penajuteksAvatar border
TS
penajuteks
GAUN PENGANTIN UNTUK MADUKU
#promosicerita
#kbmcerbung

JUDUL NOVEL : KETIKA SUAMI PUBER KE DUA DENGAN TEMAN KERJANYA.

Bab. 1.

"Permisi, Bu! Pesan antar paket. Apakah ada orang di rumah?"

Kuhentikan gerakkan spatula yang sedang beradu dengan kuali di atas kompor. Pendengaranku menangkap suara teriakan dari depan rumah. Dahiku berkerut dalam. Paket siapa itu yang datang di siang bolong begini.

"Permisi! Paket, Bu."

Aku menoleh ke belakang pada arah pintu tengah, yang menjadi penghubung antara ruang tengah dan dapur di rumahku. Suara itu terdengar kembali dengan mengucapkan kata yang sama. Siapa yang memesan paket? Sepertinya aku tak ada belanja online beberapa hari terakhir ini.

"Permisi, Bu! Paket."

"Iya, sebentar! Tunggu!"

Mau tak mau aku harus ke depan untuk melihat siapa tamu yang datang. Kutinggalkan olahan ikan pindang patin yang belum matang di kuali tanpa mengecilkan api kompornya. Kuseret langkah terpaksa menuju pintu depan.

Tamu itu telah mengganggu aktifitas siangku. Perut keroncongan yang berbunyi sejak pagi tak kuhiraukan. Suara itu terus berteriak tanpa menyadari bahwa aku mulai terganggu akan suara cemprengnya.

"Berisik, Mas! Jangan teriak terus! Saya nggak budek!"

Satu teriakan akhirnya keluar dengan bersamaan terbukanya pintu rumah yang kubuka lebar.

Aku melotot pada dua lelaki yang berdiri di depan teras rumah.

"Maaf, Bu, kami pikir tak ada orang di rumah. Jadi kami .…"

"Walaupun nggak ada orang di rumah ini, ya, jangan teriak-teriak, dong! Ganggu tetangga lain juga, Mas. Banyak yang istirahat di kompleks ini kalau siang. Kasian istrahat mereka jadi terganggu."

Kupotong cepat satu kalimat itu yang belum selesai terucap.

Tamu tak tahu sopan santun ini harus diberi tahu aturan saat bertamu di rumah orang. Kulempar satu lirikan kesal pada dua lelaki yang bekerja sebagai kurir. Dua lelaki itu terlihat salah tingkah karena tatapanku.

Karena rasa kesal yang masih menyelimuti, kulipat siku di depan dada, menyandarkan bahu pada bingkai pintu, serta mengangkat dagu untuk memberi kesan galak pada kurir dari ekspedisi ternama di tempat tinggalku.

"Sekali lagi maaf, Bu, kami tak bermaksud seperti itu. Kami hanya ingin paket ini sampai di alamat yang tepat. Soalnya ini paket mahal takutnya diambil orang kalau ditinggal begitu saja."

Lelaki bernama Sabrang menjelaskan isi paketnya. Namanya tertulis pada pakaian yang dipakai di dada kirinya.

"Ya udah saya maafkan. Tapi jangan diulangi di tempat lain, Mas. Itu nggak sopan. Penghuni di perumahan ini tak suka dengan suara keributan. Lagian itu, kan, ada bel, sih, kenapa tak tekan belnya saja, kan, praktis. Tak perlu berteriak kayak di hutan."

Satu telunjuk aku angkat pada dinding yang ada di samping pintu rumah.

Kedua lelaki berkulit sawo gelap itu pun kompak melihat keatas, kemudian satu tarikan senyum malu-malu mereka sematkan padaku. Mereka pasti malu sekali. Bel rumah sebesar dua jari itu tak nampak oleh mereka.

Aku hanya bisa menggeleng pada tamuku yang pikirannya tak fokus. Mungkin karena terik matahari yang terasa panas, hingga mereka tak bisa berpikir tenang.

"Lalu, paket apa yang kalian kirim ke rumah saya? Kok seperti gaun pengantin, ya."

Aku menelisik pakaian yang melekat pada keduanya. Warna merah mencolok yang menjadi dasar pada seragam yang mereka pakai, celana bahan berwarna hitam, yang di lengkapi dengan sepatu hitam khas kurir dari ekspedisi JNA.

Dua lelaki itu mengangguk kembali. "Benar, Bu. Kami dari ekspedisi JNA. Apa benar ini alamat rumahnya Bapak Arman? Kami ingin mengantarkan paket pesanan beliau dari butik."

"Butik. Butik apa itu? Rasa-rasanya kami tak ada pesan apapun dari butik, Mas. Salah alamat kali."

Aku mulai mencecar mereka yang membuat rasa penasaranku membuncah. Kutarik langkah untuk berdiri pada tepian teras, melihat ke arah mobil box di jalan.

