kayaknya dua duanya.”

“Kalo gitu aku coba tanya ke dokter lagi ya,” ucap Dewi sambil berusaha berdiri, namun dengan cepat kucegah dengan tanganku dan menggeleng, memberitahunya kalau sebenarnya ini bukan kondisi yang fatal bagiku.

“Kenapa … aku takutnya kamu ada pendarahan di dalam,” ujar Dewi dengan wajah panik.

“Aku gak tahu … tapi kayaknya bukan pendarahan, kayak kebakar rasanya,” jelasku.

“Kamu yakin?”

Aku hanya mengangguk sambil menggigit bibir.

“Aku gak mau ambil resiko,” balas Dewi sambil menarik tanganku dan memanduku di pundaknya.

Aku sampai terkejut saat ia menarik paksa tanganku, tidak tahu kalau dewi ternyata kuat sekali kalau sedang begini. Kami pun berjalan dengan langkah kecil yang terburu buru ke arah pintu ICU, namun belum sampai setengah perjalanan ternyata rasa sakitku hilang tiba tiba. Aku awalnya mengira kalau itu hanya terjadi sebentar saja, namun ternyata rasa sakit itu sama sekali tidak kembali. Kemudian kubiarkan diriku diseret oleh Dewi sampai akhirnya kami dekat dengan tempat dimana Dito sedang merenung.

Kuraih tangan Dewi yang sedang memanggulku dan menepuknya perlahan lahan. “Dewi … sakitnya udah ilang,” ucapku.

Dewi menatapku heran. “Serius, udah deh jangan sok sok ‘an; jangan sampai terlambat, nanti bahaya,” balasnya sambil mengambil langkah berusaha untuk melanjutkan perjalanan.

Kemudian dengan sekuat tenaga kucoba lepaskan diriku dari rangkulannya dan berdiri dengan tegap. “Liat kan?! gak tahu kenapa tiba tiba ilang,” tegasku.

“Udah kenapa jangan bantah! nanti kamu sakit lagi gimana?” bentak Dewi.

“Bener Jay … udah masuk aja lagi,” sambung Dito dengan nada berat.

“Tapi bos-”

“Jangan saya harus pesan dua lubang,” ujar Dito sambil menaikan kepalanya dan menatapku dengan tajam.

Kutarik nafasku dalam dalam sambil memutar pandanganku ke arah lain saat mendengar bualannya itu. “Gua gak percaya Ardi dah mati, lu juga kan?!”

“Emang dokter tadi bilang kurang jelas?”

“Jelas, terlalu jelas, tapi gua bisa ngerasain kalo itu orang belum mati,” ucapku lantang.

Dito lalu berdiri dengan alis menukik sambil melipat kedua lengannya. “Lu jangan banyak bertingkah, emang apa buktinya”

“Lu gak bisa rasain dari tadi? hawanya … sama sekali belum ilang.”

“Iya … tapi udah meredup, itu tanda kalau-”

“Kalo apa? kalo memang mati harusnya udah ilang dari tadi,”

Dito hanya terdiam mendengarkan kataku tadi sementara dewi hanya menatap kami berdua dengan wajah pucat serta bingung.

“Gua tahu bos, rasanya orang mati ato hidup. Karena gua ama Ardi lama latihan ama itu orang dan paham betul apa yang dia ajarin, hawanya juga perasaan pas nyawa orang orang yang ilang. Jadi perasaan gua gak bakal salah,” jelasku lantang.

“Seyakin itu?” Dito merapatkan matanya.

“Ya … ini pasti Ardi lagi berurusan sama malaikat maut, makannya ‘hawa’ dia sampai ciut kayak begitu,”

“Oke kalo gitu, kita taruhan. Kalo itu orang keluar dari ruangan, berarti saya kabulin apapun permintaan lu. Kalo keluar pakai kasurnya, berarti sebelum saya pergi ke Brama saya bakal hajar lu sampe gak berbentuk,” berangnya.

“Adeh pake taruhan segala, oke deal,” balasku seakan tidak peduli pada ancamannya itu.

