- Beranda
- Stories from the Heart
Sepotong Episode Kehidupan
...
TS
Leny.Khan
Sepotong Episode Kehidupan
Sepotong Episode Hidup
Leny Khan
🌷🌷🌷🌷🌷
"Semua demi kalian. Demi kamu ... demi anak-anak. Biar kamu nggak ikut bantu aku cari nafkah lagi dan bisa fokus mendidik serta mengurus anak-anak di rumah."
Mas Erik terus mencoba meyakinkanku untuk melepasnya berangkat ke Pulau Jawa untuk bekerja.
Seminggu yang lalu, dia mendapat tawaran kerja dari rekannya dengan gaji yang lumayan. Delapan digit. Bagaimana Mas Erik tidak tergiur? Sementara di sini pekerjaan sehari-harinya sebagai supir angkot, hanya bisa untuk kebutuhan sehari-hari kami. Namun, aku sangat keberatan karena tidak sanggup berpisah dengannya. Sebab, sekali dalam dua bulan saja Mas Erik belum tentu bisa pulang. Memboyong kami ke sana juga tidak mungkin. Kasihan anak-anak jika harus pindah sekolah lagi. Mereka baru saja akrab dan menikmati sekolah baru mereka.
"Terserah, Mas saja," sahutku pasrah, karena aku tak ingin berdebat lagi. Sudah seminggu dan dia masih saja mempertahankan pendapatnya. Padahal, aku lebih rela hidup pas-pasan di sini ketimbang banyak uang, tetapi berjauhan.
"Kenapa jawabanmu begitu, sih, Ndah? Aku melakukan ini demi hidup yang lebih layak. Kamu mau hidup kita selalu seperti ini? Kamu mau terus-terusan ikut banting tulang demi keluarga kita?"
Kuembus napas untuk memberi ruang di rongga dada yang terasa sesak. "Aku, kan, sudah bilang, terserah Mas saja. Aku halangi juga Mas akan tetap pergi, kan?"
Mas Erik diam. Dia meraih cangkir kopi yang sudah dingin dan menyesapnya.
Aku pun bangkit dari duduk dan menuju kamar anak-anak, untuk memastikan apakah mereka sudah tidur atau belum setelah mengerjakan PR tadi.
***
"Kamu nggak percaya sama aku?"
Mas Erik mengikutiku sampai ke dapur setelah aku dari kamar anak-anak. Ketiga putriku ternyata sudah di alam mimpi saat jarum jam menunjuk di angka sepuluh.
"Sepenuhnya aku percaya sama kamu, Mas. Tapi ... aku nggak sanggup berpisah dengan kamu. Tolong, pahami itu!"
Aku berhenti melangkah, memutar tubuh dan menatap mata Mas Erik dengan lekat. Dia pun terdiam.
"Tugas mendidik dan mendampingi anak-anak bukan hanya kewajiban seorang istri saja, tetapi juga suami. Aku nggak sanggup jika melakukannya sendiri. Apalagi selama ini kita telah melakukannya bersama-sama. Betapa canggungnya aku jika nanti semua aku yang menanganinya seorang diri." Kucoba mengurai apa yang kurasakan.
"Nanti kamu juga akan terbiasa, Ndah. Aku yakin, kamu mampu. Aku yakin, kamu kuat. Bukankah dalam rumah tangga harus ada pengorbanan?"
"Oke, kalau begitu maunya, Mas. Aku tidak akan menghalangi lagi. Silakan jika tetap mau pergi!" pungkasku.
Tak lagi menghiraukannya, aku kembali berjalan mendekati piring-piring kotor yang tadi belum sempat kucuci selepas makan malam. Percuma bicara. Percuma memberi penjelasan tentang perasaanku. Toh, Mas Erik tidak akan mau mendengar dan tetap pada pendiriannya.
***
Menjelang tidur, aku menyempatkan diri membuka ponsel. Ini kebiasaanku jika rasa kantuk belum datang. Sementara Mas Erik sudah terlelap sejak tadi dengan posisi membelakangiku.
