Politik, meskipun begitu banyak teori-teori yang menempatkannya sebagai sains (ilmu olah pikir dan olah ide), tidak pernah lepas dalam praktek-praktek transaksional. Dalam perjalanannya, pada akhirnya tujuan politik adalah memperoleh kekuasaan. Kekuasaan dicapai dengan berbagai cara dan strategi. Banyak yang melakukan dengan pendekatan ide dan pikiran, tetapi tidak sedikit pula yang ingin mencapainya secara pragmatis.
Berbicara tentang politik, tentu salah satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari praktek-prakteknya adalah kapital atau modal. Kebutuhan logistik yang digunakan pada saat kampanye-kampanye politik dalam sebuah mengharuskan setiap pesertanya (partai politik) utuk memiliki modal yang cukup. Jika tidak, partai politik yang akan berlaga dalam kontestasi baik tingkat pusat maupun daerah, legislatif maupun eksekutif akan mengalami masalah yang besar. Setiap kandidat yang ikut berlaga dalam kontestasi sudah barang tentu membutuhkan suara (massa) yang akan mengantarkannya duduk di kursi kekuasaan. Pengumpulan massa dalam jumlah yang besar ini tentu saja membutuhkan biaya operasional yang tidak sedikit.
Jika dilihat dalam perkembangannya beberapa tahun terakhir ini, biaya politik di Indonesia memang tergolong mahal. Hal inilah yang menyebabkan tidak ada satu orang calon pejabat pun yang bisa mengikuti kontestasi tanpa bantuan suporter. Para suporter ini belakangan disebut atau dikenal sebagai oligarki, yakni sekelompok orang atau badan usaha yang menjadi pendukung finansial para kandidat pejabat yang akan maju dalam kontestasi pemilihan umum.
Berkaitan dengan hal ini, sebuah isu politik mencuat ke publik. Isu tersebut dilatarbelakangi oleh penetapan Anies Rasyid Baswedan sebagai bakal calon presiden pada Pemilu 2024 mendatang yang diusung oleh partai Nasdem dan kemudian didukung pula oleh Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera.
Sebuah klaim menyatakan bahwa terdapat perjanjian politik antara Anies dan Sandiaga Uno dalam pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta pada 2017 lalu. Dalam perjanjian tersebut sebagaiman diungkapkan oleh Wakil Ketua Umum partai Golkar Erwin Aksa, Sandiaga diketahui memberikan semacam pinjaman dana kepada Anies Baswedan sejumlah uang sebesar Rp. 50 Milyar. Biaya tersebut menurut Erwin yang juga adalah keponakan Jusuf Kalla, Wapres RI ke-10 dan ke-12, diberikan Sandiaga untuk membantu kegiatan operasional dalam kampanye Pilkada.
TS sendiri merasa heran mengenai apa konteks Erwin Aksa membuka informasi mengenai dana yang diberikan Sandiaga kepada Anies tersebut. Tetapi berdasarkan analisa TS sendiri, bahwa hal tersebut mencuat dikarenakan banyak pihak yang tidak berkenan jika Anies diumumkan sebagai bakal Capres pada Pemilu 2024 mendatang.
Hal demikian itu sebenarnya tidak mengejutkan. Dalam politik intrik-intrik dan upaya mencitrakan negatif lawan politik adalah hal yang lumrah. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dalam menjalankan kampanye (baik nyata maupun terselubung) selain memperkenalkan citra baik kandidatnya, para politisi juga kerap membuat propaganda dan pencitraan negatif kepada lawan-lawannya.
Pertarungan Pilpres 2024 sendiri masih akan terus berlangsung panas. Apalagi pada akhir 2023 nanti, partai politik akan mendaftarkan para kandidat dan partainya untuk mulai mengikuti proses yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia. Dalam berbagai survey yang telah dirilis, beberapa nama digadang-gadang memiliki kans yang cukup kuat akan menjadi peserta pada pemilihan umum 2024 mendatang. Nama-nama tersebut adalah Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Rasyid Baswedan.
Well, politik memang hal yang sulit ditebak. Kita sebagai masyarakat biasa memiliki kewajiban untuk selalu kritis dan bijak dalam menentukan pilihan politik.
Bagaimana menurut Agan dan Sista semua? Apakah kalian setuju dengan TS atau punya pendapat lain? Silahkan berikan komentar kalian di bawah ini yaa. Terima kasih sudah membaca. See you on the next thread.