Sedetik setelah semua itu tiba tiba aku dan Dito dengan cepat menoleh ke arah ruang ICU, ada sebuah perasaan yang aneh; kuat dan seperti bukan dari Ardi, melainkan sesuatu yang lain. Aku sekarang tidak bisa merasakan kehadiran Ardi dan siapapun itu sedang menimpa hawa kehidupannya dan melenyapkan Ardi. Dengan sigap Dito langsung memasang kuda kudanya di tempat ia berdiri dan siap menghadang apapun itu sementara aku langsung dengan cekatan berdiri di depan Dewi berusaha melindunginya.
Aku sekali tidak percaya kalau Brama bisa segila ini dengan mengirimkan prajuritnya di tempat umum tanpa rasa takut. Akan tetapi aku sendiri tidak begitu yakin apakah ini adalah ulah Brama atau bukan, jika dilihat dari pengalamanku kalau makhluk itu sama sekali tidak terdeteksi, namun kali ini aura yang besar itu secara terang terangan berusaha mengintimidasi kami. Apakah itu Brama sendiri atau memang dia memiliki senjata rahasia lainnya yang kami tidak tahu.

“Itu bukan Ardi,” ujar Dito.

“Ya … terus siapa? gua gak yakin itu si topeng ato si botak,” balasku menjabarkan analisisku.

“Bisa jadi itu dia …”

“Ya …. “

Dito menoleh ke arah kami berdua. “Kalau dia keluar, saya bakal langsung serang terus lu berdua pergi, kalo bisa sekarang,” ucap Dito perlahan sambil melempar telunjuknya ke arah lorong.

Aku hanya mengangguk sambil berjalan perlahan, mundur dan melihat ke arah belakang, bersiap untuk serangan kejutan.
Sebuah teriakan yang kencang muncul dari dalam ruang ICU, sepertinya perawat itu sudah menjadi korban pertama dari kekejaman apapun mahluk itu. Kemudian perlahan kudengar langkah kaki yang basah sedang menginjak lantai. Sementara Dito yang sudah bersedia menyergap makhluk itu persis di depan pintu dengan kedua tangan besarnya siap menyerang. Suara pintu bergeser datang bersama jantung kami yang berdebar debar, pintu itu terbuka perlahan, kemudian sebuah siluet kepala dengan rambut lebat menjulur dari dalam yang seketika itu juga langsung dihantam oleh tinju Dito.
Kami semua kaget saat tembakan besar tersebut langsung terhenti dengan menimbulkan suara tepukan yang kencang menggema di seluruh lorong. Pukulan itu berhasil ditangkap dengan sempurna oleh tangan itu. Dito sendiri entah mengapa hanya membeku dan tidak melancarkan serangan selanjutnya. kemudian kepala itu menjulur sepenuhnya dengan rambut indahnya yang terurai, makhluk itu- tidak; orang itu lalu membalikan wajahnya ke arah kami semua dengan santai sambil memejamkan matanya layaknya tidak terjadi apa apa.
0 0
0
KERIS - SINGA HITAM
28-03-2023 13:28
ii.

PIC 4

Tangan besar yang terlipat itu terus merenung dengan sepasang mata lusu yang sesekali mencuri pandang ke arah Ardi, dalam tertunduk terus melihat; mengamati dirinya yang dengan ajaib berdiri di hadapan kami.
Sinar matahari teduh yang dipayungi oleh rindangnya pohon dalam sebuah suasana yang sejuk kaki kaki kami akhirnya dapat menginjak rumput yang begitu nyaman sekaligus membuatku merasa sedikit tenang. Kami bertiga terduduk di halaman belakang rumah Dewi, tepatnya rumah kakeknya. Sebuah taman kecil yang mengingatkanku akan masa kecilku yang sering diundang Dewi untuk mengobrol ataupun mengerjakan tugas bersama disini.
Namun aku tidak akan menyangka kalau aku akan kembali lagi ke tempat ini dengan situasi yang benar benar berbeda. Walau dengan segelas teh hangat di masing masing hadapan kami sama sekali tidak dapat melembutkan atau mengurangi rasa tegang yang telah kami alami.
Ditambah lagi dengan kondisi Ardi yang mengapa sejak tadi keluar dari rumah sakit sama sekali tidak mengeluarkan sepatah katapun atau bahkan candaannya yang biasa ia asal lempar. Dalam pejamannya ia duduk dengan rapi dan hanya bernafas dengan tenang seperti biasanya namun kenapa hanya dengan melihatnya saja aku bisa merasakan kalau yang berada di hadapan kami bukan lah Ardi melainkan sesuatu yang berbeda dan bisa kurasakan kalau ada sesuatu yang telah berubah darinya entah apapun itu. Kemudian langkah langkah yang menapaki rumput datang memecah kondisi tegang itu.