Satu foto di grup WA membuatku termangu. Foto sepasang suami istri dengan latar belakang Kota Makkah. Ya, mereka baru saja pulang umrah. Banyak ucapan dan doa untuk mereka sampai-sampai notif grup tak henti-hentinya berdenting. Setahuku, sampai sekarang pasangan itu belum dikaruniai anak.
Kutelan saliva yang tiba-tiba saja menyekat di tenggorokan. Hatiku terasa panas, jantungku seperti diremas. Seharusnya aku yang saat ini berada di sana. Seharusnya akulah perempuan yang menggamit lengan lelaki gagah itu. Seharusnya aku yang menikmati kebahagiaan itu. Seharusnya aku ....
Aku memejam, memaksa air mata keluar dari kelopaknya. Menahan rasa perih di dada yang membuat luka lamaku berdarah kembali.
"Astaghfirullaah." Berkali-kali kuucap istigfar dalam hati. Aku tidak boleh berpikir seperti itu.
Halim. Dia mantan kekasihku. Kami berpacaran sejak SMU. Bahkan kami tetap menjalin hubungan hingga Halim kuliah sampai dia bekerja di sebuah perusahaan asing. Lalu, kabarnya sekarang Halim sudah punya perusahaan sendiri. Katakanlah sudah sukses dalam urusan dunia.
Takdir tidak menyatukan kami. Orang tua Halim tidak bisa menerimaku, lantaran aku hanyalah seorang gadis tamatan SMU. Tak sebanding dengan Halim yang bisa mengenyam bangku perkuliahan dan memiliki pekerjaan yang bagus.
Cinta kami berdua seperti direnggut paksa. Halim pun ingin menentang kedua orang tuanya dan akan menikahiku tanpa restu mereka. Namun, aku menolak. Aku tidak mau menjadi penyebab kedurhakaan Halim terhadap orang tuanya sehingga aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami.
Lalu, Mas Erik datang ketika hatiku patah. Dia dikenalkan oleh Fira, temanku. Kata Fira, Mas Erik itu sahabat abangnya dan sudah lama suka sama aku. Gara-gara beberapa kali dia melihatku bertandang ke rumah Fira.
Mas Erik tidak mengajakku pacaran, tetapi dengan serius mendatangi kedua orang tuaku untuk melamar. Entah kenapa, aku pun langsung menerimanya. Walau aku sendiri tidak tahu, apakah dia hanya sebagai pelarianku atau karena memang aku percaya dengan ketulusannya. Yang jelas, saat ini aku sangat mencintai Mas Erik.
***
"Seharusnya kamu ada di sana, kan, Ndah?"
Suara serak nan lirih itu membuatku terkejut dan buru-buru membuka mata. Mas Erik sudah duduk di sampingku dan menatap ke layar ponsel yang masih menyala di pangkuanku.
Gugup, segera kumatikan layarnya. Mengusap pipi yang basah, lalu dengan sikap tak peduli kutaruh ponsel di bawah bantal setelah mematikan datanya. Kemudian, aku berbaring, membelakangi Mas Erik. Dia tahu kisahku dengan Halim. Semua kuceritakan padanya saat kami telah menikah.
"Itulah salah satu alasanku ingin pergi. Aku ingin memberikan apa yang seharusnya kamu punya, Ndah. Aku ingin kamu bangga menjadi istriku. Aku nggak mau kamu hidup susah terus menerus denganku."
Kalimat demi kalimat yang diucapkan Mas Erik membuat kedua mataku kembali mengembun. Akan tetapi, aku memilih diam. Hingga tak lama, kurasakan hangat tubuh Mas Erik saat dia memelukku dari belakang. Dia mengecup rambutku dan semakin mengeratkan dekapan.
"Maaf, jika aku belum mampu menjadi suami yang baik untukmu," bisiknya.
