anasaufarazi810
TS
anasaufarazi810
Kekuatan Jahat di Rumah Duka
Hujan mengguyur kencang ke seluruh atap-atap tua dusun. Jauh dari kekacauan badai, menyala sambaran api meliuk-liuk di perapian beranda utama. Sonita berjalan mengikat rambut ke punggung, kemudian melipat tangan, berdiri mematung ke ambang pintu ruang tamu. Santi berjam-jam lamanya duduk menekur depan peti mati Sonia. Entah, apa merasuki dinding kepala gadis itu, barang tentu muncul harapan Sonia mampu bangkit dan menjenguk senyum manis ke wajah harunya. Mereka barulah mengenal tiga tahun, mengapa selamat tinggal itu sangat cepat, melampaui seluruh perpisahan di buku-buku cengeng murahan.

“Tidurlah. Aku gantikan.” Sonita bersila ke samping Santi. Santi masih melujurkan celana sembari membuka-buka majalah.

“Menurutmu,” Santi mengalihkan mata ke Sonita.

“Apa aku pantas menulis di majalah?”

“Kau tertarik ke sana?” tanya Sonita.

“Sepertinya menguras pena lebih merepotkan dari mengawini perjaka di musim bercinta begini.”

“Bicaramu selalu sulit kumengerti.”

“Kapan Arwan datang?”

“Kalau tidak ada kesulitan. Saudaraku tiba shubuh petang. Keluargaku datang ke mari sekaligus.”

“Bagus.” Santi membuat jarak ke belakang. Punggung itu berhenti ke barisan pintu-pintu tertutup. “Pernah menginap di sini? Rumah ini bagus sekali. Bahkan kupikir penatu dan biaya pasti lebih mahal dari motel ternama.”

“Tidak ada orang betah di sini. Saluran wc selalu mampet. Belum lagi lempengan ubin banyak didiami kutu-kutu ganas. Aku sarankan pulang itu lebih baik dari menginap.”

“Kacau.” Santi menerawang pintu paling jauh dan terpusat di tengah lorong. “Ah, pasti ada mayat di sana.”

“Tidak ah!” Sonita lari menyeret pinggang Santi ke meja bertaplak renda-renda. “Makan dulu. Aku sadar kau lapar. Sehingga liurmu lebih menjijikan dari a*****.”

“Pelayan terkutuk pantas lahir darimu.” Santi membuka waskom berisi nasi putih dan merobek daun pisang kemudian menyuling santan ke sana. Santi mulai menyuap pelahan-lahan ke mulutnya.

Sonita meraih botol selai membalur kacang mete ke sebulat roti hangat dari oven. Mereka makan begitu lahap, ditemani desau ranting-ranting pohon, bayangan pohon cungkring mengimbak-imbak tertiup hujan besar. Sekeliling rumah terpatri tembok berduri, mustahil maling nekat melompat, menudingkan parang atau sejenisnya. Mereka lebih lihai menjahati rumah-rumah sepi diujung kebon setapak, atau golongan monarki yang hamburkan uang menguasai berhektar-hektar tanah dusun hingga kuburan. Barangkali di tanah kuburan itulah mereka karuniakan mimpi paling indah di sana.

Tidak lama kebisingan luruhan daun-daun hujan berhenti. Seluruh lampu-lampu jalan mulai menyala, lapangan bola memantulkan kelap-kelip lampu piring, keheningan di sana hirap manakala muncul derung motor kumbang makin cepat, menjangkau pelataran rumah duka. Santi yang menidurkan dahi ke atas peti mati terbangun, terdengar pintu diketok-ketok keras. Sonita berjalan cepat-cepat membuka pintu, seketika muncul bayangan lelaki berpayung hitam di tengah-tengah gardu taman. Sonita melangkah hampiri siluet lelaki itu dekat-dekat. Tanpa disadari melayang tepukan tangan ke puncak kepalanya. Sonita kekagetan. Santi menyorot senter dan Sonita mengalihkan ke seberang. “Siapa lelaki itu?” telunjuknya menuding jauh-jauh ke jurusan taman depan.

Santi berhenti membelakangi pohon-pohon tinggi di tengah pekarangan. Pemuda itu sedang mematung memayungi kepala dengan payung hitam. Santi menepuk keras-keras pundak lelaki itu. “Arwan!”

Lelaki itu tidak lama menengok dan benar itu Arwan. Arwan melepas jas hujan tebal dari tubuhnya dan bergegas lari ke geladeri. Menyusul Santi terpontang-panting di belakang. Sonita menarik bangku dari besi dan duduk menopang dagu ke tangan. “Malam ini begitu berbeda dari sudah-sudah.”

“Hilangkan kecemasanmu.” Arwan membagi sigar terbakar ke Sonita. Sonita meniup kobaran api dan menyedot asap dalam-dalam.

