sehau76
TS
sehau76
Benarkah Generasi Z Bermental Lembek?


Suasana di depan sebuah pusat perbelanjaan di Tanjung Duren, Jakarta Barat mendadak geger pada Rabu 14 September sore. Tubuh seorang remaja perempuan berbaju merah tergeletak di bawah jembatan penyeberangan.
Beberapa petugas keamanan mal mengelilingi, tak berani menyentuh tubuh perempuan tersebut. Mereka menunggu petugas medis. Pengunjung mal berkerubung mencari tahu. Video kejadian itu viral di media sosial.

Kanit Reskrim Polsek Tanjung Duren Ajun Komisaris Polisi Tri Baskoro Bintang Wijaya mengatakan, remaja perempuan berinisial RJ itu diduga melakukan upaya bunuh diri dengan cara melompat dari Skybridge Mal Central Park yang terhubung dengan Mal Neo Soho. Korban kemudian dibawa ke Rumah Sakit Royal Taruma.
"Percobaan bunuh diri. Korban selamat, luka di punggung dan leher," kata AKP Bintang.

Sementara Kapolsek Tanjung Duren Kompol Muharom Wibisono mengatakan, dari penyelidikan polisi, korban merupakan Warga Ciputat, Tangerang Selatan. Statusnya pelajar.

Wibisono menambahkan, polisi belum bisa menggali informasi lebih dalam penyebab RJ nekat melompat dari ketinggian 15 meter. Namun dari keterangan pihak keluarga, korban diduga sedang mengalami masalah keluarga.
Di Cikarang Pusat, Kabupaten Bekasi, seorang remaja laki-laki ditemukan tewas gantung diri pada Minggu 8 Mei lalu. Korban mengakhiri hidupnya diduga karena mengalami depresi.

"Ini anak tinggal sama neneknya karena bapak ibunya sudah cerai, mungkin masalah hidup," ungkap Kapolsek Cikarang Pusat AKP Awang Parikesit.

Sementara di Jasinga, Bogor, remaja putri berinisial SM (19) ditemukan tewas gantung diri di dalam rumahnya. Pihak keluarga menyebut, SM mengalami depresi akibat penyakit ginjal yang dideritanya tak kunjung sembuh. Korban sudah lama menderita sakit ginjal dan sedang menjalani pengobatan.

"Wanita ditemukan meninggal dunia di dalam rumah dalam keadaan gantung diri, kejadian tersebut terjadi di Desa Bagoang, Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor," kata Kapolsek Jasinga AKP Dedi Hermawan dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat 30 September lalu.

Ketiga kasus di atas menjadi catatan maraknya kasus-kasus upaya bunuh diri di kalangan remaja. Meski penyebabnya berbeda-beda, depresi diduga menjadi salah satu pemicu utamanya.

Isu kesehatan mental menjadi topik yang belakangan ramai diperbincangkan oleh generasi muda. Curhat di media sosial tak lagi tabu dilakukan. Mulai dari beban pekerjaan, tekanan ekonomi, konflik keluarga, hingga masalah percintaan.

Demikian juga topik soal soal depresi, skizofrenia, gangguan kecemasan (anxiety disorder), kepribadian ganda (dissociative identity disorder), dan gangguan mental lainnya semakin mendapat perhatian. Sementara tema mengenai manajemen stres, kesepian, cyberbullying, mindfulness, dan stoicism juga banyak dicari di mesin pencarian.

Bagi sebagian kalangan, fenomena ini dianggap memprihatinkan. Para remaja dari kalangan generasi Z atau Gen Z dianggap sebagai generasi bermental lembek dan lemah. Generasi ini di media sosial Twitter terkenal melahirkan banyak istilah seperti healing, overthinking, insecure, dan istilah yang berkaitan dengan mental health lainnya.

Muncul kemudian analisis-analisis yang membandingkan mengapa Gen Z sangat rentan mengalami depresi dibandingkan generasi-generasi sebelumnya.



Setiap zaman melahirkan generasi dengan cirinya masing-masing. Tantangan yang dialami generasi saat ini berbeda dengan mereka yang lahir di tahun 70-an atau 90-an.