***Â
Anak-anak sudah berangkat sekolah setengah jam yang lalu. Aku pun baru selesai membereskan meja makan saat Mas Erik muncul setelah selesai mencuci angkotnya.
Sejak bangun subuh tadi, kami tak saling bicara. Meskipun aktivitas tetap berjalan seperti biasa.
Kutaruh secangkir kopi untuknya di meja makan berikut sepiring nasi goreng kesukaannya. Kemudian, aku pun bergegas masuk ke kamar untuk bersiap-siap pergi kerja.
Biasanya, aku akan nebeng dengan angkot Mas Erik untuk menghemat ongkos menuju laundry tempatku bekerja. Namun, sepertinya kali ini aku harus pergi sendiri.
***
"Ndah!"
Panggil Mas Erik saat aku baru keluar dari kamar.
"Ya, Mas? Mas, mau tambah nasinya? Ambil sendiri di dapur, ya? Aku buru-buru, nanti dimarahi Bu Uli lagi kalau telat," sahutku seraya membenahi jilbab.
Mas Erik menggeleng. "Bukan."
Aku pun mendekatinya. "Terus, Mas butuh apa?"
"Duduklah! Aku mau bicara."
"Tapi, Mas, aku sudah hampir telat. Nanti—"
"Patuh pada atasanmu atau suamimu?"
Pertanyaan itu terdengar lembut, tetapi tegas. Sehingga aku tak kuasa membantahnya dan duduk di kursi yang tak jauh dari Mas Erik.
"Aku mau kamu berhenti kerja."
Terang saja aku tercengang mendengar keinginan Mas Erik yang tiba-tiba itu.
"Mas, nggak salah ngomong?"
Dia menggeleng. "Aku mau kamu di rumah saja. Biar aku sendiri yang mencari uang untuk kalian."
"Kenapa tiba-tiba, Mas ingin aku di rumah saja? Aku bekerja karena untuk membantumu mencukupi kebutuhan kita, Mas. Lagian, aku ikhlas ... selama Mas ada di sini bersamaku. Bukankah kita sudah sepakat untuk berjuang bersama?"
"Tapi ... aku merasa bodoh, Ndah. Aku merasa tidak becus menjadi suamimu dengan membiarkanmu ikut bekerja. Seharusnya tempatmu di rumah, Ndah."
Kali ini aku terdiam.
"Aku juga merasa kerdil saat ...." Mas Erik tidak melanjutkan ucapannya. Dia menyugar rambutnya dengan kasar.
"Mas, kenapa? Kenapa tiba-tiba menjadi rendah diri?"
"Aku ... aku merasa kerdil saat melihat kamu menangis semalam ketika ...." Mata Mas Erik memerah. Dia seperti tengah menahan tangis.
Aku mulai paham ke mana arah pembicaraannya. Pasti karena foto Halim semalam.
Tiba-tiba Mas Erik meraih jemariku. Dia menatapku dengan mata basahnya. "Ndah, aku janji, aku janji nggak akan pergi ke Jawa. Aku janji nggak akan ninggalin kamu sama anak-anak. Asal kamu juga jangan pernah tinggalin aku karena keadaan kita, ya, Ndah? Temani aku sampai nanti kita memiliki hidup yang lebih layak."
Permohonan Mas Erik terdengar bodoh di telingaku. Siapa yang mau meninggalkan dia? Bukannya dia yang bersikeras mau pergi ke pulau seberang?
"Mas, aku tidak pernah ada niat buat ninggalin kamu. Kalau memang aku punya niat seperti itu, tentu aku tidak akan menghalangi Mas pergi ke Jawa. Tentu aku akan melepas Mas dengan mudah tanpa ada drama. Mas tidak sadar kenapa aku melarangmu pergi? Itu karena aku nggak mau jauh darimu. Aku nggak mau sehari saja tidak melihat suamiku. Aku tidak mau ada prasangka-prasangka buruk saat kita berjauhan.