“Jaya … ini kakek,” sahut Dewi sambil memegangi kakeknya untuk berjalan.

Aku kemudian segera berdiri menyambut dengan hangat kakek Dewi. Berbadan kurus setinggi Dewi, berhidung mancung dengan mata setengah terbuka disertai wajah yang mulai mengkerut berjalan pelan dengan tongkatnya serta kemeja rapi bertopi flat cap. Sementara itu Dito menutupi wajahnya dengan tangannya dan Ardi hanya terdiam sambil memperhatikan cangkirnya.

“Maaf Kek Aji sudah merepotkan. Sekali lagi terimakasih banyak,” sapaku sambil memberi senyum kecil pada mereka berdua.

“Santai aja … yang lain juga; anggap aja rumah sendiri,“ balasnya sambil melambaikan tangannya ke bawah. “Termasuk kamu juga, Dito.”

Dito kemudian tersentak sambil memalingkan wajahnya yang malu dengan garis keras di bibirnya.

“Terus kemana yang lain?” tanyanya heran.

“Yang lain? Cumang kami bertiga.”

“Maksudnya adeknya Dito sama temennya.”

“Oh … mereka di tempat aman Kek.”

“Bagus kalo begitu, kerja bagus kamu Dito,” ujar mbah dengan seringai kecil.

Dito kemudian membalas pujian itu dengan mata tajamnya. “Sekali lagi terimakasih, tapi maaf; saya bakal tetap pergi nanti,” tegasnya.

Kakek Aji lalu berjalan pelan menghampiri kami lalu berhenti tepat di depan meja kami dan kemudian duduk di sebuah kursi kosong sementara Dewi berdiri di belakangnya.

“Jangan terlalu keras … selama kalian disini semua aman.”

“Aman?! anda lihat sendiri kan di berita gimana gilanya si Brama,” bentak Dito.

“Ya … lalu?”

“Apa dia ada indikasi untuk berhenti? GAK. Makannya sebelum banyak lagi korban saya harus ... “ hembus nafas Dito dengan kencang dari mulutnya. “serahin diri.”

“Terus kamu biarin Brama menang, dapet apa yang dia mau? gitu?” tanya Kek Aji dengan mata memicing.

Dito lalu menggeleng geleng kecil sambil menggertakan giginya. “Ya,” jawab Dito perih.

“Untuk?” cecar Kek Aji.

“Jelas! untuk nyelamatin anda, Jaya, Ardi, Dewi, juga semuanya!” pekik Dito.

Kek Aji lalu menurunkan sedikit topinya sambil menatap murung Dito. “Saya … bisa bantu kamu Dito, tapi kalo ini emang keputusan bulat kamu agar Brama menang, maka gak ada pilihan lain buat saya untuk maksa kamu.”

Dito lalu menghembus kan nafas dengan leganya sambil menepuk meja dengan kedua tangannya. “Terimakasih sekali lagi kalau begitu,” pungkas Dito.

Kek Aji lalu berdiri menepuk pundak Dewi dan berjalan perlahan pergi meninggalkan kami berempat. “Ini era kalian, saya gak ada hak buat nentuin hal semacam begini lagi, semoga kalian berpikir bijak dan tidak menyesal nantinya,” ucap kek Aji sambil mengetuk ngetuk tongkatnya.

“Saya kenal ayah kamu Dito, semoga aja kepintaran dan keputusan kamu bisa jadi penentu juga penyelamat untuk semua; sama seperti ayah kamu,” pungkas Kek Aji sambil berjalan masuk ke dalam rumah.