“Oh-kau Wan!” Santi baru tiba dan melempar payung warna-warni ke sembarang arah. Kemudian duduk bersila depan pintu. “Kupikir kau pembunuh yang mau habisi kami.”

“Payah!” Sonita melempar gulungan koran bekas ke Santi.

Santi membuka surat kabar lebar-lebar dan membacanya kembali. “Hujan tinggi masih akan terjadi. Barangkali listrik padam kembali. Bersiaplah ada hantu bangkit dari baka.” Santi menakut-nakuti dengan tangan mencakar-cakar.

“Pikirmu Sonia mampu bangun dan mencakar tubuhmu?” Sonita membubung asap sejuk ke udara.

“Sonia pasti membunuhmu dulu. Kau telah hinakan orang mati. Orang mati butuh ketenangan abadi.” Santi mengutuki.

“Tidak. Lagipula, Sonia sangat baik, mustahil dia menerkam dan mencabik mulutku seperti babi.”

“Monyong a*****.” Santi menutup topi ke wajah cengar-cengir Sonita.

“Berapa jumlah anjing di desa ini?”

“Memang ada apa dengan itu?” Santi telah berdiri ke tengah meja serambi.

“Lihatlah nanti. Kalau benar tidak ada satu atau dua lolongan. Berarti arwah Sonia benar-benar damai di sisi Tuhan.”

“Ah-kau gendeng!” Sonita memukul dua belah pundak Arwan.

“Aku kan cukup baca mitos. Kalau kau marah. Berarti kau lebih dungu dariku.”

“Ayo!” Santi menarik-narik tangan Sonita ke dalam. “Ada mau kutunjukan padamu.”

“Mau apa?”

“Sudah jangan cerewet!” Santi tertawa-tawa rendah dan mereka berduyun-duyun menuju ke lorong. Sorot-sorot senter menari-nari di gelapnya sepanjang koridor. Arwan berhenti ke hadapan potret keluarga. Potret itu dibingkai berat, di sana Sonia dipangku neneknya di sebuah kursi dari rotan. Boneka teddy itu didekap erat-erat tubuhnya. “Sonia begitu kecilnya di gambar ini.”

“Tidak terasa semua itu telah lenyap.” Santi mendatangi tubuh Arwan.

Sonita menuding senter ke potret tua itu. “Aku bingung. Apa membuat Sonia pergi secepat itu. Di potret ini, dirinya seperti iblis kecil, yang menunggu terbangun pada suatu malam.”
“Gurauanmu sanggup bangunkan Sonia ke alam manusia.” Santi berbisik melenakan telinga Sonita.

“Wan!” panggil Sonita berbalik tubuh.
Arwan muncul dari tangga gelap kemudian mendorong satu peti berat. Sepertinya buffet kecil itu berisi macam-macam. Pikir Santi. Mereka mencongkel gembok dengan puntiran obeng besi. Seluruh kuncian terbuka menyemburkan debu hebat ke udara. Arwan duduk-duduk kembali ke serambi. Menyusul datangnya Santi ke sebelahnya.

Sonita menyorot senter ke ilustrasi. “Lihat. Ini gambar iblis yang merayap dari cangkang telur. Itu berarti Sonia tidak bohong.”

“Tunggu!” Santi mengarahkan pucuk senter Sonita ke tulisan abjad di bawahnya. “Kenapa kalimat ini dihapus separuhnya?”

“Nah,” Arwan selesai menyatukan potongan koran ke lembaran kurang itu. “Bacalah itu.”

“Kau berani?” Santi bertanya.

“Ini serupa mantra kebaktian sabat hitam.”

“Berani kau baca ini keras-keras depan peti mati, Sonia?” Santi mengulang tanya.

Sonita membisu beberapa waktu dan melepaskan topi dari kepalanya. “Aku ragu.”

“Justru itulah.” Arwan berdiri kembali ke sebelahnya. “Kita coba kebenaran itu benar tidaknya. Kalau tidak. Berarti semua ini cukup karangan mengada-ngada.”

“Arwan benar.” Santi matikan senter. “Kita telah berada di tahun yang hampir mendekati kemajuan. Setengah dekade lagi 90an tiba. Kita telah berada di puncak peradaban. Segala mengenai mitos, harus kita patahkan sebelum warna-warni 2000 ribu lahir ke dunia.”

“Ya,” Arwan menyahut. “Sekarang aku dampingimu.”

“Mengapa mesti aku?”

“Di kitab sabat hitam, hanya perempuan sedarah yang mampu tiupkan benih setan ke tubuh mati itu. Kau kan wanita, aku lelaki, jadi lebih ampuh mantra itu dihidupkan dari lidahmu.”