Di Indonesia, masih banyak yang salah mengidentifikasi remaja usia belasan hingga awal 20-an tahun sebagai generasi milenial. Padahal berdasarkan pembagian tahun kelahiran, generasi milenial mengacu pada mereka yang lahir mulai tahun 1981 hingga 1995. Istilah milenial muncul karena generasi ini hidup melewati pergantian milenium (1.000 tahun).

Generasi milenial atau Gen Y, juga disebut generasi transisi atau dua masa. Mereka merasakan perubahan zaman dari serba analog ke digital, dari konvensional ke era internet.

Mengacu pada sejumlah literatur, pembagian generasi berdasarkan tahun kelahiran dimulai dari mereka yang disebut sebagai 'Silent Generation'. Mereka lahir dari 1928 sampai 1945 atau sebelum dan selama Perang Dunia II berlangsung.

Generasi selanjutnya adalah mereka yang lahir dari tahun 1946 sampai 1965. Julukan mereka adalah 'Baby Boomers'. Sebutan ini muncul karena setelah Perang Dunia II, angka kelahiran meningkat pesat. Populasi dunia bertambah besar setelah era perang berakhir.

Era selanjutnya adalah generasi X atau disingkat Gen X. Mereka lahir dari 1966 hingga 1980. Generasi ini mayoritas adalah anak-anak dari Silent Generation. Didikan keras dan konvensional mereka alami. Meski begitu Gen X lebih melek teknologi dibandingkan dengan Baby Boomers.

Setelah generasi milenial atau generasi Y, muncul kemudian generasi Z. Mereka adalah generasi yang lahir antara tahun 1996 hingga 2010. Generasi ini dikenal dengan pengaruh media sosial yang kuat. Mereka lahir di saat era digital sudah terbentuk dan menjadi bagian kehidupan sehari-hari.

Terakhir, generasi paling muda saat ini disebut sebagai generasi alpha. Mereka lahir antara akhir tahun 2010 ke atas. Dari bayi, generasi ini sudah dicekoki dan akrab dengan teknologi. Bagaimana karakteristik generasi ini ke depannya, belum bisa diprediksi karena sebagian besar mereka masih di bawah umur.



"Apa-apa disangkutinnya sama mental health gitu. Misal abis putus cinta. Padahal, kalau dulu putus cinta tuh kayak hal biasa aja, tapi sekarang langsung bilang depresi lah."

Ucapan itu keluar dari mulut Grace (17), pelajar kelas tiga salah satu sekolah menengah atas (SMA) di Depok, dalam perbincangan dengan merdeka.com pekan lalu. Dia mengakui, penilaian yang diberikan terhadap generasinya hampir sebagian besar benar.

Grace mengungkapkan, isu kesehatan mental menjadi pembahasan yang biasa dilakukan bersama teman-temannya. Membandingkan dengan generasi sebelumnya, Grace menyatakan, Gen Z lebih awas terhadap isu ini.

"Mungkin sekarang orang orang lebih aware kali ya sama hal-hal yang berbau mental health. Jadi sekiranya ada hal yang enggak berkenan sama kita, sebagai Gen Z pasti langsung disangkutpautkan sama mental health gitu sih. Takut mentalnya rusak lah, gitu," ujarnya.

Grace mencontohkan, dari berita-berita yang dia baca, ada remaja yang bunuh diri gara-gara putus cinta, atau ada juga mahasiswa yang tak lulus-lulus kuliah nekat terjun dari lantai 10 mal di Palembang.

Noni, rekan sekelas Grace juga senada. Dia menyebut, Gen Z sebagai generasi sensitif. "Dimarahin dikit aja langsung masuk ke hati, gampang sensitif," ujarnya.
Noni membandingkan dirinya dengan kakaknya yang lahir tahun 80-an. "Dia lebih enggak sensitif dan lebih kuat aja gitu," ujarnya.



Berbeda dengan generasi milienial, Gen Z lahir saat internet dan media sosial menjadi bagian hidup dan kebutuhan. Media sosial menjadi ajang memamerkan berbagai pencapaian. Tak jarang, keberhasilan orang lain dijadikan tujuan hidup bagi seseorang.

Akibatnya, muncul istilah FOMO (fear of missing out), perasaan takut tertinggal karena tidak mengikuti tren tertentu, semisal fashion dan gadget. Bahasa gaulnya 'kudet' atau kurang update.