Dito lalu menjambak jambak rambutnya yang berantakan serta kacau balau dengan semua tekanan pada dirinya. Aku sangat paham dengan menjadikannya dirinya sebagai sebagai martir agar kami semua selamat adalah satu satunya tujuan yang ia pikirkan kali ini. Namun aku sendiri tidak bisa mengelak kalau keegoisannya saat ini mungkin dapat menjadi efek yang sangat besar nantinya apabila Brama mendapatkan entah apa itu yang dia mau dari Dito. Apapun hal itu aku sama sekali tidak bisa membayangkan apa yang bisa Brama lakukan dengan seluruh pasukannya itu.
Disisi lain aku sendiri juga tidak punya banyak pilihan, melawan balik sudah jelas adalah tindakan bunuh diri lagi, satu satunya orang yang masih pulih dan dapat melawan hanyalah Dito, sementara Ardi yang menutup mulut hanya mematung dan tidak mungkin baginya untuk membuat perubahan. Aku juga tidak bisa meminta Dewi untuk memberikan sebuah solusi dengan kehadirannya yang tiba tiba dan mungkin saja malah dapat membahayakan dirinya juga. Apakah ini adalah akhirnya, semua sesuai dengan rencananya dan kita hanya tinggal mematuhi semua yang Brama inginkan.

“Maaf mengganggu, permisi dulu aku ingin mengambil perban ganti ya,” cakap Dewi sambil berlari kecil meninggalkan kami bertiga.

Suasana kembali menjadi keruh dengan tidak ada satupun dari kami yang dapat melempar sepatah kata. Dito yang sibuk memijat mijat batang hidungnya, Ardi yang bengong saja sementara ku yang sejak tadi matanya tidak bisa diam mencari cari sebuah inspirasi untuk menyelesaikan konflik ini. Tidak lama kemudian ada sebuah pemikiran yang ngawur dari kepalaku dan secara spontan membuatku mengangkat tanganku sambil menganga.

Music 5

“Tanding ulang,” ujar Ardi.

Mata kami berdua langsung teralih ke ucapan yang tidak jelas maksudnya itu.

“Apa maksudnya?” serbu Dito.

“Ya … tanding ulang, itu aja.”

Aku yang juga terkejut langsung memandang Ardi dengan kesal. “What the … Edan.”

Dito lalu menaikan tangannya ke atas meja sambil mendekatkan wajahnya ke kepala Ardi. “Lu … “ lalu Dito kembali duduk seperti semula, lalu tertawa terbahak bahak, tawanya sangat keras sampai sampai aku juga ikut tertawa dengan sedikit air mata mengalir di pipiku.

Dito lalu menepak nepak kepalanya berkali kali. “Sebenernya apa tujuan lu.”

“Simpel, tanding ulang secara adil terus kita tentuin siapa yang menang,” balas Ardi santai.

“Buset dah … Harusnya Brama nusuk isi otak lu, soalnya kalo lu idup lagi juga sia sia,” hardik Dito.

“Ya … Brama juga udah jelas menang bukan?, kita juga tahu sekuat apa dua tentaranya itu; malah ada tiga. Gak mungkin lagi kita nantang dia lagi kalau hasilnya sama aja,” balasku berusaha realistis sambil menyadarkan pilihan Ardi

“Itu dia, sekarang karena kita sudah tahu, jadi kita harus coba lagi.”

Dito lalu menggeleng geleng sambil memunculkan senyum miringnya. “Udah cukup, saya nanti bakal telepon Brama dan bakal pergi besok.”

Ardi lalu mengalihkan pandangannya ke arah Dito. “Gak, gak bisa.”

“Kenapa, bukan waktunya kita berdebat yang gak penting, kita cumang bisa doa kalo si Brama sebenernya punya niat baik terus kelar bukan,” ungkap Dito.

“Kagak, tetep gak bisa, anda anda pada bisa aja santai. Tapi disini aku yang paling gak terima kalah kayak begini,” ucap Ardi sambil menggertakan giginya.

“Ya terserah lah kalo gitu,” balas Dito sambil berdiri berusaha meninggalkan kami berdua.

Namun belum sampai selangkah Ardi langsung menangkap tangan Dito. Dito lalu melotot ke arah Ardi dengan mata menyala. “Le-pas,” perintahnya pelan.

“Kagak, kagak sampe kita-” belum selesai Dito lalu menarik paksa lengannya yang kemudian langsung dikejar lagi oleh tangan Ardi yang dengan cepat menangkap lengan Dito kembali.

“Ini masalah kehormatan,” ujar Ardi dengan lembut.