***

Mereka rampung mencari kesediaan ritual. Sebuah loyang berisi media boneka kotor semasa Sonia hidup di taruh bisu ke sana. Satu buah templok kecil diletakkan ke tengah-tengah sesajen. Nyala lilin-lilin memancar menaungi seluruh peti mati. Arwan selesai menyulut api ke mimbar ritual. Sonita menutup semua pintu hingga jendela. Santi mematikan sambungan listrik. Penerangan terbit dari beragam lampu-lampu minyak.

Dua tangan Sonita gemetar menampung kitab lusuh diiringi nyanyian-nyanyian sendu dari tabung gramapun. Samping kiri kanan Santi bersama Arwan melantunkan lagu perpisahan paling sedih. Tembang itu diulangi terus-menerus hingga tidak terasa suasana makin mencekam. Sonita mengangkat tinggi-tinggi kitab sabat setan dan menaruh ke atap peti mati. Sembari terus merapal ajian dari tulisan tempelan di sana. “Ascolto!” tepuk telapak Sonita ke permukaan dingin peti mati. “Virtus occulta! Evenite!” sentak suara itu merambat ke seluruh ruangan hening dan desir tubuh Santi hingga Arwan makin meninggikan suara mereka. Lagu kesenduan itu masih riang terputar-putar dari gramapun dan tanpa sadar: piringan macet, curahan nada tersendat-sendat, birama violin seakan tercekik putaran mengerikan tuas pemutar.

Arwan terbangun dari posisi kemudian menarik keras kotak aki memadamkan gerutuan tembang. Santi menidurkan wajahnya menatap langit-langit kamar keluarga. Sonita menyalakan semua lampu dan menggelar karpet ke samping tubuh Santi. Arwan memusat senter ke seberang jendela temaram di luar sana. Sepi. Keheningan itu menjadikan mereka semakin yakin ruh jahat itu benar-benar tipuan. Tidak ada kebenaran mampu lahir dari peristiwa sabat kegelapan barusan.

***

Jam pendule mendentum beberapa kali, jarum melesit pukul satu dini hari. Wajah Santi berusaha terjaga, membuka kembali selebaran majalah dari Sonia.

Sonita beralih duduk-duduk ke sebelahnya. “Kapan waktuku tiba?”

Santi menaruh majalah ke pangkuan. “Apa maksudmu? Aku mengantuk.” Santi menguap lebar ke wajah Sonita.

“Kau rajin membaca itu. Barangkali kelak namamu muncul di sana.”

“Menjadi penulis?” Santi mengakak. Kemudian merebahkan punggung ke sofa. “Orang lebih suka membaca penulis senior dari penulis penuh omong kosong sepertiku.”

“Kan, biasa dari omong kosong, mampu berangkat jadi kenyataan, kalau banyak ditiup kebohongan ke sana?”

“Itu lebih mengerikan lagi. Menulis ibarat kau memberi makan naluri. Dan nalurimu kalah gemuk dibanding mereka gede omongan darimu.”

“Itulah baiknya kau jangan pandai mengarang. Nanti orang mengecapmu dosen murahan.”

“Biar murah. Setidaknya aku tidak sempoyongan riset. Riset itu nutrisi sebelum bertempur hadapi janggut setan.”

“Mereka boleh berkepala besar. Banyak pula berwajah sejuta kebohongan. Anggaplah itu hiburan sebelum kau mati.”

“Aku mau bikin kopi. Kau pesan apa?” Santi mengedar pandang ke dapur belakang.

“Tidak usah. Sediakan wine saja.” Sonita berlalu menutup pintu dapur.

***

Santi tertawa pelan-pelan kemudian mengocok-ngocok gelas ke pancuran wastafel pembuangan. Melanjutkan memasak ceret hingga menuang ke dalam termos kecil. Menunggu air matang sayup-sayup Santi mendengar anjing melolong panjang, sangat lama, rintihan hewan itu begitu sendu, seakan-akan malam dingin itu badai mengerikan akan tiba ke dusun. Kaca ventilasi ditutup Santi tiba-tiba, tubuhnya melenggang ke depan kompor, mematik cerutu kembali, mengucur termos hangat ke dalam seduhan gelas dari kaca.

Santi melenggok langkah ke luar dapur, keadaan rumah makin membuat kulitnya panas, hawa dingin lenyap berganti menjadi gerah. Gadis itu melepaskan shal merah muda dan mengendurkan kancing sweater putihnya. Kalung liontin berisi potret itu diletakkan ke bawah lampu tidur. Santi mendaratkan tubuh ke samping Sonita yang menyodok-nyodok tongkat perapian. Sonita menyambar segelas wine dengan sangat cepat, meneguknya berulang-ulang. Santi menatapnya aneh. Arwan kembali dari beranda utama, memandang heran saudarinya.