Mas, LDM itu berat. Tidak semua mampu melewatinya. Aku termasuk di dalamnya. Jika di sini kita memiliki rezeki meskipun pas-pasan, itu sudah cukup, Mas. Asal kita terus bersama dalam mendidik anak-anak. Kita bersama melewati semua rintangan hidup."
Tak terasa, air mataku sudah mengalir dengan deras. Mas Erik bergeming, masih dengan posisi menatapku.
"Mas, asal Mas tahu. Aku ikut membantumu mencari nafkah, itu karena aku ikhlas. Aku tidak pernah merasa terpaksa. Karena aku tahu, uang yang kuhasilkan dan dipakai untuk kebutuhan keluarga, itu akan dihitung sedekah jika aku ikhlas. Namun, jika aku tidak ikhlas, maka uangku itu akan haram untukmu, Mas. Dan aku tidak mau itu. Aku mau kita bekerja sama dalam menjalankan rumah tangga ini. Aku mau kita saling mengerti. Itu saja keinginanku, Mas."
"Ndah ... aku malu padamu," bisik Mas Erik.
"Malu kenapa? Aku istrimu, Mas."
Mas Erik menggeser kursinya hingga berdekatan denganku.
"Terima kasih, Ndah," ucapnya dengan suara bergetar, lalu membawaku ke dalam dekapannya.
"Sama-sama, Mas."
Kubiarkan kami dalam posisi itu untuk beberapa saat.
"Mas, aku sudah telat, tolong antarkan aku ke laundry." Kudorong pelan tubuh Mas Erik agar dia melepas pelukan.
Sejenak ia menatapku begitu dalam, kemudian mengangguk. "Sebentar, aku ganti baju dulu."
Mas Erik pun beranjak ke kamar dan aku menunggunya dengan sabar. Tidak mengapa telat sedikit dan diomeli Bu Uli. Toh, aku sudah terbiasa. Kalau dipecat pun, aku pasrah. Nanti bisa cari kerja di tempat lain, kok! Karena aku yakin, rezeki itu Allah yang tentukan.
Suamiku tidak tahu, kalau tadi setelah selesai salat Subuh, aku memutuskan keluar dari grup alumni sekolah demi menjaga hatiku sendiri. Aku tak ingin lagi membanding-bandingkan kehidupanku dengan mereka. Aku tak ingin lagi merasa kufur nikmat saat melihat hidup teman-temanku dilimpahi harta berlebih.
Aku juga telah memblokir nomor Halim, ketika dia menghubungiku secara pribadi, sesaat setelah aku keluar dari grup.
[Indah, apa kabar?]
[Kehidupanmu baik-baik saja, kan?]
[Kudengar, suamimu bekerja sebagai supir angkot, ya? Pasti hidupmu tidak layak, kan, Ndah?]
[Jika kamu butuh uang, kamu bisa memintanya padaku. Jangan sungkan. Berapa pun, aku akan mengirimkannya padamu. Karena walau bagaimanapun, aku masih sayang sama kamu, Ndah]
Begitulah beberapa baris pesan yang Halim kirim padaku. Secara tidak langsung, dia sudah menghina suamiku dan tentu saja aku tidak terima. Apalagi kalimat terakhirnya, sungguh membuatku marah. Dia bilang sayang padaku yang notabene sudah menjadi istri orang. Pun dengannya, bukankah dia sudah punya istri juga?
[Aku baik-baik saja dan aku bahagia dengan suamiku, apa pun profesinya]
Kubalas dengan satu kalimat saja.
Setelah kupastikan dia membaca pesan itu, segera kublokir nomornya. Aku tak ingin terjebak dengan cinta masa lalu. Bagiku, saat ini hanya ada Mas Erik dan juga anak-anak buah cinta kami. Aku tak akan merusaknya dengan keegoisanku. Aku tak akan memeluk dunia hanya karena harta dan cinta yang tak semestinya.