“Tolol, Ini udah SELESAI,” balas Dito yang berusaha lagi melepaskan tangannya dari jeratan Ardi, namun kali ini tangannya tertahan dan gagal.

“Ini masalah … harga-diri,” cetus Ardi sambil menunjuk menunjuk ke dadanya sendiri.

“Jangan mulai … “

Ardi lalu mendekatkan wajahnya ke batang hidung Dito. “Kau .. gak bertarung, gak di sana, sekarang jangan jadi … pengecut.”

Sebuah tinju langsung melayang tepat ke wajah Ardi yang saat itu juga langsung ditangkap dengan satu tangannya.

“Cumang segini? pantes aja Brama berani sama ELU!”

Dengan kepala memerah Dito lalu mengadu kepalanya dengan Ardi dan membenturnya dengan keras, Ardi yang dibuat goyah lalu balas menyeruduk balik, mementalkan kepala Dito dengan matanya yang terpejam menahan sakit.
Aku yang menyaksikan keributan ini dengan sigap memindahkan gelas gelas teh tadi ke tempat aman dan menjauhkannya dari meja, memegangnya dan menonton kelakuan mereka berdua dari jauh.
Dito lalu menarik kembali tinjunya yang telah ditangkap dan langsung mendorongnya lagi ke arah wajah Ardi namun berhasil ia hindari dengan melepas semua cengkramannya tadi dan melompat mundur.

“Maksudnya apa? doa biar Brama berbuat baik, BEGITU MAKSUDNYA? emang bodoh!”

Dito lalu menyerbu Ardi dengan cepat, saking cepatnya sampai sampai tubuh besarnya dalam sekejap telah berpindah ke hadapan Ardi, kemudian sebuah tinju uppercut ia layangkan yang juga tidak kalah cepatnya Ardi tangkap, membuat tubuhnya terangkat ke atas bersama dengan terbangnya tinju tersebut ke udara. Lalu Kaki panjang Ardi meluncur di udara dan langsung menerjang kepala Dito yang ia berhasil tangkis dengan satu tangannya, namun entah tangkisan itu yang terlalu lemah atau tendangan Ardi yang kuat akhirnya dapat menggoyahkan tubuh besar Dito dan membuat kuda kudanya lemah.
Kaki Ardi yang berhasil turun dengan bergas ia tancapkan ke tanah, ia tarik kembali sisa kakinya yang masih di langit ke dekat dadanya dan secepat kilat menembakan tendangan keras tepat ke dada Dito, mementalkannya ke belakang sampai terjatuh. Ardi yang tidak memberi ampun langsung menerjang kembali Dito dengan melompat sambil melayangkan tendangan dengan tumitnya. Dito lalu berguling dan berhasil menghindari serangan yang langsung menembus tanah itu sampai dalam. Namun Dito yang berhenti berguling seketika dikejutkan dengan sebuah tinju keras ke tanah tepat di sebelah daun telinganya.
Dito terhenti, dengan mulut terbuka serta nafas terengah engah ditambah keringat yang mulai bercucuran menatap Ardi dengan matanya yang lebar. Dengan mata yang berkaca kaca disertai tetesan yang akhirnya tumpah dari bendungnya Dito lalu menggeleng kecil di atas rerumputan dengan wajah lusu.

“Tanding … ulang?”

Ardi lalu menarik tinjunya lalu membukanya, menyodorkan tangannya ke hadapan Dito dengan segera ia raih. Mereka berdua bangkit sambil menggenggam erat kedua tangannya dan menaruhnya di depan dada mereka. Sementara baru kusadari di dekat pintu, Dewi yang sepertinya sejak tadi berdiri menonton perkelahian mereka berdua diam diam dengan wajah membatu.

“Ya … itu yang kumaksud,”

Dito kemudian mengusap air matanya menoleh ke arahku sambil mengangkat dagunya.

“Hadeh … apes,”

“Kalo gitu … kita tunjukin ke si brengsek itu kalo sebenarnya kita bisa menang,” seru Dito.
Diubah oleh amriakhsan
0 0
0
Halaman 1 dari 2
icon-hot-thread
Hot Threads
Stories from the Heart
rumah-sangit
Stories from the Heart
Heart to Heart
an-eye-for-an-eye
Copyright © 2023, Kaskus Networks, PT Darta Media Indonesia