• Beranda
  • ...
  • Education
  • Nyaman Hidup Sebagai Gembel, Mentalitas yang Memberi Masalah Satu Negara

ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Nyaman Hidup Sebagai Gembel, Mentalitas yang Memberi Masalah Satu Negara


Beberapa hari ini saya berkenalan dengan seorang kaskuser yang luar biasa. Luar biasa bukan berarti hebat, tapi benar-benar di luar dari biasa. Agan yang satu ini sudah dua tahun merantau dari Medan dan hidup secara nomaden alias menggembel. Gembel? Gelandangan? Tunawisma? Apa pun istilahnya, kenyataannya saat ini dia tak punya rumah dan tak punya pekerjaan. Sejarah lengkapnya silahkan baca sendiri di sini.

Bicara tentang gembel, sadar nggak kalau keberadaan gembel menjadi semakin meresahkan dari hari ke hari? Apa agan pernah lewat gang sepi dan menemukan sepanjang jalan penuh dengan gembel yang menadahkan tangan? Apa Anda pernah malam-malam pergi ke stasiun atau masjid dan menemukan para gembel tidur dengan nyamannya? Di kota-kota besar hal ini merupakan pemandangan yang cukup umum.



Menjadi gembel bukanlah sesuatu yang diinginkan oleh siapa pun. Banyak orang bernasib sial kehilangan rumah dan pekerjaan, tak punya kerabat yang bersedia menampung, dan tak lagi punya pegangan hidup. Akhirnya ya terlunta-lunta. Mengemis ke orang-orang yang lewat dan bahkan mencuri untuk bisa makan.

Tak ada yang mau jadi gembel, tapi kira-kira berapa banyak gembel yang benar-benar berjuang untuk merubah nasib?

Kalau sudah terbiasa, sebenarnya kehidupan gembel sungguh sangat nyaman dan bebas beban. Tak perlu mikirin sewa rumah, tak perlu pusing berangkat kerja, mandi atau boker tinggal ke masjid atau pom bensin, lapar tinggal mengemis, dan lain-lain. Kalau beruntung uang hasil mengemis bisa dipakai ke warnet atau beli McD. Satu-satunya masalah paling cuma malu kalau ada kenalan lewat.



Dalam beberapa kasus, banyak juga para perantau yang tak sanggup bersaing di kota besar dan akhirnya menggembel. Meski demikian, mereka menolak pulang. Mereka lebih memilih hidup terlunta-lunta daripada menanggung malu pada keluarga di desa. Akibatnya, ibukota menjadi semakin dan semakin padat penduduk.

Apakah tak ada orang yang mencoba berbuat sesuatu? Tentu saja ada. Ada banyak orang yang bersedia memberikan pekerjaan pada gembel-gembel ini, tapi apakah “semua” gembel bersedia menerima pekerjaan? Kalau saya bilang “tidak,” apakah Anda akan terkejut?



Pola hidup yang santai membuat seseorang menjadi malas dan menyingkirkan kemalasan itu untuk sesuatu yang belum tentu lebih baik adalah hal yang konyol. Dibandingkan gaya hidup gembel yang slow dan nyaman, siapa yang mau kerja keras dengan gaji seadanya dan tidur di gudang?

Satu hal lain yang membuat budaya gembel terus menjamur adalah kebudayaan Indonesia yang senang berbagi. Di negara ini, bahkan pengemis pun bisa jadi kaya. Selain itu ada begitu banyak badan amal yang setiap harinya memberi makanan pada tunawisma. Dimanjakan (dibantu) seperti itu pada akhirnya membentuk mentalitas gembel yang sekedar menikmati hidup tanpa perlu mengkhawatirkan apa pun.



Di kota besar yang mana lapangan kerja terbatas tapi sumber daya manusia terus bermunculan, gembel adalah sebuah efek samping yang tak terhindarkan. Untuk orang-orang non-gembel, keberadaan mereka adalah sebuah konflik batin. Mau ditolong takutnya mereka keenakan, tidak ditolong nurani ini menjerit. Bahkan pemerintah pun tak bisa melakukan banyak hal jika mereka tak mau merubah diri mereka sendiri. Karenanya, sisanya kembali pada Anda. Sejauh apa Anda bisa mentoleransi keberadaan mereka?

Sekian dari saya mari bertemu di thread saya yang lainnya.
ZeroAvatar border
CucigosokAvatar border
jireshAvatar border
jiresh dan 32 lainnya memberi reputasi
33
5.8K
142
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Education
Education
icon
22.4KThread13.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.