Sabrang mengecek nota itu Berulang kali. Dahinya tampak berkerut. Mungkin tulisan pada nota itu tak jelas. Sesekali ia menatapku sebentar, lalu melihat nomor rumah, dan fokusnya kembali lagi pada nota yang masih ada di tangannya.

"Benar, kok, Bu. Alamat yang tertulis di nota ini benar alamat rumah ini. Untuk penerima atas nama Bapak Arman Pramudya. Dan untuk pengirimnya atas nama Luna Sandoro. Dengan isi paket satu pasang baju pengantin dari Butik Vinatone. Benarkan Bapak Arman Pramudya tinggal disini?"

Kalimat penjelas itu semakin membuatku curiga.

"Apa, Mas? Sepasang baju pengantin? Nggak salah alamat itu?" tanyaku balik untuk meminta penjelasan pada mereka.

Dadaku seketika berdegup kencang saat kalimat penjelasan itu mulai merasuk ke dalam pikiran.

"Iya sepasang baju pengantin, Bu. Dari Vinatoone Butik."

"Apa? Dari Vinatoone Butik, Mas?"

"Iya, dari Vinatoone Butik, Bu."

"Vinatoone Butik yang beralamat di Gang Sarilayu yang tak jauh dari komplek sini, kan?"

"Iya, benar, Bu."

"Isinya paket gaun pengantin?"

Kuulang kembali kalimat itu untuk rasa yang tak mengerti.

"Betul, Bu."

Kusambar satu nota yang masih ada di tangan Sabrang. Aku baca satu per satu kalimat yang tersusun rapi di dalamnya. Semua keterangan pada kertas itu sangat membuatku terkejut.

Benar. Isi paketnya gaun pengantin. Milik siapa?

Mendadak kedua kakiku mulai goyah. Seakan-akan tak ada lagi kekuatan di dalamnya. Rasanya hatiku patah-patah karena beban yang mendadak masuk dalam rumah tanggaku.

"Astagfirullah! Ya Tuhan ini cobaan apa lagi."

Refleks aku berpegangan pada tiang penyangga di teras. Kedua tungkai mendadak lemas tak mampu membuatku berdiri lama.

"Bu, Ibu, nggak apa-apa, kan? Mari saya bantu berdiri."

Satu kurir yang belum aku kenal namanya itu memegang satu tanganku. Hampir saja aku ambruk ke lantai kalau saja mereka tak memegangiku.

"Duduk dulu, Bu. Hati-hati kebentur meja kakinya. Apa perlu saya antar ke dalam rumah?"

Kurir itu menuntunku untuk duduk pada kursi berbahan plastik yang ada di teras rumah.

Aku menarik napas untuk menetralkan rasa asing di dada.

"Terima kasih, Mas. Saya nggak apa-apa. Tinggalkan saja saya disini," tolakku pada mereka, rasanya tak ada lagi keinginanku selain duduk di teras.

Udara yang kuhirup berulang kali tak mampu menormalkan debaran di dada. Rasa tak nyaman dalam dada telah merembet pada sekujur tubuh, hingga sekedar untuk duduk pun aku tak sanggup.

"Bawa kesini saja paketnya, Mas! Letakkan di sana, ya!"

"Baik, Bu."

Aku arahkan mereka untuk menyimpan paket itu di pojok teras, di dekat pintu masuk. Karena enggan untuk membawanya masuk ke dalam rumah, aku putuskan untuk menggantung satu pasang gaun pengantin yang masih terbungkus plastik bening itu pada jemuran, yang biasa kupakai untuk menjemur pakaian.

Dadaku kian sesak saat menatap sepasang gaun pengantin itu disana.

Aku remas kepala yang tertutup jilbab segiempat berwarna navy. Seketika aku tertawa dalam sumbang.

Hahahaa!

Suami sahku mendapat paket gaun pengantin yang masih baru.

Mungkin jika orang lain yang meminang gaun pengantin edisi spesial untuk bulan Oktober itu aku akan merasa bangga sekali. Namun, ternyata itu salah. Pemandangan indah yang ada di depan mata saat ini sangat menampar harga diriku sebagai desainer baju pengantin.

Gaun pengantin hasil rancanganku sendiri ternyata dibeli oleh suamiku sendiri.

Tentu saja itu mengejutkan. Untuk apa suamiku membeli gaun pengantin?

Jangan-jangan ....

"Sepertinya kau mulai bermain api denganku, ya, Mas."

Bersambung...

Di aplikasi sudah sampai bab. 16.


Gaun Pengantin Untuk Maduku - Dwiratna4005
Bagaimana rasanya berjuang sendirian dengan kaki pincang sebelah. Saat kau berusaha sekuat tenaga, d...

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link dibawah:
https://read.kbm.id/book/detail/b5d0...6-5bb380276c72
bukhoriganAvatar border
Bgssusanto88Avatar border
Bgssusanto88 dan bukhorigan memberi reputasi
2
270
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.5KAnggota
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.