aldianovskyAvatar border
TS
aldianovsky
PULANG... (TAMAT)
Sekali lagi, kuseruput kopi hitam itu, kuteguk dan kunikmati sensasi pahitnya meski tak sepahit kenyataan hidup lima belas tahun kemudian.

Iseng, akupun mengambil potongan parafin yang tersisa tidak lebih dari setengah blok lagi. Kukumpulkan dedaunan dan ranting kering, kuletakkan di atas sampah logistik berbahan plastik, lalu kusulut hingga api itu menelan benda-benda yang dijamahnya. Di depan kemahku jadi sedikit benderang oleh pijar api yang menari, dapat kulihat pula bagian belakang tenda si pendatang tersebut.



Kemana orang tadi? Tak nampak olehku si lelaki yang belum lama duduk di depan tenda. Ah, mungkin dia lelah lalu masuk ke dalam. Biar sajalah, sudah malas aku berlagak ramah terhadap orang yang tak acuh seperti itu. Apalagi teman-temannya yang dari tadi berada di dalam tenda, setiap kali tertawa, suara tawanya terkesan sedang meledekku. Besok pagi, aku tak perlu menyapa mereka.

Tegukan terakhir, tandas sudah kopi di gelasku. Ampasnya sengaja kutumpahkan ke atas bara agar apinya mati. Tak ada lagi penerangan yang bersumber dari pembakaran, cahaya bulan kembali mendominasi. Angin berdesau membawa serta kabut yang dengan cepat menyelimuti tempat kami berkemah. Sinar bulan tak lagi secerah barusan, berganti jadi pucat suram. Entah kenapa bulu kuduk mendadak meremang. Aneh, padahal sejak tadi perasaanku masih biasa saja.

Sengaja mataku melirik ke arah kemah si pendatang. Eh, orang itu terlihat lagi! Ia masih duduk sambil memeluk kedua lututnya. Sakti betul orang ini, bahkan tubuhnya tak bergidik sedikitpun oleh angin yang terasa menguliti.

Orang ini sepertinya tengah dilanda masalah atau sedang frustasi dengan kehidupannya, pikirku. Ternyata, aku tak sendiri. Bisa jadi orang itu punya masalah yang lebih kompleks dari masalah yang saat ini kuhadapi. Aku pun tersenyum puas, motif kami naik gunung saat ini sama. Ya, sama-sama butuh pelarian, hahaha.

"Uuh, panaas..." tiba-tiba suara dari dalam tenda misterius itu terdengar lagi.

"Iya, panas sekali. Aku nggak kuat..." sahut yang lainnya.

"Aku pengen pulang..."

"Iya, pulang..." berkali-kali suara-suara itu bersahutan dari dalam tenda, membuatku jadi penasaran.

Yang lebih membuatku heran, bagaimana mungkin di tengah udara yang terasa membekukan seperti ini mereka malah kepanasan. Bercanda, ucapku lagi.

" Kak, pulang yuk! Kami sudah nggak tahan, panas sekali..." rengek salah satu dari penghuni tenda yang terdengar seperti orang yang akan menangis. Yang lainnya kembali menimpali dengan rengekan serupa, bahkan beberapa di antaranya terdengar sedang tersedu-sedu. Perasaanku jadi semakin mantap, jelas ada lebih dari dua orang di dalam tenda itu.

Lelucon macam apa ini? Bule sekalipun pasti akan kedinginan bila ada di tempat ini, tapi mereka...

"Iya, kita pulang ya." balas lelaki yang duduk di depan tenda. Ia perlahan bangkit dari duduknya, namun masih tetap tertunduk. Saya yang sejak tadi mengamati, jadi tak tahan juga untuk bertanya.

"Mas, sekarang sudah pukul dua belas. Apa nggak lebih baik nanti pagi saja pulangnya?" ucapku. Pria itu bergeming, tak juga ia berpaling ke arahku.

"Pulaang, kak, pulaang. Huuuhuuuu..." sahut yang ada di dalam tenda. Mereka semakin menjadi-jadi saja tangisannya. Bodoh sekali anak-anak ini, kalau memang belum siap kemping bukankah lebih baik diam di rumah?