FOMO memicu orang berlomba-lomba selalu ikut tren kekinian dalam berbagai bentuk. Ketika merasa tidak bisa mengikuti tren, seseorang akan merasa gagal dan malu kemudian iri melihat keberhasilan orang di media sosial. Perasaan iri itulah yang kemudian memunculkan tekanan dan tuntutan yang berujung pada depresi.

Saat media sosial menjadi pemicu depresi, cara yang paling ampuh adalah mengurangi penggunaannya. Seperti yang dilakukan Miska (21), mahasiswi salah satu perguruan tinggi di Jakarta Selatan. Baginya, mengakses media sosial harus diimbangi dengan sikap untuk tidak mengambil hati atas komentar atau hujatan yang bertujuan perundungan atau bullying.

"Kalau aku sih lebih memikirkan mereka itu siapa. Maksudnya, omongan mereka itu enggak bisa menentukan aku tuh seperti apa. Dan mereka itu bukan siapa-siapa aku. Jadi mereka mau ngomong apapun, ya terserah mereka. Intinya omongan mereka ini tidak menentukan aku ini jadi apa," tuturnya kepada merdeka.com dalam perbincangan pekan lalu.

Terhadap komentar atau kritik yang membangun, Miska menjadikannya sebagai intropeksi diri. Sedangkan untuk komentar yang menjatuhkan, dia memilih untuk mengabaikan.

Di sisi lain, Miska menilai, berbagai platform media sosial kini lebih terbuka membahas isu-isu seputar kesehatan mental. Banyak kampanye yang dilakukan baik oleh ahli maupun lembaga berkompeten yang membantu para Gen Z untuk mendapatkan pertolongan. Miska menyebut, beberapa temannya secara sadar pergi ke psikiater untuk berkonsultasi terkait kesehatan mental.

"Sehingga generasi z ini kalau mereka mengalami gangguan kesehatan mental, tahu harus lari ke mana. Bukan yang ke arah buruk tetapi ke arah positif," ujarnya.
Miska menolak penilaian terhadap Gen Z sebagai generasi yang lemah. Dia menyebut, peran keluarga yang sangat berpengaruh membentuk karakter dan mental tahan banting. Miska merasakan dukungan penuh dari orang tuanya atas berbagai pilihan yang dia lakukan. Salah satunya kuliah sambil bekerja.
"Menurut aku iya banget, orang tua itu, jadi kalau misalnya aku lagi susah, lagi kuliah susah ya, mereka selalu support aku dan enggak jadi down," ujarnya.

Mengutip laporan yang dirilis oleh American Psychological Association (APA) pada Oktober 2019 lalu yang berjudul 'Stress in America: Generation Z', dilaporkan bahwa Gen Z lebih mungkin menerima pengobatan atau menjalani terapi kesehatan mental, dibandingkan dengan generasi di atasnya.

Gen Z juga cenderung melaporkan gangguan kesehatan mental yang mereka alami, lebih sadar dan menerima masalah kesehatan mental, sehingga mereka terbuka tentang masalah psikologis dan cara mengelola stres.

Media sosial dianggap sebagai faktor utama yang berpengaruh terhadap Gen Z untuk lebih terbuka soal isu kesehatan mental. Ketika ada orang yang berbicara tentang perjuangan melawan depresi baik itu orang asing di internet, atau selebritas dan influencer, hal ini membuat Gen Z paham bahwa isu tentang kesehatan mental bukanlah hal yang buruk.

Sumber

Banyak yang salah kaprah selama ini, generasi milenial dibilang kelahiran tahun 2000 keatas, ternyata kelahiran tahun 1981-1996

1928-1945 = Silent Generation
1945-1966 = Baby Boomers
1966-1980 = Generasi X
1981-1996 = Generasi Y/Millenial
1996-2010 = Generasi Z
2010-         = Generasi Alpha

TS termasuk generasi X, generasi yang tumbuh di era NO SOSMED. Anak TS termasuk generasi Z yang sangat akrab dengan SOSMED. Termasuk generasi manakah anda? 







Diubah oleh sehau76 06-10-2022 03:30
whizzmanzaekun69arsenalkufc
arsenalkufc dan 15 lainnya memberi reputasi
16
5.9K
113
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.4KThread81.3KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.