Bukittinggi, 04 Juli 2022
--Selesai--
Leny Khan
🌷🌷🌷🌷🌷
"Semua demi kalian. Demi kamu ... demi anak-anak. Biar kamu nggak ikut bantu aku cari nafkah lagi dan bisa fokus mendidik serta mengurus anak-anak di rumah."
Mas Erik terus mencoba meyakinkanku untuk melepasnya berangkat ke Pulau Jawa untuk bekerja.
Seminggu yang lalu, dia mendapat tawaran kerja dari rekannya dengan gaji yang lumayan. Delapan digit. Bagaimana Mas Erik tidak tergiur? Sementara di sini pekerjaan sehari-harinya sebagai supir angkot, hanya bisa untuk kebutuhan sehari-hari kami. Namun, aku sangat keberatan karena tidak sanggup berpisah dengannya. Sebab, sekali dalam dua bulan saja Mas Erik belum tentu bisa pulang. Memboyong kami ke sana juga tidak mungkin. Kasihan anak-anak jika harus pindah sekolah lagi. Mereka baru saja akrab dan menikmati sekolah baru mereka.
"Terserah, Mas saja," sahutku pasrah, karena aku tak ingin berdebat lagi. Sudah seminggu dan dia masih saja mempertahankan pendapatnya. Padahal, aku lebih rela hidup pas-pasan di sini ketimbang banyak uang, tetapi berjauhan.
"Kenapa jawabanmu begitu, sih, Ndah? Aku melakukan ini demi hidup yang lebih layak. Kamu mau hidup kita selalu seperti ini? Kamu mau terus-terusan ikut banting tulang demi keluarga kita?"
Kuembus napas untuk memberi ruang di rongga dada yang terasa sesak. "Aku, kan, sudah bilang, terserah Mas saja. Aku halangi juga Mas akan tetap pergi, kan?"
Mas Erik diam. Dia meraih cangkir kopi yang sudah dingin dan menyesapnya.
Aku pun bangkit dari duduk dan menuju kamar anak-anak, untuk memastikan apakah mereka sudah tidur atau belum setelah mengerjakan PR tadi.
***
"Kamu nggak percaya sama aku?"
Mas Erik mengikutiku sampai ke dapur setelah aku dari kamar anak-anak. Ketiga putriku ternyata sudah di alam mimpi saat jarum jam menunjuk di angka sepuluh.
"Sepenuhnya aku percaya sama kamu, Mas. Tapi ... aku nggak sanggup berpisah dengan kamu. Tolong, pahami itu!"
Aku berhenti melangkah, memutar tubuh dan menatap mata Mas Erik dengan lekat. Dia pun terdiam.
"Tugas mendidik dan mendampingi anak-anak bukan hanya kewajiban seorang istri saja, tetapi juga suami. Aku nggak sanggup jika melakukannya sendiri. Apalagi selama ini kita telah melakukannya bersama-sama. Betapa canggungnya aku jika nanti semua aku yang menanganinya seorang diri." Kucoba mengurai apa yang kurasakan.
"Nanti kamu juga akan terbiasa, Ndah. Aku yakin, kamu mampu. Aku yakin, kamu kuat. Bukankah dalam rumah tangga harus ada pengorbanan?"
"Oke, kalau begitu maunya, Mas. Aku tidak akan menghalangi lagi. Silakan jika tetap mau pergi!" pungkasku.
Tak lagi menghiraukannya, aku kembali berjalan mendekati piring-piring kotor yang tadi belum sempat kucuci selepas makan malam. Percuma bicara. Percuma memberi penjelasan tentang perasaanku. Toh, Mas Erik tidak akan mau mendengar dan tetap pada pendiriannya.
***
Menjelang tidur, aku menyempatkan diri membuka ponsel. Ini kebiasaanku jika rasa kantuk belum datang. Sementara Mas Erik sudah terlelap sejak tadi dengan posisi membelakangiku.