Sonita meminta minuman lagi seakan sangat dahaga. Santi menyanggupi kemudian berlari ke pintu kulkas, sebotol susu diambilnya, perempuan itu mengangsur sedikit demi sedikit susu ke gelas, namun kecepatan tangan Sonita makin rakus menenggak, botol itu sekejap tumpah ke lehernya. Sonita serupa orang yang lari dari gurun pasir ke mari, gadis itu melarikan punggung ke kulkas, menumpahkan seluruh air ke sekujur tubuhnya. Perempuan sweater merah muda itu meraung, menggaruk-garuk tengkuk, mengejang-ngejang ke lantai, mengguling-guling.

Santi berlari ke arahnya, gadis itu menepuk-nepuk pipi Sonita, Sonita tetap tidak merespon, tubuhnya terus menggigil dan meliuk ke sana ke mari. Hingga tibalah Sonita melompat tinggi ke meja makan dan mengobrak-abrik seluruh hidangan. Gadis itu terhuyung-huyung persis anjing sekarat, seluruh punggung itu terkapar meniban lantai. Arwan mengejar tubuh saudarinya ke sana, namun tidak lama, wajah Sonita terbeliak, dua belah matanya melebar, menuju ke sekujur kakinya, menegang, terdengar sayatan dari sana. Sonita merangkak-rangkak dan memuntir lehernya ke punggung. Santi menubruk lampu tidur. Arwan terperangah hebat menatap kengerian itu.

Gadis itu terjatuh ke karpet kemudian pinggang itu terputar ke depan, mukanya mengembis-ngembis, menonjolkan tulang-tulang keras, luar biasa menakutkan.

Sonita tertawa-tawa makin mengerikan, mulut itu membuka sangat besar, bunyi geraman memutuskan lehernya. Sonita ambruk ke tanah usai mencabut seluruh kepalanya. Santi terluntap ke dinding, menjatuhkan dua belah tangan ke lantai, perempuan itu menatap penuh iba, menendang-nendang selujuran celana ke depan. Arwan memeluk pinggul kedinginan Santi.
Mayat Sonita hampir ditutup kain putih dari mori yang diambil bersama Santi. Santi mengalungkan liontin ke sebujur jasad mengerikan Sonita. Tidak lama dari itu terdengar suara bising dari beranda utama, gramapun tiba-tiba berputar sendiri. Santi segera mencabut tabung ampli, melempar keras ke tanah. Dua belah tengkuk wanita itu dibelai kedinginan hebat, secepat mungkin wajahnya berotasi ke peti mati Sonia. Semua penutup kain peti mati itu terbang ke udara, angin kencang meniup dari seluruh penjuru rumah.

Santi merapatkan pundak ke jenjang tangga, tidak lama, tutup peti bergetar hebat, mulut peti itu bergerak-gerak. Sebuah jemari-jemari runcing, begitu tajam dan mengerikan, mencengkeram dari dalam peti mati. Hitungan detik peti itu terbuka memuntahkan makhluk mengerikan dari sana, makhluk itu bergaun putih serupa Sonia, benar, Sonia telah menjelma menjadi iblis terkutuk.

Santi menjerit-jerit. Kepanikan itu semakin menjadi-jadi. Arwan datang dari selatan pintu dan memukul keras kepala Sonia. Sonia tersenyum dengan wajah bercula, dua belah bibir itu bertaring runcing. Arwan menuding-nuding revolver paterson ke mayat mengenaskan itu. Semburan peluru membuat tubuh Sonia makin lemah dan akhirnya jatuh ke lantai.

Arwan menendang punggung mengerikan itu, tidak lama keheningan pecah dengan Sonita melompat tinggi-tinggi dari puncak loteng dan menggaruk punggung Arwan. Arwan mendorong seluruh tubuh Sonita ke hamparan perapian panas, makhluk itu berteriak-teriak hebat. Sonita hangus dihembus juluran api bertubi-tubi.
Sonia menerjang pukulan pedang ke wajah Santi. Santi menggelinding ke permadani, menghindari setiap serangan mematikan. Arwan datang meletuskan pucuk mesiu ke wajah Sonia. Sonia meledak berpuing-puing tercium pistol dahsyat itu. Seluruh tubuhnya ambruk ke jilatan-jilatan perapian menyala-nyala. Santi mendekati Arwan dan mereka jauhkan punggung dari kekacauan mengerikan itu. Lanjutan di bawah ....

Part 2
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...941708fe178b19

Part 3
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...3ccf2ed47ab39d

Part 4
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...53d84993524dd6

Part 5
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...d22a79411403ad

Diubah oleh anasaufarazi810 03-08-2023 12:24
Bgssusanto88indrag057rafisullivan354
rafisullivan354 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
2.5K
13
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.9KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.