Narasi : Ulasan Pribadi
Sumber Referensi :
https://nasional.kompas.com/read/202...an-anies-sandi
©copyright @albyabby91 2023
Berbicara tentang politik, tentu salah satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari praktek-prakteknya adalah kapital atau modal. Kebutuhan logistik yang digunakan pada saat kampanye-kampanye politik dalam sebuah mengharuskan setiap pesertanya (partai politik) utuk memiliki modal yang cukup. Jika tidak, partai politik yang akan berlaga dalam kontestasi baik tingkat pusat maupun daerah, legislatif maupun eksekutif akan mengalami masalah yang besar. Setiap kandidat yang ikut berlaga dalam kontestasi sudah barang tentu membutuhkan suara (massa) yang akan mengantarkannya duduk di kursi kekuasaan. Pengumpulan massa dalam jumlah yang besar ini tentu saja membutuhkan biaya operasional yang tidak sedikit.
Jika dilihat dalam perkembangannya beberapa tahun terakhir ini, biaya politik di Indonesia memang tergolong mahal. Hal inilah yang menyebabkan tidak ada satu orang calon pejabat pun yang bisa mengikuti kontestasi tanpa bantuan suporter. Para suporter ini belakangan disebut atau dikenal sebagai oligarki, yakni sekelompok orang atau badan usaha yang menjadi pendukung finansial para kandidat pejabat yang akan maju dalam kontestasi pemilihan umum.
Berkaitan dengan hal ini, sebuah isu politik mencuat ke publik. Isu tersebut dilatarbelakangi oleh penetapan Anies Rasyid Baswedan sebagai bakal calon presiden pada Pemilu 2024 mendatang yang diusung oleh partai Nasdem dan kemudian didukung pula oleh Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera.
Sebuah klaim menyatakan bahwa terdapat perjanjian politik antara Anies dan Sandiaga Uno dalam pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta pada 2017 lalu. Dalam perjanjian tersebut sebagaiman diungkapkan oleh Wakil Ketua Umum partai Golkar Erwin Aksa, Sandiaga diketahui memberikan semacam pinjaman dana kepada Anies Baswedan sejumlah uang sebesar Rp. 50 Milyar. Biaya tersebut menurut Erwin yang juga adalah keponakan Jusuf Kalla, Wapres RI ke-10 dan ke-12, diberikan Sandiaga untuk membantu kegiatan operasional dalam kampanye Pilkada.
TS sendiri merasa heran mengenai apa konteks Erwin Aksa membuka informasi mengenai dana yang diberikan Sandiaga kepada Anies tersebut. Tetapi berdasarkan analisa TS sendiri, bahwa hal tersebut mencuat dikarenakan banyak pihak yang tidak berkenan jika Anies diumumkan sebagai bakal Capres pada Pemilu 2024 mendatang.
Hal demikian itu sebenarnya tidak mengejutkan. Dalam politik intrik-intrik dan upaya mencitrakan negatif lawan politik adalah hal yang lumrah. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dalam menjalankan kampanye (baik nyata maupun terselubung) selain memperkenalkan citra baik kandidatnya, para politisi juga kerap membuat propaganda dan pencitraan negatif kepada lawan-lawannya.
Pertarungan Pilpres 2024 sendiri masih akan terus berlangsung panas. Apalagi pada akhir 2023 nanti, partai politik akan mendaftarkan para kandidat dan partainya untuk mulai mengikuti proses yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia. Dalam berbagai survey yang telah dirilis, beberapa nama digadang-gadang memiliki kans yang cukup kuat akan menjadi peserta pada pemilihan umum 2024 mendatang. Nama-nama tersebut adalah Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Rasyid Baswedan.
Well, politik memang hal yang sulit ditebak. Kita sebagai masyarakat biasa memiliki kewajiban untuk selalu kritis dan bijak dalam menentukan pilihan politik.
Bagaimana menurut Agan dan Sista semua? Apakah kalian setuju dengan TS atau punya pendapat lain? Silahkan berikan komentar kalian di bawah ini yaa. Terima kasih sudah membaca. See you on the next thread.
Narasi : Ulasan Pribadi
Sumber Referensi :
https://nasional.kompas.com/read/202...an-anies-sandi
©copyright @albyabby91 2023