Satu foto di grup WA membuatku termangu. Foto sepasang suami istri dengan latar belakang Kota Makkah. Ya, mereka baru saja pulang umrah. Banyak ucapan dan doa untuk mereka sampai-sampai notif grup tak henti-hentinya berdenting. Setahuku, sampai sekarang pasangan itu belum dikaruniai anak.
Kutelan saliva yang tiba-tiba saja menyekat di tenggorokan. Hatiku terasa panas, jantungku seperti diremas. Seharusnya aku yang saat ini berada di sana. Seharusnya akulah perempuan yang menggamit lengan lelaki gagah itu. Seharusnya aku yang menikmati kebahagiaan itu. Seharusnya aku ....
Aku memejam, memaksa air mata keluar dari kelopaknya. Menahan rasa perih di dada yang membuat luka lamaku berdarah kembali.
"Astaghfirullaah." Berkali-kali kuucap istigfar dalam hati. Aku tidak boleh berpikir seperti itu.
Halim. Dia mantan kekasihku. Kami berpacaran sejak SMU. Bahkan kami tetap menjalin hubungan hingga Halim kuliah sampai dia bekerja di sebuah perusahaan asing. Lalu, kabarnya sekarang Halim sudah punya perusahaan sendiri. Katakanlah sudah sukses dalam urusan dunia.
Takdir tidak menyatukan kami. Orang tua Halim tidak bisa menerimaku, lantaran aku hanyalah seorang gadis tamatan SMU. Tak sebanding dengan Halim yang bisa mengenyam bangku perkuliahan dan memiliki pekerjaan yang bagus.
Cinta kami berdua seperti direnggut paksa. Halim pun ingin menentang kedua orang tuanya dan akan menikahiku tanpa restu mereka. Namun, aku menolak. Aku tidak mau menjadi penyebab kedurhakaan Halim terhadap orang tuanya sehingga aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami.
Lalu, Mas Erik datang ketika hatiku patah. Dia dikenalkan oleh Fira, temanku. Kata Fira, Mas Erik itu sahabat abangnya dan sudah lama suka sama aku. Gara-gara beberapa kali dia melihatku bertandang ke rumah Fira.
Mas Erik tidak mengajakku pacaran, tetapi dengan serius mendatangi kedua orang tuaku untuk melamar. Entah kenapa, aku pun langsung menerimanya. Walau aku sendiri tidak tahu, apakah dia hanya sebagai pelarianku atau karena memang aku percaya dengan ketulusannya. Yang jelas, saat ini aku sangat mencintai Mas Erik.
***
"Seharusnya kamu ada di sana, kan, Ndah?"
Suara serak nan lirih itu membuatku terkejut dan buru-buru membuka mata. Mas Erik sudah duduk di sampingku dan menatap ke layar ponsel yang masih menyala di pangkuanku.
Gugup, segera kumatikan layarnya. Mengusap pipi yang basah, lalu dengan sikap tak peduli kutaruh ponsel di bawah bantal setelah mematikan datanya. Kemudian, aku berbaring, membelakangi Mas Erik. Dia tahu kisahku dengan Halim. Semua kuceritakan padanya saat kami telah menikah.
"Itulah salah satu alasanku ingin pergi. Aku ingin memberikan apa yang seharusnya kamu punya, Ndah. Aku ingin kamu bangga menjadi istriku. Aku nggak mau kamu hidup susah terus menerus denganku."
Kalimat demi kalimat yang diucapkan Mas Erik membuat kedua mataku kembali mengembun. Akan tetapi, aku memilih diam. Hingga tak lama, kurasakan hangat tubuh Mas Erik saat dia memelukku dari belakang. Dia mengecup rambutku dan semakin mengeratkan dekapan.
"Maaf, jika aku belum mampu menjadi suami yang baik untukmu," bisiknya.
***Â
Anak-anak sudah berangkat sekolah setengah jam yang lalu. Aku pun baru selesai membereskan meja makan saat Mas Erik muncul setelah selesai mencuci angkotnya.