"Ayo anak-anak, keluar dari tenda..." perintah orang itu datar.

Satu-persatu, bisa kulihat meski dalam kondisi yang remang-remang, satu, dua, tiga, hingga lima anak berusia sekitar empat belas atau lima belas tahunan, keluar dari pintu tenda. Wajah mereka tak terlihat jelas akibat selimut kabut yang masih berpendaran di sekitar kemah. Kelima anak itu terisak, tak lagi tersedu seperti beberapa saat lalu.

"Adik-adik, nanti pagi saja pulangnya. Medannya terlalu berbahaya bila turun malam-malam begini." saya mencoba memberi saran.

"Kalian akan kesulitan saat melalui beberapa turunan terjal, bahkan ada titik yang di kiri kanannya terdapat jurang. Kalian akan turun menuju Cidahu, kan?" timpalku lagi. Mereka kompak menggeleng pelan, tidak bersuara sama sekali.

Tanpa diperintah, mereka yang totalnya berjumlah enam orang mulai membongkar tenda, tanpa ekspresi dan tanpa mengucap sepatah katapun. Sungguh, orang-orang ini begitu menjengkelkan.

Tenda telah terbongkar, terbilang cukup cepat untuk ukuran anak-anak seusia mereka. Lelaki misterius tadi mengangkat tas tenda, bisa kutebak kalau dia adalah ketua rombongan ini.

"Kami tidak turun ke Cidahu, bang. Tidak lewat jalur pendakian juga." ujar pria itu pelan. Aku mengernyit, apa mungkin mereka akan turun lewat Cimelati, ucapku dalam hati.

"Memangnya, kalian akan pulang ke mana?" Sebetulnya saya enggan untuk melontarkan pertanyaan ini, namun seperti ada dorongan batin yang memaksaku untuk tetap bertanya.

"Ke kawah," sambut salah seorang anak dengan nada serupa, datar dan terdengar pilu. Serempak mereka semua menatap ke arah saya. Beberapa pasang mata itu terlihat bagai ruang kosong yang tak terisi jiwa, namun terselip pesan dan asa.

Saya mematung di hadapan mereka, satu katapun tak terlontar. Belum pernah aku dilanda ketakutan seperti ini. Tubuh betul-betul membeku, menjentikkan jemari pun terasa sulit. Diam memaksa nalarku bekerja meski hasilnya jauh dari jangkauan logika. Ya, sekarang aku sadar siapa mereka dan mereka pun tak perlu mengungkap jati dirinya.

"Kami pamit, bang." Pria itu memalingkan wajah, diikuti kelima temannya. Meski saru oleh kabut, namun bisa kurasakan aura kesedihan dan putus asa di detik-detik kepergian mereka.

Keenam orang itu beranjak meninggalkan area kemah, melangkah ke arah utara. Perlahan kabut tebal menyambut dan menelan bayang-bayang mereka sesampainya di bibir jurang. Keenamnya kembali pulang, meski ke satu alam yang tak lagi terikat oleh waktu dan ruang. Satu ketetapan telah membuat mereka melata dalam jagat sunyi, ada namun tersembunyi . Pulang ke rumah memang diksi yang indah, namun seindah-indahnya rumah bagi mereka adalah untaian do'a.

Tabir halimun perlahan mulai tersibak, menghilang dari tempatku mendirikan tenda. Purnama kembali menyapa bumi tanpa terhalang gumpalan awan. Keadaan kembali seperti sediakala, seperti ketika serombongan maya itu belum tiba.


Bogor, 17 November 2022




Diubah oleh aldianovsky 13-01-2023 14:21
bapakulil674Avatar border
erinomonogatariAvatar border
terbitcomytAvatar border
terbitcomyt dan 3 lainnya memberi reputasi
4
1.4K
4
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Komunitas Penggemar Cerita Horor
Komunitas Penggemar Cerita Horor
1.1KThread876Anggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.