Sejak bangun subuh tadi, kami tak saling bicara. Meskipun aktivitas tetap berjalan seperti biasa.
Kutaruh secangkir kopi untuknya di meja makan berikut sepiring nasi goreng kesukaannya. Kemudian, aku pun bergegas masuk ke kamar untuk bersiap-siap pergi kerja.
Biasanya, aku akan nebeng dengan angkot Mas Erik untuk menghemat ongkos menuju laundry tempatku bekerja. Namun, sepertinya kali ini aku harus pergi sendiri.
***
"Ndah!"
Panggil Mas Erik saat aku baru keluar dari kamar.
"Ya, Mas? Mas, mau tambah nasinya? Ambil sendiri di dapur, ya? Aku buru-buru, nanti dimarahi Bu Uli lagi kalau telat," sahutku seraya membenahi jilbab.
Mas Erik menggeleng. "Bukan."
Aku pun mendekatinya. "Terus, Mas butuh apa?"
"Duduklah! Aku mau bicara."
"Tapi, Mas, aku sudah hampir telat. Nanti—"
"Patuh pada atasanmu atau suamimu?"
Pertanyaan itu terdengar lembut, tetapi tegas. Sehingga aku tak kuasa membantahnya dan duduk di kursi yang tak jauh dari Mas Erik.
"Aku mau kamu berhenti kerja."
Terang saja aku tercengang mendengar keinginan Mas Erik yang tiba-tiba itu.
"Mas, nggak salah ngomong?"
Dia menggeleng. "Aku mau kamu di rumah saja. Biar aku sendiri yang mencari uang untuk kalian."
"Kenapa tiba-tiba, Mas ingin aku di rumah saja? Aku bekerja karena untuk membantumu mencukupi kebutuhan kita, Mas. Lagian, aku ikhlas ... selama Mas ada di sini bersamaku. Bukankah kita sudah sepakat untuk berjuang bersama?"
"Tapi ... aku merasa bodoh, Ndah. Aku merasa tidak becus menjadi suamimu dengan membiarkanmu ikut bekerja. Seharusnya tempatmu di rumah, Ndah."
Kali ini aku terdiam.
"Aku juga merasa kerdil saat ...." Mas Erik tidak melanjutkan ucapannya. Dia menyugar rambutnya dengan kasar.
"Mas, kenapa? Kenapa tiba-tiba menjadi rendah diri?"
"Aku ... aku merasa kerdil saat melihat kamu menangis semalam ketika ...." Mata Mas Erik memerah. Dia seperti tengah menahan tangis.
Aku mulai paham ke mana arah pembicaraannya. Pasti karena foto Halim semalam.
Tiba-tiba Mas Erik meraih jemariku. Dia menatapku dengan mata basahnya. "Ndah, aku janji, aku janji nggak akan pergi ke Jawa. Aku janji nggak akan ninggalin kamu sama anak-anak. Asal kamu juga jangan pernah tinggalin aku karena keadaan kita, ya, Ndah? Temani aku sampai nanti kita memiliki hidup yang lebih layak."
Permohonan Mas Erik terdengar bodoh di telingaku. Siapa yang mau meninggalkan dia? Bukannya dia yang bersikeras mau pergi ke pulau seberang?
"Mas, aku tidak pernah ada niat buat ninggalin kamu. Kalau memang aku punya niat seperti itu, tentu aku tidak akan menghalangi Mas pergi ke Jawa. Tentu aku akan melepas Mas dengan mudah tanpa ada drama. Mas tidak sadar kenapa aku melarangmu pergi? Itu karena aku nggak mau jauh darimu. Aku nggak mau sehari saja tidak melihat suamiku. Aku tidak mau ada prasangka-prasangka buruk saat kita berjauhan.
Mas, LDM itu berat. Tidak semua mampu melewatinya. Aku termasuk di dalamnya. Jika di sini kita memiliki rezeki meskipun pas-pasan, itu sudah cukup, Mas. Asal kita terus bersama dalam mendidik anak-anak. Kita bersama melewati semua rintangan hidup."
Tak terasa, air mataku sudah mengalir dengan deras. Mas Erik bergeming, masih dengan posisi menatapku.
"Mas, asal Mas tahu. Aku ikut membantumu mencari nafkah, itu karena aku ikhlas. Aku tidak pernah merasa terpaksa. Karena aku tahu, uang yang kuhasilkan dan dipakai untuk kebutuhan keluarga, itu akan dihitung sedekah jika aku ikhlas. Namun, jika aku tidak ikhlas, maka uangku itu akan haram untukmu, Mas. Dan aku tidak mau itu. Aku mau kita bekerja sama dalam menjalankan rumah tangga ini. Aku mau kita saling mengerti. Itu saja keinginanku, Mas."
"Ndah ... aku malu padamu," bisik Mas Erik.
"Malu kenapa? Aku istrimu, Mas."
Mas Erik menggeser kursinya hingga berdekatan denganku.
"Terima kasih, Ndah," ucapnya dengan suara bergetar, lalu membawaku ke dalam dekapannya.
"Sama-sama, Mas."
Kubiarkan kami dalam posisi itu untuk beberapa saat.
"Mas, aku sudah telat, tolong antarkan aku ke laundry." Kudorong pelan tubuh Mas Erik agar dia melepas pelukan.
Sejenak ia menatapku begitu dalam, kemudian mengangguk. "Sebentar, aku ganti baju dulu."
Mas Erik pun beranjak ke kamar dan aku menunggunya dengan sabar. Tidak mengapa telat sedikit dan diomeli Bu Uli. Toh, aku sudah terbiasa. Kalau dipecat pun, aku pasrah. Nanti bisa cari kerja di tempat lain, kok! Karena aku yakin, rezeki itu Allah yang tentukan.
Suamiku tidak tahu, kalau tadi setelah selesai salat Subuh, aku memutuskan keluar dari grup alumni sekolah demi menjaga hatiku sendiri. Aku tak ingin lagi membanding-bandingkan kehidupanku dengan mereka. Aku tak ingin lagi merasa kufur nikmat saat melihat hidup teman-temanku dilimpahi harta berlebih.
Aku juga telah memblokir nomor Halim, ketika dia menghubungiku secara pribadi, sesaat setelah aku keluar dari grup.
[Indah, apa kabar?]
[Kehidupanmu baik-baik saja, kan?]
[Kudengar, suamimu bekerja sebagai supir angkot, ya? Pasti hidupmu tidak layak, kan, Ndah?]
[Jika kamu butuh uang, kamu bisa memintanya padaku. Jangan sungkan. Berapa pun, aku akan mengirimkannya padamu. Karena walau bagaimanapun, aku masih sayang sama kamu, Ndah]
Begitulah beberapa baris pesan yang Halim kirim padaku. Secara tidak langsung, dia sudah menghina suamiku dan tentu saja aku tidak terima. Apalagi kalimat terakhirnya, sungguh membuatku marah. Dia bilang sayang padaku yang notabene sudah menjadi istri orang. Pun dengannya, bukankah dia sudah punya istri juga?
[Aku baik-baik saja dan aku bahagia dengan suamiku, apa pun profesinya]
Kubalas dengan satu kalimat saja.
Setelah kupastikan dia membaca pesan itu, segera kublokir nomornya. Aku tak ingin terjebak dengan cinta masa lalu. Bagiku, saat ini hanya ada Mas Erik dan juga anak-anak buah cinta kami. Aku tak akan merusaknya dengan keegoisanku. Aku tak akan memeluk dunia hanya karena harta dan cinta yang tak semestinya.
Bukittinggi, 04 Juli 2022
--Selesai--
grandiscreamo dan bukhorigan memberi reputasi
2
517
1
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32KThread•45.2KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya